"Ma ... Papa nggak nyangka kalau Arfan seperti itu tingkah aslinya. Belum lagi lihat besan kita, sama adiknya juga," ucap Papa memecahkan keheningan yang tercipta kurang lebih 10 menit."Iya, Pa. Mama juga nggak nyangka. Tapi yaudahlah, Pa. Alhamdulillah, sekarang Laniara udah terlepas dari mereka.""Papa makin bersalah, Nak. Andai saja dulu ...""Pa ... udah. Aku nggak apa-apa, kok. Semua yang terjadi pasti udah melalui persetujuan-Nya. Papa nggak usah terlalu bersalah seperti itu. Aku jadi sedih dengarnya.""Iya, Pa. Ambil saja hikmahnya. Jadi gimana? Mau makan dimana?""Makan di rumah sajalah, Ma. Papa udah nggak bersemangat makan di luar.""Yaudah, kita bungkus aja nasinya, Lan. Mama juga nggak bersemangat makan di luar." Aku mengangguk dan kembali fokus mengemudikan mobil.???"Lan, kamu nggak makan dulu?" tanya Mama ketika aku hendak membuka pintu kamar. Kami baru saja sampai di rumah setelah membeli nasi bungkus di rumah makan Sederhana."Nanti saja, Ma. Aku mau istirahat seben
Kening Pak Ketua Hakim tampak mengerut, dia menoleh ke arahku dan ke layar handphone yang diserahkan lelaki tadi secara bergantian. Aku semakin bingung, rekaman apa yang ada dalam genggaman Pak Ketua Hakim.'Ya Allah lindungi hamba dari segala fitnah keji'"Saudari Vita bisa dijelaskan maksud dari rekaman CCTV ini!" pinta Pak Ketua Hakim."Saya akan jelaskan dengan senang hati, Pak. Bisa Bapak lihat di rekaman CCTV itu tampak Pak Sanjaya yang dulunya adalah bos dari saudara Arfan lebih tepatnya teman yang katanya menurut saudari Laniara. Dia tampak seolah membopong saudari Laniara, dan saudari Laniara pun ikut memainkan perannya di sana dan saya tahu di sana dia hanya berpura-pura tidur untuk ngelabui karyawan yang ada di sana. Agar aksi perselingkuhan mereka tidak tercium. Seolah dibopong padahal ... Seolah tertidur padahal ... Cara perselingkuhan banyak sekarang, Pak. Jadi saya harap para hakim jangan tertipu dengan sikap polos saudari Laniara yang seolah merasa menjadi korban perse
Kisah perceraianku berbuntut panjang, belum selesai perkara Mas Arfan, kini malah bertebaran fitnah murahan. Kupikir yang hanya mertua, Ayudia, Mas Arfan serta Angel yang hanya ingin menghancurkan diriku, rupanya aku keliru, sangat keliru. Ada wanita lain yang kukenal baik selama dua tahun di tempat kerja sebelum aku memilih resign, ternyata dia pun termasuk dalam barisan orang yang menindasku.Mungkin bisa kugelari dia dengan musuh dalam selimut. Oh iya, aku baru engeh sekarang, dalam rekaman CCTV yang kuminta tidak ada sosoknya. Aku paham sekarang, dia tidak berada di hotel itu.Ada yang aneh dari ucapannya, di persidangan tadi Vita mengatakan Mas Arfan yang memintanya untuk datang dalam persidangan hari ini, sebagai pengganti dia yang tak bisa hadir karena mertuaku sedang dirawat. Ya, dia masih berstatus mertuaku hanya sampai ketuk palu perceraian oleh majelis hakim. Anehnya, Vita sekarang malah berdalih, bahwasanya dia hanya suruhan seseorang."Jadi siapa yang menyuruhmu! Kenapa d
Dekorasi sederhana tak mengurangi suasana khidmat di hari nan sakral ini. Selepas bakda Jumat semua keluarga inti pihak kedua mempelai sudah berada di ruangan yang tak begitu besar di kampung halaman Laniara. Hari ini adalah hari dimana Sanjaya dan Laniara akan mengikat suci melalui ikral pernikahan.Sanjaya tampak tampan memakai stelan pengantin pria berwarna krem lengkap dengan pecinya tentu dengan warna senada, gurat wajahnya agak tegang apalagi sudah duduk di berhadapan dengan Pak Yahya yang hanya dibatasi sebuah meja berbentuk persegi dan juga telah siap untuk menjabat tangan sang calon mertua. Meja pun dilampisi dengan kain beludru putih tak lupa beberapa taburan bunga mawar putih turut menghiasi meja yang akan menjadi salah satu saksi bisu pernikahan mereka.Namun, ada yang janggal, di antara yang hadir tidak tampak papa serta adik dari Sanjaya. Hanya Mama dan beberapa kerabat inti saja yang turut hadir. Kemana mereka? Bukankah harusnya ada dalam acara yang paling bersejarah i
