PoV Arfan
"Pak, tolong beri saya kesempatan. Bukan saya yang menggodanya, Pak. Angel sendiri yang menyerahkan diri pada saya, Pak!" sahutku penuh mengiba, kuatur sedemikian rupa dengan bersuara lirih. Tak peduli dianggap lelaki seperti apa, yang jelas, aku tidak ingin kehilangan jabatan sebagai Manager. Aku bertekuk lutut, berharap diberi kepercayaan lagi. Dan Pak Sanjaya menarik semua ucapannya."Mas! Kamu apa-apaan, sih. Kita ngelakuin atas dasar suka sama suka. Kamu saja yang lemah iman!" bentak Angel. Kutatap dia dengan tatapan nanar, lalu menyunggingkan ujung bibir ini padanya."Diam! 'Kan memang begitu adanya, kamu yang duluan menggoda saya, Angel!" telunjukku mengudara pada perempuan yang sudah menangis penuh isakan itu. Air matanya begitu deras membasahi pipi. Baru kali ini aku melihatnya menangis, akan tetapi sedikit pun aku tak luluh. Lebih baik kehilangan Angel, ketimbang kehilangan popuritasku.'Pak, saya mohon beribu mohon, Pak. Tolong beri lagi kesempatan pada saya. Kurang lebih tiga bulan saya sudah berikan kontribusi yang besar terhadap perusahaan ini," tambahku lagi. Kini, kutitikan air mata, agar Pak Sanjaya bisa luluh. Sangat jarang bukan, ada lelaki yang meneteskan air mata sepertiku. Aku melakukan ini tentu ada tujuannya."Apa bedanya dengan aku, Mas. Kamu tanpa aku juga bukan siapa-siapa. Kerjaan kamu juga banyak terbantu karena ada aku," jawab Angel lirih, kedua tangannya masih sibuk menyeka setiap bulir bening yang masih berlomba jatuh tanpa jeda."Pak, saya juga mohon. Pertimbangkan lagi, saya masih banyak berharap dengan posisi sekarang," ujar Angel juga penuh dengan harapan. Tapi aku berharap, Pak Sanjaya tidak menerima permohonan Angel, dan hanya menerima permohonan aku saja."Saya juga tulang punggung keluarga, Pak. Mohon pertimbangkan lagi ucapan Bapak tadi!" pinta Angel penuh harap. Tapi memang Angel adalah anak semata wayang yang bertanggung jawab penuh menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lumpuh akibat kecelakaan sepuluh tahun silam."Pembelaan mur*h*n apalagi yang mau kau ucapkan, Bapak Arfan? Katakanlah! Kau benar-benar lelaki pengecut ternyata, ya. Saya sungguh menyesal telah menerima kamu bekerja di sini!" bentak lelaki bertubuh atletis itu. Dia semakin garang padaku. Namun, bukan Arfan namanya akan menyerah begitu saja. Menjilat tanah pun aku mau, asal posisi jabatan Manager kembali ke tanganku."Lelaki yang sudah tak punya muka, setelah melakukan zina di kantor ini. Seenak jidat meminta padaku untuk tetap bekerja di sini. Ternyata bukan hanya hatimu yang rusak, otak, serta pikiranmu sepertinya ikut yang berfungsi juga.""Apa? Kalian berdua membahas soal loyalitas? Hah? Hahahahahahaha." Pak Sanjaya tertawa berbahak-bahak, ingin rasanya memberi pelajaran pada mulutnya itu. Namun kuurungkan demi tujuan tetap bekerja di sini. Aku butuh uang, butuh jabatan, serta butuh sanjungan."Pak, saya mohon. Tolong, beri saya satu kesempatan lagi. Dan, saya minta diganti saja sekretarisnya. Jangan Angel, saya tidak mau lagi berurusan dengan wanita penggoda seperti dia.""Anda benar-benar lelaki tak tahu malu, ya, Arfan!""Anda juga Angel! Pantas saja kalian sepaham, karena sama-sama tidak punya otak!"Pak Sanjaya pun menelepon seseorang ... Jantungku semakin berdegub kencang."Sepertinya Anda lebih suka dengan cara kekerasan ya, Arfan.""Permisi, Pak," ucap lelaki berkumis tebal. Suara Pak Terno menggelegar di dalam ruanganku. Jadi, dia yang dihubungi Pak Sanjaya tadi. Pak Terno seorang satpam senior mempunyai tubuh kekar seperti Dedy