"Aaaa!" Selma memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya mengobat-abit. Sekian detik kemudian, terdengar pekikan Panji. "Mati saja kau, Gatra!" Pria itu bersiap menyerang musuh meski dengan tangan kosong. "Kamu yang sepantasnya mati!" Gatra beralih mengurusi Panji, mengangkat bangku kecil yang sebelumnya hendak dilemparkan pada Selma. Melihat kegaduhan dua pria itu, Selma berusaha melonggarkan ikat yang membelenggu kaki tangannya. Apalagi melihat Panji kewalahan menghadapi kegilaan Gatra, gadis itu semakin ingin terbebas. "Duh, gimana, nih? Om Panji bisa kalah kalau gitu caranya." Jika tidak ingat waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk memoles wajah, Selma tidak perlu menahan air cengengnya. Brak! Panji bergulung di lantai, beruntungnya bangku itu tidak berhasil mendarat di kepalanya. Dengan napas yang terengah, pria itu menyempatkan diri melirik Selma, memastikan gadis itu tidak mengakami hal buruk. Aman, tetapi ia harus mengulur waktu sebisa mungkin hingga
"Selamat, ya, kalian telah resmi menjadi pasangan suami-istri." Hampa. Bisa-bisanya ia yang baru saja menjadi korban sandera langsung diminta menempati singgasana mempelai tanpa diberi toleransi waktu sedikit pun. Selma menatap pria yang berdiri di sampingnya, tampak tenang seolah tidak memiliki masalah apa pun sebelumnya. "Istri?" lirih Panji, sengaja menyetel suaranya agar didengar Selma seorang. "Bodoh!" kutuk Selma, "Nggak usah ngelawak, nggak lucu," sahutnya, seraya mencebikkan bibir; menahan tangis. Panji merangkul pinggang gadis itu. "Nggak usah nangis, mana ada istrinya Panji tukang mewek," ledek pria itu. Tepat sekali. Lima menit lalu, Selma resmi mencantolkan marga Panji ke dalam nama indahnya. Sepasang mempelai yang berpura-pura bahagia di tengah riuh ratusan tamu undangan itu begitu rapat menyembunyikan inti masalah meski kabar kedatangan sejumlah aparat penegak hukum telah menyebar. Keduanya masih menamatkan wajah anggota keluarga masing-mas
“Tadi aku sudah bilang untuk tidak menangis, ‘kan?” Baik Panji maupun Randi, keduanya sama-sama menenangkan tangis pasangan masing-masing. Entah chemistry jenis apa yang sudah dibangun dua saudara sepersepupuan itu, tampaknya tidak seorang pun berhasil menerjemahkannya. “Hei, masih ada ponsel. Kalian bisa teleponan sampai puas nanti,” hibur Randi, tetapi tidak diindahkan sama sekali oleh dua wanita yang mengumbar air mata tanpa suara itu. “Kenapa mendadak, sih, San?” Selma mengelap ingusnya dengan tisu yang baru diserahkan Panji. “Tega, ya, lo!” decaknya. Sana meraih tangan Selma. “Maaf, Sel. Sebenarnya Kakek sama Papa yang udah siapin ini. Kamu sibuk ngurus pernikahan, makanya aku diam aja, nggak mau bikin kamu drop tiba-tiba,” paparnya. “Nggak! Gue nggak kasih izin buat kalian pergi!” Selma menarik tangannya dari jangkauan Sana. “Sel, come on.” Panji menolehkan wajah gadis itu agar menghadapnya. “Kamu nggak bisa egois kaya gini,” nasehatnya. “Om Panji
"Ayo, bangun!" Panji menuntun lengan Selma, memposisikan gadis itu di sisinya. "Kamu kenal sama perempuan ini?" Masih hening, gadis yang ditanya sibuk menyeka air mata. "Kebangetan, kalau sampai nggak kenal!" sahut wanita berjaket bulu di hadapan mereka. "Gara-gara kamu, anak saya jadi kena masalah!" Wanita itu menuding Selma. Panji menepis telunjuk yang teracung ke wajah istrinya, lalu mengatakan, "Hati-hati, Nyonya. Tangan Anda seperti minta dimutilasi, ya!" Pria itu kemudian mengelus pipi Selma. Air mata yang semula membanjir seolah terserap, Selma menatap wajah teduh yang dipamerkan pria itu. Entah apa maksudnya, tetapi ia merasa nyaman. Pikirannya kacau oleh kharisma kebapakan yang dipamerkan Panji. Gadis itu heran, adakah yang salah dengan debaran jantungnya? "Sudah merasa hebat karena mencampakkan anak saya? Ternyata, seleranya ... tcih!" "Om, kita pergi aja, yuk?" ajak Selma, mulai tidak nyaman karena menjadi perhatian orang lain. "Pergi, sana, yang
