Hayo, sudah dimasukkan ke rak, kah? Jangan lupa tinggalkan ulasan, ya! Terima kasih, readers ter-luvv.
“Lihat! Gara-gara kamu, Kakek jadi sakit!” omel Sasmara, suaranya berdesis mengisi keheningan ruang keluarga di rumah utama. Bahu Selma bergetar hebat, bahkan tangis membuat tenggorkan gadis itu sulit menjawab tuduhan yang dilayangkan ayahnya. Semua orang yang ada di sana dengan mudah melimpahkan salah padanya, padahal sudah jelas siapa yang lebih pantas dihakimi daripada dirinya. Membuat jantung kakeknya kambuh sama sekali bukan tujuan Selma, tetapi itu semua juga di luar kendalinya. Dokter yang memeriksa Kakek Sagara baru saja pulang. Sekarang, pria tua itu tengah beristirahat di kamar bersama Nenek Sasti. Semua anggota keluarga masih lengkap ada di sana, bahkan Panji mendadak seperti pengangguran dan meninggalkan perusahaannya begitu saja. Entah apa urusan pria itu, tetapi keberadaannya tidak ada yang menolak. Oh, kecuali Selma tentunya. “Pa, sudah. Jangan bikin suasana makin ribut, Ayah masih butuh istirahat,” lerai Azalea. Wanita itu kemudian mengelus pundak putrinya sambil ber
Blam! “Selma!” Mengetahui sepupunya baru tiba, Damar segera menghampiri gadis itu. “Sel!” panggilnya, setengah berteriak. Gadis itu pun menoleh. “Kak Damar ….” Air mata Selma tumpah begitu saja di pelukan Damar. Mungkin para orang tua tidak tahu, tetapi sedalam-dalamnya perasaan tetap saja mereka bisa saling mengerti. Entah Sana sudah kembali atau belum, ia tidak bisa menduga hanya dengan menatap kerisauan di wajah Damar. Damar mengurai dekapannya, lalu menghapus air mata Selma. “Kamu dari mana aja? Aku khawatir, tahu,” lapor pria itu. “Sana mana, Kak? Dia udah pulang?” Enggan menjawab pertanyaan kakaknya, Selma justru mendapat perlakuan serupa dari Damar. Pria itu terlihat tidak memiliki penjelasan lewat ekspresi masamnya. Dilihat dari sisi garasi pun, gadis itu seharusnya tahu bahwa kendaraan yang ditumpangi Sana belum masuk kandang lagi. “Kita ngobrol di dalam aja, Sel,” ajak Damar, bermaksud menuju rumahnya. Setibanya di kamar pria itu, Selma langsung menghambur ke sudut fa
“Gimana, nih? Menjijikkan, itu kaya bukan gue banget.” Selma masih terbayang-bayang testpack temuannya kemarin. Namun, sejijik apa pun itu, tetap harus ia tempuh jika memang bisa menyelamatkannya dari Panji. Tidak apa, toh pada kenyataannya ia masih perawan. Asal perjodohan ini batal dahulu, setelahnya bisa dipikir nanti. “Mbak Selma, saya mau cari makan siang, mau nitip?” tawar Risda, karyawati florist milik Selma. Gadis itu menggeleng, lalu menjawab, “Terima kasih, kamu aja. Ajak yang lainnya makan juga biar saya yang handle di sini, mumpung sepi.” “Baik, Mbak. Saya duluan kalau gitu,” pamit Risda, lalu terlihat menghampiri dua rekannya yang lain. Toko bunga sederhana ini dirintis Selma sejak masih duduk di bangku kuliah, tentu menggunakan uang tabungannya sendiri. Dulu tidak sebesar ini, sekarang sudah cukup untuk menampung aneka jenis warna dan aroma kesukaan gadis itu. Hanya dengan menatap mahkota yang bermekaran, ia dengan mudah menanggalkan beban pikiran. Biasanya semua tr
“Sana?” Mata Selma sampai lupa diajak berkedip, begitu intens menelisik sosok yang mencegatnya di halaman. Dengan mata berkaca, Sana memeluk sepupunya tersebut. “I’m sorry, Sel,” lirihnya. Sejujurnya Selma bingung harus bereaksi seperti apa. Saking terkejutnya, ia sampai lupa mengangkat tangan untuk membalas sepupunya. Pantas beberapa waktu belakangan ia selalu ditolak setiap kali hendak memeluk, ternyata benjolan perut sepupunya itu sudah kentara dan cukup menggelikan. “Selma, kamu marah sama aku?” Sana mengakhiri dekapan, menghapus air mata yang mengalir tipis di pipi tembam miliknya. “Harusnya lo tahu perasaan gue, San.” Air mata Sana sedikit menderas. “Aku minta maaf, Sel,” mohonnya, mengguncang lengan Selma. “Tapi gue lebih marah sama diri sendiri karena nggak bisa marah sama lo.” Kedua ibu jari Selma menyingkirkan air mata Sana. “Are you okay, Dear?” Air mata itu kini berpindah sumber ke pelupuknya sendiri. Ini berat, sangat berat. Definisi pura-pura kuat di depan orang ya