Combusinar, belum apa-apa matanya sudah menyalang sempurna. Sangat sangar dia menatapku disela menatap Pak Sanjaya."Tuh! Ada santapan lezat untukmu pagi ini!" ujar Pak Sanjaya pada Pak Terno dengan melirik matanya padaku dan Angel bergantian. Pak Terno pun dengan sigap menatap padaku dan Angel. Rahang lelaki berkulit hitam pekat itu tampak mengeras hingga urat lehernya pun bermunculan. Aku yang tengah berdiri di dekat meja kerja tiba-tiba merasa gemetar. Terbayang dibenakku kasus mutilasi yang sangat marak terjadi sekarang ini."Aman, Pak. Bapak mau-nya gimana? Digoreng atau dijadikan rendang saja mereka ini. Sebentar lagi juga mau hari Raya Idul Adha rasanya cukuplah daging mereka menjadi santapan Doly," ujar Pak Terno. Doly adalah anjing peliharaan perusahaan ini. Sengaja, jika ada kejanggalan di malam hari akan cepat teratasi. Ibaratnya Doly adalah satpam kedua berbentuk makhluk lain yang menjaga kantor ini. Aku pernah bertemu sekali dengan binatang buas satu ini, di kala melewati basemant.Ya, ada kandang permanen yang dibuatkan khusus untuk binatang satu itu. Melewati dia saja dari dalam kandang sudah membuat bulu kudukku merinding hebat, apalagi ...."Kamu seret lelaki yang tidak punya otak itu dari ruangan ini!" perintah Pak Sanjaya. "Oh, iya. Saya lupa, wanita mur*h*n itu juga kamu seret sekalian. Biar orang sekantor ini melihat wajah mereka berdua," tambah Pak Sanjaya."Saya tidak mau pelaku penzinaan masih memijakkan jejaknya di kantor ini. Lepas kamu seret hingga lobbi, saya serahkan seutuhnya pada kamu Pak Terno!"Baik, Pak. Mereka hal gampang bagi saya. Sini kalian!" Pak Terno menarik krah bajuku dan juga menarik krah baju Angel. Sungguh menyeramkan seperti tal punya hati. Iblis, ya, dia tampak seperti iblis tidak punya hati nurasi menyeretku dan Angel bagaikan bin*t*ng.Namun, walaupun demikian, nyaliku tak gentar, mulutku masih ingin berusaha, kali saja Pak Sanjaya akan luluh, "Pak, tolong, Pak. Beri saya kesempatan sekali lagi, Pak. Saya mohon dengan sangat. Saya tulang punggung keluarga, Pak," pekikku sekuat tenaga. Namun, ternyata hanyalah mimpi saja. Ternyata, Pak Sanjaya tidak bisa aku kendalikan. Padahal tadi rasanya akan mempan berucap seperti tadi."Pak, jangan seret saya seperti ini. Saya tidak ingin dilihat karyawan lain dengan cara seperti ini. Pak ... Pak Sanjaya, beri saya satu kesempatan lagi, Pak. Saya janji akan menjadi karyawan teladan di kantor ini. Pak ....""Heh ... kalian berdua bisa diam. Atau mau saya peras mulut kalian itu dengan tangan saya ini. Hah!" Ancaman Pak Terno membuat aku diam seketika begitu pun dengan Angel.Mulutku dan Angel pasti akan hancur lebur dalam genggaman tangan Pak Terno.Ampun dah, nih sama si Arfan ??PERCERAIAN YANG TERINDAHPoV Nina"Abis nelfonan sama siapa, Ma? Kok, senyum-senyum gitu?" tiba-tiba Ayudia masuk ke kamarku. Ya, lagian mana mungkin menantuku itu yang berani masuk ke dalam kamar ini."Ssssssttt ... jangan keras-keras nanyanya. Nanti kedengaran sama Laniara. Tutup pintunya! Ini nih, abis nelfonan sama si Angel-lah. Siapa lagi," sahutku sembari senyum-senyum menatap layar ponselku.Setelah menutup pintu Ayu pun berjalan mendekatiku, kini suaranya pun tidak sekeras tadi, "Angel? Bahas apaan kok sampai senyum-senyum gitu, Ma?" tanya Ayudia penasaran. Aku beranjak, lalu berdiri di depan meja riasku. Kini kami berhadapan."Ya ... seperti biasa lah, Yu. Mama basa-basi kapan diajakin shopping sama si Angel," jawabku semringah. Tentunya, diotakku sudah ada rentetan barang yang akan kubeli jika nanti."Yakin cuma itu aja, Ma. Mana mungkin Kak Angel mau ngasih cuma-cuma, Ma. Sebelumnya dia royal ke kita 'kan ada tujuan juga.""Ya ... apalagi kalau bukan masalah Lani. Mama cum
