Share

Putri

"Lin. Liinnnn ..." Siska berlari ke belakang. Tanpa berpamitan lagi, dia langsung saja masuk ke gudang belakang tempat Celine ditugaskan.

"Apaan, sih? Kamu pake teriak-teriak. Berisik tau. Nanti dimarahin Pak Andre." Dia menghentikan pekerjaannya saat melihat Siska datang berlari-lari sambil berteriak. Seperti orang kesetanan saja.

"Ada Susi di depan. Katanya ada yang kecelakaan." Napas Siska terengah-engah saat menyampaikan pesan. Pasalnya, dia sendiri pun langsung berasa spot jantung ketika mendengar berita yang dibawa oleh Susi barusan.

"Ya ampun." Setengah berlari menuju depan mini market. Susi tampak seperti orang kalut. Mondar-mandir di depan sambil menggaruk kepala seperti orang kebingungan.

"Neng. Neng." Susi menangis terisak. Begitu melihat Celine dia langsung memeluknya erat. "Putri kecelakaan. Ditabrak lari sama motor," katanya terbata-bata.

Wajah Celine langsung pucat mendengarnya. Tubuhnya lemas. Lututnya goyah. Untung saja dia tidak pingsan. Sebagian berat tubuhnya malah ditopang pelukan Susi.

"Terus, di mana putri sekarang?" Dia panik. Siska yang melihat kelakuan mereka segera bertindak. Dia menyuruh mereka menepi untuk berbicara, supaya tidak menghalangi pembeli yang datang.

Suara berisik mereka juga sangat kentara terdengar, membuat ke-kepo-an sebagian pembeli muncul. Bahaya, cctv di mana-mana. Bisa saja nanti cabang mereka kena sangsi. Resiko kan?

"Udah di bawa ke rumah sakit, Neng. Tadi ada mobil yang berenti bantuin bawa. Kalau yang nabrak kabur. Kata yang lihat sih, laki-laki." Susi mengusap air matanya.

Celine melepaskan pelukan Susi. Dengan khidmat mendengarkannya bicara. Tak bisa membayangkan jika itu terjadi dihadapannya. Putri, anak asuhnya yang paling tua. Sudah sekolah dasar. Anak itu mandiri. Pembawaan halus pula, seperti putri keraton. Padahal anak yatim piatu itu tidak jelas siapa orang tuanya. Waktu bayi dibuang ditempat sampah, ditemukan penduduk. Di asuh sembarang orang, pernah hidup di jalanan sampai akhirnya Celine menemukannya.

"Lah, tadi pulang sekolah gimana?"

"Kayak biasa, Neng. Susi juga ga tau. Tiba-tiba ada yang datang ke rumah, bilang Putri dibawa ke rumah sakit. Ini Susi langsung ke sini mau bawa neng ke sana." Sia menjelaskan dengan susah payah. "Ayo cepat kita ke sana, Neng. Putri ga ada yang jagain. Kasian."

"Bentar, ijin dulu." Dia mengangguk, kemudian berjalan ke belakang menuju ruangan bosnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

Sopan dia mengetuk pintu. "Permisi, Pak. Boleh saya masuk?" Dalam keadaan panik begini pun dia harus tetap tenang saat berhadapan dengan lelaki yang satu ini.

"Kenapa, Lin?" Andre menghentikan kegiatannya mengetik sesuatu di layar komputer. Ada laporan deadline yang harus dia kerjakan secepatnya, sebelum dia sendiri ditegur oleh atasannya.

"Pak, maaf saya ijin lagi." Wajah tulusnya membuat hati Andre luluh. Celine anak baik dan jujur. Jika dia meminta ijin berarti ada sesuatu yang penting yang harus diselesaikan. Andre bukan atasan yang kaku. Hanya sedikit menerapkan kedisiplinan supaya cabang mereka tertib dan minim komplain dari pembeli.

"Kenapa lagi?" Dahinya berkerut penuh tanya.

"Putri kecelakaan. Tabrak lari." Dia tak kuasa menahan isak tangis. Air matanya tumpah. Tak perduli sekalipun terlihat cengeng di mata bosnya.

"Apa?! Di mana Putri sekarang?"

"Sudah di bawa ke rumah sakit, Pak. Tapi, ga ada yang jagain. Elin ga tau gimana di sana." Tubuhnya terguncang-guncang menahan haru. Pikirannya kalut. Dalam keadaan panik begini, tak tahu harus berbuat apa-apa.

