Share

Bab 4

Author: Gesha
last update Last Updated: 2021-08-12 15:10:22

Patrick menyingsingkan lengan bajunya, menampilkan otot lengan yang ramping namun berisi. “Aku yang kerjakan malam ini.”

“Celemek.”

Alexandra berjinjit mengambil celemek yang tergantung di rak, membuka lipatannya, dan mendekat. “Bajumu putih. Kalau kena minyak, susah hilang.”

Patrick hanya melirik sekilas, kemudian membalikkan badan agar Alexandra bisa memakaikannya.

Celemek itu sedikit kekecilan untuk tubuh Patrick yang tinggi. Pemandangan pria sedingin dirinya memakai celemek warna pastel itu—anehnya—terlihat kontras sekaligus menggemaskan. Sesuatu yang tak pernah diakui Patrick, dan tak akan pernah berani dikatakan Alexandra.

Karena tak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan, Alexandra bersandar di ambang pintu dapur, memperhatikan pria itu yang sibuk menata sayuran. Gerakannya cepat, rapi, teratur—bahkan pekerjaan rumah tangga pun terlihat berkelas jika Patrick yang mengerjakannya.

“Kenapa kamu pulang hari ini?” tanya Alexandra pelan.

Sesuai perjanjian, Patrick wajib pulang setiap hari Minggu kecuali ada perjalanan bisnis. Tapi ia sudah pulang kemarin. Biasanya itu berarti… hari ini ia tak akan kembali.

Patrick tidak menoleh. Suaranya datar, stabil. “Hari ini hari Minggu.”

“Oh.”

Alexandra menurunkan pandangannya. Suaranya meredup seperti lampu yang hampir padam.

Tentu saja. Jika bukan karena kontrak, lelaki itu bahkan tidak akan menginjak rumah ini.

“Pagi tadi kamu menelepon?” Patrick membuka pembicaraan lagi. “Asistenku bilang seseorang mencariku. Ketika kulihat daftar panggilan… ternyata kamu.”

Asisten?

Asisten mana yang memanggil bosnya dengan nada akrab seperti ‘Kak Patrick’?

Alexandra menahan diri agar suaranya tetap stabil. “Aku hanya ingin memastikan… apakah kamu akan pulang.”

Ia tidak bertanya, ‘Kenapa kamu tidak menyimpan nomorku?’

Tidak berani. Tidak ingin mendengar jawaban yang mungkin meremukkan hatinya.

Ia berbalik meninggalkan dapur, kembali ke ruang tamu.


Alexandra membuka internet sekadar mengalihkan pikiran. Namun pikirannya kacau, membuat jarinya tanpa sadar mengetikkan sesuatu di G****e.

Saat sadar, layar ponsel menampilkan deretan kalimat yang menyakitkan:

“Mengapa suami tidak menyimpan nomor istrinya?”
“Asisten suami memanggilnya dengan akrab—apakah itu perselingkuhan?”
“Kumpulkan bukti sebelum bercerai, agar mendapat bagian lebih besar.”

Alexandra menatap layar itu lama.

Kemudian ia tertawa kecil… dan langsung terasa perih.


Patrick keluar dari dapur, membawa dua piring makanan sederhana namun tampak lezat. “Ayo makan.”

“Oke.” Alexandra buru-buru mematikan ponselnya.

Seperti biasa, makan malam sunyi.

Seperti biasa, Alexandra sesekali menatap Patrick dengan sorot mata yang rumit.

Seperti biasa, Patrick tidak berkata apa-apa.

Setelah selesai, Patrick otomatis mencuci piring, sebelum kembali ke kamar. Rutinitas tanpa kehangatan.


Ponsel Patrick tergeletak di meja samping tempat tidur.

Alexandra menatap benda itu lama. Terlalu lama.

Pada akhirnya… rasa sakit mengalahkan rasionalitas. Ia mengambil ponsel itu perlahan, seolah takut benda itu akan menjerit.

Ia tahu kata sandinya. Ia pernah menggunakannya untuk mengambil gambar.

Dan ketika layar terbuka, jantungnya berdegup jauh lebih keras daripada yang ia inginkan.

Email—hanya pekerjaan.

Foto—hanya dokumen dan jadwal.

Catatan—berisi list rapat dan tujuan perjalanan.

Hampir kosong.

Patrick selalu rapi. Terlalu rapi.

Hingga akhirnya…

W******p.

Satu pesan yang sudah dibaca.

Graciella??

Nama itu menusuk seperti jarum halus, perlahan namun pasti.

Asistennya?

Wanita lain?

Atau sekadar kolega?

