Mila masih tertidur akibat kelelahan, ia baru saja bertransaksi dengan salah satu dosen muda di kampusnya. Ia mulai terjebak pada dunia kelam saat ia pindah dari kosan. Pilihan hidupnya ini bukan tanpa alasan, sang ayah tak bisa bekerja karena sakit sedangkan sang ibu harus merawatnya dan mengurus keperluan adiknya, sekarang Mila telah menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Malam sebelumnya .... Malam itu, di sebuah kafe remang-remang di sudut kota, seorang gadis sedang duduk sendiri di sudut ruangan. Dialah Mila, seorang mahasiswi semester lima yang dilabel banyak orang sebagai "ayam kampus." Julukan itu melekat padanya bukan tanpa alasan, ayahnya sakit dan ibunya tidak bekerja sebab harus merawat sang ayah dan menjaga adik-adiknya, kini tulang punggung beralih padanya. "Kamu yakin nggak mau cari kerja yang lebih baik, Mil?" tanya Sarah, sahabatnya, yang duduk di hadapannya. Matanya penuh keprihatinan. Mila tersenyum tipis, mengaduk kopinya dengan malas. "Aku
Sekar mencoba memejamkan mata, ia nampak kesulitan untuk tidur, dilihatnya teman sekamarnya yang telah lelap berselimut malam. Terdengar suara notifikasi pesan dari gawainya, ada sebuah pesan dari sang dosen. "Besok kita bertemu di saat makan siang, aku tunggu kamu di foodcourt kampus, kita akan membicarakan proyek riset dengan tim." Sekar tersenyum membaca pesan itu, ia sudah tidak sabar untuk segera mengikuti proyek itu. Terdengar seseorang tengah memanggilnya, "Sekar... Sekar...." suara itu terdengar lirih seolah mengandung banyak kesedihan. Sekar terkejut dan segera bangun dari tidurnya. Ia menoleh melihat jam di dinding menunjukkan pukul 06.00 pagi. Ia melihat ke sekeliling kos, sepi. Tak ada seorangpun disana dan hari masih gelap. Ia mulai berpikir, ini jam 6 pagi atau 6 sore? masih dalam kebingungan, ia terus memanggil nama teman kosnya, "Putri... Mila...." berkali-kali terus memanggil teman-temannya tapi tidak ada jawaban. Ia melangkahkan kaki perlahan menuju lan
Seminggu setelah pertemuan itu, Sekar menghabiskan banyak waktu untuk menyusun persiapan proyek penelitian yang bernilai ratusan juta. Ia diamanahi oleh Galih untuk membuat kuosiner untuk memudahkan proses pencarian data. Tugas ini menyebabkannya tidur larut malam. "Sekar, kamu lembur lagi?" tanya Putri teman sekamarnya, ia nampak lelah setelah seharian harus mengikuti kuliah sejak pagi hingga sore hari. "Iya, sudah mepet banget, kurang seminggu lagi aku akan berangkat riset bareng Pak Galih." jawabnya sambil terus menatap layar laptop dan sesekali mengetik di keyboardnya. "Sebenarnya kamu tuh jadian nggak sih sama Pak Galih?" tanya Putri yang sebenarnya penasaran dengan kisah percintaan teman sekamarnya. "Nggak jelas sih, sebenarnya aku punya pacar tapi status kita masih gantung, sedangkan Pak Galih memang sudah menyatakan perasaannya hanya saja aku ragu," sahut Sekar dengan tatapan bingung, ia tak mampu menjelaskan bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Putri tidak menyahut lag