Malam ini terasa begitu panjang, mataku enggan terlelap, sedangkan Mas Sanjaya sangat pulas dalam pergantian malam pertama kami sebagai sepasang suami istri. Aku tahu dia lebih lelah dari segala hal. Sekalipun aku sedang kedatangan tamu bulanan, akan tetapi aku masih bisa memanjakan suami dengan cara lain, tentunya masih dalam syariat islam.Perjalanan hidup masa depan memang tidak ada yang tahu, sempat menghindar, bahkan tak berkomunikasi dengan Sanjaya sama sekali pasca sidang keduaku dengan Mas Arfan. Namun, atas takdir-Nya, aku dan Mas Sanjaya dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pada akhirnya bukan tanpa alasan jika pada akhirnya aku dengan mantap membuka hati. Aku tak sengaja menemukan bahkan saking penasarannya aku membaca buku diary Mama. Ada satu halaman diary Mama yang membuat hatiku meleburkan rasa trauma yang masih membekas."Ya Allah, jika umurku tak panjang berikanlah jodoh yang baik serta bisa membahagiakan anakku dengan segala kekurangan yang ada pada dirinya. Bu
"Pa, kamu apa-apaan sih. Menantu sopan begitu ditanggapin kasar," hardik Rita pada suaminya-Santoso. Mereka berpapasan di ruang tengah kamar Santoso berada di dekat ruang keluarga masih di lantai satu."Menantu? Aku nggak merasa punya menantu, Mah. Kalau kamu, ya, terserah. Bagiku, calon menantuku cuma Kartika!" serangnya tak mau kalah, dia pun lagi menepis tangan istrinya yang ingin meraih tas kerja yang ada di dalam genggaman tangan sebelah kanannya. Dia begitu marah."Ya Allah, Pa. Sekarang takdir Sanjaya udah sama Laniara, kita sebagai orang tua tugasnya mendoakan agar rumah tangga mereka sakinah, mawaddah, dan warahmah.""Sudah lah, Ma. Papa males bahas soal itu," jawabnya sambil berlalu.Rita geleng-geleng kepala melihat sifat suaminya yang keras, mengurut dada untuk lebih bersabar menghadapi lelaki yang sudah dia temani selama tiga puluh lima tahun itu. Dia memang sudah kebal menghadapi sikap Santoso. Didikan orang tua yang keras membuat Santoso mempunyai watak yang keras juga
Rita bertolak ke kamarnya mengambil gawai pipih yang tergeletak manis di atas nakas. Dia meng-klik icon telepon, lalu memencet satu nama yang ada dalam panggilannya itu, Sanjaya.Mondar-mandir seperti setrikaan di sisi ranjang, entah kenapa tiba-tiba dia bertingkah seperti itu. Sepertinya mencurigakan sekali, apalagi setelah dia bertemu dengan Bobby. Apa rencana Rita sebenarnya.Panggilan pertama tidak di angkat Sanjaya, dia mencoba memanggil sekali lagi, dan akhirnya tersambung."Assalamu'alaikum, San. Kamu dimana? Kok lama ngangkat telepon Mama?""Wa'alaikumsalam, Ma. Ini lagi berenti di pinggir jalan gara-gara terasa getaran handphone. Ada apa nelpon, Ma? Laniara nggak apa-apa 'kan?" Nada suara Sanjaya terdengar panik."Hmm ... nanti aja pas kamu pulang Mama ceritain, San. Gini, ntar kalau udah selesai nyari kerjaannya cari rumah kontrakan ya, San! Cukup tiga kamar aja, nggak usah terlalu gede," pinta Rita dengan napas yang sedikit tersengal-sengal."Hah ... rumah kontrakan, Ma? Si
"Mas ..." aku mendekati Mas Sanjaya, lalu memeluknya dengan sangat erat. Air mataku luruh sejadi-jadinya, mengusap punggungku perlahan seraya menenangkan. Dia tak salah, benar dia tak salah. Aku yang keliru menilai suamiku sendiri. Dibenakku tadi terbayang akan masa lalu yang pernah mengecap pahit sekian tahun.Meskipun kutahu, Mas Sanjaya berbohong demi maksud lain, tapi aku bisa menerima atas kebohongannya itu. Berharap ini untuk pertama dan terakhir kalinya dia berbohong."Maafkan aku, Mas. Sudah suudzon terlalu jauh padamu, kupikir nasibku sekarang akan sama kembali dengan masa lalu," lirihku disela tangisan yang masih menjadi-jadi.Dia melepaskan pelukanku perlahan dan menyeka bulir bening yang masih berlomba jatuh di pipiku meski tak seluruh tadi. Kulihat matanya juga merah dan basah. Aku pun melakukan hal yang sama, menyeka air mata yang menggenang di bola matanya."Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sayang. Kamu tidak salah, aku yang seharusnya jujur sedari awal. Namun apa dayaku