Share

Bab 12

Author: Ayudhia
Vanessa menolak, "Kalian pulang saja. Aku sudah pesan Uber. Aku akan kembali ke tempat tinggalku."

Alis di wajah tampan Marvin sedikit mengerut. Kali ini, dia coba menggunakan Giselle untuk membujuk Vanessa, "Jarang-jarang kita bisa berkumpul dengan gembira, Giselle pasti berharap kamu kembali ke rumah untuk menemaninya. Masa kamu tega membuatnya sedih?"

Namun, Vanessa tetap teguh pada keputusannya. Tatapannya yang biasanya lembut, kini memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.

"Giselle ngerti kok tentang perceraian kita. Karena sudah mau cerai, kita tentu nggak bisa tinggal bareng lagi. Giselle, benar, 'kan?" tanya Vanessa.

Giselle membalas sambil mengangguk, "Pa, jangan paksa Mama lagi."

Melihat anaknya berkata demikian, Marvin pun akhirnya menyerah. Dia awalnya berpikir, setelah berkumpul bersama malam ini dan juga demi anak mereka, Vanessa pasti akan setuju untuk pulang bersamanya. Sayangnya, Marvin sudah terlalu meremehkan tekad Vanessa.

Marvin pun menekan kekesalan dalam hatinya, lalu berpura-pura tak berdaya dan berbicara sambil menggeleng, "Baiklah, aku nggak bisa lawan kalian berdua. Kalau begitu, kamu hati-hati di jalan."

Giselle langsung memeluk Vanessa dan berbicara sambil tersenyum ceria, "Ma, kabari aku kalau sudah sampai rumah ya."

Vanessa merespons seraya tersenyum lembut, "Oke."

Di depan pintu, setelah melihat Marvin mengantar Giselle pergi dengan mobil, Vanessa baru membuka ponselnya dan hendak memesan Uber. Setelah tombol pesan ditekan, Uber tentu tidak akan langsung datang begitu saja. Jadi, dia hanya bisa menunggu dengan sabar.

Malam hari di Kota Harvan, angin sepoi-sepoi yang sedikit hangat menyapu wajah Vanessa, serta mengangkat sehelai rambutnya yang terlepas lalu menyentuh pipinya.

Gaun longgar yang Vanessa kenakan terbawa angin dan menggambarkan lekuk tubuhnya yang ramping dan lembut. Wajahnya yang ceria dan putih tetap terlihat memesona meskipun diterangi oleh lampu jalan yang agak redup.

Sebuah mobil Bentley hitam berhenti di depan Vanessa. Sopirnya turun dengan cepat dan membuka pintu belakang. Dia berujar, "Bu Vanessa, silakan."

Vanessa sedikit membungkuk untuk melihat jelas siapa yang ada di dalam mobil itu. Ternyata Jeremy. Lampu mobil yang menyala memantulkan wajah Jeremy yang tampan dan dingin, serta mata hitamnya yang tajam dan dalam.

Vanessa begitu terkejut hingga mundur selangkah. Pupil matanya langsung mengecil saat melihat Jeremy. Jari-jarinya yang bingung secara diam-diam saling menggenggam. Ternyata, pria itu masih belum pergi juga.

Pada saat ini, suara Vanessa bahkan sedikit bergetar ketika menolak, "Pak Jeremy, nggak perlu repot-repot. Uber yang kupanggil sudah mau sampai."

Jeremy terlihat menyilangkan kaki. Satu tangannya diletakkan di atas sandaran tengah, sementara jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk dengan santai. Bibir tipisnya sedikit tersenyum sebelum langsung berbicara, "Bu Vanessa, aku mau bicara denganmu mengenai kejadian malam itu."

Jantung Vanessa berdegup kencang. Wajah cantiknya tiba-tiba memerah tanpa bisa dikendalikan. Nada bicaranya pun ikut berantakan ketika merespons, "Pak Jeremy, me ... mengenai malam itu apanya? Aku nggak tahu apa maksudmu."

Jeremy diam-diam melihat Vanessa yang terlihat gelisah. Matanya yang hitam dan dalam seakan-akan bisa menembusnya.

Waktu terus berlalu, sementara ada banyak mobil mulai berhenti di belakang mereka. Suara klakson yang dibunyikan mereka pun terdengar kesal.

Akan tetapi, Jeremy sepertinya sangat sabar. Dia tetap diam saja dan tidak kunjung pergi. Dia menatap Vanessa dengan tenang dan penuh perhatian.

Vanessa yang tidak tahan lagi pun menggigit bibirnya dengan kesal. Bibirnya makin merah karena gigitan tersebut. Berhubung tak berdaya, dia akhirnya masuk ke dalam mobil. Sopir Jeremy juga segera masuk dan membawa pergi mobil mereka.

Di dalam mobil, Vanessa duduk dengan tubuh yang tegang. Wajahnya yang cantik dan ceria terlihat penuh kecemasan. Matanya tertunduk dengan bulu mata yang sedikit bergetar. Dia sama sekali tidak berani menatap pria di sampingnya.

Lampu-lampu neon di luar mobil bergerak cepat dan kabur menjadi garis merah. Vanessa tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia hanya bisa menundukkan kepala dan membuka ponselnya, lalu membatalkan pesanan Uber.