PoV ArfanBeberapa pasang mata mulai melihat aku dan Angel diseret oleh Pak Terno sepanjang korikor hingga kami sekarang berada di lift. Entah berapa pasang mata yang bersorak, memaki, serta mencaciku dan juga Angel.Aku malu, sungguh malu. Hanya bisa menutup kedua netra ini dengan kedua tanganku. Aku ingin bersuara untuk memohon, tapi takut Pak Terno akan melakukan hal lebih kejam dari ini. Begitu pun Angel, dia hanya terdiam, hanya isakan tangisnya yang terdengar. Lagian percuma juga dia meratapi, semua tidak akan kembali seperti semula."Seret keliling kantor Pak Terno, kapan perlu live streaming biar pada kapok pelaku penzina kayak mereka" sorak salah satu karyawan, aku tidak tahu siapa, yang jelas dia perempuan."Nanggung, sekalian aja adegan biar kami tonton rame-rame," ujar seorang pria."Hu ....""Bikin malu saja kalian.""Hoi ... ngaca dong ngaca.""Heran ya, zaman udah susah masih selingkuh-selingkuh, kayak udah banyak duit aja."Mereka
"Dimana, San? Aku udah mau jalan, nih. Video yang kukirim kemarin sudah kamu lihat, 'kan?" tanyaku lewat sambungan telfon pada Sanjaya ketika baru menghenyakkan bobot di jok mobil."Aku udah di kantor, Lan. Iya, sudah kulihat, suamimu memang b*j*ng*n ya," Sanjaya mengumpat, sepertinya dia juga geram dengan tingkah Mas Arfan. Lagian mana ada manusia waras yang tidak murka melihat tingkah dua manusia tak berakhlak itu."Ya, begitulah kurang lebihnya, San. Oke, aku jalan ya, sembari menunggu kedatanganku, silakan saja cek terlebih dahulu rekaman CCTV di ruangan Mas Arfan, San! Siapa tahu masih ada yang bisa dijadikan bukti lagi.""Siap, Lan. Masalah gampang itu mah, kalau sudah sampai di parkiran kabari aku ya!""Oke, San. Sampai ketemu nanti."Sewaktu menenangkan diri di sebuah kafe, aku kembali teringat dengan nama hotel tempat Mas Arfan dan Angel memadu kasih. Rupanya itu adalah tempat salah satu temanku semasa kuliah menjadi Manager di sana. Aku pun menghubungi
Aku berusaha membuka mata, akan tetapi rasanya lebih sulit tidak seperti biasanya. Belum lagi, kepala ini begitu terasa berat ketika aku menggerakkannya. Sekujur tubuhku seakan kaku, tak lain halnya dengan kedua kaki dan kedua tanganku. Sungguh ini tidak seperti biasanya.'Ya Allah, membuka mata saja aku belum sanggup dan sangat sulit. Bantu hamba, Ya Rabb.''Astagfirullah Al'adzim ... Astagfirullah Al'adzim ... beri hamba kekuatan lagi Ya Allah." Aku terus beristighfar di dalam hati sembari berdoa semoga Allah mengembalikan tenagaku yang entah hilang ke mana.Aku mencoba kembali membuka kedua netra ini. Perlahan aku mulai melihat sesuatu, walaupun masih samar pandanganku dengan terus beristighfar di dalam hati. Akhirnya mataku terbuka sempurna, yang kulihat pertama kali adalah sebuah televisi layar datar di gantung di dinding persis di depanku.'Aku berada di mana? Tempatnya sangat asing. Namun begitu sejuk dan nyaman.'Aku berusaha menggerakkan kedua tangan untuk meraba kasur yang k