"Yaudah ayo saya antar." Andre berinisiatif. Rasa empatinya bekerja di saat-saat seperti ini. Sedikit banyak dia tahu mengenai anak-anak asuh karyawannya ini. Pernah berkunjung ke sana, walaupun tidak hafal nama mereka satu-persatu.

Mereka berdua segera keluar dari ruangan dan berjalan menuju ke depan. Andre menghampiri salah satu karyawan laki-laki yang bertugas di gudang.

"Saya titip cabang sebentar, ya. Saya mau mengantar Elin ke rumah sakit. Ada yang kecelakaan." Dia berpesan. Karyawan yang lain juga  ikut menyaksikan apa yang terjadi sejak tadi. Mereka mengangguk tanda paham. Sudah tau juga masalahnya apa sehingga tidak banyak bertanya.

Bergegas mereka keluar. Andre mengambil kunci mobil. Bertiga dengan Susi mereka menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, berulang kali gadis itu mengusap air mata. Susi membantu menenangkannya.

* * *

"Ini harus segera di operasi, ya. Tulangnya patah." Begitu penjelasan dari dokter yang merawat Putri. Mereka semua berkumpul di ruang Instalasi Gawat Darurat. Nampak Putri mengerang kesakitan. Dia sudah diberikan suntikan pereda nyeri dan antibiotik. Tapi tetap saja terasa sakitnya.

Serentak mereka mengelus dada. Celine, Susi dan Andre. Untuk kemudian saling berpandangan satu dengan yang lain. Bagaimana ini?

"Silahkan tanda tangan di sini sebagai persetujuan dari pihak keluarga. Harus segera ditangani. Bisa berbahaya jika terlalu lama." Bahasa dokter itu lugas sekali. Sangat mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cara menjelaskannya pun halus sehingga mereka dapat menangkap isi pembicaraan.

"Tapi biayanya, Neng?" lirih Susi. Beberapa kali dia melirik ke arah Celine.

"Adik punya asuransi dari pemerintah?" tanya dokter itu.

Celine menggeleng. Untuk makan sehari-sehari saja susah. Bagaimana dia harus membayar asuransi untuk dua puluh orang anak. Bisa bubar di tengah jalan itu panti.

"Kartu kesehatan dari pemerintah mungkin sudah ada?" tanya dokter itu lagi. Sebenarnya tidak tega juga dia melihat keluarga ini. Terlihat tidak mampu.

"Kami ga punya, Pak Dokter." Dia tertunduk lesu. "Rumah panti saya hanya seadanya. Bukan panti besar yang terorganisir," jawabnya.

"Ah, sayang sekali. Begini saja. Ini harus dilakukan tindakan segera. Nanti aaya akan bantu di bagian administrasi." Dokter itu memberikan solusi. Walaupun tidak menangnggung sepenuhnya, paling tidak meringankan biaya berobatnya.

"Terima kasih, Pak Dokter." Dengan cepat tangannya bergerak menanda-tangani berkas-berkas persetujuan untuk melakukan operasi.

Jalan. Putri segera di bawa ke ruang OK. Jika terlambat bisa cacat seumur hidup.

* * *

"Sabar ya, Lin." Siska memeluknya. Gadis itu menangis sesegukan. Mereka masih menunggu di luar. Saat ini operasi sedang berlangsung.

"Ini makan dulu." Andre membawakan makanan. Walaupun galak, tapi jika keadaan seperti ini empatinya cukup besar.

Celine menggeleng.

"Makan, Lin. Nanti kamu sakit. Siapa yang bakal ngurusin Putri." Siska setengah memaksa. Menyodorkan kotak nasi dan air mineral. Mereka tak sempat duduk makan di kantin rumah sakit. Lagipula, uangnya tidak ada.

Celine menyerah. Diambilnya dan segera dia lahap semua makanan dengan cepat. Ternyata, sejak tadi dia lapar. Hanya tidak terasa. Dalam situasi begini, siapa juga bisa berpikir soal makanan.

