Share

Bab 3

Author: Ayudhia
Dulu Vanessa pernah mendengar berbagai macam perbuatan yang keterlaluan dari pria-pria dalam lingkaran sosial ini. Mereka melakukan banyak hal menjijikkan dengan wanita.

Saat itu, Vanessa bersyukur Marvin bukan pria seperti itu. Para pria yang cabul itu tidak ada hubungan dengannya, jadi dia juga tidak peduli.

Sekarang para pria ini muncul di depan Vanessa. Dia mual melihat sikap mereka. Vanessa tidak ingin bicara panjang lebar dengan orang-orang ini.

Vanessa berbalik dan hendak pergi. Tidak disangka, ada 2 pengawal yang berjaga di luar begitu Vanessa membuka pintu. Mereka menghalangi Vanessa.

Terdengar suara tawa di belakang. Leon mendekati Vanessa dan memojokkannya.

Leon tersenyum percaya diri sambil berujar, "Vanessa, dulu ada Marvin. Waktu itu aku menyerah karena dia. Tapi, sekarang nggak ada siapa pun lagi yang bisa buat aku melepaskanmu. Kamu juga tahu aku nggak akan berhenti sebelum mencapai tujuan."

Wajah Vanessa memucat. Dia teringat sebelum Marvin mendekatinya, Leon sering mengganggunya dengan tindakan-tindakan yang membuatnya ketakutan. Bahkan tidak ada gunanya melapor polisi.

Bisa dibilang kalau bukan karena Marvin muncul, mungkin Vanessa akan ditiduri Leon secara paksa. Sekarang Marvin tidak mungkin terus melindungi Vanessa lagi setelah mereka bercerai.

Vanessa mengepalkan tangannya dengan erat. Dia berusaha menenangkan dirinya dan berkata dengan dingin, "Pak Leon, kamu sudah menikah. Aku juga kenal istrimu."

Leon tertawa, lalu menanggapi, "Memangnya kenapa? Kekasihku sangat banyak, kapan dia pernah mempermasalahkannya? Vanessa, jangan berontak lagi. Nggak ada aku, masih ada orang lain. Apa kamu kira kamu bisa hidup tenang di Kota Harvan dengan parasmu ini?"

Sebenarnya ancaman Leon membuat Vanessa takut. Akan tetapi, sekarang dia tidak sempat berpikir panjang lagi. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.

Dua pengawal menghalangi di depan, sedangkan pria yang menjijikkan mengincar di belakang. Bahkan sekarang para pria itu menatap Vanessa seperti mempermainkan mangsa. Mereka melihat Vanessa seolah-olah dia tidak bisa kabur lagi. Para pria itu masih lanjut meledek.

"Aku rasa kita nggak bisa menang rebutan dengan Pak Leon. Dia ini abnormal, benar-benar nggak berperikemanusiaan."

"Hahaha ... Leon, kamu harus janji jangan main terlalu berlebihan. Nanti nggak enak lagi waktu giliran kami."

Leon tertawa dan memandangi Vanessa dengan tatapan mesum. Dia mengomentari, "Boleh, aku pasti akan memperlakukannya dengan lembut. Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kamu nggak tahan lagi ya? Hehe ...."

Vanessa tidak ingin mendengar ucapan mereka lagi. Dia membentak pengawal di depan pintu, "Minggir! Tindakan kalian ini termasuk penahanan nggak sah! Aku mau lapor polisi."

Kedua pengawal tetap bergeming. Leon menarik sebuah kursi, lalu langsung duduk dan menyilangkan kakinya. Dia memandang Vanessa yang membelakanginya dengan tatapan intens.

Vanessa terpaksa melapor polisi. Namun, para pria itu sama sekali tidak terlihat takut. Vanessa tahu mereka tidak takut karena mempunyai sokongan. Mereka belum tentu melakukan sesuatu pada Vanessa hari ini, takutnya mereka baru bertindak nanti.

Kala ini, pintu lift terbuka. Beberapa pria yang memakai setelan jas berjalan keluar dari lift. Mata Vanessa berbinar-binar. Dia memanggil, "Pak Jeremy!"

Vanessa berbicara dengan penuh harap. Dia terdengar seperti wanita yang antusias melihat pria yang dicintainya.

Jeremy Faraday mendongak. Tatapannya sangat misterius saat melihat Vanessa sehingga emosinya tidak bisa ditebak. Ekspresi di wajahnya yang tampan juga terlihat tenang.

Vanessa yang panik berucap dengan manja, "Pak Jeremy, apa kamu datang untuk menjemputku? Waktuku tertunda gara-gara mereka sengaja mempersulitku dan melarangku pergi. Cepat jelaskan kepada mereka!"

