Share

Bab 2

Penulis: Ayudhia
Vanessa memberikan surat perjanjian perceraian kepada Marvin. Sementara itu, Marvin tidak melihat surat perjanjian perceraian itu. Senyuman lembut tersungging di wajahnya yang tampan. Dia juga terlihat tidak berdaya.

Marvin membujuk, "Van, jangan marah lagi. Aku tahu sekarang kamu masih nggak bisa terima, tapi aku juga sudah jelaskan aku cuma tertarik sesaat pada wanita itu. Kami nggak pernah melakukan apa pun yang lebih intim. Aku cuma mencintaimu."

Marvin melanjutkan, "Kalau amarahmu masih belum reda ... begini saja ... beberapa hari lagi aku bawa kamu ke Variz untuk beli barang-barang kesukaanmu atau ... kamu mau pergi ke negara lain? Kamu boleh pilih negara mana pun, kita pergi liburan."

Marvin menambahkan, "Aku tahu belakangan ini aku mengabaikanmu. Ke depannya aku nggak akan mengulanginya lagi. Oke?"

Selesai bicara, Marvin berdiri dan mendekati Vanessa. Dia hendak memeluknya. Namun, Vanessa langsung menghindar. Biasanya wajah cantik Vanessa selalu terlihat lembut, sekarang ekspresinya sangat dingin.

Marvin sudah terbiasa melihat Vanessa tersenyum lembut. Dia merasa ekspresi dan tatapan Vanessa yang dingin sekarang malah terlihat lebih menarik.

Mereka sudah menikah selama belasan tahun. Marvin juga sudah bosan biarpun Vanessa sangat cantik. Siapa sangka, sekarang pesona Vanessa terlihat berbeda.

Vanessa mengabaikan Marvin yang tersenyum penuh minat dan berbicara dengan serius, "Marvin, aku nggak bercanda denganmu. Kalau kamu menandatangani surat perjanjian perceraian, kita pergi ke Pengadilan Negeri untuk cerai 1 bulan lagi. Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku nggak keberatan menggugat cerai kamu di pengadilan."

Vanessa menambahkan, "Tapi, kalau nanti sidang perceraian kita terekspos dan memengaruhi perusahaanmu, itu bukan salahku."

Marvin mengangkat alisnya dan tertawa. Dia menimpali, "Van, kamu juga tahu hal ini? Apa Isabel yang mengajarimu trik ini? Pengacara memang pintar."

Marvin mengingatkan, "Tapi Vanessa, apa dia sudah beri tahu kamu? Kita menandatangani surat perjanjian pranikah sebelumnya. Kalau benar-benar cerai, sebenarnya perusahaanku nggak akan terpengaruh. Sebaliknya, kamu harus pergi tanpa mendapatkan uang sepeser pun."

Nada bicara Marvin seperti menakut-nakuti anak kecil. Dulu Vanessa merasa Marvin yang berbicara seperti ini seperti memanjakannya dan menghiburnya. Dia merasa bahagia.

Namun, sekarang Vanessa merasa sangat ironis. Sikap Marvin sudah jelas menunjukkan dia meremehkannya.

Vanessa menegaskan, "Marvin, aku nggak begitu bodoh sampai-sampai butuh diajari trik untuk melakukan segala sesuatu. Ini nggak ada hubungannya dengan Isabel, aku benar-benar serius. Karena kamu berhubungan dengan wanita lain, aku merasa jijik. Aku menganggapmu kotor, kita cerai saja!"

Wajah Marvin menegang. Dia merasa sedikit malu. Marvin menanggapi, "Vanessa, kamu pikirkan baik-baik. Selama ini, kamu nggak bisa melakukan apa pun lagi selain menghambur-hamburkan uang. Kamu yakin mau cerai? Kamu bahkan nggak sanggup menghidupi diri sendiri!"

"Aku sudah pikirkan baik-baik, tanda tangan saja," timpal Vanessa.

Marvin mulai marah melihat Vanessa yang keras kepala. Akan tetapi, dia yang kepikiran sesuatu mendengus. Dia tampak tidak berdaya.

Marvin benar-benar menandatangani surat perjanjian perceraian itu, lalu dia berkata, "Masa tenang itu 1 bulan, kamu tenangkan dirimu. Setelah kamu berpikir jernih, cari aku lagi."

Vanessa tidak berbicara omong kosong lagi dengan Marvin. Dia membereskan koper, lalu pergi dengan membawa beberapa potong pakaian.