Andre mengambil tempat duduk di sebelahnya. "Kamu saya beri izin sampai Putri boleh pulang. Tapi, setiap pagi jam delapan dan dan jam lima sore absen, ya. Saya pasti di tanya kalau kamu ga masuk lama." Lelaki itu menepuk bahunya. Tidak tega juga dia kalau begini keadaanya. Bolehlah dia sedikit melonggarkan aturan. Jika terkena sangsi pun dia siap. Ini soal kemanusiaan.

"Baik, Pak." Sambil meminum air dia menjawab ucapan atasannya itu.

"Kerjaan kamu, nanti di-handle sama teman-teman yang lain saja. Kamu cukup absen. Saat ini anakmu lebih penting." Panjang lebar dia berkata.

Gadis mengangguk tanda mengerti. Mengucap syukur atas banyak kebaikan yang telah Tuhan limpahkan kepadanya. Teman-teman yang baik. Atasan yang pengertian. pekerjaan yang bagus. Juga anak-anak, pastinya.

Andre membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah amplop putih, kemudian menyerahkan ke tangan Celine. "Ini ada sedikit dari kami. Tadi, saya ke toko sebentar. Ngumpulin semua anak-anak. Kita sepakat seminggu ini merahasiakan keterangan izin kamu."

Gadis itu menerimanya dengan suka cita. Tak menyangka ternyata teman-teman yang lain ikut perduli akan keadaannya saat ini.

"Ga banyak. Untuk menambah saja. Kamu ngertilah kita juga pas-pasan. Saya bawa mobil juga punya kantor." Lelaki itu tersenyum saat amplop putih itu telah berpindah tangan.

Celine mengangguk, lagi. Memasukkan amplop itu ke dalam tasnya. Mungkin nanti batu dia akan membukanya.

"Saya pulang dulu. Toko ga boleh kosong lama." Lelaki itu berpamitan. Merek bersalaman.

"Aku juga ya, Lin. Maaf ga bisa nemenin kamu lama. Nanti pulang kerja, aku ke sini lagi." Siska ikut berpamitan..Mereka berdua kemudian berjalan menuju keluar.

Tinggallah Celine seorang diri. Susi sudah dimintanya untuk pulang. Tidak mungkin  Bik Onah sanggup mengurusi anak-anak sebanyak itu.  Dia termenung dan memikirkan, emana harus mencari sisa biayanya. Putri sudah di operasi. Selama satu minggu ini masih harus menjalani perawatan. Itu juga belum sepenuhnya pulih. Nanti akan ada lagi operasi kedua, untuk mengangkat pen penyambung tulangnya.

Susahnya menjadi orang yang kurang mampu. Jangankan untuk membayar biaya berobat semahal ini. Untuk bertahan hidup sehari-hari saja mereka berat.

Pintu ruangan terbuka. Tampaklah tubuh mungil itu tergeletak tak berdaya di atas bed pasien dan didorong masuk menuju ke tempat perawatan.

Celine mengikuti iring-iringan itu sampai ke kamar. Beberapa perawat memberikan instruksi, apa-apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan jika nanti Putri sudah siuman.

Dia dengan sabar menunggu sampai anaknya Siuman. Tak lama setelah itu, datanglah seorang perawat yang mengatakan bahwa dia dipanggil untuk menghadap ke ruangan dokter yang tadi telah merawat Putri.

"Begini saja, Dik. Bisa tidak adik minta dari RT atau kelurahan setempat untuk dimintakan surat keterangan tidak mampu. Kami dari rumah sakit akan menggratiskan setengah dari biaya operasinya. Selebihnya tetap bayar ya." Dokter itu berkata dengan tenang setelah selesai operasi.

Celine bersorak girang dalam hati. Tapi, begitu dia melihat total tagihan sementara, seketika wajahnya murung kembali. Setengah harga saja masih kurang banyak. Saldo di rekeningnya juga tak seberapa.

Dia sudah membuka amplop pemberian Pak Andre tadi. Lumayan, ada sekitar lima ratus ribuan. Cukup untuk biaya makan, transport bolak balik selama Putri dirawat. Itu belum biaya yang harus dikeluarkan untuk membelikan tongkat, supaya Putri tetap bisa berjalan.

Celine berjalan lesu saat kembali ke kamar perawatan setelah bertemu dokter tadi. Air matanya kembali mengalir. Sesekali dia mengusap kepala Putri yang sudah tertidur lelap akibat pengaruh obat.

Tuhan, bantulah aku. Niatku tulus dan suci. Tolong, mudahkanlah jalannya.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status