PoV Sanjaya"Lan, sepertinya aku tak bisa berlama-lama membiarkan dua manusia ini tetap berada di sini," tuturku pada Laniara. Wanita yang berkulit putih itu, dia suguh dia berubah, masih seperti dulu."Terserah kamu, San. Kamu bisa sesuka hati memperlakukan mereka. Lagian mereka juga yang mengotori kantormu dengan sikap tak senonoh," sahut Laniara dengan penuh kebencian. Tidak ada lagi rasa belas kasihan yang kulihat dari perempuan nan begitu lembut selama ini kukenal."Halo, Pak Terno, bisa ke sini sebentar! Saya butuh bantuan Anda. Tolong seret kedua manusia ini dari area perkantoran!" Pak Terno memang aku suruh untuk memeriksa ruangan Arfan dan Angel, siapa tahu masih ada barang manusia seperti mereka yang masih tertinggal."Lani ... Mas minta tolong, jangan seperti ini. Beri kesempatan sekali lagi, Lan. Mas janji akan berubah dan rumah tangga kita kembali kesediakala," rintih Arfan. Dia bertekuk lutut di halaman parkir. Tapi kurasa harapannya hanya sia-sia.Aku pikir, Arfan adala
"Gimana, Lan. Keadaan kamu sekarang? Udah mendingan?" sapa Sanjaya sembari menarik kursi yang ada di dekat dinding sebelah kanan. Lalu mendudukinya dan menghela napas pelan."Alhamdulillah, sudah, San. Makasih banyak ya, gara-gara aku pingsan kamu malah jadi repot begini, San.""Kalau boleh tahu kamu sakit apa, Lan? Aku tadi sempat nanyain sama Dokter Salsa, tapi dia nggak mau ngasih tahu. Apa se-serius itu, Lan? Emang tadi sih, aku tadi nggak nanya sama Dokter Salsa, tapi ya itu, karena kamu butuh darah makanya aku kepo."Aku bergeming, bingung mau menjawab apa. Tak mungkin aku memberi tahu Sanjaya sakit apa yang sedang kuderita. Dia tak perlu tahu, karena aku tidak mau terlihat seperti wanita lemah yang dikasihi dengan cara lain."Lan ... Lan ... kok jadi melamun? Aku salah ya? Maaf, nggak apa-apa kalau kamu keberatan juga. Tapi kalau kedepannya butuh lagi, hubungi saja aku ya!""Haa ... nggak kok, San. Maaf, bukan bermaksud tidak mau ngasih tahu, tapi aku nggak apa-apa kok, beneran
"Tidak, Pak. Saya tidak terima, saya dijebak sama istri sendiri. Saya difitnah, Pak!" teriak Mas Arfan."Hei ... Pak. Anda bisa sopan sedikit, ini rumah orang lain bukan rumah Anda!" hardik seseorang, membuat semua orang yang ada di ruangan tamu rumah Pak Weri terkesiap. Aku pun juga terkejut mendengar hardikkan itu apalagi bentakkan lelaki yang aku tidak tahu siapa orangnya tepat berada di belakangku, suara laki-laki tersebut lebih menggelegar dari Pak Terno."Harusnya Anda bersyukur, Pak Arfan. Kalau saja di antara kami tidak membawa Anda ke sini, saya tidak tahu Anda akan menjadi seperti apa. Jadi, tolong, bersikaplah yang sopan," tutur Pak Weri dengan nada suara standar.Aku menghela napas pelan, terus beristighfar di dalam hati. Berdoa semoga Allah berikan kekuatan tenaga, mental, dan bathinku. Aku tidak ingin tumbang lagi, apalagi di depan pengkhianat ini."Pak Weri, seperti yang Bapak ketahui. Anak saya pasti dijebak, Pak. Tadi juga dia diseret oleh orang yang tidak dikenal. co
"Siapa yang berakting, Sayang. Tidak ada. Mas serius, sikap Mama dan Ayudia di rumah Pak Weri tadi karena kebawa emosi sesaat. Please, Lani. Percaya pada Mas saat ini dan seterusnya." Bulir bening tampak jatuh perlahan. Lalu dia tertunduk dan menyeka bulir bening itu.'Sayang? Berasa mau muntah mendengarnya. Dulu, iya, aku begitu suka dengan panggilan itu. Namun, tidak untuk sekarang. Ah ... ini pasti bagian skenariomu, Mas!'Mama dan Ayudia bersamaan bangkit, sedari tadi memang tak kuhiraukan. Silakan saja bertekuk lutut sampai pegal. Dan terbukti, bukan? Lutut mereka saja tak mampu menopang terlalu lama tubuh yang berlumur pengkhianatan itu, apalagi aku. Mereka saling sikut, memanglah keluarga suamiku ini ternyata mempunyai kekompakkan 100%. Kompak berakting dalam aura negatif."Iya, Lan. Mama sadar, selama ini mama memang belum bisa menjadi mertua seperti yang kamu inginkan. Tapi, tolong Lani, tolong beri mama kesempatan untuk merubah semuanya menjadi lebih baik. Jikalau memang war