Share

Perempuan Kopi
Perempuan Kopi
Penulis: Erlina P. Lestari

Perempuan Penikmat Senja (1)

Perempuan itu berdiri di hadapan seorang laki-laki yang menatap ke arahnya khawatir.

“Alenna,” ujar laki-laki itu, “coba dengarkan aku sebentar saja, Sayang.” Tatap matanya penuh dengan permohonan.

Perempuan bernama Alenna itu bergeming. Matanya yang hitam pekat menatap tajam ke arah laki-laki itu, hingga membuatnya salah tingkah.

“A- aku mencintaimu, Al,” kembali laki-laki bernama Rafael itu berujar, berusaha meyakinkan kekasihnya, bersamaan dengan angin dingin yang berhembus. Suaranya terdengar begitu parau di antara kegelisahan batinnya sendiri. “Sangat mencintaimu,” ulangnya kembali – pelan namun penuh kesungguhan. Setidaknya, ia harus berusaha terdengar sungguh-sungguh, walaupun ia sendiri tidak yakin akan hal itu.

Angin dingin terus berhembus di antara keduanya. Angin yang membawa sisa-sisa hujan di bulan Desember. Hawa dingin membekukan otak Rafael untuk bekerja lebih baik di hadapan Alenna, perempuan yang hampir lima bulan menjadi tunangannya itu.

Alenna tersenyum sinis. “Kita berhubungan telah cukup lama, Raf. Apa kau ingat itu?”

“Y-ya, tentu saja, Sayang.”

“Walaupun kita bertunangan baru lima bulan, rasanya tidak ada artinya dibanding dengan kebersamaan yang tengah kita lalui selama 4 tahun terakhir,” Alenna berujar seraya menatap jalan yang nampak lengang. Lalu, tatapan matanya kembali mengarah pada kekasihnya. “Apakah itu tidak berarti bagimu, Raf?”

“Te-tentu saja berarti…”

Alenna tersenyum. “Sebesar apa artinya untukmu?”

Rafael terdiam. Ia tahu, sebesar apa pun kebenaran yang terkandung dalam ucapannya, pasti akan terasa salah bagi perempuan di hadapannya. Ini adalah kali pertama ia mengkhianati kekasihnya, Alenna, setelah hampir 4 tahun mereka menjalin hubungan dan berakhir dengan pertunangan. Kala itu, Rafael berpikir dengan bertunangan segalanya akan menjadi lebih baik, dibanding mereka tinggal bersama tanpa kejelasan hubungan alias kumpul kebo. Rafael ingin segalanya menjadi lebih baik. Bertahan di negara orang dengan seorang perempuan menderita Antisocial Personality Disorder bukanlah sesuatu yang mudah bagi Rafael. Namun, ia harus bertahan untuk itu.

“Lupakan saja, Raf,” tiba-tiba perempuan berkulit putih pucat itu berujar datar. “Kalau itu terlalu sulit bagimu, kamu tidak perlu menjawabnya. Dan, lupakan kalau kamu pernah mencintaiku. Aku benar-benar tidak mengharapkanmu lagi.”

“Al,” Rafa mendesah – frustasi. “Ayolah, Sayang. Kita bisa bicarakan ini dengan kepala dingin, kan?”

Alenna yang terlihat menawan dalam balutan jaket kulit hitamnya pun terdiam. Tak ada satu kata yang meluncur dari bibir dengan polesan lipstick warna merah marun itu, selain tarikan napas panjang yang dihembuskannya pelan. Perilaku Alenna tentu saja membuat Rafael semakin merasa kikuk.

“Sial!” jerit hati laki-laki berhidung bangir itu. Ia mulai gelisah. Karena tak mampu memaknai arti tatapan mata Alenna.

“Alenna…” kembali Rafael berujar, lalu diam untuk sesaat. Mengatur napas. Berusaha menemukan kembali ketenangannya sendiri.

“Maafkan aku, Sayang,” ujar Rafa pelan, setelah dirasa mampu mengendalikan suasana hatinya lagi. “Aku bersumpah, Sayang. A-aku khilaf!” Rafael berkata tegas, “Alenna, percayalah... aku berjanji akan memperbaiki semuanya.”

