Dokter Andrew bergegas keluar dari ruangannya setelah di beritahu oleh bi Ratih kalau Jayden kembali mengamuk. Dia benar-benar lelah sekali harus menghadapi Jayden yang sekarang sering mengamuk dan membanting barang-barang di dalam kamarnya.
Kakinya melangkah lebar dengan cepat untuk segera pergi ke rumah Jayden. Bi Ratih menjelaskan tadi sewaktu Jayden sedang mengamuk, papanya tuan Andra datang ke kamar Jayden. Dan tanpa di duga, laki-laki paruh baya itu hanya marah-marah saja pada anaknya yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Justru akan membawanya ke rumah sakit jiwa dengan paksa, itu lebih parah lagi rencana orang tua Jayden yang tidak berperasaan."Orang tua aneh, benar-benar aneh. Hanya memikirkan harga diri dan kepentingannya perusahaannya saja. Tidak peduli anaknya sedang sekarat berurusan dengan maut, jika tidak di tangani dengan benar. Maka hancur dan makin terpuruklah itu Jayden." ucap dokter Andrew.Beberapa dokter yang berpapasan dengannya menyapanya, tapi hanya sekilas senyum yang di tampilkan dokter tampan tersebut. Tak ada kata santai di raut wajahnya, dia harus bergegas menuju rumah Jayden. Sampai di mobilnya, ponselnya kembali berdering. Rumah Jayden, langsung saja dokter Andrew menjawab telepon tersebut."Halo bi Ratih? Apa lagi yang di lakukan Jayden?" tanya dokter Andrew."Dokter Andrew, tuan Andra berniat membawa tuan Jayden ke rumah sakit jiwa sore ini." jawab bi Ratih."Apa?! Kenapa bisa?" tanya dokter Andrew di telepon, dia geram sekali dengan papanya Jayden itu.Tidak ada rasa simpati sama sekali dengan anaknya, justru mau membawanya ke rumah sakit jiwa."Iya dokter, tuan Jayden kembali mengamuk tadi. Dia mencari-cari sesuatu dan tidak ketemu, tuan Jayden pasti cari barang itu lagi. Jadi tuan Andra datang dan memarahinya, lalu mengancam lagi membawanya ke rumah sakit jiwa sore ini." kata bi Ratih lagi."Gila tuh orang, kenapa sikapnya sangat sombong sekali. Apa lagi sama anaknya, apa yang di pikirkan oleh laki-laki tua itu tentang Jayden?" ucap dokter Andrew.Sampai di parkiran, dokter Andrew langsung masuk ke dalam mobilnya. Melajukannya cepat agar segera menangani sahabatnya yang sedang butuh bantuannya, dia harus segera bertindak agar Jayden tidak di paksa di bawa ke rumah sakit jiwa oleh ayahnya sendiri."Aku harus mencari orang untuk membantunya melepas kecanduannya pada barang laknat itu." gumam dokter Andrew.Mobil melaju kencang menuju rumah Jayden, hanya dokter Andrew yang peduli pada Jayden. Di tambah kedua pembantunya, satpam dan bi Ratih. Entah keluarganya, papanya? Tuan Andra?Dia hanya mementingkan egonya sebagai orang yang selalu di hormati dan berkedudukan tinggi di kalangannya sendiri. Sejak menikah lagi dengan ibu tiri Jayden, laki-laki itu sudah tidak peduli lagi dengan anaknya. Hanya perusahaan yang dia berikan pada Jayden untuk mengelola dan masa depan Jayden, selebihnya dia tinggal di Amerika dan jarang sekali pulang ke Indonesia untuk menemui anaknya Jayden.Ketika semuanya terjadi begitu saja, Jayden terpuruk dan terjerat barang laknat. Tuan Andra justru lebih banyak tinggal di Amerika dan mengurus keluarga barunya di sana.Setengah jam mobil memasuki rumah elit bertingkat megah. Dokter Andrew memarkirkan mobilnya, dengan cepat dia keluar dari dalam mobil. Berjalan cepat dengan membawa tas kerjanya, tampak terdengar sayup di dalam rumah teriakan bi Ratih mencegah seseorang membawanya pergi.Dokter Andrew tahu itu pasti papanya Jayden, entah sedang apa dia pada anaknya sehingga suara