Share

Sandy dan Sebuah Rencana yang Tersusun  (2)

Airin berbaring di atas ranjang, setelah bersitegang dengan alter ego-nya sendiri. Tidak ada satu sayuran pun yang tersisa di atas lantai, ketika kemarahan merasukinya. Semua nampak busuk! Itu pula yang menjadi alasan baginya tidak menyisakan satu sayuran pun untuk dikembalikan ke dalam lemari pendingin, tapi justru ia lemparkan ke tempat sampah. Hari itu pun, Airin membereskan rumahnya selama 8 jam, setelah hampir 3 hari ia tidak memejamkan mata, merangkai 200 halaman cerita tanpa jeda.

 Perempuan itu tersentak dari atas ranjang, ketika ia menangkap suara dari lantai bawah. Ia bangkit dari tidurnya, lalu dengan segera berlari menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Matanya menangkap sesosok laki-laki tengah menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa seraya memejamkan mata.

Airin tersenyum. Lalu menghambur ke arah laki-laki itu. Namun, tiba-tiba ia berhenti – menahan diri untuk tidak mendekat di kala jarak mereka hanya selangkah saja. Suara dengkuran halus terdengar pelan. Nampaknya, Sandy tengah tertidur. Airin berjongkok di hadapan laki-laki yang tengah dirindukannya itu.

Sandy membuka matanya pelan, ketika ia merasakan ada seseorang yang mengawasinya. Airin tampak tersenyum di sisinya seraya duduk berjongkok.

“Kak.”

Sandy dapat menangkap mata Airin yang membulat ketika perempuan itu memanggilnya. “Ke mana saja?”

Sandy tersenyum.

“Aku sudah berusaha menghubungimu, loh, tapi nomor telepon Kakak nggak aktif?” Airin menyerbu kembali dengan pertanyaan.

“Aku dapat tugas jadi relawan,” ujar Sandy cepat.

“Jadi relawan? Kok, mendadak sekali? Dan, kenapa tidak memberitahuku sebelumnya. Jadi, aku enggak sampai khawatir seperti ini.”

Sandy bangkit dari duduknya, lalu menatap Airin. “Sudahlah. Enggak usah terlalu berlebihan. Ai. Lagi pula, aku sudah di rumah, kan?”

Airin terdiam. Lalu, kembali ia berujar, “Tapi, aku tetap saja khawatir. A-aku takut, Kakak tiba-tiba pergi begitu saja…” ujarnya pelan.

Sandy kembali menatap wajah cantik istrinya yang nampak pucat. “Kalau aku pergi, mana mungkin aku kembali…”  ujarnya sambil tersenyum simpul. “Lagi pula, sepertinya kamu sudah mulai mengkhayal yang enggak-enggak, deh. Makanya berhenti menulis cerita yang membahas pengkhianatan atau perselingkuhan. Kamu terkontaminasi sendiri, tuh, sama tulisanmu.”

“Memang Kakak pernah baca tulisan-tulisanku? Enggak semua buku yang aku buat bicara tentang pengkhianatan, kok.”

“Tapi, pasti sebagian besar berkisah tentang itu.”

“Enggak. Kalau Kakak mau baca, aku kasih buku yang membahas tentang keluarga atau apa pun.”

Sandy menggeleng. “Enggaklah. Aku terlalu lelah, boleh aku istirahat dulu?”

Airin mengangguk. Sandy pergi meninggalkannya, menuju tangga lalu menghilang dalam kamarnya di lantai dua.

Airin menarik napas panjang. Matanya menatap ke arah rak buku yang berisikan semua hasil karyanya. “Jangankan untuk membaca, Kak, bahkan untuk sekedar melihat saja kamu enggak mau…” desah Airin yang diakhiri dengan senyum hambar.

****

Malam itu, Airin dan Sandy menikmati makan malam di meja makan. Airin memasak beberapa menu kesukaan Sandy. Ia pergi ke mini market terdekat sore tadi ketika Sandy masih terlelap.

“Bagaimana perasaan Kakak, ketika bertugas menjadi relawan?” tanya Airin membuka obrolan.

“Hmmm… menyenangkan,” Sandy menjawab cepat.

“Mungkin, lain kali aku akan buat cerita tentang para relawan. Jadi, Kakak harus ceritakan banyak hal ke aku, ya?”

Sandy tersenyum. Sembari menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Tiba-tiba ponsel Sandy yang disimpannya dalam saku celana berdering, sebentar Sandy mengecek layar ponsel, lalu mengangkatnya.

“Halo…”  sapanya kepada orang di ujung sana.

