PoV Nina
"Abis nelfonan sama siapa, Ma? Kok, senyum-senyum gitu?" tiba-tiba Ayudia masuk ke kamarku. Ya, lagian mana mungkin menantuku itu yang berani masuk ke dalam kamar ini."Ssssssttt ... jangan keras-keras nanyanya. Nanti kedengaran sama Laniara. Tutup pintunya! Ini nih, abis nelfonan sama si Angel-lah. Siapa lagi," sahutku sembari senyum-senyum menatap layar ponselku.Setelah menutup pintu Ayu pun berjalan mendekatiku, kini suaranya pun tidak sekeras tadi, "Angel? Bahas apaan kok sampai senyum-senyum gitu, Ma?" tanya Ayudia penasaran. Aku beranjak, lalu berdiri di depan meja riasku. Kini kami berhadapan."Ya ... seperti biasa lah, Yu. Mama basa-basi kapan diajakin shopping sama si Angel," jawabku semringah. Tentunya, diotakku sudah ada rentetan barang yang akan kubeli jika nanti."Yakin cuma itu aja, Ma. Mana mungkin Kak Angel mau ngasih cuma-cuma, Ma. Sebelumnya dia royal ke kita 'kan ada tujuan juga.""Ya ... apalagi kalau bukan masalah Lani. Mama cuma jalanin apa yang dia mau aja. Yang penting mama bisa minta apa saja sama dia."Memangnya disuruh ngapain, Ma?" tanya Ayudia penasaran."Katanya mau jebak si Lani. Terus mama disuruh nggak banyak nanya sama nggak ngelarang Lani. Soalnya nanti 'kan dia mau keluar tuh. Pokoknya gitu deh, Yu.""Ih, aneh-aneh aja deh. Aku penasaran sama rencananya Kak Angel.""Udah ... nanti aja kalau udah beres tanyain ke dia.""Ma, sebenarnya mama pihak siapa sih? Laniara atau Angel?" tanya Ayudia anak perempuan-ku satu-satunya."Dua-duanya," jawabku santai sembari mengusap-usap layar ponselku."Apa? Dua-duanya? Mama lagi nggak sakit 'kan?" tanya Ayudia kaget. Matanya terbelalak tak percaya."Kamu apaan, sih. Kamu pikir mama gila!""Ya ... kali aja. Apalagi mama 'kan suka marahin si Lani kalau Mas Arfan sudah pergi kerja. Suruh ini suruh itu, sampai kulihat menantu kesayangan mama itu nggak ada istirahat. Kalau begitu ya wajarlah, Ma, dia nggak hamil-hamil. Eh sekali setahun hamil malah keguguran mulu. Eh sekarang bilang mau pihak keduanya 'kan aneh, Ma," cerocos Ayudia."Wuuueeekkk ... menantu kesayangan dari mana. Mama cuma jadiin dia babu selain sumber keuangan kita juga. Terus dia 'kan banyak andil juga untuk perjalanan karirnya Arfan. Sayang juga kalau didepak begitu aja. Kamu gimana sih? Udah dikuliahin tapi nggak pinter-pinter. Masa nggak bisa mikir realitis dikit. Sekarang zaman udah berkembang pesat, Yu. Kamu malah diam ditempatkan aja.""Hmm ... iya juga sih. Tapi ...." Ayudia tampak kebingungan sambil garuk-garuk kepalanya."Memangnya kenapa? Bukannya kita lebih untung? Ya, 'kan?" ucapku sambil mengode Ayudia dengan menggerakkan kedua alis."Hmm ... tapi bener juga sih, Ma. Meskipun aku sebenarnya lebih nyaman sama Kak Angel, tapi nggak ada salahnya juga maanfatin dia. Lagian 'kan dia juga butuh aku, aku 'kan juga turut andil dalam hubungannya dengan Mas Arfan agar bisa segera dinikahi sama Mas Arfan. Kalau Laniara, memang dari awal aku nggak srek. Sekalipun dia begitu banyak berpengaruh selama ini di kehidupan aku dan Mama apalagi Mas Arfan. Namun, entah kenapa hatiku tak menaruh simpati padanya, Ma," ujar Ayudia panjang kali lebar lalu duduk di bibir ranjang."Ssstttt ... jangan keras-keras ngomongnya. Ya udah kamu balik gih ke kamar, mama mau menjalankan aksi."Setelah Ayudia bertolak ke kamarnya, akupun memenduduki kursi di ruang tengah sembari menonton televisi. Tentunya, ditemani cemilan kesukaanku dari dulu brownies panggang.???"Gimana, Ngel? Berhasil rencana kamu? Laniara kemakan jebakan kamu, nggak?" tanyaku lewat sambungan telepon. Angel meneleponku selepas dua jam Laniara keluar dari rumah."Nggak tau deh, Tan. Tadi masa Laniaranya nggak marah-marah pas liat aku sama Mas Arfan lagi bergelut. Jarang-jarang lho ada istri bersikap gitu. Biasanya 'kan marah-marah dan minta cerai. Gimana nih, Tan? Gimana kalau Laniara nggak mau ceraiin Mas Arfan, masa iya aku jadi simpanan terus," terdengar kepanikan Angel di seberang sana."Ya udah, kamu tenang saja. Nanti biar