teriakan kecil dari bi Ratih sambil terisak. Dokter Andrew segera naik ke atas, dia benar-benar tidak habis pikir dengan laki-laki tua yang egois itu."Tuan, jangan bawa tuan Jayden ke rumah sakit jiwa. Saya dan dokter Andrew akan mengurusnya sampai dia sembuh tuan Andra." kata bi Ratih di depan kamar Jayden sambil memohon."Sudahlah bi, jangan menahan laki-laki tidak berguna itu untuk tetap di rumah ini. Buat apa aku berikan perusahaan dan juga rumah ini kalau dia sendiri tidak bisa mengurusnya?" tanya tuan Andra.Dokter Andrew masuk, dia melihat tuan Andra berdiri sambil menghubungi seseorang. Entah siapa yang di hubungi."Om Andra." ucap dokter Andrew menatap laki-laki tua itu."Huh, entah apa yang kamu lakukan pada laki-laki tidak berguna itu. Aku percayakan juga dia padamu, tapi kenapa kamu kecolongan sampai dia jadi pecandu barang laknat itu. Apa yang kamu lakukan selama ini?" tanya tuan Andra justru memarahi dokter Andrew, menatap sinis pada laki-laki yang mencoba bersikap tenang."Aku sedang menanganinya om, dia pasti sembuh." kata dokter Andrew."Heh, sembuh? Apa kamu tidak lihat dia sekarang? Dia seperti orang gila, makanya aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa agar bisa di tangani di sana selama dua puluh empat jam. Kamu hanya memberinya suntikan obat saja, tanpa mengawasinya dengan benar." kata tuan Andra lagi."Aku akan mencari seseorang untuk membantu mengawasinya selama dua puluh empat jam. Jika Jayden di bawa ke rumah sakit jiwa, bagaimana bisa dia akan sembuh? Yang ada akan tertekan dan semakin terpuruk, cobalah om Andra di posisi anak om sendiri. Apa tidak merasa kasihan padanya?" tanya dokter Andrew lagi."Aku tidak peduli, aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dan petugas akan datang kesini untuk membawanya segera. Bi Ratih, kamu cepat siapkan barang-barang Jayden untuk di bawa ke rumah sakit." Tuan Andra memerintahkan bi Ratih."Tapi tuan, kasihan tuan Jayden. Biar saya yang mengurusnya dengan dokter Andrew. Jangan bawa tuan Jayden ke rumah sakit jiwa, kasihan sekali." kata bi Ratih memohon pada majikannya itu.Tuan Andra tidak bergeming, dia justru mendengus kasar. Dokter Andrew masih menunggu apa lagi yang akan di lakukan papanya Jayden itu. Dia akan mencoba mencegah laki-laki itu membawa Jayden dan bicara baik-baik."Om, saya yang akan bertanggung jawab pada Jayden. Biarkan Jayden di tangani di rumah ini, aku akan bawa pengasuh untuk mengawasinya. Aku akan cari perawat sekaligus pengasuh yang bisa menangani dia selama dua puluh empat jam. Saya janji om, om percayakan sama saya mengenai Jayden. Dia pasti sembuh." kata dokter Andrew lagi meyakinkan tuan Andra."Kamu seyakin itu? Padahal dia sudah beberapa kali sakau dan sudah di ambang batas kecanduan, sulit untuk sembuh. Kecuali harus di bawa ke rumah sakit jiwa, aku tidak mau terus menerus mengurusi laki-laki tidak berguna itu." kata tuan Andra."Makanya saya yang akan menanganinya om, biar saya yang menjaganya agar bisa sembuh. Tentu dengan pengasuh yang saya rekomendasikan dengan baik." kata dokter Andrew lagi.Tuan Andra diam, dia menatap dokter sahabat anaknya itu. Mendengus kasar dan berbalik, dia menatap Jayden yang sedang tergeletak di ranjang tanpa peduli keributan di depan pintu kamarnya."Oke, aku beri kamu satu bulan untuk menyembuhkan anakku. Jika tidak, aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa secepatnya." kata tuan Andra akhirnya."Satu bulan? Tidak om, menyembuhkan mental dan kesehatan fisik seseorang itu tidak bisa