Share

4. Ajakan Jason

Nyatanya ajakan Jason malah menerbitkan tatapan tak suka Mpok Lala padaku.

Aku menanggapi dengan sorot mata tajam pada wanita yang selalu saja berusaha untuk menarik perhatian sahabatku yang memang tampan itu.

Sampai kemudian aku mengajak Jason masuk ke teras dan menyuruhnya menantiku di sana saat aku mempersiapkan diri sebelum berangkat ke bengkel milik sahabat tampanku itu.

Tapi ketika kami melangkah keluar dari rumah Mpok Lala kembali mendekati kami lagi, lebih tepatnya mendekati Jason yang sebenarnya sudah mengabaikannya.

“Mas Jason, nggak mampir dulu, aku udah masak tuh, kalau mau Mas Jason bisa sarapan dulu. Pastinya Mala nggak bakal nawarin kamu sarapan, dia kan emang nggak pernah masak.”

Mpok Lala kembali menyindirku dan tentu saja terus berusaha menggoda Jason, pria muda blasteran Jerman yang memang memiliki tampang di atas rata-rata.

Seenaknya saja dia mengatakan aku tidak pernah memasak. Padahal setiap hari aku selalu memasak untuk Ghara dan Ghana juga bunda. Hanya saja aku memang tak pernah membagi wanita jahil itu masakanku. Aku terlalu sering dibuatnya sakit hati karena kejulidannya.

Tapi aku tak mempedulikan semua sindirannya saat ini, seperti aku juga tak akan pernah peduli pada ketampanan Jason.

Aku selalu enggan memikirkan tentang asmara. Sampai saat ini aku bahkan masih menganggap Jason sebagai seorang anak kecil cengeng yang dulu bahkan sering menangis hanya karena luka kecil di tangannya yang mengeluarkan darah.

“Ayo cepat kita jalan La,” ajak Jason yang hanya memberikan senyuman tipis pada wanita yang jelas-jelas menampakkan rasa tertarik padanya itu.

Tapi Jason benar-benar enggan untuk menanggapi wanita yang kesepian itu.

Jason kian mempercepat langkahnya, membuatku sedikit berlari kecil untuk menyamakan langkah kami, hingga akhirnya kami berhenti di ujung jalan tempat di mana Jason memarkir mobilnya.

Dengan menaiki mobil yang dikendarai Jason kami melesat menuju bengkel mobil dan motor yang selama ini telah dikelola oleh Jason dengan profesional hingga menjadi bengkel besar yang dipercaya.

“Kamu punya tetangga kok suka kepo gitu sih?” keluh Jason ketika kami baru saja turun dari dalam mobil.

Aku melirik tipis dan menyunggingkan senyum.

“Dia keponya sama kamu, bukan sama aku.”

“Kenapa mesti kepo?” Jason mengernyitkan dahi kian menyajikan ketampanannya terlebih matanya yang setajam elang itu mulai memicing agak menyipit.

“Secara kamu kan tampan, jadi dia kepo sama kamu. Kalau kamu wajahnya standar, dia nggak bakalan kepo,” ucapku asal sembari melepaskan ransel yang aku sandang dan mulai bersiap menuju ruang ganti untuk memakai overall, pakaian yang biasanya aku pakai saat bekerja sebagai montir bengkel.

Jason kemudian malah tersenyum lugas sembari memandangku penuh arti, sebelum aku masuk ke dalam ruang ganti.

“Kalau kamu yang bilang aku tampan aku bakal percaya karena aku tahu kamu itu jarang memuji.”

Jason mulai berceletuk kala aku sudah keluar dari ruang ganti.

Aku hanya melirik tipis ke arahnya, setelah itu memilih untuk melangkah menuju area bengkel dan bersiap bekerja.

Jason masih saja mengikutiku, malah memindaiku dengan tatapannya yang intens.

“Apa sebelumnya ada yang bilang ke kamu kalau kamu itu cantik?” ungkap Jason saat ia sudah berada di dekatku yang sedang membuka kap mobil.

Sontak aku melirik tajam padanya, tercenung beberapa saat karena sedikit kaget mendengar pujian Jason yang tak terduga.

Tapi ketika melihat gurat di wajahnya yang menampakkan kecanggungan, kekehan panjangku malah terlontar.