“Aaa … g–gue, gue nggak mau!” Air mata Selma giat membasahi bantal Sana, tangannya geram sekali hingga meremas objek empuk itu dengan penuh luapan emosi. “Sorry, Sel, gue pikir lo udah tahu soal itu.” Sana menggigiti bibirnya, merasa bersalah. “Ngapain lo minta maaf? Justru salah kalau gue tahunya pas udah nikah.” Selma berdiri, membanting bantal yang semula begitu lekat dengan wajahnya. “Ini nggak adil! Gue bakal bikin perhitungan sama itu laki penipu!” Kaki gadis itu brutal menjejaki lantai, untungnya Sana tidak membuntuti. Bruk! Selma bergerak tanpa membawa akal sehat hingga kebablasan menubruk Damar di ruang tengah. Masih dengan energi putus-nyambung, gadis itu memperhatikan penampilan sepupunya yang sudah tidak mengenakan setelan kerja lagi. “Kak Damar mau ke mana?” Seraya mengenakan jaket kulit hitamnya, Damar menjawab, “Nggak ke mana-mana.” “Jangan bohong!” bantah Selma, “Kakak mau ke mana?” tedasnya, dengan tatapan mengintimidasi. “Jangan bilang siapa-siapa.” Pria itu m
Duagh, sruk!“Kurang ajar, kamu!”Kepalan tangan Panji dengan kilat menyasar rahang preman tersebut hingga terhuyung menimpa tubuh mungil Selma. Belum puas sampai di sana, pria itu langsung menarik kaos si preman dan kembali melayangkan sejumlah pukulan. Tidak sendiri, Dafa pun turut membantu. Dua lawan lima, tetapi kubu yang lebih sedikit tidak seperti kekurangan tenaga.Buagh! Dugh! Brak!Selma menyeret kakinya ke tepi jalan, celingukan seraya berharap ada seseorang yang bisa membantu di sana. “Save him, please ….”Bibir Selma melepas permohonan begitu saja, air matanya kian menganak sungai tanpa suara. Gadis itu terduduk lemas beralaskan aspal, menyaksikan pergulatan hebat di depan matanya. Sebrutal apa pun kelakuannya, itu hanya sebatas perangai dan kata-kata. Ingatannya melayang dan menyesali tangan yang lancang menonjok Randi tadi. Ia berusaha menutup mata dan telinga agar bunyi dan aksi kasar yang dilakukan Panji tidak semakin menekan batinnya.“Please, siapa pun, tolongin mere
Panji mengedipkan sebelah mata. “Mau check in sekarang?”Nyali Selma sukses menciut besar, bibirnya mencebik–menahan tangis–menatap seringai di wajah pria itu. Jangan samakan dirinya dengan gadis kecil yang doyan dikencani om-om hidung musang di luar sana, toh ia bisa mendapatkan segala kemewahan tanpa perlu repot keluar-masuk hotel berbintang. Gadis itu tidak bisa mengontrol debaran jantungnya, pun dengan Panji yang semakin mendekatkan wajahnya.Plak!“Ah!” Panji sontak menjauhkan wajahnya dari jangkauan Selma. “Bisa-bisanya tanganmu menampar mukaku! Ini muka yang sudah menyelamatkan kamu, babak-belur ini gara-gara kamu!” cerocos pria itu, sesekali meringis kesakitan.“Om Panji jangan bikin niat baik aku berubah jadi sebaliknya, ya!”“Tcih! Punya niat baik apa, kamu?” tanya Panji, terdengar meremehkan.Selma menoleh jendela, menghindari intimidasi mata Panji. Gadis itu lantas mengatakan, “Nggak jadi, mending aku pulang jalan kaki daripada sampai rumah udah rusak sama Om.”Pria itu ma
“Kalau kamu mau lihat kebenarannya, tunggu besok. Jam tiga sore, bersiaplah.”Kalimat terakhir Panji semalam masih menjadi gangguan tidur yang nyata bagi Selma. Jantungnya berdebar-debar hanya dengan menatap putaran jarum waktu yang sudah berdentang hingga pukul satu lewat lima belas menit. Kurang dari dua jam, ia akan diberitahu sesuatu yang entah apa itu masih dirahasiakan.Tok, tok, tok!“Sel, kamu nggak mau ke luar? Ada yang cari itu, lho!”Pet!Mata yang semula sibuk mengawang-awang bersama panorama langit kamar pun seketika terkatup begitu rapat. Begitulah Selma semenjak pagi, pura-pura tidur setiap kali ada suara yang menginterupsi. Jangankan tidur, baru memejamkan mata saja lamaran Panji langsung membuat benih-benih mimpi berhamburan. Sebelumnya, ia tidak pernah sekosong ini. Dikira malas atau tewas sekalipun Selma tidak peduli, pose cicak mati langsung diperagakan begitu gagang pintu diputar dari luar.“Astaga, Selma! Mau sampai kapan kamu tertidur, dasar pemalas!”Plak! Buag