hanya dalam waktu satu bulan, butuh beberapa bulan agar dia bisa kembali normal dan melupakan semuanya yang terburuk terjadi di hidupnya." kata dokter Andrew."Maka dari itu, kamu sanggup tidak dalam satu bulan bisa mengembalikan Jayden seperti semula? Jika gagal, aku yang akan membawanya ke rumah sakit jiwa." kata tuan Andra lagi.Dokter Andrew bingung, entah kenapa itu hanya trik tuan Andra saja agar Jayden masuk rumah sakit jiwa. Tapi dia tidak bisa begitu, dia harus menyelamatkan Jayden."Dua bulan, saya minta dua bulan untuk mengurus Jayden dengan orang yang saya tunjuk om. Om harus realistis untuk masalah kesehatan anak om sendiri, saya akan berusaha semampu saya agar Jayden sembuh dalam dua bulan itu." kata dokter Andrew."Baiklah, aku beri waktu dua bulan. Jika dalam dua bulan itu dia masih saja membangkang atas perintahku, maka dia akan saya kirim langsung ke tempat asing." ucap tuan Andra."Apa om?""Ke tempat di mana para zombie pecandu narkoba berada. Di kota Philadelpia.""Om Andra!"__********Jayden masuk ke dalam mobil, rasanya sudah cukup dia menghormati papanya kali ini. Mungkin kedatangan papanya hanya ingin memastikan keadaan perusahaannya, bukan untuk menemuinya dan merestui pernikahannya dengan Inayah. Laki-laki itu langsung pulang ingin menemui istrinya, tiba-tiba merasa rindu dengan Inayah.Mobil di belokkan menuju rumahnya dengan cepat. Dia ingin cepat-cepat sampai di rumah dan memeluk Inayah, dan tak lama mobil sudah memasuki halaman rumahnya. Satpam Beni heran dengan bosnya yang masuk dengan cepat sekali. Langsung keluar dari mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam rumah."Tuan Jayden, anda pulang?" tanya bi Ratih."Inayah kemana?" tanya Jayden tidak sabar ingin menemui istrinya."Nyonya keluar tuan, tapi katanya sih sebentar," jawab bi Ratih."Mau apa keluar? Apa dia ingin membeli sesuatu?" tanya Jayden lagi."Entah, tapi katanya mau ke minimarket di seberang jalan itu, saya meminta saya saja yang beli tapi nyonya menolaknya," jawab bi Ratih lagi."Ya sudah, m
Inayah turun ke bawah, dia melangkah menuju ruang makan. Di mana suaminya sedang mengobrol dengan bi Ratih, perempuan itu sudah mengira kalau bi Ratih pasti akan memberitahu suaminya mengenai mertuanya yang datang dan menghinanya. Langkah Inayah terhenti sejenak, menarik napas panjang. Matanya melihat wajah Jayden yang terlihat marah, tentu marah pada papanya yang telah menghinanya tadi pagi.Perempuan itu mendekat, senyumannya mengembang. Di tariknya kursi di depan suaminya, bi Ratih pergi ke dapur. Jayden menatap istrinya yang tampak biasa saja wajahnya, dia memegang tangan Inayah kemudian menciumnya."Maafkan aku sayang," ucap Jayden."Minta maaf soal apa? Apa kamu punya salah sama aku?" tanya Inayah mengambil nasi dan di masukkan ke dalam piring suaminya."Soal papa, tadi bi Ratih cerita kalau papa menemuimu dan berkata tidak enak sama kamu," kata Jayden."Oh, itu. Tidak masalah, wajar saja kan seorang tua yang menginginkan anaknya bersanding dengan perempuan yang sepadan. Sedangk