Sore harinya, Vanessa yang menjemput Giselle di depan sekolah. Saat membawa Giselle makan di luar, Vanessa menceritakan masalah surat perjanjian perceraiannya dengan Marvin kepada Giselle.

Awalnya Vanessa mengira Giselle akan menangis dan bersedih. Siapa sangka, Giselle hanya mengangguk dengan ekspresi tenang.

Giselle menghibur, "Nggak masalah kalau Mama mau cerai. Mama, kamu nggak usah khawatirkan aku. Mama harus pentingkan diri sendiri dulu baru aku. Sekarang aku sudah dewasa, Mama bisa melakukan apa pun sesuai keinginan Mama."

Mata Vanessa memerah dan air matanya menetes. Giselle membantu Vanessa menyeka air mata sambil meneruskan, "Mama, bukannya kamu pernah bilang padaku perempuan harus selalu mengejar apa yang benar-benar diinginkannya? Jangan dikekang oleh siapa pun atau apa pun."

Giselle melanjutkan, "Dulu Mama menikah dengan Papa karena keinginan sendiri. Sekarang Mama cerai dengan Papa juga karena alasan yang sama. Yang lain nggak penting."

Selama bertahun-tahun, Vanessa yang menjaga dan mendidik putrinya. Kala ini, putrinya malah menjadi penyokongnya.

....

Vanessa pindah ke rumah kecil dengan 1 kamar tidur yang dibelikan orang tuanya sebelum menikah. Sewaktu Vanessa menikah dengan Marvin, orang tuanya tidak sekaya Keluarga Tanrio. Namun, mereka juga mengeluarkan tabungan untuk membelikan Vanessa rumah kecil di Kota Harvan.

Selama bertahun-tahun, rumah ini kosong dan tidak disewakan. Hanya saja, Vanessa menyuruh orang untuk membersihkannya secara berkala. Tidak disangka, sekarang rumah ini benar-benar berguna.

Kemudian, Vanessa mencari banyak data di internet mengenai cara mencari pekerjaan dan membuat CV. Sekarang dia harus melamar pekerjaan di situs mana? Selain mencari pekerjaan, apa masih ada hal lain yang bisa dilakukannya?

Vanessa memang tidak pernah bekerja dan tidak pernah memperhatikan perubahan dunia kerja di luar. Namun, dia juga tahu dirinya adalah wanita berusia 36 tahun yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman kerja. Dia tidak mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan orang biasa yang melamar pekerjaan.

Jadi, sambil memasukkan CV ke beberapa tempat, Vanessa juga mencari tahu apa yang bisa dilakukannya, apa yang dia kuasai, dan pekerjaan apa yang menghasilkan uang. Dia mulai merencanakan kehidupannya.

Ketika Vanessa sudah hampir selesai membuat rencana, dia menerima panggilan telepon dari divisi personalia sebuah perusahaan yang menyuruhnya datang untuk melakukan wawancara kerja. Hanya saja, lokasi wawancara kerja bukan di perusahaan, melainkan di Klub Niana.

Vanessa tidak curiga karena Klub Niana bukan tempat yang tidak jelas. Standar klub ini sangat tinggi. Dulu Vanessa pernah pergi ke Klub Niana bersama Marvin untuk menghadiri acara pertemuan dengan teman. Tempat ini bisa dipakai untuk acara santai atau bisnis.

Vanessa berdandan sebentar, lalu pergi ke Klub Niana. Setelah menyebutkan nama dan tujuan kedatangannya, Vanessa dibawa staf ke lantai 3. Dia memang melihat ruang rapat.

Begitu membuka pintu dan berjalan masuk, Vanessa tidak melihat pewawancara. Dia melihat beberapa pria yang duduk santai di samping meja rapat bundar. Bahkan Vanessa mengenal mereka.

Salah satu pria angkat bicara, "Lho, bukannya ini istri Marvin ... eh, salah ... sekarang dia bukan istri Marvin lagi, kalian sudah cerai, 'kan? Bu Vanessa, tsk, tsk ... Marvin benar-benar kejam. Dia begitu pelit waktu cerai. Apa dia nggak membagi kekayaan yang cukup banyak untukmu sampai-sampai kamu harus kerja untuk menghidupi diri sendiri?"

Orang yang berbicara adalah salah satu pria yang mendekati Vanessa dulu. Namanya Leon Malik. Setelah Vanessa pacaran dengan Marvin, Leon berhenti mendekati Vanessa.

Selama ini, Leon tidak pernah berhubungan dengan mereka. Dia hanya pernah bertemu dengan Marvin di beberapa acara. Paling-paling keduanya hanya saling menyapa.

