Share

Part 7

last update Last Updated: 2022-09-11 13:02:54

PoV Angel

"Halo, Vita. Gimana, tawaran perihal kemarin? Lumayan lho, buat nambah uang saku kamu." tawarku saat telepon tersambung pada Vita. Aku memang tidak suka basa-basi untuk urusan kerjasama. Kalau tidak sesuai yang nggak masalah. Dan, aku bukan tipe pengemis bantuan.

Beda di saat aku meminta direkomendasikan sama Laniara, sebenernya posisi Sekretaris bukan pekerjaannya yang kusukai, akan tetapi demi memiliki seseorang, aku akan melakukan apapun.

"Iya, aku mau. Tapi kalau nanti aku berhasil jangan lupa kasih lebih!" pinta Vita dari seberang sana.

"Beres mah kalau urusan itu. Jadi, gimana? Mau 'kan?" tanyaku memastikan.

"Nanti kalau Laniara curiga gimana? 'Kan semenjak dia resign aku nggak ada lagi komunikasi sama dia, Ngel."

"Nggak bakalan curiga mah dia, walaupun secara otak dia pintar. Namun, Laniara itu secara bathin dia bodoh karena terlalu positif thingking pada semua orang. Percaya deh, sama aku. Nggak bakalan ketahuan kok."

"Ya sudah, aku coba dulu. Nanti jam berapaan kamu ke hotelnya?"

"Siangan, nanti kukabari kamu. Doakan semoga saja Mas Arfan nggak nolak aku ajak, nanti."

"Iya, deh. Semoga berhasil. Sebagai jaminan transfer dulu setengahnya!"

"Aman, kirim aja nomor rekeningnya. Ntar ku transfer. Urusan gituan mah beres!"

"Okey."

"Hmm ... dewi Fortuna kedepannya akan berpihak padaku. Ucapkan selamat tinggal pada kebahagiaan pernikahanmu, Laniara!" gumamku sembari tersenyum sendiri.

Mungkin, jika dunia tahu. Pasti mereka menganggapku seorang sahabat tidak tahu diri, tapi aku tidak memperdulikan mulut-mulut julid yang orang-orang katakan. Toh, mereka juga tidak memberi aku makan. Dan, terlebih tdak peduli akan masa depanku. Bisanya hanya memberikan komentar.

Vita? Terpaksa ikut terseret karena juga menguntungkan buat Vita. Tujuan Vita dan sama, sama-sama ingin membuat Laniara hancur berkeping-keping.

"Oh iya, sekarang aku mau hubungi, hmm ...."

"Halo, Tante Nina cantik. Lagi apa, Tan? Tan, jangan keras-keras nyebut namaku, nanti bisa ketahuan. Cari tempat yang aman, Tan!"

"Alhamdulillah, baik. Okee ... okee ... udah di kamar nih, Tante. Kamu apa kabar juga, Ngel. Dah lama nih, kita nggak shopping bareng?"

"Tenang, Tan. Abis aku gajian dua minggu lagi kita shopping ya. Tante mau apa?"

"Haa? Kamu serius, Ngel? Sampai nanyain tante mau apa segala?"

"Sejak kapan aku becandain, Tante?"

"Iya ... iya ... tante percaya. Eh, ada apa nelfon pagi-pagi?"

"Gini, Tan. Aku nanti mau ngejebak Laniara di hotel. Nanti kalau dia keluar, tante jangan banyak tanya, sekedarnya saja kayak pura-pura nggak tahu, ya!"

"Ngejebak? Emangnya bakalan berhasil, Ngel?"

"Tante ragu sama aku? Pergelutan kali ini nggak main-main, Tan. Aku yakin Laniara pasti langsung minta cerai sama, Mas Arfan."

"Ya udah, tante percaya sama kamu, Ngel."

"Iya dong, Tante. Kalau mereka sudah cerai. Mas Arfan akan nikahin aku, dan aku bisa ngasih tante cucu, sebanyak yang tante mau."