Airin menatap suaminya, sembari meletakkan sendoknya di atas piring.

“Aku jawab telpon dulu, ya…” Sandy berujar pada istrinya sembari berlalu.

“Kenapa tidak menjawab di sini saja,” pikir Airin, sambil matanya mengawasi kepergian suaminya menuju teras.

Sandy mendudukkan tubuhnya di atas kursi rotan model bulat bercat putih dengan bantalan buat di sisinya.

“Jam berapa kamu sampai rumah?” suara seorang perempuan terdengar dari ujung sana.

“Masih siang. Tapi, aku enggak memperhatikan jam dengan baik,” jawab Sandy.

“Hmm, bagaimana dengan Airin?” Perempuan itu bertanya dengan ragu. “Apa dia baik-baik saja? Apa kondisi rumah pun baik-baik saja?”

Sandy tertawa. “Aku sudah tidak pulang selama 6 hari, Han. Tapi, tampaknya kondisi rumah terlihat baik. Airin saja yang kurang baik. Ia memarahiku, karena aku tak memberinya kabar,” jawab Sandy.

“Kupikir, wajar kalau dia marah,” jawab perempuan itu.

“Ya…”

“Baiklah, San. Aku tidak akan mengganggumu. Jaga diri kamu, ya. Jangan terlalu lelah menghadapi Airin. Kamu harus banyak sabar.”

Sandy tersenyum. “Iya, Sayang. Aku mengerti. Terima kasih atas pengertianmu.”

“San… seandainya…” perempuan itu tidak meneruskan ucapannya.

“Apa?” Sandy bertanya lembut. “Katakan saja, Han?”

“Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya terlalu khawatir, kalau kamu akan sakit lagi seperti kemarin.”

Sandy tersenyum. “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, kok. Selama ada kamu, aku akan selalu baik-baik saja.”

“Okey, San. Sudah, ya. Nanti Airin curiga.”

“Oke, kamu hati-hati pulang ke rumah, ya. Jangan lupa mengunci pintu.”

Telepon di tutup. Sandy mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu, matanya mulai menatap cakrawala yang terlihat indah oleh pijar bulan.

“Airin… aku melakukan kesalahan. Maafkan aku…” desahnya kemudian.

***

Airin menemukan Sandy telah terlelap dengan posisi terlentang di atas ranjangnya, setelah ia menyelesaikan tulisannya dalam  beberapa bab. Ditatapnya wajah tampan suaminya.

“Hmmm…” Sandy membuka mata. Airin tersenyum. Pelan-pelan, laki-laki itu mengelus kening Airin, lalu memberi senyuman kepada istrinya.

“Tidurlah…” ujar Sandy.

“Iya,” Airin berbaring di sisi Sandy. Laki-laki itu berbalik menghadap ke arah istrinya yang terbaring menghadap ke arahnya.

“Airin, maaf, ya. Aku yang telah membuatmu khawatir?”

Airin tersenyum. Ia menggeser tubuhnya lebih mendekat. Sandy menariknya. Membuat perempuan itu meletakkan kepalanya di atas lengan Sandy.

“Jangan lakukan itu lagi, Kak,” ujar Airin. Sandy mengangguk lalu memeluk tubuh mungil istrinya. Laki-laki itu pun terlelap di sana.

***

“Kok, Kakak tidak dapat libur setelah bertugas menjadi relawan, sih?” tanya Airin pagi itu sembari meletakkan omelet di atas meja makan. Sandy menggeleng. Tangannya sibuk menyendok nasi goreng dan meletakkannya di atas piring.

Airin terdiam sesaat, lalu kembali berujar, “Kupikir, Kakak akan mendapat libur.”

“Kalau aku libur, bagaimana pasien-pasienku?”

Airin tersenyum.

“Nanti malam, aku ada acara reuni kampus. Apa kamu mau ikut?” tanya Sandy.

Airin menggeleng. “Boleh, kan? Aku tidak percaya diri bertemu  dengan teman-teman Kakak. Karena aku takut, tiba-tiba mood-ku mengacaukan semuanya.”

Sandy tersenyum. Laki-laki itu pun mengangguk. Ia tahu, Airin pasti akan menolaknya.

“Jadi, malam ini aku pulang agak terlambat, ya?”

Airin mengangguk. “Kabari aku kalau mau berangkat ke reuni, ya.”

Sandy mengangguk.