Selain Leon, Vanessa juga pernah bertemu dengan pria lainnya di ruangan ini. Mereka pernah mengobrol, semuanya adalah orang-orang di lingkaran sosial Marvin.

Salah satu pria berujar, "Pak Leon, sekarang kamu kasihan padanya ya? Selama ini, kamu belum melupakan Bu Vanessa, 'kan? Begitu dia cerai, kamu langsung buru-buru merekrutnya biar bisa menyayanginya."

Pria lain tertawa dan meledek, "Leon, kamu jangan kuasai Bu Vanessa. Kami juga sudah lama mengincar dia. Kita sepakati dulu, semuanya tergantung Bu Vanessa pilih siapa. Yang lain harus menunggu giliran dengan sabar, jangan sampai merusak pertemanan kita karena nggak tahan nafsu."

Beberapa pria itu langsung menganggap Vanessa seperti wanita penghibur di depannya. Mereka membahas hak milik terhadap Vanessa secara terang-terangan. Benar-benar konyol.

Bahkan, ada yang berpura-pura sopan saat menawarkan diri kepada Vanessa, "Bu Vanessa, kami semua ini pengagummu. Asalkan hari ini kamu minta, kami semua bisa membuatmu lanjut hidup nyaman. Tentu saja, kami nggak akan sepelit Pak Marvin. Ke depannya kami akan memberimu uang sebagai kompensasi biarpun pisah."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 100

    Semudah ini?Vanessa sendiri tidak menyangka Jeremy akan langsung setuju begitu saja. Dia mendongak dengan kaget. Tatapannya bertemu dengan mata Jeremy yang menyiratkan senyum samar. Sepertinya suasana hati Jeremy hari ini memang sedang baik."Kalau kamu yang bilang, aku pasti setuju."Kalimat ini agak ....Vanessa menjadi canggung. Dia menyelipkan sedikit rambut yang tergerai ke belakang telinga, lalu sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain, asal bukan wajah Jeremy.Berbeda dengannya, tatapan Jeremy yang duduk santai dengan kaki bersilang tak beranjak sedikit pun dari sosok wanita di hadapannya. Terang-terangan, tanpa upaya menyamarkan.Jantung Vanessa mulai berdegup kencang. Dia buru-buru mencari alasan agar bisa menghindari tatapan Jeremy. "Kalau begitu, Pak Jeremy, aku pamit ....""Vanessa!"Jeremy meletakkan rokok yang belum dinyalakan itu. Dia bangkit, mendekat, dan mencondongkan badannya ke hadapan Vanessa.Wajah tampan dan tegas itu kini berada sangat dekat. Mata hitamnya me

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 99

    Sudut bibir Vanessa terangkat, matanya yang jernih melengkung penuh senyum. "Sebenarnya hukuman seperti ini justru bagus untuk Alika, lho.""Memang sih, tapi melelahkan."Vanessa tak bisa membantah. Semua anak memang tidak suka belajar, apalagi kalau harus belajar di luar jam sekolah.Di luar, Alika masih sempat menangis meraung-raung. Entah apa yang dikatakan Lukman padanya, tiba-tiba gadis kecil itu berlari masuk ke dapur dan memeluk Vanessa sambil merengek."Bibi Vanessa, tolong aku, ya. Aku bener-bener nggak mau ikut les tambahan, apalagi kalau Kak Robby yang ngajar. Tolong bilang ke Paman, dong. Bibi kan baik banget, masa tega lihat bunga bangsa seimut ini disiksa?"Vanessa tak kuasa menahan tawa, lalu melirik Lukman yang tersenyum lebar di dekat pintu. Sepertinya ini memang ide dari Lukman. Namun, kenapa Alika malah disuruh minta bantuan dirinya?Jantung Vanessa berdetak sedikit lebih cepat. Dia mengalihkan pandangan dari tatapan penuh arti Lukman, kembali menunduk menatap wajah