"Tante doakan semoga berhasil, tante juga nggak sabar pengen nimang cucu, Ngel."

"Sama, Tan. Aku juga nggak sabar punya suami dan anak, sama juga pengen jadi menantu, Tante."

Baru juga kenal dengan Tante Nina tiga bulan, wanita stylish ini sudah jatuh cinta denganku. Tentunya, jikalau bertemu kami sembunyi-sembunyi. Untuk sementara Laniara nggak perlu tahu seberapa dekatnya aku dengan Tante Nina.

Ayudia pun juga care sama aku. Hobby kami banyak yang sama, ibarat kata banyak kecocokan antara aku dan Ayudia. Ini tentu bukan perkara kebetulan, tapi takdir yang mengantarkan hingga aku dan Tante Nina serta Ayudia bisa sedekat ini.

Bukannya sangat jarang, calon menantu, calon ipar, dan calon mertua bisa seakrab ini dan lebih kecenya kami saling membutuhkan dan menguntungkan. Memang lah dewi Fortuna kebahagiaanku sudah berada di depan mata.

Sekarang saatnya menemui tambatan hatiku, lelaki idamanku selama ini. Selain tampan juga kaya, aduh ... aku sudah tidak sabar menyandang status menjadi nyonya di hati Mas Arfan.

"Hai ... Sayang. Bentar lagi kamu siap-siap, ya!" rayuku dengan menempelkan diri pada Mas Arfan.

"Iya, tenang saja, Sayang. Aku mah sudah siap 45 untuk bertempur nanti. Kamu-nya tuh yang mesti siapin tenaga."

"Tenang, Sayang. Kalau masalah itu, pelayanan VVIP dariku tak 'kan bikin kamu kecewa."

"Ya sudah, nanti kita ketemunya di parkiran saja yah! Nggak enak kalau barengan dari ruangan."

"Siap, Pak Bos."

Hari ini kantorku menerapkan kerja setengah hari. Sebenarnya selingan, sehari full, seharinya lagi setengah hari. Maklum masih kondisi pandemi begini, apalagi sekarang makin menyebar. Tentunya aku akan mengambil kesempatan ini.

???

"Mas, kamu mandi dulu, gih! Biar enak gitu 'bermain'-nya," suruhku pada Mas Arfan.

Untung saja dia manut saja, ya, wajar sih, laki-laki kalau untuk urusan ranjang pasti akan menurut saja dikomandoi, itulah kelemahan lelaki di dunia ini.

"Vi, aku udah di hotel nih, gih telepon Laniaranya, bilang aja kamu liat aku di hotel ini."

"Iya, siap. Bu Bos."

Selang beberapa kemudian, Vita meneleponku lagi. Untung saja Mas Arfan masih mandi, jadi aku masih bisa leluasa berbicara dengan Vita.

"Gimana, Vi? Apa katanya?"

"Dia nggak banyak ngomong sih, Angel. Tapi kayaknya dia bakalan nyusul deh, semoga saja. Terus gimana nih, bayaran setengah lagi sama tip-nya?"

"Tenang dong, Neng. Buru-buru amat kalau soal duit, ih. Ntar aku transfer kalau Laniara beneran udah datang ke sini terus ngeliat aksiku lagi main sama Mas Arfan."

"Iya deh. Selamat ngasih kepuasan dan gelut-gelut cantik sama Laniara nanti. Semoga berhasil."

"Pasti berhasil ini, kamu tenang saja."

"Abis nelepon sama siapa, Ngel?" tanya Mas Arfan yang baru keluar dari kamar mandi membuat aku sekesiap.

"A ... ini, sama ibu. Biasa lah Mas, ibu minta kirimin duit, tapi peganganku udah mulai dikit," jawabku pura-pura merengek.

"Ya udah, nanti Mas transfer ke kamu ya. Yuk, main yuk. Udah nggak tahan nih," jawabku berdusta, semoga saja Mas Arfan nggak curiga. Mas Arfan mulai mendekatiku yang tengah duduk di bibir ranjang.

