"Tidak, Pak. Saya tidak terima, saya dijebak sama istri sendiri. Saya difitnah, Pak!" teriak Mas Arfan."Hei ... Pak. Anda bisa sopan sedikit, ini rumah orang lain bukan rumah Anda!" hardik seseorang, membuat semua orang yang ada di ruangan tamu rumah Pak Weri terkesiap. Aku pun juga terkejut mendengar hardikkan itu apalagi bentakkan lelaki yang aku tidak tahu siapa orangnya tepat berada di belakangku, suara laki-laki tersebut lebih menggelegar dari Pak Terno."Harusnya Anda bersyukur, Pak Arfan. Kalau saja di antara kami tidak membawa Anda ke sini, saya tidak tahu Anda akan menjadi seperti apa. Jadi, tolong, bersikaplah yang sopan," tutur Pak Weri dengan nada suara standar.Aku menghela napas pelan, terus beristighfar di dalam hati. Berdoa semoga Allah berikan kekuatan tenaga, mental, dan bathinku. Aku tidak ingin tumbang lagi, apalagi di depan pengkhianat ini."Pak Weri, seperti yang Bapak ketahui. Anak saya pasti dijebak, Pak. Tadi juga dia diseret oleh orang yang tidak dikenal. co
"Siapa yang berakting, Sayang. Tidak ada. Mas serius, sikap Mama dan Ayudia di rumah Pak Weri tadi karena kebawa emosi sesaat. Please, Lani. Percaya pada Mas saat ini dan seterusnya." Bulir bening tampak jatuh perlahan. Lalu dia tertunduk dan menyeka bulir bening itu.'Sayang? Berasa mau muntah mendengarnya. Dulu, iya, aku begitu suka dengan panggilan itu. Namun, tidak untuk sekarang. Ah ... ini pasti bagian skenariomu, Mas!'Mama dan Ayudia bersamaan bangkit, sedari tadi memang tak kuhiraukan. Silakan saja bertekuk lutut sampai pegal. Dan terbukti, bukan? Lutut mereka saja tak mampu menopang terlalu lama tubuh yang berlumur pengkhianatan itu, apalagi aku. Mereka saling sikut, memanglah keluarga suamiku ini ternyata mempunyai kekompakkan 100%. Kompak berakting dalam aura negatif."Iya, Lan. Mama sadar, selama ini mama memang belum bisa menjadi mertua seperti yang kamu inginkan. Tapi, tolong Lani, tolong beri mama kesempatan untuk merubah semuanya menjadi lebih baik. Jikalau memang war
Malam ini bulan purnamanya terlihat begitu indah, ditemani beberapa bintang, tak pernah rasanya aku melihat bulan purnama seindah ini di jendela kamarku. Pancarannya yang sekilas tampak dari ventilasi kamar, memancingku untuk melihat secara jelas. Sejuk, itu yang kurasakan saat ini.Sangat bersyukur, akhirnya para pengkhianat itu pergi juga dari istanaku. Walaupun dengan cara tidak selayaknya, ya mungkin sudah takdirnya jmereka kuusir dengan cara seperti itu. Hmm ... mungkin itu salah satu bentuk buah hasil perbuatan mereka selama ini.Aku pada awalnya memang agak keberatan saat mertua dan ipar diajak Mas Arfan untuk tinggal di sini dengan alasan daripada mamanya dan Ayudia tinggal dikontrakan lebih baik gabung saja lebih hemat. Hemat dari sisi uang, tapi aku dibuat sakit secara psikis dan fisik.Meski aku juga mendapat hukuman harus membayar uang kebersihan kompleks karena brosur yang kutempeli di beberapa tiang listrik. Itu tidak menjadi masalah besar, lebih ikhlas memberi dana kebe
"Mas Arfan nggak ikut, Pa. Yuk! Makan soto dulu, Pa." Aku beranjak lalu pergi ke dapur. Rasanya masih kurang pas, jikalau aku membahasnya secara gamblang perihal permasalahang yang terjadi di rumah tanggaku. Kutinggalkan Papa yang masih duduk di ruang tamu. Lalu bertolak ke dapur menyusul Mama."Gimana, Ma? Udah dipanasin kuah sotonya?" tanyaku basa-basi ketika melihat Mama sedang sibuk menyiapkan beberapa masakan di dapur."Udah, yuk makan dulu. Pasti kamu udah kelaperan lagi, 'kan?" Wanita yang memakai kerudung krem seresi dengan baju daster yang dikenaknya itu pun menyerahkan piring kosong ke tanganku, ketika aku sudah duduk di kursi meja makan.'Ya Allah, bantu aku untuk menjelaskan semua ini dengan kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti oleh kedua orang tuaku. Kuatkan juga hati kedua orang tuaku menerima kabar buruk ini, Ya Rabb.'"Eh, malah diliatin aja, diambil dong nasinya, Lan! Jangan diliatin aja," ujar Mama membuyarkan lamunanku."Oh iya, Ma," jawabku terkesiap. Masih