“Baik.” Mata Alenna menatap lurus-lurus ke arah laki-laki berambut hitam itu. “Tapi… bagaimana caranya? Bagaimana kamu memperbaiki keadaan ini? Meminta aku memafkanmu dan memaklumi perbuatanmu?” tanyanya datar. “Lalu, membiarkan semua berjalan seperti semula. Aku membangunkanmu di pagi hari dengan secangkir kopi dan kita bercinta? Apa dengan cara yang demikian, Raf?”

Rafael terdiam. Tidak ada satu jawaban pun yang terlintas dalam benaknya. Ia hanya mampu bungkam seribu bahasa. Dan, ia semakin merasa tersudut. Hatinya sakit sekaligus bingung. Ia tak tahu harus menyalahkan siapa. Apakah harus menyalahkan Dena? Perempuan yang telah membuatnya memberikan segalanya, karena keberhasilannya membuat Rafael melupakan sebagian beban hidup yang menghimpitnya. Ini gila! Itu sebabnya, kenapa laki-laki itu begitu benci perselingkuhan. Dan, hal yang paling bodohnya adalah justru ia malah tenggelam dalam pelukan perempuan lain. Ia yang membenci perselingkuhan, justru malah berselingkuh. Damn!

“Rafa…” suara Alenna kembali menyadarkan laki-laki itu. “Bagaimana caramu memperbaiki sakit hatiku, Raf? Bagaimana kamu bisa membuatku melupakan perbuatanmu dan kita saling berbagi kecupan atau pelukan lagi, tanpa aku mengingat bahwa dengan bibir yang sama, kamu telah mengecup bibir perempuan lain atau dengan lengan yang sama, kamu telah memeluk perempuan lain?”

Rafael menunduk, memejamkan mata; limbung.

“Ah! Ayolah Raf, kamu membuatku frustasi…” Alenna nampak gemas dengan laki-laki yang berdiri di hadapannya seperti seorang pesakitan. Ia ingin laki-laki itu mendebatnya. Setidaknya, ia harus tahu apa yang akan dilakukan setelah ia melakukan perselingkuhan. Ia harus tahu, bagaimana cara membuat Alenna percaya padanya kembali. Walaupun, rasanya akan sangat tidak mungkin, seorang antisosial seperti dia akan mudah percaya pada orang lain.

Dengan perlahan, Alenna berjalan mendekati Rafael yang berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya. Laki-laki itu bergeming. Pikirannya dipenuhi oleh prasangka.

“Apa yang akan dilakukan perempuan ini,” bisik batinnya. “Sebaiknya dia melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan ketika kemarahannya meledak.”

“Tampar dan ludahi wajahku, Al. Itu sudah lebih dari cukup,” kembali Rafael berbisik dalam hati. Rafael sudah cukup terbiasa menerima kemarahan Allena di saat ia kedapatan tengah melakukan kesalahan. Tapi, bagaimana dengan kesalahan kali ini? Bukankah, perempuan yang cemburu dapat melakukan apa saja? Apalagi, ketika ia menemukan kekasihnya tengah bercinta dengan perempuan lain. “Ah!” Rafael nyaris menggila di malam yang dingin kali ini.

“Baiklah.” Kembali Rafael berujar dalam hati, mencoba kembali menenangkan diri. “Ini adalah kesalahan. Mungkin, hal terburuknya, Alenna akan memutuskan pertunangan kami, lalu meninggalkanku sambil melempar cincin yang melingkar di jari manisnya ke dalam got. That’s all! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan Rafael.”

Rafael terus masuk ke dalam pemikirannya sendiri. Menimbang-nimbang. Hingga pada satu titik, ia menemukan keraguan dalam analisanya sendiri. “Rasanya mustahil, kalau Alenna akan meninggalkanku. Bukankah Alenna sangat mencintaiku? Jadi, tidak mungkin dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.”

Kepala Rafael dijejali kembali oleh keraguan. Laki-laki itu mencoba memikirkan segala kemungkinan serta skenario apa yang harus dilakukannya, demi meyakinkan perempuan yang memiliki perilaku ‘sedikit psikopat’ ini.

