Share

03

Liza kehilangan akal sesaat karena Mamanya, bisa-bisanya jatuh cinta segampang itu.

“Ah tapi, ya, tentu saja. Ini kan ‘Mama’?” Pikirnya kemudian

Padahal sampai akhir hayat Liza pun harusnya dia sadar, karena masih melihat bagaimana Mamanya begitu mencintai Papa. Hati kecil Liza-Rani berharap agar Papanya ada di sini dan hadir untuk memeluknya. Liza berharap punya seseorang untuk berbagi cerita tentang permasalahan yang dia hadapi selama ini.

Dulu sebelum Ayah meninggal, ia memanggil orang tuanya dengan sebutan Ayah dan Ibu. Tetapi setelah Ibu menikah lagi, suami barunya meminta Liza untuk memanggil mereka dengan sebutan Papa dan Mama. Gadis itu agak sedikit meragukan ingatannya sendiri, mengenai bagaimana dulu dia mau mau saja menuruti permintaan Papanya. Tetapi satu hal pasti, Papanya adalah pria yang brengsek.

Bel pulang sekolah berbunyi, Liza pun memilih untuk pulang naik angkot seperti tadi pagi. Tetapi masalahnya saat pergi sekolah dia tidak memperhatikan jalan karena terlalu sibuk memikirkan hal lain. Meskipun Liza sudah tahu bagaimana caranya naik angkot, tetapi dia masih belum tahu persis di mana dia harus turun. Untung saja Randi melihatnya yang kebingungan di gerbang sekolah, kemudian mengajak dia untuk pulang bersama. Tetapi tidak, Liza tidak yakin ini adalah hal yang sebaiknya harus dia syukuri atau sesali.

Anak ini berniat untuk ikut pulang dan mampir ke rumah.

***

“Aku pulaang! Ibuuu?” Panggil Liza ketika sampai di rumah.

“Kamu kenapa masih di sini? Katanya rumah kamu dekat, tinggal jalan kaki, kan, dari sini?” Liza menahan Randi yang sudah hampir menjejakkan kaki di rumahnya tanpa sungkan.

“Ya mau mampir dulu, emang nggak boleh?”

“Enggak lah, Ibu sama Bapak kalau tahu nanti bisa gawat, kan?”

“Gawat kenapa?”

“Permisiiiii!” Randi berteriak dari depan rumah. Dia membuka sepatu dan langsung saja menyelonong masuk. Astaga dari mana dia belajar sopan santun di dunia ini. Liza sendiri tidak terlalu yakin dengan orang tua Mama, sebab dari yang dia dengar, pacaran di zaman ini merupakan hal yang tabu. Kebanyakan orang tua melarang anak perempuannya untuk berhubungan dengan laki-laki hingga dewasa. Tetapi saat sudah sampai usia menikah, mereka malah cenderung memaksa anaknya untuk cepat cari pasangan. Bagaimana bisa?

“Randi tidak mungkin ribut dengan Bapak, kan?” pikir Liza menenangkan diri. Dia tidak tahu apa mungkin kalau Bapak-Kakeknya adalah orang yang emosinya mudah tersulut kalau tahu anaknya sudah berpacaran.

“Bapak sudah tahu belum, ya, kalau Mama sudah punya pacar?”

“Eh gawat! aku belum mau sampai dikira ada KDRT di dalam rumah.”

“Randi tunggu! Kayaknya nggak usah deh—!”

“Randi tahan bentar! Om mau ambil ban bekasnya dulu untuk ikat pipanya!”

“Sip, Om!”

Liza terkejut lalu mengerjapkan mata dan menggeleng tak percaya. Dia bingung menemukan Randi dan Bapaknya akrab bukan main, seperti anak SMK yang sedang seru praktek sambil diawasi guru magang yang cantik.

“Ah anuuu, Pakk? Bapakkk?”

“Hah apa? Ibu sudah masak tadi, kamu makan aja dulu. Randinya bapak pinjam sebentar. Habis perbaiki pompa, kami mau mandiin burung. Udah lama dia nya nggak main ke sini.”

“Uwaah, nggak di sangka? Randi aneh aneh budiman anaknya?”

“Eh tunggu kenapa aku memujinya?”

“Soalnya ini, kan... Papa...” Liza kembali membatin seperti biasanya

***

Mereka berdua memang benar-benar menikmati waktu berdua seperti sahabat karib yang sudah lama tidak berjumpa. Bapak juga tidak mau penasaran soal apa yang anaknya lakukan di hari pertama sekolah. Sebenarnya Liza tidak terlalu menantikan hal itu, hanya saja cukup aneh kalau seorang Bapak terlalu dekat dengan pacar anaknya sendiri. Tetapi meskipun Randi (atau Papa) adalah pacarnya (dan Mama), Liza tidak menaruh perasaan sama sekali kepadanya. Jangankan suka, menganggapnya sebagai laki-laki pun aku tidak.

“Apa jangan-jangan ini efek karena aku merasa kalau dia adalah Papa, ya?”

Setelah satu jam berkutat dengan mesin pompa dan pipa-pipa yang memusingkan, Bapak memutuskan untuk menyerah saja. Bapak bilang pompanya sudah terlalu tua, tidak kuat untuk menarik air lagi. “Besok pagi Bapak mau beli pompa baru, terus sementara kamu ndak usah mandi dulu.” Tambahnya lagi.