"Mas Arfan nggak ikut, Pa. Yuk! Makan soto dulu, Pa." Aku beranjak lalu pergi ke dapur. Rasanya masih kurang pas, jikalau aku membahasnya secara gamblang perihal permasalahang yang terjadi di rumah tanggaku. Kutinggalkan Papa yang masih duduk di ruang tamu. Lalu bertolak ke dapur menyusul Mama."Gimana, Ma? Udah dipanasin kuah sotonya?" tanyaku basa-basi ketika melihat Mama sedang sibuk menyiapkan beberapa masakan di dapur."Udah, yuk makan dulu. Pasti kamu udah kelaperan lagi, 'kan?" Wanita yang memakai kerudung krem seresi dengan baju daster yang dikenaknya itu pun menyerahkan piring kosong ke tanganku, ketika aku sudah duduk di kursi meja makan.'Ya Allah, bantu aku untuk menjelaskan semua ini dengan kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti oleh kedua orang tuaku. Kuatkan juga hati kedua orang tuaku menerima kabar buruk ini, Ya Rabb.'"Eh, malah diliatin aja, diambil dong nasinya, Lan! Jangan diliatin aja," ujar Mama membuyarkan lamunanku."Oh iya, Ma," jawabku terkesiap. Masih
"Ayudia, segera carikan angkot! Kita mesti bawa Mama ke puskesmas," teriak Arfan."Ma, tahan sebentar ya. Aku akan carikan angkot dulu," bisik Ayudia lirih, di depan Nina dia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah."Sakit, Yu. Kening Mama sakit banget," sahut Nina sembari mengiris kesakitan. Baju blues berwarna jingga penuh dengan darah segarnya."Sabar, ya, Ma. Ayu cari angkot dulu."Ayudia gegas beranjak lalu menyandarkan Nina di dinding dekat parkiran. Dia berjalan setengah berlari menuju gerbang kantor pengadilan, berdiri di pinggir jalan menoleh ke kanan serta ke kiri tapi angkot yang ditunggu belum juga lewat.Berulang kali dia menyeka air matanya yang tumpah ruah serta terisak menunggu di pinggir jalan tapi angkot tak kunjung lewat. Dia kembali berjalan setengah berlari menemui Arfan yang sedang menatap tajam ke arah Sanjaya. Dia tampak begitu marah, ketika Sanjaya menggagalkan aksinya ketika hendak ingin melukai Laniara dengan sebuah kayu dengan panjang setengah meter.
"Ma ... Papa nggak nyangka kalau Arfan seperti itu tingkah aslinya. Belum lagi lihat besan kita, sama adiknya juga," ucap Papa memecahkan keheningan yang tercipta kurang lebih 10 menit."Iya, Pa. Mama juga nggak nyangka. Tapi yaudahlah, Pa. Alhamdulillah, sekarang Laniara udah terlepas dari mereka.""Papa makin bersalah, Nak. Andai saja dulu ...""Pa ... udah. Aku nggak apa-apa, kok. Semua yang terjadi pasti udah melalui persetujuan-Nya. Papa nggak usah terlalu bersalah seperti itu. Aku jadi sedih dengarnya.""Iya, Pa. Ambil saja hikmahnya. Jadi gimana? Mau makan dimana?""Makan di rumah sajalah, Ma. Papa udah nggak bersemangat makan di luar.""Yaudah, kita bungkus aja nasinya, Lan. Mama juga nggak bersemangat makan di luar." Aku mengangguk dan kembali fokus mengemudikan mobil.???"Lan, kamu nggak makan dulu?" tanya Mama ketika aku hendak membuka pintu kamar. Kami baru saja sampai di rumah setelah membeli nasi bungkus di rumah makan Sederhana."Nanti saja, Ma. Aku mau istirahat seben
Kening Pak Ketua Hakim tampak mengerut, dia menoleh ke arahku dan ke layar handphone yang diserahkan lelaki tadi secara bergantian. Aku semakin bingung, rekaman apa yang ada dalam genggaman Pak Ketua Hakim.'Ya Allah lindungi hamba dari segala fitnah keji'"Saudari Vita bisa dijelaskan maksud dari rekaman CCTV ini!" pinta Pak Ketua Hakim."Saya akan jelaskan dengan senang hati, Pak. Bisa Bapak lihat di rekaman CCTV itu tampak Pak Sanjaya yang dulunya adalah bos dari saudara Arfan lebih tepatnya teman yang katanya menurut saudari Laniara. Dia tampak seolah membopong saudari Laniara, dan saudari Laniara pun ikut memainkan perannya di sana dan saya tahu di sana dia hanya berpura-pura tidur untuk ngelabui karyawan yang ada di sana. Agar aksi perselingkuhan mereka tidak tercium. Seolah dibopong padahal ... Seolah tertidur padahal ... Cara perselingkuhan banyak sekarang, Pak. Jadi saya harap para hakim jangan tertipu dengan sikap polos saudari Laniara yang seolah merasa menjadi korban perse