Inayah masih diam dengan ucapan mertuanya itu. Sejak Jayden melamarnya beberapa kali, dia mempertimbangkan papa mertuanya itu. Dan benar saja kenyataannya dia di hina oleh laki-laki yang tidak pernah peduli dengan suaminya. Ingin rasanya dia menjawab, tapi dia masih memiliki tata krama sebagai seorang menantu.Setelah beberapa kalimat yang di ucapkan pada Inayah, tuan Andra pun akhirnya diam. Dia menatap dingin pada Inayah yang sedang menunduk itu."Sebaiknya kamu pikirkan pergi dari kehidupan anakku. Kamu tidak pantas menjadi istrinya," kata tuan Andra membuat Inayah dan bi Ratih terkejut dengan ucapan laki-laki tua tersebut."Maafkan saya pap, saya ...""Jangan menganggapku sebagai mertua! Aku tidak sudi menganggapmu menantu!" ucap tuan Andra.Inayah diam lagi, dia menatap nanar pada mertuanya yang terlihat kesal padanya. Bukan hanya kesal tepatnya, tapi juga sinis dan merendahkan dirinya. Bi Ratih juga hanya diam saja, dia merasa kasihan pada Inayah. Entah apa yang membuat tuan And
Inayah kini sudah tinggal lagi di rumah Jayden yang besar itu. Bi Ratih sangat senang akhirnya Inayah kembali lagi di rumah itu dengan status yang berbeda, sebagai istri dari tuannya.Sudah satu minggu setelah pernikahan itu, Inayah masih canggung berada di rumah itu lagi. Meski dia pernah hampir dua bulan tinggal di rumah itu. Kini dia sedang menyiapkan baju untuk suaminya yang siap bekerja kembali setelah lima hari cuti karena menikah. Masih bingung apa yang harus dia pilih, karena belum tahu selera suaminya.Inayah sedang memilih baju yang berderet menggantung di lemari. Jayden yang sudah selesai mandi, berdiri di tengah pintu memperhatikan istrinya yang bingung memilih baju untuknya. Jayden pun mendekat berdiri di belakang Inayah, kedua tangan kekarnya melingkar di perutnya. Membuat perempuan itu terkejut."Kamu kenapa diam saja, hemm?" tanya Jayden dengan kepala di pundak istrinya."Eh, sudah selesai mandi?" Inayah berusaha melepas pelukan suaminya, tapi Jayden malah mempererat p
Inayah gugup sekali malam ini, dia masih belum berani melepas mukenahnya. Masih duduk di sofa, karena memang dia tidak ada baju ganti. Jayden masih menelepon seusai sholat berjamaah dengan Inayah, sesekali dia melirik pada istrinya yang masih diam di sofa. Bibirnya menyungging, merasa gemas juga dengan tingkah Inayah masih memakai mukenah."Oke, nanti aku kabari selanjutnya," kata Jayden mengakhiri sambungan teleponnya.Dia meletakkan ponselnya di atas meja, menghampiri istrinya yang sedang gugup di sofa. Dia duduk di samping Inayah, menggelayutkan tangannya di lengan gadis itu. Tentu saja Inayah kaget dan semakin gugup, dia berusaha melepas tangan suaminya di lengannya. Tapi Jayden malah mencengkeram pundak di sebelahnya, wajahnya sangat dekat dengan wajah Inayah."Kenapa? Kamu kok seperti sungkan," tanya Jayden, matanya menelusuri wajah mulus tanpa make up itu."Bukan begitu, apa ini harus terjadi sekarang?" tanya Inayah tidak berani menoleh ke arah suaminya yang semakin dekat wajah
Acara resepsi telah selesai, kini mempelai pengantin sudah berada di kamar hotel yang sengaja di sewa untuk tiga hari. Kamar yang di rancang khusus untuk pengantin pada umumnya, sangat indah di taburi bunga mawar merah di atas ranjang. Setiap kamar di hias juga dengan bunga-bunga mawar merah dan putih.Awalnya Inayah kaget dengan kamar yang di hiasi oleh bunga-bunga itu, dia menatap sekeliling kamar sendirian. Karena Jayden hanya mengantarnya saja di kamar pengantin lalu pergi lagi karena ada tamu yang terlambat datang."Kamu di sini dulu ya, nanti aku kembali lagi," kata Jayden pada istrinya.Mengecup keningnya sebelum pergi, Inayah hanya diam saja. Sesungguhnya, dia masih gelisah karena mertuanya tidak datang ke acara pesta itu. Meski dia sudah di beritahu oleh Jayden, tapi entah kenapa dia merasa papanya Jayden memang sengaja tidak datang ke pesta pernikahan atau menghadiri pengucapan ijab kabul itu."Jika dia perempuan, mana boleh menikah tanpa restu orang tua. Apa lagi harus ada