"Ih ... buru-buru banget sih, Mas. Aku mau mandi dulu bentar, bentar kok." Aku beranjak dan menyambar handuk putih yang tergeletak di atas ranjang.

"Yah, kamu. Tau gitu, mending mandi berduaan tadi," sahut Mas Arfan memanyukan bibir tebalnya. Kubalas dengan senyuman ketika hendak menutup pintu kamar mandi.

PERCERAIAN YANG TERINDAH

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraian yang Terindah   EP 4

    PoV SantosoSelepas Subuh aku sudah bersiap, tentu saja ingin menyelidik perempuan itu. Aku yakin dia pasti akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan, akan kubuktikan pada Sanjaya bahwa dia bukan perempuan yang tepat menjadi istri serta menantu di rumah ini.Langit pekat mulai beranjak perlahan, kukemudikan mobil dengan laju kecepatan sedang. Semoga saja perempuan itu masih ada di wisma. Untung juga tadi ketika aku berpamitan sama Sanjaya dia tidak banyak bertanya dan semoga saja dia tidak menaruh curiga.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku tiba di wisma tempat Laniara menginap. Kutepikan mobil beberapa sentimeter dari gerbang, kebetulan di tempat aku memarkir langsung tertuju pada pintu masuk utama wisma. Ini sangat membantuku untuk melihat siapa saja yang keluar masuk.Tepat pukul 07. 00 pagi, targetku keluar dari persembunyiannya. Pasti hari ini ada misi buruk yang akan dia lakukan, kalau tidak mengapa dua musti pergi dari rumah. Jikalau dia benar-benar men

  • Perceraian yang Terindah   EP 3

    Santoso menaruh kembali botol yang berisikan air minum di kursi tunggu ruang ICU. Selain membawa bekal makanan, Rita juga membawa dua botol minum berukuran sedang serta yang kecil. Sedang berisi air mineral dan yang kecil berisi kopi yang sudah mulai mendingin, tentunya untuk suaminya tercinta."Kenapa Papa jadi salah tingkah? Apa benar dugaan Mama?" tanya Rita penuh selidik.Derap langkah dr. Laila dan dr. Vincen semakin mendekati pintu ruang ICU. Bobby ditangani oleh dua orang dokter saraf, yang mana sebelumnya ditindak sama dr. Laila, tapi selama Bobby di ICU dr. Vincen pun turut turun tangan. Karena dr. Vincen memang bertugas di ruangan ICU serta beberapa ruangan lainnya.Fokus mereka menjadi buyar yang tadinya tertuju pada Santoso, kini beralih pada dua dokter yang semakin mendekati mereka."Nanti bakal Papa ceritain, itu dokter yang nanganin Bobby sudah datang," bisiknya."Itu 'kan dr. Laila, dokter yang pernah kamu maki-maki, Pa.""Sstttt ... iya," sahut Santoso kesal.Rita, San

  • Perceraian yang Terindah   EP 2

    Kembali ke PoV Laniara ya ..."Terus selama di sana kamu nginap di mana?" tanya Mama Rita sembari melepaskan pelukan perlahan."Tidak jauh dari pemukiman itu ada wisma, di situ aku menginap, Ma."Pakaian kamu bagaimana, Sayang? Bahkan pas pulang tadi kamu tidak membawa apapun dari rumah."Aku menatap kedua manik mata Mas Sanjaya, ada rasa bersalah saat aku memutuskan pergi tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu."Mas ... sebenarnya aku ingin cerita sama kamu soal niat aku ini. Cuma ketika melihat Mama terbaring lemah tidak berdaya kuputuskan untuk ngelakuinnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Dan ... kalau aku jujur, pasti kamu akan melarang aku, pasti kamu akan selalu bilang ini semua ujian. Lalu, aku akan larut dalam rasa bersalahku ketika mata ini menatap Mama yang lemah dan telinga ini akan mendengar soal Bobby yang belum ada perkembangannya. Dan, semua pakaian ku masih berada di wisma, Mas."Mata Mas Sanjaya makin berkaca-kaca."Aku akan semakin merasa bersalah tanpa melakukan

