Share

Bab 11

Author: Ayudhia
Vanessa tidak berani bertanya. Dia juga tidak ingin memikirkan hal tentang Jeremy. Dia hanya berharap kejadian malam itu tidak pernah terjadi.

Sayangnya, Jeremy tiba-tiba menghubunginya. Di ujung telepon, suara Jeremy terdengar rendah dan bergetar dengan pesona. "Bu Vanessa, mengenai acara terakhir di rumah Keluarga Faraday, kita belum membicarakan soal bayaran. Apa kamu punya waktu besok malam?"

Di sisi lain, setelah mendengar suara Jeremy, Vanessa merasa seolah-olah jantungnya berhenti sejenak. Tangannya yang memegang ponsel tanpa sadar menegang dan reaksi pertamanya adalah menolak.

Vanessa berujar, "Nggak usah, Pak Jeremy. Sebenarnya, Alika yang membantuku dan aku juga cuma coba peruntungan. Kalau Alika senang, aku pun berhasil mempromosikan diri sedikit. Jadi, nggak perlu bayaran kok."

Di sisi Jeremy langsung hening sejenak. Vanessa takut bahwa dia akan membahas kejadian canggung malam itu sehingga segera berpura-pura sibuk.

"Maaf, Pak Jeremy. Aku lagi ada urusan, jadi harus tutup telepon sekarang." Tanpa memberi kesempatan kepada Jeremy untuk berkata apa-apa, Vanessa langsung menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke samping. Dia seolah-olah tidak ingin melihat ponsel tersebut.

Untungnya, ponsel itu tidak berbunyi lagi. Vanessa pun menghela napas lega. Seolah menghindar, dia buru-buru menyingkirkan hal itu dari benaknya.

Keesokan harinya, Marvin menghubunginya untuk membicarakan pesta yang akan diadakan untuk Giselle. Dia ingin bertemu dengannya untuk berdiskusi lebih lanjut.

Hanya saja, Vanessa tidak ingin bertemu sendirian dengan Marvin. Lagi pula, pria itu juga bekerja pada siang hari. Jadi, dia pun mengajak Giselle untuk makan malam bersama Marvin di luar sekaligus untuk membicarakan hal lain.

Vanessa menjemput Giselle di sekolah, lalu mereka pergi ke Hotel Wines. Ini adalah salah satu hotel paling mewah dan terkenal di Kota Harvan, juga merupakan bagian dari merek hotel yang dimiliki oleh Keluarga Faraday.

Mereka naik lift menuju restoran di lantai atas, di mana Marvin sudah memesan tempat sebelumnya. Setelah ibu dan anak itu masuk, mereka memandang sekeliling. Semua sudut di sana menunjukkan kemewahan dan keanggunan.

Mereka duduk di tempat dekat jendela besar. Dari situ bisa melihat pemandangan malam Kota Harvan yang paling indah. Ketika duduk di sini, rasanya seperti bisa meraih bintang di langit. Itu memberi kesan percaya diri yang tinggi dan tidak terjangkau oleh orang biasa.

Giselle sangat suka melihat pemandangan malam dari sudut ini sehingga mengambil banyak foto dengan ponselnya. Di sisi lain, Vanessa hanya melihat menu dalam diam. Dia memesan makanan, lalu memeriksa ponselnya dan bertanya tentang kabar sekolah Giselle.

Jeremy sudah melihat Vanessa sejak dia masuk ke restoran. Hari ini, Vanessa mengenakan gaun hitam tanpa lengan yang longgar dan sederhana. Tidak ada lekuk tubuh yang terlihat. Namun karena tubuhnya ramping, gaun itu bergoyang dengan lembut saat dia bergerak.

Rambut Vanessa disanggul dengan tusuk kayu yang diukir. Beberapa helai rambutnya terurai dengan santai di telinga. Itu memberi kesan elegan tetapi sedikit malas. Riasan wajah wanita itu ringan, bibirnya sedikit merah, dan senyumnya saat melihat Giselle begitu indah dan tenang. Tanpa disadari, dia telah menarik perhatian banyak orang.