Alexandra tak mengerti apa yang ia rasakan. Cemburu? Takut? Atau hanya lelah? Ia menutup ponsel itu dan meletakkannya kembali.

Patrick sedang merapikan selimut ketika Alexandra mendekatinya dari belakang. Entah kenapa, ia ingin menyentuhnya. Hanya ingin merasa… ada sesuatu di antara mereka.

Ia melingkarkan tangan ke pinggang Patrick.

Namun detik berikutnya, tangan itu ditarik pelan. Patrick menjauh selangkah, menjaga jarak.

Perihnya tidak keras.

Justru lembut.

Namun menghancurkan.

Tadi malam—Patrick sangat menginginkannya. Tanpa henti.

Hari ini—pelukan pun tidak diizinkan.

Apakah hubungan mereka… hanya selembar kontrak dan kebutuhan fisik Patrick?

Alexandra merasa dadanya mengencang. Mungkin, setelah urusan ayahnya selesai… ia akan meminta cerai lebih dulu.

Menunggu empat tahun sudah terlalu melelahkan.

Patrick masuk ke kamar mandi, mandi, dan tidur tanpa berkata apa pun.

Ketika Alexandra kembali dengan masker wajah… ia melihat punggung Patrick.

Lurus.

Dingin.

Jauh.

Seakan ada gunung besar di antara mereka—tak bisa dilompati, tak bisa dipanjat.

Dan ia berdiri di lereng paling jauh, menatap punggung pria yang tak pernah menjadi miliknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraian Suami yang Angkuh   Bab 120

    Dia mengangkat telepon, menggerakkan jari Xiubai beberapa kali secara acak, lalu mengarahkan layar ke arahnya, lalu berkata perlahan: “Jika Anda memberi tahu orang-orang bahwa Longteng berperingkat hari ini di industri dengan menjual kulitnya, saya tidak tidak tahu. Apakah seluruh orang Longteng akan mengejarmu? Jika mereka memberi tahu karyawan Longteng bahwa sekretaris Graciella yang mereka kagumi sangat lapar, saya tidak tahu apakah mereka merasa mual dan mual, dan Patrick… meskipun dia tidak tertarik pada Anda, video semacam ini akan mencemari mata Anda, Kanan?"Ketika Graciella di seberang melihat video itu, darahnya tiba-tiba melonjak, membuat matanya menjadi gelap.Dengan nada santai Alexandra, wajahnya berangsur-angsur menjadi pucat dan ketakutan, dan itu luar biasa. Itu bisa diungkapkan oleh ketidakberwarnaan wajahnya. Matanya hampir robek. Dia mengertakkan gigi dan bergegas ke depan untuk merebut. Ponselnya."Kamu, kamu ... kapan kamu mengambilnya."Alexandra menghindari den

  • Perceraian Suami yang Angkuh   Bab 119

    Seseorang memotret Mu Ming dan menggelengkan kepalanya, "Oke, jangan menggoda Sister Alexandra."Alexandra kaget, menatap mereka berdua dengan bingung, "Apa?"Herman melirik Mu Ming dan menjelaskan sambil tersenyum, "Ketika kamu pergi, dia membantu Henry Zong, dan dia dikoreksi oleh Tuan Henry sebelumnya."“…”Alexandra diam selama dua detik, lalu menatapnya dengan heran.Mu Ming mundur dengan malu-malu, dan berkata dengan kaku: "Alexandra, Sister Alexandra, dengarkan aku untuk menjelaskan ... Sebenarnya aku ..."Sebelum dia selesai berbicara, Alexandra menepuk pundaknya dan memujinya tanpa ragu: “Kerja bagus! Seperti yang diharapkan, saya membawanya keluar.”Dia benar-benar bahagia untuknya.Bagaimanapun, kerja keras di tempat kerja belum tentu menghasilkan keuntungan, tetapi bersamanya, dia masih berharap untuk melihat bahwa kerja keras dan keuntungan bisa proporsional.Mu Ming ditampar oleh tamparannya. Dia lucu seperti husky. Dia pulih dan tersenyum malu. “Itu semua adalah pujian