"Sekar .... Sadarlah," terdengar suara perempuan memanggil namanya, beberapa perempuan tengah berbisik, semua orang yang berada di sana merasa khawatir dan cemas. Sekar mulai membuka matanya, perlahan ia merasakan tubuhnya terasa berat, rasa sakit menyeruak di seluruh persendiannya. Ia meminta segelas air sebab rasa haus yang tak tertahankan. Putri teman sekamarnya, segera mengambil air yang berada di kulkas dapur atas ijin ibu kos. Mila dengan setia mendampinginya, ia duduk di tepi ranjang kamar ibu kos. "Apa yang terjadi Mila? Kenapa aku berada di kamar ini? Apa yang telah terjadi?" tanya perempuan yang baru saja tersadar dari pingsannya. Ia melihat jam dinding, menunjukkan pukul 06.00 pagi. Mila menghembuskan nafas panjang, ia lega saat melihat mantan sahabat yang kini telah berbaikan dengannya mulai tersadar dari pingsannya. Matanya berkaca-kaca seolah terharu atas apa yang terjadi. "Kamu pingsan, setelah kesurupan arwah pacar Mas Kiki," jawab Mila sambil memegang tangan
POV Sekar Arum Hari pertama di Desa Bringin yang dikenal sebagai "desa pesinden" membuatku berpikir, apakah benar langkah yang telah aku ambil? Bagaimana jika teror besar akan datang? Ah... Sudahlah! Aku butuh uang karena ibuku sedang kesulitan ekonomi, apalagi adik laki-lakiku sebentar lagi ujian kelulusan. Jika bukan karena uang, mungkin aku tidak akan mengikuti proyek penelitian ini. Setibanya di sana, kami disambut baik oleh pak kades yang merupakan paman dari Pak Sadewa. Semakin aku mengenalnya, menatapnya lebih dalam malah aku merasa takut padanya. Dia bukan pria biasa! Jika Pak Galih dengan segala kelebihannya membuatku takjub tapi berbeda dengan Pak Sadewa. Baru beberapa menit kami duduk, Mila sudah bergegas ke kamar mandi. Aku mengikuti tanpa sepengetahuannya dan mendengar dia muntah-muntah. Aku curiga kalau dia hamil! Apalagi dia tidak mengelak atas tuduhan ayam kampus yang ku alamatkan padanya! Ya Allah! Kenapa nasib dia harus setragis ini? Pria mana yang sudah mengha
Pov Galih Aku merasa janggal saat pertama kali menginjakkan kaki di desa ini. Aku beberapa kali memanggil khodamku tapi dia tak kunjung juga menunjukkan diri. Mungkin dia sedang sibuk di kerajaanya atau bersemedi untuk meningkatkan kemampuannya, hanya itulah alasan kenapa dia tidak berada di dekatku. Aku merasa Sadewa adalah sainganku sejak awal, entah mengapa sulit bagiku untuk membaca pikirannya, sama halnya dengan khodamku, ia seolah enggan menyampaikan info terkait Sadewa. Bahkan disaat aku berada di dekat Sadewa ia selalu tidak ada seperti menghindar saja. Siapakah sebenarnya Dewa ini? Apakah ia beneran Dewa yang sakti sampai khodamku yang seorang raja jawa pun tak bisa menandinginya? Aku menepis lamunanku saat melihat gadisku pergi ke arah toilet, sepertinya ia hendak mengikuti Mila. Tiba-tiba rasa penasaranku memuncak. Ku putuskan untuk mengikuti dan menguping pembicaraan mereka. Aku dengar bahwa Mila terus menerus mual dan muntah, apa dia hamil? meskipun benar tentu ini
Galih nampak kebingungan, ia terus menerus mencari dimana keberadaan nenek tua yang memintanya untuk segera pergi dari desa itu. Setelah semua di rasa cukup, mereka segera bergegas pulang ke kontrakan yang disewa selama mereka berkegiatan di Desa Bringin. Jarak antara kontrakan dan balai desa tidaklah jauh, sehingga mereka berempat memutuskan untuk jalan kaki. Mereka melewati pohon bringin besar yang terletak di pinggir jalan arah masuk desa. Letaknya yang strategis membuat siapapun yang bisa melihatnya dengan mata telanjang, mereka bertiga terheran-heran sebab baru pertama kali melihat pohon sebesar itu secara langsung, lengkap dengan berbagai macam sesajen yang ada di bawahnya. "Pak, perasaan kami tadi tidak melihat pohon ini, mengapa tiba-tiba dia berada disini?", tanya Sekar yang mulai penasaran sebab sejak kedatangan mereka kemarin, tak ada seorangpun yang melihat pohon itu. "Kemarin kita lewat jalan utama, ini adalah jalan alternatif yang jarang dilalui kendaraan, tadi