tante yang urus di rumah. Biar tante suruh Arfan nikahin kamu. Tapi jangan lupa sama janji kamu, Ngel.""Iya, Tan. Kalau masalah itu mah beres. Tante nggak usah khawatir. Sekarang tante bantuin aku lagi. Buat Laniara minta cerai dari Mas Arfan. Lagian Mas Arfan juga katanya nggak mau ceraiin Laniara sebelum misinya tuntas. Tapi 'kan aku butuh kepastian, Tan.""Iya-iya. Tante ngerti.""Janji ya, Tan. Harus berhasil, jangan sampai enggak lho!""Iya, tante usahain. Semoga saja Laniara kemakan sama omongan tante, nanti. Kamu tenang saja. Nanti gimananya tante hubungin lagi. Yah? Udah yah?"Aku menghela napas panjang, aku pikir urusan nggak bakalan serumit ini. Beda sama urusan aku yang dulu. Dulu ketika aku merebut suami orang, istri pertamanya langsung marah-marah. Dan, mereka berpisah. "Ribet juga nih ... ih" gerutuku sambil mengepal kedua tangan."Kenapa, Ma? Kok wajahnya nggak bersahabat gitu? Ada masalah lagi?""Ini nih, si Angel. Katanya Laniara nggak marah pas ketahuan Arfan sama dia berduaan. Kita harus cari cara lain, Yu.""Hmm ... ya udah, nanti mama atur aja, aku nanti nimbrung-nimbrung dikit kayak minyak tanah. Biar api-nya makin gede. Mana tahuan nanti kita berdua berhasil bikin Laniara marah besar dan minta cerai dari Mas Arfan. Lagian sekarang kita juga nggak butuh dia, Ma. Mas Arfan udah diposisi bagus, nggak butuh Laniara lagi, jadi nggak usah tungguin misi yang lainnya."Bener juga kamu, Yu. Ya udah nanti mama mau terang-terangan deh nyuruh Angel dan Arfan nikah. Buat apa ditutup-tutupin lagi. Lagian nanti juga kalau Angel dan Arfan menikah, 'kan Angel bisa jadi sumber pundi-pundi kita, ya 'kan, Yu?""Iya, ma. Ma pesanin makanan dong, itu menantu kesayangan mama, nggak masak. Ini nanti juga bisa jadi bahan buat kita marah sama dia, Ma," ujar Ayudia. Aku sangat paham apa yang dimaksud Ayudia.Ternyata kedua anakku bisa mewarisi kepintaran kayak mamanya.Ya ampun ... lebih pedes dari cabe rawit ternyata ... ???PoV SantosoSelepas Subuh aku sudah bersiap, tentu saja ingin menyelidik perempuan itu. Aku yakin dia pasti akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan, akan kubuktikan pada Sanjaya bahwa dia bukan perempuan yang tepat menjadi istri serta menantu di rumah ini.Langit pekat mulai beranjak perlahan, kukemudikan mobil dengan laju kecepatan sedang. Semoga saja perempuan itu masih ada di wisma. Untung juga tadi ketika aku berpamitan sama Sanjaya dia tidak banyak bertanya dan semoga saja dia tidak menaruh curiga.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku tiba di wisma tempat Laniara menginap. Kutepikan mobil beberapa sentimeter dari gerbang, kebetulan di tempat aku memarkir langsung tertuju pada pintu masuk utama wisma. Ini sangat membantuku untuk melihat siapa saja yang keluar masuk.Tepat pukul 07. 00 pagi, targetku keluar dari persembunyiannya. Pasti hari ini ada misi buruk yang akan dia lakukan, kalau tidak mengapa dua musti pergi dari rumah. Jikalau dia benar-benar men
Santoso menaruh kembali botol yang berisikan air minum di kursi tunggu ruang ICU. Selain membawa bekal makanan, Rita juga membawa dua botol minum berukuran sedang serta yang kecil. Sedang berisi air mineral dan yang kecil berisi kopi yang sudah mulai mendingin, tentunya untuk suaminya tercinta."Kenapa Papa jadi salah tingkah? Apa benar dugaan Mama?" tanya Rita penuh selidik.Derap langkah dr. Laila dan dr. Vincen semakin mendekati pintu ruang ICU. Bobby ditangani oleh dua orang dokter saraf, yang mana sebelumnya ditindak sama dr. Laila, tapi selama Bobby di ICU dr. Vincen pun turut turun tangan. Karena dr. Vincen memang bertugas di ruangan ICU serta beberapa ruangan lainnya.Fokus mereka menjadi buyar yang tadinya tertuju pada Santoso, kini beralih pada dua dokter yang semakin mendekati mereka."Nanti bakal Papa ceritain, itu dokter yang nanganin Bobby sudah datang," bisiknya."Itu 'kan dr. Laila, dokter yang pernah kamu maki-maki, Pa.""Sstttt ... iya," sahut Santoso kesal.Rita, San