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 98

    Jeremy mengulurkan bunga di tangannya kepada Vanessa. "Selamat, Vanessa."Kedua mata Vanessa berkedip saat menerima bunga tersebut. "Terima kasih."Sembari menunduk, dia memandangi rangkaian iris ungu di pelukannya. Bunga ini melambangkan cahaya dan kebebasan. Entah Jeremy benar-benar paham maknanya, atau hanya kebetulan saja.Di ruang tamu, dua gadis kecil itu sontak terkejut melihat Jeremy datang membawa bunga.Alika bergumam dengan kecewa, "Duh, kita juga seharusnya beri bunga ke Bibi Vanessa. Kok bisa lupa, ya? Makasih Paman sudah ingat."Jeremy belum sempat menanggapi, Alika sudah nyerocos lagi."Tapi, biasanya urusan beli hadiah itu diurus Kak Robby, 'kan? Jangan-jangan Paman ingat gara-gara diingatkan Kak Robby, atau jangan-jangan ini Kak Robby yang beli?"Vanessa langsung mendongak. Matanya yang berbinar bertemu dengan pandangan Jeremy.Jelas terlihat, pria ini sedang marah karena ucapan polos dari Alika. Bibirnya terkatup tipis, sebelum akhirnya dia menatap Vanessa dan menjela

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 97

    Setelah libur musim panas tiba, Vanessa berencana membawa Giselle menginap beberapa hari di rumah orang tuanya. Setelah itu barulah dia akan menceritakan semuanya pada mereka.Sore itu, Vanessa sibuk membereskan rumah. Terpikir jaraknya lebih dekat dengan sekolah anak-anak, dia memutuskan untuk menjemput Giselle dan Alika.Mulai besok, Giselle akan kembali ke rumah Marvin. Vanessa ingin memanfaatkan waktu hari ini untuk berbicara berdua dengan putrinya. Begitu tiba di gerbang sekolah, beberapa orang tua murid langsung melirik ke arahnya.Sejak insiden di pesta ulang tahun keluarga Arkan, berbagai gosip miring beredar tentang dirinya. Vanessa pun jarang lagi menunjukkan keterampilannya yang dulu sering dibicarakan, seperti datang ke rumah orang untuk memasak.Meskipun ucapan Paula belum tentu benar, sebagian besar orang tua murid tetap memandang rendah perilaku Vanessa. Bahkan ada yang khawatir dia akan merebut suami orang dengan wajahnya yang cantik.Vanessa mengabaikan tatapan penuh s

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 96

    Sekretaris Calvin baru kembali ke kantor hukum setelah mengantar Vanessa ke rumah sendiri.Setibanya di kantor, sekretaris Calvin buru-buru mendatangi ruangan Calvin. Melihat Calvin sedang menelepon, dia tak berani menyela, hanya berdiri tenang di sisi ruangan.Calvin melirik berkas di tangan sekretarisnya, alisnya sedikit terangkat. Dia segera mengakhiri panggilan itu secepat mungkin. Begitu telepon ditutup, sang sekretaris langsung menyerahkan berkas tersebut."Sudah beres, surat cerainya sudah di tangan. Nggak ada hambatan sama sekali, semuanya lancar."Calvin memeriksa berkas itu. Selain kesepakatan yang sebelumnya sudah ditandatangani Marvin dan dinyatakan sah, ada tambahan soal hak asuh, bahkan Marvin masih menambahkan uang tunjangan sebesar seratus juta per bulan untuk Vanessa.Nominalnya memang tidak fantastis, tapi mengingat sikap Marvin yang dulu perhitungan setengah mati, perubahan ini terasa seperti berbalik seratus delapan puluh derajat.Calvin tercengang, lalu menoleh ke

  • Perceraianku, Awal Kebahagiaanku   Bab 95

    Calvin mengernyit. "Apa Marvin bakal datang?""Dia pasti datang."Calvin merasa heran dengan nada Vanessa yang begitu yakin. "Bu Vanessa yakin? Cuma perlu sekretarisku mengantarkan dokumennya?""Yakin. Tolong titipkan saja ke sekretaris Bapak.""Baik."Setelah menutup telepon, Calvin memanggil sekretarisnya dan menjelaskan situasinya."Pagi-pagi besok, serahkan dokumen-dokumen itu ke Bu Vanessa. Tapi nggak perlu langsung kembali. Aku penasaran, gimana cara dia bisa membujuk Marvin?""Kamu pantau di tempat, lihat apa Marvin benar-benar akan pisah baik-baik dengannya. Terus, apa dia bisa terima perjanjian cerai yang Vanessa ajukan."Sekretaris Calvin juga penasaran. Oleh karena itu, dia sudah menunggu di depan Pengadilan Negeri sejak pagi keesokan harinya.Melihat Vanessa tiba, dia menyerahkan dokumen yang diminta, lalu bertanya sambil menatap Vanessa, "Ibu yakin semua bakal berjalan lancar?"Vanessa tersenyum tipis. "Tenang saja. Kalau kamu ada perlu, pulang dulu saja.""Ah ... nggak us

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status