Tim periset terlihat sedang bergegas menuju rumah narsum sesuai kesepakatan semalam tetapi dengan sedikit perubahan. Dewa tidak bisa ikut karena mendadak ada urusan di luar desa yang membuatnya harus meninggalkan teman-temannya. Hal ini menjadikan perubahan pada formasi tim, Mila dan Adi bertugas untuk mewawancarai pak kepala desa sedangkan Galih dan Sekar bertugas untuk mewawancarai tokoh adat. Mereka kompak berangkat pukul 10 pagi setelah melakukan persiapan terlebih dahulu. Mereka menyewa sepeda motor warga agar memudahkan mobilitas selama melakukan proyek riset di desa Bringin atau desa pesinden yang terkenal banyak melahirkan sinden terkenal asal Yogyakarta. Dalam perjalanan tidak ada hambatan berarti sebab mereka sampai tempat tujuan sesuai perkiraan. "Assalamualaikum, permisi," ucap Sekar sambil mengetuk pintu rumah salah satu pesinden senior yang ada di desa tersebut. Tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka dengan keberadaan seorang perempuan yang terlihat berusia sekita
Pov Sekar Jantungku berdengup kencang. Hawa dingin menghampiriku, membuat tubuhku terasa ngilu, susah digerakkan. Langkah terasa berat hingga tetesan darah mulai membasahi kaki dan tanganku. Darah ini ibarat kulitku yang robek karena melawan angin yang terasa menghalangi langkahku. Kulihat dua terowongan besar, sisi kanan kosong dan sisi kiri terdapat siluet pria yang berjalan mendekatiku "Galih ...." gumamku. Aku tak percaya bisa melihatnya di sini. Sosok yang sangat kucintai dan kurindukan. "Sekar, kenapa kau berdiri di situ? Tidakkah kau ingin memelukku?" Ucapan itu membuatku kembali mengenang manisnya hubungan kita yang telah lalu. Dia adalah sosok pelindungku yang selalu menemani dan mejagaku saat makhluk astral hendak menguasai tubuhku. Aroma tubuhnya masih sama sepeti kita terakhir kali bercinta, melepaskan seluruh hasrat di jiwa. Dia adalah sosok yang apa adanya, memperlakukanku bak ratu dan selalu memujiku terlebih saat permaianan ranjang yang membara. Dia berkali-kal
Sekar mencoba memikirkan kembali apa yang diucapkan oleh Sulastri. Akankah ia merelakan begitu saja orang yang dulu sangat dicintainya? Hatinya gamang, ia terus menatap ke jendela kamarnya, resah dan gelisah.Sementara itu di ruang tamu, Wiryo nampak putus asa. Mungkin ia harus meminta tolong pada orang lain karena Sekar telah menolaknya."Baiklah Surti, kami harus pergi, mungkin selama ini kami selalu merepotkan keluargamu," ujarnya dengan tatapan menunduk, bergegas untuk pulang.Pagi itu cuaca mendung, awan hitam menyelimuti desa seolah hujan akan segera turun, kedua orang tua yang cemas itu bingung, bagaimana cara menyelamatkan Aryo yang tersandera oleh makhluk halus."Pak, gimana nasib anak kita? Kita harus bergegas," ucap wanita yang telah menyelamatkan Aryo.Wiryo, berpikir keras hingga ia tak sempat menyalakan mobil. Ia, istri dan Siti tengah melamun, mencari cara untuk menyelamatkan Aryo hingga hujan deras akhirnya mengguyur desa, aroma tanah mulai tercium seolah memberikan se