Suasana di dalam mobil terasa sangat hening. Udara di sekitarnya dipenuhi aroma harum yang lembut. Kenangan menyebalkan itu datang begitu cepat. Dia teringat beberapa detik ketika Jeremy mencium bibirnya. Selain bau alkohol, ada juga aroma khas yang dimilikinya.

Hati Vanessa menjadi makin kacau dan pipinya sedikit memerah. Dia hanya berharap ada seseorang yang bisa datang dan menyelamatkannya.

Mata hitam Jeremy yang dalam menyapu punggung Vanessa yang tegang dan tegak. Lengan putihnya menurun, sementara kedua tangannya yang ramping dan panjang saling menggenggam erat. Itu menunjukkan bahwa dia benar-benar tegang.

Jeremy membuka bibir tipisnya. Suaranya berat tetapi memiliki pesona yang dalam. "Bu Vanessa, kenapa kamu nggak pulang sama Pak Marvin?"

Vanessa berusaha menenangkan napasnya sebelum menjawab, "Kami nggak tinggal bareng lagi."

Tatapan dingin di mata Jeremy perlahan mulai menghilang. Dia bertanya, "Alika bilang kalian lagi dalam proses perceraian?"

Pertanyaan itu sebenarnya agak melewati batas. Namun karena Vanessa merasa sangat gugup, dia akhirnya menjawab dengan patuh, "Ya, masih dalam proses soalnya ada masa tenang selama sebulan. Setelah itu, kami baru akan pergi ke Pengadilan Negeri buat ambil akta cerai. Nantinya, kami baru resmi bercerai."

Jeremy berpikir sejenak. Jarinya yang panjang dan berotot diletakkan di atas sandaran tengah, lalu mengetuk perlahan. Dia menimpali, "Kalau Bu Vanessa butuh pengacara, aku bisa bantu."

Vanessa sangat terkejut. Matanya seketika hidup kembali. Dia segera menolak, "Nggak usah. Makasih atas niat baik Pak Jeremy, aku ... nggak begitu butuh pengacara." Kemudian, dia melanjutkan sambil tersenyum kecut, "Lagian aku nggak mau minta apa-apa darinya, jadi nggak butuh pengacara."

Jeremy menatapnya dengan tajam. Alisnya sedikit berkerut dan kilatan tajam melintas di matanya. Dia berkomentar, "Bu Vanessa, kamu ini terlalu baik hati."

"Bukan baik hati. Aku cuma nggak mau buang-buang waktu. Aku mau segera keluar dari pernikahan ini. Lagian aku sudah menandatangani surat perjanjian pranikah. Apa yang bukan milikku nggak akan kuambil," jelas Vanessa.

Ini adalah pilihan Vanessa sendiri. Dulu demi cinta, dia menandatangani surat perjanjian pranikah tanpa rasa takut. Sekarang, dia tidak takut pada apa pun dan hanya ingin bebas secepatnya.

Jeremy terdiam lama sebelum kembali berbicara, "Bu Vanessa, kamu benar-benar tegar."

Vanessa hanya bisa tertawa pahit dalam hati. Apa itu tegar? Hanya keputusan yang terpaksa diambil. Daripada berlarut-larut dalam perselisihan tentang harta yang hanya akan menyia-nyiakan waktu dan membuatnya terjebak dalam kebingungan batin, bahkan menyakitkan tubuh dan hatinya, lebih baik dia cepat-cepat keluar dari masalah ini, meskipun ada harga yang harus dibayar.

Mobil akhirnya berhenti di depan gedung tempat tinggal Vanessa. Saat dia hendak turun, Jeremy tiba-tiba berbicara, "Mengenai malam itu ...."

Vanessa merasakan detak jantungnya berhenti sejenak. Dia buru-buru menyela ucapan pria itu, "Aku tahu. Pak Jeremy, kamu mabuk di malam itu, jadi pasti nggak sengaja melakukannya. Kita anggap saja hal itu nggak pernah terjadi."

Jeremy memicingkan matanya yang gelap. Dia memandang Vanessa yang coba menutupi kenyataan. Beberapa saat kemudian, dia menarik kembali tatapannya dan menyembunyikan emosinya. Dia berbicara sambil tersenyum dengan makna yang sulit ditafsirkan, "Ya sudah, yang penting Bu Vanessa nggak menyalahkanku."

Vanessa memaksakan senyum canggung. Apa lagi yang bisa dia lakukan? Dia membuka pintu dan keluar, lalu berdiri di samping mobil dan menunggu mobil Jeremy pergi.

Jeremy menurunkan kaca mobil. Dia menatap Vanessa yang tersembunyi dalam kegelapan, tetapi wajahnya yang ceria masih begitu putih dan memesona.

Setelah membicarakan hal yang rumit itu, Vanessa tidak lagi merasa cemas. Kini, dia berdiri dengan anggun dan tersenyum santai. Hanya saja, senyumannya terasa begitu jauh hingga membuat Jeremy merasa agak kesal.

Apakah wanita ini benar-benar akan melupakan ciuman itu? Apakah dia benar-benar akan menganggapnya tidak pernah terjadi? Jeremy cukup emosi memikirkannya.

Kemudian, Vanessa melihat bahwa di bawah cahaya lampu mobil, wajah Jeremy yang dingin perlahan menyunggingkan senyum tipis. Dia berujar, "Bu Vanessa, kamu salah barusan. Malam itu, aku nggak mabuk kok. Aku sepenuhnya sadar."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status