***

Sepulang praktek, Sandy menulis sebait pesan kepada Airin, kalau ia dalam perjalanan menuju lokasi reuni kampusnya. Laki-laki itu pun mulai melajukan mobilnya pelan, menuju satu rumah sakit yang berada di jantung kota. Sebuah rumah sakit yang cukup bonafit di daerahnya. Sandy menghentikan kendaraannya tepat di lobi rumah sakit, di depan seorang perempuan berkaca mata dengan bingkai abu-abu. Wajah manis perempuan itu terlihat cukup memikat bagi kaum laki-laki, termasuk Sandy.

“Masuklah, Han,” ujar Sandy setelah membuka kaca jendelanya. Perempuan itu tersenyum, lalu membuka pintu mobil di hadapannya. Ia mendudukan diri di samping Sandy. Laki-laki itu kembali melajukan kendaraannya menjauh menuju satu tempat di mana teman-teman kampusnya telah menunggu.

“Mereka ingin melakukan wawancara dengan segera, San,” ujar perempuan yang duduk di samping Sandy, sebagai pembuka percakapan.

“Oh, ya?”

“Tenang saja. Wawancara itu hanya sebagai formalitas saja, kok.”

Sandy tersenyum. “Usahamu luar biasa, Han.”

Perempuan bernama Hanna itu tersenyum. “Tidak. Bukan aku yang mengusahakannya, kok. Tapi, sertifikat kamulah yang membuat kamu dipandang di sini, San.”

Sandy tertawa sambil membelokkan kendaraan memasuki sebuah hotel berbintang lima.

Di dalam satu ballroom, sahabat-sahabat dekat Sandy menyambut kedatangannya dengan suka cita.

“Hai, San. Bagaimana kabar kamu?” tanya Mario, sahabat dekat Sandy. “Kudengar kamu sudah jadi dokter bedah hebat sekarang.”

Sandy tertawa. “Bisa saja kamu, Yo.”

“Oh iya, ini istrimu?” tanya Mario ketika ia menatap Hanna yang tampak berdiri anggun di samping Sandy.

Sandy hanya tersenyum. Mario menjabat tangan Hanna hangat. “Wah, senang sekali. Akhirnya, saya bisa bertemu dengan Nyonya Sandy, setelah beberapa kali kami mengadakan reuni.”

Mario berbalik, lalu ia berseru kepada beberapa sahabatnya yang lain, bahwa kali ini Sandy telah membawa istrinya. Teman-teman Sandy tertawa, lalu menyapa Hanna dengan ramah.

“Jadi, Airin tidak pernah ikut dalam acara-acara seperti ini?” tanya Hanna seusai acara dalam perjalanan pulang.

Sandy menggeleng.

“Apa tidak apa-apa, kalau mereka mengira aku istrimu, San?”

Sandy menatap Hanna. “Menurutmu? Bila kamu baik-baik saja dengan pendapat mereka. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Toh, reuni itu tidak akan sering digelar. Aku pun jarang bertemu dengan mereka, kecuali Mario.”

Hanna terdiam.

“Jangan khawtirkan Mario, Han. Dia teman baikku. Dia pun belum pernah bertemu dengan Airin.”

Sandy menepikan mobilnya. Lalu menatap Hanna yang juga tengah menatapnya.

“San, sampai kapan kita terus begini?” tanya Hanna, “aku ingin ada kejelasan dalam hubungan kita. Bisakah?”

Sandy menghela napas panjang.

“Kita telah melangkah terlalu jauh. Aku mulai khawatir dan merasa begitu cemburu pada Airin. Dulu, mungkin aku menyadari, kalau kita hanya sebatas teman berbagi. Tapi sekarang… hmmm… kupikir… setelah hari kemarin, aku…” Hanna nampak kesulitan menyusun kata.

“Aku tahu, Han. Aku akan memikirkan semua. Kamu tidak perlu khawatir.” 

“Sandy, maafkan aku…”

“Aku yang seharusnya minta maaf. Bukan kamu.”

Mereka pun terdiam. Larut dalam pikiran mereka masing-masing.

***

Sesampainya Sandy di rumah, ia mendapati Airin telah tertidur di atas sofa panjang. Laki-laki itu mendudukkan diri di atas sofa pendek, tepat di samping istrinya tertidur. Disandarkan kepalanya pada sandaran sofa, lalu dipejamkannya mata. Ingatannya melayang ke beberapa hari lalu. Ketika tiba-tiba, ia memutuskan untuk berlibur bersama Hanna serta menonaktifkan ponselnya.

Menghabiskan waktu bersama perempuan lain baginya mungkin menjadi satu pengalaman yang luar biasa. Namun, ia lupa akan satu hal. Ini adalah perjalanan orang dewasa. Bukan perjalanan anak-anak SMP yang tengah menjalani study tour. Hal yang seharusnya tak terjadi, telah terjadi. Dan, Hanna mulai mempertanyakan hubungan mereka.