Siti bergegas turun dari motor kang ojek yang ditemuinya di jalan, tak lupa ia membayar dan tak mengambil kembaliannya. Waktunya terbatas! Dengan langkah kaki penuh harap, ia belari menyibak dinginnya pagi, fajar baru saja menyingsing tak mengurungkan langkahnya untuk menyelamatkan mantan tunangannya, Aryo yang kini berada dalam genggaman adiknya sendiri, Seruni! Napasnya terengah-engah, ia terus mengetuk pintu rumah yang pernah menjadi saksi bisu atas batalnya pernikahan yang seharusnya terjadi padanya. "Mau apa kamu datang ke sini?" tanya Ibu Aryo yang belum mengetahui jika nasib anaknya sedang di ujung tanduk. "Bu, Aryo dalam bahaya, kita harus menyelamatkannya," ujarnya sambil mengatur nafas yang terus memburu. Wanita paruh baya tertegun saat mendengar mantan calon menantunya mengatakan hal buruk tentang anaknya, ia bergegas menyuruhnya masuk untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tak lupa ia terus memanggil Wiryo, suaminya. Hatinya mulai gelisah ternyata fira
Aryo tengah tertidur lelap, terlihat seseorang tengah mengendap-endap ke dalam kamarnya. Ia kini duduk di tepi ranjangnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Mas Aryo, bangunlah," bisik Siti lirih. Aryo yang belum sepenuhnya sadar, mulai mengusap-usap matanya. Ditatapnya mantan tunangannya yang terlihat panik."Siti, kamu kenapa?"Tanpa pikir panjang, ia menarik tangan Aryo secara paksa. Pria yang baru saja bangun itu terlihat pasrah saat dirinya hendak dibawa ke suatu tempat."Malam ini adalah malam ritual desa, kamu harus melihat siapa sebenarnya orang yang akan kau nikahi," sahut Siti dengan terus menarik tangan Aryo ke suatu tempat.Kini mereka sudah tiba di balai desa, hawa dingin menyeruak hingga terasa menusuk kulit. Aryo beberapa kali menggosok-gosok tangannya karena merasa kedinginan, berbeda dengan Siti dan orang-orang yang berkumpul itu, mereka terlihat baik-baik saja."Sebentar lagi upacara akan dimulai, biasanya ayah yang memimpin tapi sang gadis pilihan akan ditentu
Pov Aryo Malam itu telah menjadi awal petaka yang menghampiriku. Bagaimana tidak? Tubuhku terasa dikendalikan oleh sosok tak kasat mata yang seolah membimbingku untuk datang ke kamar gadis yang cukup menarik perhatianku, Seruni. Masih teringat awal pertemuanku dengannya di sebuah mobil saat aku hendak menjemput Sekar atas permintaan Seno, adiknya. Waktu itu hatiku masih tertaut padanya, mantan pacar yang sudah begitu lama bersemayam dihatiku harus berakhir sebab dia lebih memilih dosen mudanya. Awalnya aku masih berduka tatkala mengetahui fakta jika adik kandungku yang baru saja kuketahui, Setyo meninggal tidak wajar. Dengan tekad kuat dan bantuan Seruni mantan pacarnya, aku memutuskan untuk mencari tahu kebenaran atas kematian adikku dan membalaskan dendamnya. Seruni, gadis berparas manis dan lembut kuajak untuk menelusuri penyebab kematian pacarnya yang tidak lain adalah adikku. Kami sepakat menjalin hubungan palsu untuk meyakinkan ayahnya agar aku diijinkan masuk kembali pada k
"Seruni, maaf, aku sudah kelewatan," ujar Aryo sambil fokus mengemudikan motornya. "Mas, bukankah kita akan menikah, kenapa harus minta maaf?" sahut Seruni sambil memeluk tubuh pria yang kini telah memiliki ruang tersendiri di hatinya. Jantung Aryo berdegup kencang, ia merasa terhipnotis dengan segala ucapan Seruni, seolah hal itu adalah perintah yang tak bisa dilanggar. "Aku akan bicara pada ayah untuk mempercepat pertunangan kita," ucapnya sambil merapatkan tubuhnya. Di sisi lain, Sekar tengah memendam rasa cemburunya. Masih terngiang dibenaknya saat Aryo bercumbu dengan Seruni di sebuah warung yang nampak tutup. Nafasnya memburu seolah menahan amarah atas adegan yang mencabik perasaannya. "Sepertinya kau cemburu, sayang sekali jika Aryo berhasil masuk perangkap Seruni padahal sedikit lagi dia akan menjadi budak di kerajaanku," bisik Sulastri yang selalu memprovokasi Sekar. Sesampainya di rumah, ia segera masuk kamar. Nafsu makannya seolah hilang sejak melihat sang manta