“Kamu bilang apa tadi?” sergahku malah mengunggah sikap tak percaya.

Karena sungguh tingkah Jason pagi ini benar-benar di luar kewajaran. Apa karena suasana bengkel yang masih sepi membuat dia bisa gampang membualkan rayuan yang kaku.

Jason malah beringsut agak jauh, menampakkan kegusaran yang menggelikan di mataku.

“Tidak ada siaran ulang,” sergahnya kesal sembari memajukan bibirnya yang selalu tampak merah dan basah, yang ketika kami kecil dulu bibir itu sering aku cubit karena gemas.

Meski kami sepantaran tapi Jason lebih sering aku jahili bahkan ia sering aku buat menangis saat bermain bersamaku.

“Tapi aku denger kok yang kamu bilang tadi, kamu bilang gue cantik kan?”

“Emang kamu nggak ngerasa cantik? Kamu kan cewek meski kamu itu tomboy kamu itu sebenarnya memiliki wajah yang cantik.”

Aku semakin tak bisa menghentikan tawaku saat mendengar kembali pujian Jason.

Baru pertama kali ini Jason menyebutku cantik padahal selama kami bersama dia lebih sering menyebutku sebagai panci gosong karena memang warna kulitku yang eksotik.

Nyatanya papaku memang keturunan Ambon yang mewariskan warna kulit yang sering aku sebut hitam manis itu. Tapi aku beruntung karena memiliki garis wajah yang menawan dengan hidung mancung dan bentuk muka oval serta memiliki belahan dagu yang ketara dan tak lupakan pula dua lesung pipi yang menarik.

Meski aku bangga Jason akhirnya menyebutku cantik tapi aku tetap saja merasa aneh bahkan geli mendengarnya. Selama ini kami terlalu terbiasa untuk saling meledek dan memberikan sindiran pada fisik dan kebiasaan kami.

“Kamu kesambet apa Jason?”

Aku masih saja mengunggah tawaku.

Sampai kemudian beberapa anak buah Jason berdatangan, rekan-rekanku sesama montir.

Mereka semua menyapaku dengan saling memberikan highfive hingga membuat suasana sangat ramai.

Seketika aku melihat perubahan pada raut muka Jason yang kini memandang dengan raut tidak suka saat melihat kedekatanku dengan para montir lain yang kebanyakan adalah lelaki.

“Sudah, sudah ayo kalian segera bekerja,” sergah Jason dengan kesal membubarkan kerumunan para pekerjanya yang sedang mengelilingiku.

Setelah itu Jason malah memindaiku dengan tajam menampakkan kekesalannya.

 “Kamu Mala, jangan lupa nanti siang kamu juga ada kuliah, jadi kamu harus segera bekerja.”

Jason malah menegurku, benar-benar membuatku kesal.

Meski begitu aku enggan untuk mendebatnya langsung saja melakukan yang diinginkannya, dengan segera melakukan pekerjaanku setelah memakai sarung tangan untuk melindungi kulit tanganku dari belepotan oli.

***

Aku bergegas keluar dari area kampus dan tergesa-gesa mencegat sebuah angkutan umum yang akan mengantarku pulang ke rumah. Aku harus segera pulang karena setiap sore aku harus memasak untuk Ghara dan Ghana yang pastinya sekarang sudah menungguku dengan perut lapar.

Tapi nyatanya saat berada di depan gerbang gedung kampus, Jason dengan mobil jeepnya yang mahal malah datang menjemput.

“Emangnya bengkel udah tutup?” tanyaku saat melihat Jason malah meninggalkan bengkel di jam-jam yang biasanya bengkel masih buka.

Aku langsung menyergapnya dengan pertanyaan spontan ketika melihat lelaki itu sudah berada di depanku.

“Aku sudah menyerahkan pengawasannya pada Bambang,” ucap Jason menyebut seniorku di bengkel yang sudah dijadikan tangan kanannya.

Jason menjawab dengan sangat ringan pertanyaanku, dengan sepasang matanya yang setajam elang itu memindai seluruh diriku yang selalu mengenakan outfit kaos oversize dan celana jeans belel setiap kali datang ke kampus.

“Ayo aku antar kamu pulang, tapi sebelumnya aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”

Aku langsung mengernyit dan menyergapnya dengan tatapan penuh tanya.

“Kamu akan mengajakku ke mana?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status