Sandy menarik napas panjang. Di aturnya kembali posisi duduknya, agar ia bisa menatap wajah Airin lebih jelas. Ada rasa sesak memaut dalam relung hatinya. “Maafkan aku, Airin…” desahnya.

***

Sinar mentari tersembul lalu membias melalui celah-celah jendela dapur. Airin begitu bersemangat menyiapkan sarapan pagi untuk Sandy, suaminya. Senyumnya merekah seketika tatkala lak-laki itu muncul dari balik pintu.

Sandy tersenyum, seraya menarik kursi makan. Airin meletakkan secangkir teh chamomile di atas meja makan, tepat di hadapan Sandy. Sandy menarik Airin, hingga perempuan itu terduduk di pangkuannya. Dengan lembut dikecupnya bibir Airin. Airin tersenyum, lalu mengalungkan tangannya ke leher suaminya.

“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Airin.

Sandy mengangguk dengan mata yang nampak berkaca-kaca. Airin tertegun.

“Ada apa, Kak?”

Sandy menggeleng, “Tidak. Sepertinya mataku sedikit terkena iritasi,” ujar Sandy sambil mengusap matanya sendiri.

Airin bangkit. “Biar kulihat,” ujarnya.

“Tidak usah. Aku baik-baik saja.”

Mereka terdiam. Airin cepat berbalik menuju lemari makan, seperti mengingat sesuatu. Ia mengeluarkan setangkup sandwich isi tuna lalu meletakkannya di atas meja.

“Hari ini, apa rencanamu?” tanya Sandy, sembari menarik sandwich yang diberikan Airin ke dalam mulutnya.

“Aku akan pergi ke penerbit untuk menandatangani beberapa buku.”

“Jam berapa?”

“Sekitar jam sepuluhan, Kak.”

Sandy mengangguk.

“Kakak tahu, tema apa yang kutulis kali ini?”

Sandy menggeleng. “Apa?” tanyanya basa-basi, karena sebenarnya Sandy tidak pernah tertarik dengan apa yang ditulis oleh Airin.

“Kisah pengkhianatan seorang kekasih.”

Sandy terbatuk. Ia tersedak oleh sandwich yang ada di dalam mulutnya.

“Kak, hati-hati,” ujar Airin khawatir sembari menepuk-nepuk punggung Sandy.

Setelah batuk Sandy mereda. Airin mengambil cangkir kopi yang berada di meja lainnya. Lalu, ia pun duduk di hadapan Sandy.

“Baru saja aku mengatakannya kemarin. Lihat, sekarang malah kamu menulisnya,” keluh Sandy. “Pikiranmu akan terkontaminasi dan dipenuhi oleh rasa curiga.”

Airin terkekeh. “Ini satu nasehat sebenarnya, Kak.”

“Nasehat apa, Airin?”

“Jangan pernah berbagi kesedihan pada lawan jenismu, apa pun alasannya!” Airin kembali berkata.

Sandy terdiam, laki-laki itu menatap Airin tajam.

Airin pun balas menatap Sandy, dengan wajah penuh keyakinan sembari berujar, “Berbagi kesedihan mungkin baik. Namun, akan menjadi tidak baik, kalau kamu melakukannya dengan lawan jenismu.Itu bisa menjadi awal kehancuran hubungan sepasang kekasih. Kakak pasti tahu akan hal itu, kan?”

“Apa yang kamu ketahui?” tanya Sandy.

Airin menggeleng. “Aku hanya sedikit berimajinasi,” ujarnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Setiap hal, kadang kala muncul begitu saja dalam benakku, Kak. Termasuk itu.”

Sandy menghela napas. Ia lupa kalau Airin adalah seorang bipolar. Ide-ide aneh, kadang kala bisa saja muncul begitu saja dalam pikirannya.

“Menurut Kakak bagaimana?”

Sandy terdiam.

“Bukankah, ketika kita mulai berbagi, di situlah kita bisa merasakan kenyamanan. Dari rasa nyaman, muncullah sikap membandingkan,” terang Airin sembari menatap ke arah suaminya. “Kemudian… mereka melakukan perselingkuhan…”

Sandy tidak berkata apa pun hingga suara ponselnya berdering. Laki-laki itu mengangkat ponselnya, sembari bangkit dari duduknya dan menjauh dari tempat Airin berada. Airin tercenung sesaat, merasa ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Di teras, Sandy nampak bercakap-cakap dengan seseorang. “Aku akan keluar hari ini. Jangan khawatir…” ujarnya mantap.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status