"Seruni, apa yang terjadi?" tanya Aryo yang baru saja dari pingsannya, kepalanya terasa berat. "Mas, tadi pingsan, mungkin kelelahan, ayo makan dulu," sahut Seruni sambil menyuapinya semangkok bubur yang telah dimasak. Itu bukanlah bubur biasa karena terdapat jampi-jampi pemikat yang membuat pemakannya akan menjadi tergila-gila pada si pemberi. Aryo terlihat kelaparan hingga bersih tak tersisa, tenaganya seperti terisi kembali. Ditatapnya Seruni, entah mengapa wajahnya terlihat cantik dan bersinar tapi dirinya mencoba mengabaikannya. "Bagaimana? Apakah kamu telah menemukan petunjuk kematian adikku?" tanya Aryo yang masih gelisah, sudah seminggu ia berada di sana tapi tak menemukan apa-apa. Senyum sumringah Seruni hilang, belum ada tanda-tanda peletnya bekerja, bukannya memuji dirinya malah menanyakan adiknya yang telah tewas, sial! Batinnya. "Mas, aku belum menemukan petunjuk apapun, sepertinya kita harus behubungan lebih dekat agar mereka percaya padaku," ujar Seruni bohong, di
"Pak, kenapa Mas Aryo belum sadar juga?" ujar Seruni yang gelisah. Seruni khawatir jika hal buruk menimpa Aryo, kehilangan Setyo sudah memberi luka dalam untuknya, jangan sampe hal serupa terjadi pada kakaknya. Aryo perlahan membuka mata, tubuhnya terasa lemah. Perlahan ia menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah pintu yang terdapat nenek sedang tersenyum kecil padanya. Seruni lega melihat pacar palsunya telah siuman tapi ia terkejut melihat Aryo yang menunjuk ke arah pintu seoalah ada seseorang di sana padahal tidak ada siapa pun. "Ada apa, Mas?" "Nenek Sari ..." Aryo pingsan kembali membuat seisi rumah panik kecuali sang kades, pemilik murah. "Dia pasti terkejut melihat ibu, biarlah," ujar sang kades terlihat acuh. "Apa maksud ayah? Bukankah nenek sudah meninggal?" sahut Seruni yang kebingungan. Ayahnya tak menjawab, dia justru duduk di meja makan. Menyalakan rokoknya dengan tatapan kosong. Pria itu sepertinya lelah, ternyata sang ibu belum mengakhiri "perburuannya
Aryo tertegun melihat sekelilingnya, sebuah rumah tua yang ditinggal seorang perempuan muda. Ia nampak gelisah, hanya duduk termenung di depan pintu. "Sari, apa yang kamu lakukan? Minggir, Aku mau lewat!" bentak seorang perempuan yang membawa sebuah tas besar, sepertinya dia hendak pergi. "Bu, mau ke mana? Jangan tinggalkan Sari, Bu!" ucapnya sambil menahan tangis, mencoba menghalangi ibunya yang hendak pergi. "Aku nggak sudi hidup miskin dengan bapakmu, aku akan pergi mencari kebahagiaan," sahutnya lalu mendorong anak gadisnya hingga jatuh tersungkur. Di luar terdapat seorang pria yang sedang berada di dalam mobil, wajahnya tampan seperti blasteran bule. Ia melambaikan tangan semacam kode agar sang wanita segera masuk. Sari berlari mengejar mobil itu tapi sia-sia, mobil itu terus melaju dengan kecepatan tinggi hingga sulit digapai. Sari yang terduduk di tanah hanya bisa meratapi kesedihannya, ibunya pergi meninggalkan pria lain sedangkan sang ayah tengah sakit keras. Ga