Jeremy melihat wanita cantik di depannya. Vanessa memiliki paras cantik yang sangat menonjol sehingga membuat Jeremy takjub. Biarpun hanya memakai kemeja putih simpel dan rok midi hitam, punggungnya yang tegak dan lekukan tubuhnya yang sempurna tetap terlihat jelas.

Hanya saja, sekarang kedua mata Vanessa yang menawan tampak seperti memohon kepada Jeremy. Matanya juga berkaca-kaca, dia tampak kasihan dan juga menggemaskan.

Leon berdiri, lalu berjalan ke depan pintu dan melihat Jeremy. Dia mengamati Vanessa dan Jeremy dengan tatapan curiga. Tatapannya menjadi suram, tetapi dia tidak berani bertindak gegabah.

Leon juga sedikit tertekan dan berhati-hati saat berbicara dengan Jeremy, "Pak Jeremy kenal dengan ... Bu Vanessa?"

Jari-jari tangan Vanessa gemetaran saking gugupnya. Bibirnya yang indah dan merona dikatupkan dengan erat. Dia mendengar Jeremy melontarkan ucapannya dengan suara berat. "Vanessa, sini!"

Vanessa seperti tiba-tiba hidup kembali. Sekujur tubuhnya seolah-olah memancarkan cahaya warna-warni yang indah. Dia melangkah dengan berani, sikapnya sangat tegas dan arogan.

Kedua pengawal di depan pintu juga tidak menghalangi Vanessa lagi. Vanessa berjalan dengan sedikit buru-buru. Setelah berdiri di samping Jeremy, Vanessa baru memendam antusiasmenya. Matanya melengkung begitu dia tersenyum elegan.

"Pak Jeremy, kita sudah boleh pergi," ujar Vanessa.

Jeremy yang tampan dan bertubuh tinggi menunduk dan melihat Vanessa. Dia berbalik, lalu kembali berjalan masuk ke lift.

Vanessa segera mengikuti Jeremy, sedangkan 2 orang yang mengikuti Jeremy tidak berbicara dari tadi. Mereka ikut turun ke lantai bawah kembali tanpa melontarkan sepatah kata pun.

Setelah pintu lift tertutup, suasana menjadi canggung. Vanessa masih merenungkan apa yang harus dikatakannya, tetapi lift sudah sampai di lantai 1.

Mereka semua keluar. Vanessa yang malu segera berkata, "Pak Jeremy, terima kasih banyak atas bantuanmu tadi. Aku terpaksa manfaatkan kamu sebagai tameng, tapi aku nggak akan merepotkanmu. Aku pasti mengingat bantuanmu hari ini, ke depannya aku pasti membalas kebaikanmu kalau ada kesempatan."

Vanessa mengenal Jeremy karena sebelumnya dia mengenal teman baik Giselle yang bernama Alika Faraday sewaktu pergi ke sekolah. Alika adalah keponakan Jeremy.

Suatu kali, Jeremy pergi ke sekolah untuk menjemput Alika pulang. Vanessa hanya pernah bertemu Jeremy sekali. Dalam pertemuan ini, mereka melihat satu sama lain dari jauh. Bahkan mereka tidak saling menyapa.

Tadi Vanessa yang panik juga tidak yakin Jeremy bersedia membantunya. Tidak disangka, ternyata Jeremy mengingat Vanessa. Bahkan Jeremy juga tahu namanya.

Ekspresi Jeremy tetap datar, tatapannya juga misterius. Dia hanya berucap dengan datar, "Bu Vanessa nggak usah sungkan."

Kemudian, Jeremy memerintah orang di samping, "Robby, antar Bu Vanessa pulang."

Vanessa menolak, "Nggak usah, Pak Jeremy. Aku bisa pulang sendiri ...."

Jeremy menyela, "Orang di lantai atas masih mengawasimu."

Tubuh Vanessa menegang. Dia mendongak dan melihat sepertinya memang ada seseorang berdiri di depan jendela lantai 3. Walaupun tidak jelas, orang seperti Leon pasti tidak akan menyerah begitu saja.

Jantung Vanessa berdegup kencang lagi. Dia juga tidak menolak Jeremy. Sementara itu, Jeremy melihat Vanessa mengikuti Robby naik ke mobil dan hendak pergi.

Sebelum mobil dijalankan, Vanessa tiba-tiba membuka jendela mobil dan mencondongkan wajahnya yang cantik ke depan. Dia tersenyum lebar kepada Jeremy dan berpamitan, "Pak Jeremy, sampai jumpa."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status