Tidak lama setelah itu, Marvin tiba di restoran lalu duduk di samping Vanessa dan Giselle. Keluarga kecil itu terlihat sangat bahagia dan itu benar-benar mengundang rasa iri. Jeremy sedikit memicingkan mata hitamnya dan tatapannya menjadi gelap.

Orang di depan Jeremy menyadari bahwa perhatiannya teralihkan sehingga bertanya, "Pak Jeremy?"

Jeremy baru tersadar kembali. Dia kembali fokus sambil berucap dengan nada dingin, "Lanjutkan saja."

Marvin duduk di depan Vanessa, lalu berujar, "Maaf, aku terlambat. Soalnya tadi macet di jalan. Apa kamu sudah memesan makanan?"

Vanessa menimpali, "Sudah. Kalau kamu butuh sesuatu lagi, bisa ditambahkan."

Marvin menolak, "Nggak usah. Van, kamu tahu seleraku. Aku percaya pada apa yang kamu pesan."

Mendengar itu, Vanessa hanya tersenyum ringan dan tidak berkata apa-apa lagi. Kebetulan, saat ini makanan sudah datang. Untuk menghindari suasana canggung antara orang tua, Giselle sengaja membahas beberapa hal.

Ketika makanan hampir habis, Marvin mulai membicarakan soal pesta yang akan diadakan di rumah Keluarga Tanrio. Menu untuk pesta bisa dipilih sepenuhnya oleh Vanessa. Sebenarnya sebagai mantan menantu Keluarga Tanrio, dia sudah terbiasa mengurus acara semacam ini. Hanya saja, kali ini dia harus turun tangan langsung. Ini berarti, nantinya akan lebih melelahkan.

Marvin berpendapat, "Untuk tamunya, aku rasa cukup dengan teman-teman Giselle dan orang tua mereka, serta beberapa wanita yang dulu dekat denganmu. Van, kalau kamu mau, boleh undang mereka sendiri. Selain itu, nggak ada lagi. Kita cuma mengadakan pesta ini untuk anak kita, jadi cukup seperti ini saja."

Vanessa membalas sambil mengangguk, "Oke. Aku akan menghubungi Bi Lina di rumah untuk hal-hal lainnya."

Marvin merespons sembari tersenyum ringan, "Sekarang, rumah Keluarga Tanrio masih bisa dianggap sebagai rumahmu. Van, kamu jangan terlalu sungkan."

Kemudian, Marvin beralih ke Giselle. "Omong-omong, Giselle. Teman baikmu si Alika bilang orang tuanya nggak ada di Kota Harvan. Jadi, siapa yang harus diundang dari keluarganya?"

Giselle membalas, "Alika bilang dia akan bawa pamannya. Pokoknya dia nggak perlu diundang, kami memang sudah sepakat seperti itu. Dia pasti akan datang."

Tatapan Marvin terlihat sedikit terkejut, tetapi tetap menyetujui, "Oke."

Setelah makan malam selesai, keluarga kecil itu berjalan keluar. Sembari menunggu lift, Vanessa berbicara dengan Giselle. Namun, tiba-tiba Marvin menyapa, "Pak Jeremy, sungguh kebetulan. Kita bertemu lagi. Kamu juga sudah selesai makan?"

Tubuh Vanessa tertegun sejenak. Seluruh tubuhnya tiba-tiba kaku, sementara matanya sekilas menangkap sosok yang tinggi dan tegap. Detak jantungnya agak tidak teratur dan jarinya yang menggenggam tangan Giselle secara tidak sadar menegang. Di sampingnya, Giselle menatap ibunya dengan bingung.

"Giselle, Van, ayo cepat sapa Pak Jeremy." Usai berkata demikian, Marvin langsung menarik tangan Giselle untuk mendekat ke Jeremy.

Giselle melihat ke arah Jeremy, lalu menyapa sambil tersenyum manis, "Halo, Paman Jeremy."

Jeremy sedikit menundukkan kepalanya. Dia memandang Vanessa yang berdiri tegak, tetapi terlihat sangat gugup.

Sementara itu, Vanessa akhirnya menoleh ke arahnya. Wajahnya yang cantik menyunggingkan senyum tipis. Hanya saja, senyumnya terlihat agak terpaksa. Dia menyapa, "Pak Jeremy."