Sebuah ide terlintas. Nampaknya, Rafael harus memainkan sedikit drama, dengan menyusun sebuah skenario pengakuan dosa. Mengungkapkan rasa penyesalannya sambil menangis, lalu memohon maaf dan bersedia menerima hukuman apa pun, selain perpisahan. Kalau perlu, berusaha meyakinkan Alenna, bahwa seorang Rafael tidak bisa hidup tanpanya. Pasti, ‘sebatu’ apa pun seorang perempuan, akan luluh bila mendengar kata-kata seperti itu.

Rafael pun mulai menguatkan diri. Ia tahu, menghadapi Alenna bukanlah perihal yang mudah. Beberapa imajinasi berkelindan dalam pikiran laki-laki berbadan tegap itu. Namun, tiba-tiba semua buyar. Ketika tubuh mungil tunangannya memaut dengan tubuhnya. Dekapan perempuan itu serasa hangat dalam dinginnya hawa di malam yang merangkak pelan menuju dini hari itu. Rafael terdiam. Dengan penuh keraguan, dibalasnya dekapan Alenna. Tangis perempuan itu pun pecah.

Hingga membuat Rafael jatuh dalam rasa sesal. Tapi tetap saja, ia merasakan adanya keganjilan.

Bukan!” bisik Rafael dalam hati. Ini salah! Seharusnya bukan Alenna yang menangis, tapi aku. Bukan seperti itu skenarionya? Alenna tidak pernah menangis. Lalu, kenapa sekarang dia harus menangis?”

“Kamu tahu, Sayang,” Alenna berujar setelah tangisnya mereda. Mematahkan lamunan Rafael seketika.

“Bukankah, dua bulan lagi kita akan menikah?” tanya Alenna dengan suara sedikit berbisik.

Rafael mengangguk, sembari mengusap kepala Alenna yang lembab oleh sisa gerimis.

“Tapi, kenapa kamu melakukan itu?” kembali perempuan berwajah tirus itu bertanya, masih dengan intonasi suara yang sama.

Rafael menghela napas panjang. Ia merasa bingung, bagaimana harus menyusun kata.

“Tahukah kamu, Sayang?” Alenna melonggarkan pelukannya, matanya menatap kekasihnya tajam. “Siapa pun tak boleh memilikimu?” Alenna kembali mendekap Rafael, setelah berujar demikian.

Keheningan tercipta di antara keduanya.

“Karena kau adalah milikku, Rafa…” suara Alenna kembali terdengar.

Rafael masih tetap bungkam. Ada rasa aneh menjalar di dadanya. Entah rasa sesal atau apalah. Laki-laki itu tidak mampu  memaknai keanehan itu sebagai pertanda apa pun.

“Rafa…” desah Alenna,  “Rafaku… kenapa kamu mengkhianatiku?”

Setelahnya, keheningan kembali terjadi. Angin dingin berhembus, menggiring malam yang semakin larut. Bintang-bintang yang tertutup mega seolah tak ingin mengintip. Mereka meredupkan kerlipnya, begitu pun cahaya bulan yang bersembunyi, setelah hujan deras mengguyur kota itu. Seolah, bulan enggan membagi pijarnya kepada jalan setapak yang diterangi oleh keremangan lampu jalan, tempat di mana Alenna dan Rafael berdiri mematung, saling mendekap.

Air mata mengalir membasahi pipi Alenna yang dingin. Perlahan, dilepasnya dekapan tangan yang melingkari tubuh Rafael, kekasihnya, bersamaan dengan ambruknya tubuh laki-laki itu ke bumi. Cairan merah merembes membasahi kemeja biru langit dengan noda lipstick merah marun di dadanya. Rafael tak perlu menjawab atau memberi alasan mengapa ia mengkhianati Alenna. Karena bagi Alenna sendiri, ia tak mau tahu atau bahkan tak perlu tahu, betapa susahnya hidup menjadi seorang Rafael yang mengikat diri pada perempuan sepertinya.

Alenna, perempuan berkulit pucat itu, menatap Rafael yang juga tengah menatapnya dengan tatapan memohon pertolongan. Tangan laki-laki itu menekan perutnya yang mengalirkan cairan merah tanpa henti.