  • Perceraian yang Terindah   EP 1

    Bobby masih terbaring lemas sembari bangun dari koma selama lebih kurang dua Minggu lamanya."Permisi, Mbak," sapa Santoso yang lebih dulu ingin masuk ke ruangan Bobby."Iya, Pak. Jangan lupa cuci tangan dan pakai baju ini dulu, ya!" ucap Sonia, perawat ruang ICU yang berjaga shift malam."Iya, Mbak. Bobby beneran baru sadar, Mbak?""Iya, Pak. Tak lama Bobby sadar, saya langsung menghibungi Bapak. Alhamdulillah banget ya, Pak. Bobby bisa sadar secepatnya ini. Bener-bener takdir Allah itu tak disangka-sangka. Soalnya saya sangat jarang menemukan pasien yang sadar secepat ini sadar dari koma, Pak.""Benarkah, Mbak?" tanya Santoso tidak percaya. Hal yang wajar jikalau Santoso tercengang seperti itu, mengingat belum ada keluarganya yang pernah koma."Iya, Pak. Selama saya mengabdi kurang lebih sepuluh tahun, ini sungguh keajaiban sang Pencipta. Apalagi Bobby mengalami luka cukup parah ditambah kondisi tubuhnya sudah lemah." Ya wajar saja, karena Bobby anak yang punya pergaulan bebas entah

  • Perceraian yang Terindah   Bab 34

    "Gimana, Mama saya, Dok?" tanyaku pada seorang dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Mama."Kita berbicara di ruangan saya saja, Pak," jawabnya. Membuat rongga dadaku semakin sempit."Baik, Dokter."Aku mengekori sang dokter menuju ruangannya. Papa? Dia tidak ikut. Aku pun juga tidak menawarinya untuk ikut dengan ku ataupun meminta Papa untuk tegap berada di dekat Mama."Jadi bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh dr. Laura di ruangannya yang tidak jauh dari ruangan IGD."Apa Mama, Bapak sedang lagi dalam masalah besar? Tampaknya beliau depresi berat.""Saya tidak tahu pasti, Dok. Tapi yang jelas, sekarang adik saya masih belum sadar pasca operasi kemarin."Dr. Laura mengangguk paham."Untuk sementara waktu, mamanya dirawat di sini dulu sampai benar-benar pulih. Karena obat penenang yang dia telan melebihi dosis dan itu juga yang menyebabkan pada akhirnya beliau pingsan.""Jadi, Mama minum obat penenang, Dok? Obat yang tadi itu, penenang

  • Perceraian yang Terindah   Bab 33

    PoV SanjayaAku dan Laniara terbelalak melihat Mama tergeletak di lantai. Masih memakai pakaian semalam. Serentak aku dan istri berjalan setengah berlari menghampiri Mama. Kamar Mama cukup luas, berukuran tujuh kali tujuh meter. Ya, cukup besar dan lengkap."Ma ... bangun ... Bangun, Ma ...." Laniara mengguncang serta menepuk lembut pipi Mama sembari terus memanggil. Aku masih terperangah tak berdaya menatap dalam kedua wanita yang sudah melahirkanku itu yang masih terpejam. Mulutku terasa berat untuk berucap. Tanganku gemetar ketika memegang tubuh Mama yang tidak berdaya. Wajah Mama juga pucat pasi."Mas ... ini obat apa?" tanya Laniara sembari memperlihatkan beberapa butir obat yang dia punguti dari lantai.Aku tak menyahut, bibir ini begitu kelu."Denyut nadi Mama masih ada kok, Mas. Kamu jangan panik," ujar istriku menenangkan. Namun, sekalipun begitu tak ampuh bagiku saat ini.Terdengar Laniara kembali memanggil Mama, tapi Mama tak juga sadar. Jangan 'kan menyahut merespon dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status