Setelah menyapa, Vanessa segera menundukkan kepala dan bahkan tidak berani menatap Jeremy lagi. Bulu mata wanita itu sedikit bergetar, bagaikan daun hijau yang baru tertutup embun pagi dan sangat rapuh.

Mata hitam dan pekat Jeremy menatap wajah putih Vanessa sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. Dia lalu berujar, "Pak Marvin, keluarga kecil kalian terlihat sangat ... bahagia!"

Marvin tidak menyadari bahwa ada maksud lain dalam kata-kata Jeremy. Dia hanya tersenyum sopan sambil merangkul bahu Vanessa, seolah-olah mengonfirmasi kata "bahagia" itu. Di sisi lain, Vanessa merasa tidak suka dalam hatinya, tetapi dia tidak menyingkirkan tangan Marvin.

Marvin menimpali, "Pak Jeremy, kamu terlalu memuji. Anakku suka tempat ini, jadi aku dan istriku membawanya ke sini. Oh, kebetulan tadi kami juga membicarakan hal ini. Aku dan istriku berencana mengadakan pesta untuk anak kami. Alika adalah teman Giselle, nantinya kami akan mengundang Pak Jeremy. Kami harap, kamu bisa hadir."

Jeremy mengangkat alis sedikit. Pandangannya yang dalam menyapu Vanessa yang sedang dipeluk. Dia berdiri tenang dan anggun di samping Marvin dan tampaknya sangat serasi dengan suaminya.

Jeremy lagi-lagi mengabaikan sikap ramah Marvin. Ketika pintu lift terbuka, dia langsung melangkah masuk dengan diikuti oleh orang-orang di sekitarnya.

Marvin tertegun sejenak, lalu masuk ke lift bersama Vanessa dan Giselle. Jeremy tidak memberikan jawaban atas undangan Marvin, bahkan ekspresinya menjadi makin dingin, seolah-olah memberikan tekanan yang membuat sulit bernapas.

Setelah lift tiba di lantai satu, Jeremy dan orang-orang di sekitarnya segera keluar. Marvin terlihat sedikit marah ketika keluar dari lift. Kejadian barusan membuatnya sangat malu, apalagi itu terjadi di hadapan istri dan anaknya. Itu sungguh membuatnya kesal. Dia pun mulai merasa sedikit frustrasi.

"Giselle, bukannya tadi kamu bilang Alika bakal ajak pamannya? Kenapa sikap Pak Jeremy seperti itu? Lain kali kalau belum yakin, jangan asal bicara ya," marah Marvin. Gara-gara itu, barusan dia begitu malu di depan Jeremy.

Vanessa langsung membela putrinya sambil memelotot dengan tatapan tajam, "Marvin, jangan libatkan masalahmu dengan Giselle. Persahabatan antara Giselle dan Alika nggak ada hubungannya dengan urusan orang dewasa. Apa pun tujuanmu, jangan campur adukkan masalah anak-anak dengan masalah orang dewasa."

Vanessa jelas tahu bahwa Marvin berusaha menjalin hubungan dengan Jeremy. Sekarang, dia mulai meragukan niat asli Marvin dalam mengadakan pesta untuk anaknya.

Memikirkan hal itu, Vanessa pun mengerutkan kening. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi di depan Giselle, dia memilih untuk menahan diri. Hanya saja, dia tetap mengingatkan Marvin, "Cepat minta maaf pada Giselle."

Ekspresi Marvin sontak berubah. Namun, dia segera kembali bersikap seperti ayah yang baik dan cepat-cepat meminta maaf, "Ya sudah, aku salah. Giselle, Papa yang salah. Maafkan Papa ya?"

Giselle pun mengerucutkan bibirnya ketika membalas, "Ya, aku sudah memaafkanmu. Hmph!"

Marvin pun tertawa ringan sebelum merespons, "Makasih atas kebaikan hati Giselle. Sekarang, ayo kita pulang." Kata "kita" yang dimaksud Marvin tentu saja merujuk pada keluarga kecil mereka.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status