“Haah? Mana bisa, Pak?” Balas Liza menolak dengan tegas. Dia tidak berani pergi sekolah tanpa mandi, apalagi seharian penuh. Bagi Liza semester awal adalah waktu yang krusial untuk membangun image. Dia tidak ingin sampai dikenal sebagai cewek bau pemalas yang tidak pernah mandi. Walaupun sepertinya citra dirinya sudah jelek duluan karena kejadian waktu SMP yang diceritakan Joko.

“Haduuh.... Yowess kamu mandi di rumah Randi aja.”

“Ihh nggak lah, Pak. Bapak bukannya ngelarang aku main ke rumah cowok malah nyuruh aku mandi di sana. Serem, pak!” Katanya membantah saran Bapak.

“Aku mau numpang mandi di rumah tetangga aja.” Tambah Liza lagi. Dia mencari Ibu untuk bertanya soal nama tetangga di samping. Sepertinya Mamanya bukan orang yang suka bersosialisasi, atau memang pelupa, sampai  Liza yang bertanya nama tetangga sendiri pun tidak dianggap aneh.

Liza membawa peralatan mandi dan handuk kemudian berangkat ke rumah tetangga di samping. Randi yang sudah selesai mengobrol dengan Bapak sepertinya juga akan langsung pulang.

“Sampai jumpa besok, ya, Za?”

“Ya.” Jawab Liza singkat.

Malam pun tiba, Liza memeriksa lagi isi kamar Mama yang cukup rapi itu. Ada banyak barang-barang yang menarik perhatian gadis itu di dalamnya, tetapi yang paling membuatnya penasaran adalah kotak cokelat dengan gembok kecil yang disembunyikan di belakang tumpukan baju di dalam lemari. Secara teknis Rani adalah Liza, Mamanya, membuatnya beranggapan kalau dia masih dianggap boleh membuka kotak itu.

Atau tidak?

Tapi sayang, Liza tidak bisa menemukan kunci untuk membuka kotak itu. Meskipun sudah ia cari di toples tabungan koin, di balik bingkai foto, atau di antara pembatas buku. Liza kemudian menyerah, dia sepertinya berpikir untuk lebih baik belajar ulang mengenai materi SMA. Membangun image sebagai siswi teladan sepertinya bukan lah pilihan yang buruk untuk dicoba.

Keesokan harinya, Bapak sudah mengganti pompa air yang rusak kemarin. Liza sedikit penasaran apakah ada toko bangunan atau elektronik yang buka sebelum pukul lima tiga puluh. Dia bahkan curiga kalau bapak menggedor salah satu rumah pemilik toko perkakas dan memaksa mereka membuka toko lebih awal. Yah dari penampilan bapak yang besar dengan kumis lebat, Liza sendiri juga takut pada awalnya. Berpikir kalau Bapak memerankan tokoh antagonis yang suka main tangan kepada istri dan anak-anaknya.

“Oh iya aku baru sadar. Mama punya saudara, nggak, sih?” Gumamnya sambil keramas saat mandi pagi.

Liza keluar dari kamar mandi dengan mulut menganga lebar. Dia hampir saja menabrak seorang laki-laki berusia dua puluhan tahun awal yang sedang berdiri persis di depan pintu.

“Mandi kebo.” Sahut laki-laki itu tiba-tiba

“Haaah? Apa-apaan dia ini? Lagi pula bagaimana dia bisa masuk? Tamu? Ah tidak mungkin, tidak biasanya tamu bisa sesantai itu bicara dengan anak tuan rumah. Ternyata benar, pastinya. Dia jelas-jelas orang mesum, penguntit, pedofil!” Rentetan kesimpulan berantai yang asal-asalan tiba-tiba muncul di pikiran Liza

“MALIIING!” gadis itu berteriak di depan wajah laki-laki tadi dan segera kabur ke kamar. Tidak sengaja dia juga mendorongnya hingga terjatuh ke samping. Sekelebat Liza melihat Bapak tiba-tiba masuk dari pintu depan membawa celurit.

“MANA MALINGNYA!?” Teriak Bapaknya pula.

“Di kamar mandi, Pak!”        

Liza segera menutup pintu dan berkemul di balik selimut. Kemudian dia mendengar suara Bapak yang kesal seperti habis dikerjai.

“Walah Liza oon. Ya Gustiii! Abang sendiri kok bisa dipanggil maling? Bapak udah on-payer (baca: on fire) padahal.”

“Haah? Abang? Kakak laki-laki? Orang itu? Omong-omong sepertinya ada istilah asing yang tadi sempat bapak sebutkan. Habis belajar dari mana ya orang tua itu?”

“Za, pinjem gunting.”

Liza yang baru saja berdiri dari kasur dan menghadap ke pintu masuk terpaksa melompat ke belakang karena terkejutnya. Di dunia sebelumnya Liza-Rani hanyalah seorang anak tunggal, sempat masuk sekolah khusus putri pula sejak SMP, lingkungan kerja Rani juga hampir semuanya diisi perempuan. Rani pernah mendapat kenangan mengerikan dari Papa yang merupakan laki-laki, juga dicampakkan oleh mantan pacarnya, yang notabene laki-laki juga.

“Teruntuk abang-kakak laki-laki atau pamanku, aku pikir kita butuh waktu yang sangat lama dari yang mampu kamu perkirakan untuk kira-kira, bisa akur.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status