“Aku mencintaimu, Rafael,” ujar Alenna dingin. “Itu sebabnya, aku tak rela kau dimiliki oleh siapa pun…”

Usai Alenna berujar demikian, Rafael menghembuskan napas terakhirnya. Perempuan itu mendesah, sambil menatap ke arah jasad kekasihnya yang tergeletak di atas konblok basah yang memerah.

“Teeeet. Teeeet…”

Bunyi bel terdengar berkali-kali.

“Damn!” Airin memekik. Seketika ia menggebrak meja. Lalu bangkit meninggalkan meja kerjanya dengan tergesa menuju pintu depan. Di tariknya gerendel pintu dengan kasar.

Mata Airin menyipit karena sinar mentari yang berangsur naik. Seorang laki-laki nampak berdiri di hadapannya dengan membawa dua buah botol susu. Wajah ramahnya menatap ke arah perempuan berkaos toska itu.

“Selamat pagi, Bu. Maaf, saya mau bertanya, apa Ibu masih mau berlangganan susu? Karena susu-susu yang saya antar, sepertinya masih ada di situ,” ujar laki-laki pengantar susu sambil menunjuk ke arah 6 buah botol susu yang masih utuh dan mulai basi, berjejer di sisi pot berisi tanaman zamioculcas.  Airin mau tidak mau mengikuti arah telunjuk laki-laki penjual susu itu.

“Ah,” bibir Airin terbuka.

Sepertinya, ia melupakan botol-botol susu itu. Pantas saja, kalau laki-laki di hadapannya itu memencet bel dengan tidak sabaran. Airin memang pernah berpesan pada si penjual susu, bahwa ia cukup meletakkan susu pesanannya di depan pintu. Karena saat ia mengantar Sandy berangkat bekerja, Airin akan mengambil botol itu dan membawanya masuk. Atau, bisa saja, Sandy yang akan membawa botol itu masuk sepulangnya bekerja. Laki-laki itu tahu, bahwa istrinya pasti tengah sibuk dengan tulisannya. Namun, sepertinya Airin melupakan sesuatu bahwa Sandy sudah hampir seminggu belum kembali ke rumah. Dan, hingga detik ini, Airin tidak dapat menghubunginya. Laki-laki itu seolah hilang ditelan bumi.

“Apa saya masih harus mengantarkan susu, Bu?” tanya penjual susu itu kembali yang serta merta memaksa Airin memutuskan ingatannya tentang Sandy, suaminya.

“Hmmm…bolehlah,” jawab Airin ragu sambil mengambil dua botol susu dari tangan laki-laki di hadapannya itu. “Oh ya, kamu bawa saja susu-susu itu!” perintah Airin sambil menunjuk ke arah deretan susu di samping pot. “Saya akan tetap membayarnya. Sebentar…” Airin berujar, lalu menutup pintu.

Tidak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Perempuan itu berdiri di sana sembari menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada penjual susu.

“Ambil saja kembaliannya,” ujar Airin cepat. Lalu pintu kembali di tutup.

Tukang susu garuk-garuk kepala. Ternyata benar, isu yang berkembang tentang pemilik rumah ini.

“Perempuan itu ternyata benar-benar aneh,” gumamnya kemudian sambil geleng-geleng kepala. Laki-laki itu mengangkat 6 botol susu yang ditelantarkan Airin di beranda rumahnya. Kemudian segera berlalu.

***

Airin memasukan susu itu ke dalam lemari es yang telah mengeluarkan bau tidak sedap.

“Apa yang busuk di sini,” gumamnya, sambil matanya menatap ke arah sayuran hijau yang ditumpuk tak rapi. Dengan cepat, perempuan itu mengeluarkan semua isi lemari es-nya; memilah-milah mana yang masih layak untuk di olah dan mana yang harus dibuang ke tempat sampah.

“Apa seharusnya aku membuat cerita berbeda saja?” desahnya tiba-tiba. Perempuan itu  menghentikan aktivitas memilih-milih sayuran  yang terserak di lantai dapur.

 “Salahkah kalau aku membunuh lelaki itu?” kembali ia bertanya sembari mengernyitkan dahi. “Tapi, Rafael itu memang pantas mati.”