"Om nggak tidur?" Selma baru keluar dari kamar mandi, wajahnya lebih segar; sepertinya baru selesai dibasuh. Pria yang tampak punggungnya saja itu kemudian menoleh, air mukanya tampak sayu meski kesan garang masih lekat ditampilkan. Panji menekuk sebelah kakinya ke atas kasur, lalu menepuk bidang yang masih luas itu sembari menatap sang istri. "Tidur duluan, gih. Kamu pasti capek, 'kan?" sahut pria itu. Selma nyengir masam. "Dih, sok tahu!" cibirnya, "Kalau ngantuk tidur aja kali, Om, aku nggak juga bakal ngapa-ngapain sama situ," imbuhnya, disertai lirikan yang seolah menyindir. Entah berapa kali dalam sehari Panji harus menghela napas untuk kelakuan gadis trantum satu itu. Belum genap sehari diperistri saja sudah membuat tangannya mati-matian ditahan agar tidak mengelus dada. Untuk apa ia merasa bersalah jika Selma malah semena-mena? Detik-detik pertama, pria itu masih diam memperhatikan Selma dengan rutinitas kecantikannya. Beberapa waktu selanjutnya, tepat
“Om, kenapa diam aja?” Panji menghela napas terlebih dahulu, lalu menjawab, “Terus, kamu mau aku gimana?” Selma menggigit bibirnya begitu rapat, menahan tawa yang hampir menyembur bebas. Sejak hengkang dari rumah, pria itu memasang wajah sebal. Ia sangat tahu penyebabnya, tetapi tidak merasa bersalah sama sekali. “Jadi mampir apotek, nggak?” Panji menyalakan sein ke kiri. “Beli apa tadi, aku lupa,” katanya. “Ke minimarket aja, Om,” usul Selma, “sekalian beliin pembalut, kayanya aku lupa nggak masukin tas.” Alis Panji terangkat sebelah. “Hah, pembalut?” Suaranya terdengar seperti terkejut daripada pertanyaan. Selma mengangguk begitu saja, lalu dengan sok memelas ia bertanya, “Om Panji nggak mau beliin pembalut buat aku?” Sesaat, pria itu menganalisa mimik aneh di wajah istrinya. Panji ingat, ini adalah pertama kali baginya melihat sisi manja Selma. Apa datang bulan bisa merubah perempuan menjadi seaneh ini? Seumur hidup, tidak pernah sekalipun dir
“Jangan diam aja. Bukannya kamu harus menjelaskan sesuatu?” Panji menunggu, matanya tidak lepas dari gadis yang memilih duduk jauh darinya itu. Beruntunglah ia belum meminta para pekerja rumahnya kembali dari cuti. Mulanya pria itu berniat mengerjai Selma agar mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi sepertinya kepergian para maid memberi manfaat tersendiri untuk sepasang pengantin baru yang dilingkupi aura panas tersebut. “Bukan aku.” Selma senantiasa menundukkan kepalanya. “Tapi, bagaimana bisa wajah kalian begitu mirip?” Pyar! Hamburan foto di pangkuan itu sedikit membuat Selma terjingkat. Ia berani bersumpah jika kegadisannya masih utuh, tetapi sedari tadi air muka hingga kata-kata Panji membuat kemampuan berbicaranya gulung tikar sebelum digelar. “Ak–aku nggak kenal sama cowok itu, Om. Sumpah, bukan aku,” bela Selma, diselingi isakan tertahan. Namun, akhirnya tangis gadis itu pecah juga saking takutnya. “Kalau bukan, kenapa nangis?” Nada tany
“Dis?” Kepala Selma mendusel pada lengan hangat yang tertata di sampingnya, lalu refleks memeluk tubuh si pemilik lengan tersebut. Namun, sepertinya ada yang aneh. Telapak tangannya meraba-raba dada bidang yang menurut bayangannya mirip kepunyaan aktor drama yang kerap ia tonton. Ia tidak mengira tubuh Diska akan sepadat ini. Apa sahabatnya itu rajin mengikuti fitness akhir-akhir ini? “Eumh, ekhem!” Mampus! Selma menelan ludahnya dengan susah, ia ingat siapa pemilik dehaman khas itu. Dengan mata yang senantiasa terpejam, perlahan ia ambil kembali lingkar tangannya. Akan tetapi, sebuah tarikan malah membuatnya semakin merapat. Akhirnya, gadis itu memberanikan diri membuka mata dan bersibobrok dengan pemilik netra gelap yang kini juga tertidur menyamping ke arahnya. “Untuk tidur siang saja kamu pilih menumpang pada ranjang orang lain?” Selma berkedip lambat meski jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. “Om … kok bisa?” Pria itu menggeleng. “Entah, tany