Kembali ke PoV Laniara ya ..."Terus selama di sana kamu nginap di mana?" tanya Mama Rita sembari melepaskan pelukan perlahan."Tidak jauh dari pemukiman itu ada wisma, di situ aku menginap, Ma."Pakaian kamu bagaimana, Sayang? Bahkan pas pulang tadi kamu tidak membawa apapun dari rumah."Aku menatap kedua manik mata Mas Sanjaya, ada rasa bersalah saat aku memutuskan pergi tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu."Mas ... sebenarnya aku ingin cerita sama kamu soal niat aku ini. Cuma ketika melihat Mama terbaring lemah tidak berdaya kuputuskan untuk ngelakuinnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Dan ... kalau aku jujur, pasti kamu akan melarang aku, pasti kamu akan selalu bilang ini semua ujian. Lalu, aku akan larut dalam rasa bersalahku ketika mata ini menatap Mama yang lemah dan telinga ini akan mendengar soal Bobby yang belum ada perkembangannya. Dan, semua pakaian ku masih berada di wisma, Mas."Mata Mas Sanjaya makin berkaca-kaca."Aku akan semakin merasa bersalah tanpa melakukan
Bobby masih terbaring lemas sembari bangun dari koma selama lebih kurang dua Minggu lamanya."Permisi, Mbak," sapa Santoso yang lebih dulu ingin masuk ke ruangan Bobby."Iya, Pak. Jangan lupa cuci tangan dan pakai baju ini dulu, ya!" ucap Sonia, perawat ruang ICU yang berjaga shift malam."Iya, Mbak. Bobby beneran baru sadar, Mbak?""Iya, Pak. Tak lama Bobby sadar, saya langsung menghibungi Bapak. Alhamdulillah banget ya, Pak. Bobby bisa sadar secepatnya ini. Bener-bener takdir Allah itu tak disangka-sangka. Soalnya saya sangat jarang menemukan pasien yang sadar secepat ini sadar dari koma, Pak.""Benarkah, Mbak?" tanya Santoso tidak percaya. Hal yang wajar jikalau Santoso tercengang seperti itu, mengingat belum ada keluarganya yang pernah koma."Iya, Pak. Selama saya mengabdi kurang lebih sepuluh tahun, ini sungguh keajaiban sang Pencipta. Apalagi Bobby mengalami luka cukup parah ditambah kondisi tubuhnya sudah lemah." Ya wajar saja, karena Bobby anak yang punya pergaulan bebas entah
"Gimana, Mama saya, Dok?" tanyaku pada seorang dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Mama."Kita berbicara di ruangan saya saja, Pak," jawabnya. Membuat rongga dadaku semakin sempit."Baik, Dokter."Aku mengekori sang dokter menuju ruangannya. Papa? Dia tidak ikut. Aku pun juga tidak menawarinya untuk ikut dengan ku ataupun meminta Papa untuk tegap berada di dekat Mama."Jadi bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh dr. Laura di ruangannya yang tidak jauh dari ruangan IGD."Apa Mama, Bapak sedang lagi dalam masalah besar? Tampaknya beliau depresi berat.""Saya tidak tahu pasti, Dok. Tapi yang jelas, sekarang adik saya masih belum sadar pasca operasi kemarin."Dr. Laura mengangguk paham."Untuk sementara waktu, mamanya dirawat di sini dulu sampai benar-benar pulih. Karena obat penenang yang dia telan melebihi dosis dan itu juga yang menyebabkan pada akhirnya beliau pingsan.""Jadi, Mama minum obat penenang, Dok? Obat yang tadi itu, penenang
PoV SanjayaAku dan Laniara terbelalak melihat Mama tergeletak di lantai. Masih memakai pakaian semalam. Serentak aku dan istri berjalan setengah berlari menghampiri Mama. Kamar Mama cukup luas, berukuran tujuh kali tujuh meter. Ya, cukup besar dan lengkap."Ma ... bangun ... Bangun, Ma ...." Laniara mengguncang serta menepuk lembut pipi Mama sembari terus memanggil. Aku masih terperangah tak berdaya menatap dalam kedua wanita yang sudah melahirkanku itu yang masih terpejam. Mulutku terasa berat untuk berucap. Tanganku gemetar ketika memegang tubuh Mama yang tidak berdaya. Wajah Mama juga pucat pasi."Mas ... ini obat apa?" tanya Laniara sembari memperlihatkan beberapa butir obat yang dia punguti dari lantai.Aku tak menyahut, bibir ini begitu kelu."Denyut nadi Mama masih ada kok, Mas. Kamu jangan panik," ujar istriku menenangkan. Namun, sekalipun begitu tak ampuh bagiku saat ini.Terdengar Laniara kembali memanggil Mama, tapi Mama tak juga sadar. Jangan 'kan menyahut merespon dengan