Perempuan itu terus bergumam sendiri sambil duduk berjongkok di hadapan kol yang mulai membusuk dan beberapa sayuran yang layu bahkan mengering.

 “Ah! Cerita yang berakhir dengan kematian akan nampak membosankan,” gumamnya sambil geleng-geleng kepala.

 Airin berdiri menuju jendela. Isi kulkas yang tadi dibongkarnya masih tergeletak tak rapi di atas lantai. Perempuan itu menatap ke luar jendela. Langit nampak buram, awan hitam yang menyerupai mozaik-mozaik langit, mengaburkan mentari yang mulai terbenam. Membuat senja terlihat kurang menawan.

“Sebentar lagi hujan turun,” gumamnya. Airin menggaruk-garuk kepala. Ia menatap ke arah wastafel yang penuh dengan piring-piring kotor. Seekor kecoa nampak berjalan dengan santai melewati pinggiran wastafel tempat cuci piring. Cangkir-cangkir kopi tergeletak sembarangan. Remah-remah kripik dan roti kering nampak berjatuhan di bawah wastafel.

Airin berdecak.

Damn! Ternyata, hidupku sama berantakannya dengan dapur sialan ini,” rutuknya kemudian.

Suara gemuruh mulai terdengar. Membuat perempuan berkulit bersih itu kembali menatap langit. Sekelumit bayangan nampak muncul di antara kapas abu-abu yang menempati posisinya di langit sana. Wajah Sandy Keenan muncul tanpa di duga-duga. Perempuan itu bergeming. Menatap lurus, jauh menembus bayangan wajah suaminya yang tersenyum lalu menghilang di hapus rintik-rintik air yang jatuh dari langit sana.

Ada rasa yang begitu menyedihkan bergelayut dalam relung hatinya. Rasanya seperti tersilet-silet, hingga menimbulkan rasa mual yang teramat sangat. Airin mulai menatap senja yang hilang tertelan rinai hujan. Ia pun melorot jatuh di sisi jendela. Menyadari dirinya bukanlah siapa-siapa. Hanya perempuan yang hidup di antara fase manik dan depresi. “Kesendirian lebih baik. Di banding menyulitkan hidup kekasihmu. Bukan begitu, Airin?” Hanya kata-kata seperti itu yang mampu dibisikannya sebagai penguat, ketika ia menyadari Sandy telah pergi dari hidupnya. Laki-laki itu menghilang.

“Ayolah Airin, kamu boleh lelah. Tapi, tidak boleh berhenti…” desahnya sambil mengusap air mata yang keluar perlahan membasahi pipi.

Hanya terus berusaha menguatkan diri semampunya. Hanya itu yang Airin bisa. Langkah kakinya yang labil, bukanlah kehendak dirinya.  Ia tak pernah meminta langkah kakinya untuk berlari kencang, tak pernah juga meminta untuk berhenti, bahkan ia pun terkadang tak ingin berbalik arah. Namun, kakinya memaksa untuk berbalik. Airin lelah. Tapi, dia tidak punya pilihan kecuali menjalani semuanya.

Rasa rindunya pada Sandy mungkin mampu membunuh rasa sakit hatinya. Walaupun, alter ego-nya tak terima! Ia selalu berusaha memaki Airin. Mencemo’ohnya sebagai perempuan lemah. Tak jarang, Airin berjuang melawan alter ego-nya yang selalu mencibir dan memakinya dalam pergunjingan yang panjang.  Hingga ia jatuh pada kondisi tak berdaya. Rasa sakit dan nelangsa membaur menjadi satu membentuk kubangan-kubangan yang dipenuhi lumpur dendam.

“Bagaimana, kalau kamu pecahkan semua piring-piring itu? Agar kamu bisa meluapkan semua kekesalanmu. Menjeritlah…memakilah...” bisik alter ego-nya. “Atau… kamu akhiri saja semua ini. Toh, tidak akan ada satu orang pun yang peduli kalau kamu mati?”

Airin pun terdiam. “Apakah tidak ada satu hal pun yang lebih baik dari kematian?” bisiknya pelan

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status