  • Perceraian Suami yang Angkuh   Bab 118

    Untungnya, itu hanya di komunitas yang sama, tidak bertatap muka, kalau tidak dia akan benar-benar berbalik dan pergi.Alexandra mendengar bahwa tim yang bergerak itu milik Kompi Yanke. Setelah membersihkan rumah, dia menarik orang-orang itu ke samping dan bertanya, “Tuan. Patrick dan Tuan Patrick juga telah kembali ke Jincheng. Apakah tugas yang diberikan oleh bos Anda telah berakhir? Membantu saya untuk hari lain, bagaimana kalau saya mengundang Anda untuk makan bersama?Dia telah menerima bantuan dari orang lain, jadi dia tidak bisa menerimanya dengan mudah, tapi dia pasti tidak akan meminta uang.Ekspresi Yan Kefa tidak banyak tersenyum, tetapi dia menggelengkan kepalanya dengan sopan, “Tidak, mereka hanya saya di sini untuk membantu, dan mereka akan pergi sebentar lagi. Ketika tugas saya jatuh tempo, saya belum menerima pemberitahuan dari bos, jadi… … Nona Alexandra tidak akan mengundang makan ini.”Alexandra, “…”Apa-apaan?“Tidak, tidak, bagaimana mungkin itu tidak kedaluwarsa?

  • Perceraian Suami yang Angkuh   Bab 117

    Senyum muncul di mata Patrick, dengan aroma belaian, dan tidak berkata apa-apa, hanya meletakkan sumpit di tangannya, dan menunjuk ke karakter besar di dinding kiri."Sayang sekali untuk disia-siakan."“…”Alexandra sedikit kesal dan berkata, "Patrick, aku menyalahkanmu, kenapa kamu tidak mengingatkanku sekarang."Meski jelas tidak masuk akal membuat masalah, setelah makan mie ini, keduanya berhenti tidur di malam hari.Suara pria itu rendah dan lembut, seolah menyentuh hati sanubarinya, “Kamu yang memesan ini. Aku pikir kamu lapar.”Alexandra, “…”Dia berhenti berbicara, dia berhenti berbicara dengannya.Dia benar-benar buta sebelumnya. Apakah pria berperut hitam ini benar-benar pria yang tidak mengatakan sepatah kata pun setelah tiga tahun menikah dengannya?Dia marah, tapi dia tetap mengikutinya untuk makan dengan sumpit.Semangkuk mie, mereka berdua makan bersama, dan ketika mereka menundukkan kepala, mereka hampir menyeka wajahnya ketika bibirnya terangkat.Jantung Alexandra melo

  • Perceraian Suami yang Angkuh   Bab 116

    Menatap warna piring makan, ekspresinya samar, dan dia tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Hanya setelah dia selesai, dia mengangkat matanya dan tersenyum padanya dengan acuh tak acuh, "Patrick selalu memahami temperamennya, dan aku, aku tidak ingin terlalu peduli, aku ingin lebih tahu apa yang dia pikirkan."Jangan menganiaya, memaksa, atau mempermalukannya, tunggu dia muncul saat dia membutuhkannya, beri tahu dia bahwa dia masih ada, dan dia yakin dia akan melihatnya.Patrick meliriknya, lalu sedikit mengernyit.Tidak diragukan lagi, apa yang dikatakannya tidak asin atau acuh tak acuh, tetapi tetap terlintas di hati pria itu, dan itu mengingatkannya pada kata-kata Helena hari itu.Hatinya ... apa yang dia pikirkan lagi?Apa yang dia inginkan yang tidak bisa dia berikan?Dia menyimpan pertanyaan ini di dalam hatinya. Dia akan memikirkannya ketika dia melihat Alexandra. Dia ingin bertanya, tetapi dia tidak menemukan kesempatan yang tepat.…Di rumah sakit, Alexandra terbangun se

  • Perceraian Suami yang Angkuh   Bab 115

    Seolah merasakan sesuatu, Alexandra tanpa sadar menoleh dan melihat ke kejauhan, tetapi tidak melihat apa-apa.Matanya memadat, dan wajah Patrick tiba-tiba muncul di benaknya.Apakah dia kembali ke Jincheng hari ini?Namun sesaat kemudian dia terbangun dan terus menatap pintu ruang operasi.Tidak masalah ke mana dia suka pergi.Baru pada pukul empat sore operasi itu selesai. Lampu di ruang operasi padam, dan Alexandra serta Ibu Alexandra buru-buru bangun dan berjalan mendekat.Melihat dokter keluar, dia segera bertanya, “Dokter, bagaimana kabar ayah saya?”Dokter melepas topengnya, menarik napas, dan berkata dengan suara rendah: “Ruang operasi berhasil, tetapi apakah bisa pulih sepenuhnya atau tidak dapat dinilai setelah bangun tidur. Di penjara, rumah sakit akan memberikan sertifikat dan Anda akan menyerahkannya. Tunggu keputusan di sana.”Alexandra mengangguk penuh terima kasih, "Terima kasih dokter."Ibu Alexandra juga sangat bersemangat, dan akhirnya bisa menghela nafas lega, menj

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status