Notifikasi surel dari Laras yang baru masuk mengeluarkan Satya dari segala pikiran buruk tentang takdir Tuhan. Tangannya meraih mouse dan menggerakkan kursor di layar laptop. Ia harus segera mengecek laporan keuangan dan mengukur potensi penjualan yang bisa digenjot untuk menambal kerugian karena kebakaran ini. “Mas, air mandinya sudah siap.” Lintang muncul dari balik pintu, membawa handuk dan pakaian ganti. Ia duduk di samping Satya. Matanya tertuju pada layar laptop yang memunculkan deretan angka. “Apa rencana Mas Satya selanjutnya?” Lintang menatap wajah lelah suaminya. “Sedang aku pikirkan,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. “Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan Lintang sebenarnya lebih mirip upaya bunuh diri karena ia buta dunia bisnis. Meski ia yakin akan bisa bergelut di dunia yang dulu sempat membesarkan nama orang tuanya karena semua bisa dipelajari, tetepi fokusnya saat ini masih terkonsentrasi di kampus. Memori otaknya belum menyediakan ruang untu
Melihat pandangan menyelidik Satya, saraf-saraf otak Lintang segera mencari jawaban yang tepat. "Saya merasa tidak asing dengan Mas Evan. Kayaknya pernah ketemu atau melihat entah di mana.” Pandangan Lintang menerawang, seperti tengah mengingat sepotong memori yang tercecer. “Tapi saya nggak kenal,” ujarnya kemudian. Lintang tidak mungkin berterus terang. Satya tidak akan mengerti. Satya mendekati Lintang yang masih duduk di tempat semula. Dipandanginya Lintang hingga salah tingkah. "Hmm, memang kadang ada orang yang mirip padahal bukan saudara." Tatapan Satya menunjukkan kalau ia belum puas dengan jawaban Lintang. Lintang mengangguk, mengiyakan ucapan Satya. Dalam hati ia berharap suaminya mengakhiri pembicaraan tentang Evan. Ia sudah menutup kisahnya dengan CEO perusahaan Hadikusumo itu dan menerima takdir perjodohannya dengan Satya."Ngomong-ngomong, kamu beneran belum pernah punya pacar?" Satya menarik kursi lalu kembali duduk di hadapan Lintang. Entah kenapa tiba-tiba masa lal
Evan menghela napas. Ada luka dan kebencian dalam suara Satya. “Tapi, seingat saya kita tidak punya musuh. Selama ini bisnis kita bersih. Semua yang kita lakukan legal,” ujar Evan sembari mengingat apa saja yang sudah terjadi sejak ia menjadi CEO Hadikusumo Group. “Kita nggak tahu isi hati dan pikiran orang. Menurut kita nggak ada masalah, nggak tahu menurut orang lain.” Satya berusaha membongkar file memori di kepalanya. “Bisa jadi Paklik Soeroso dan Paklik Mahendra masih belum terima karena dicopot dari posisi manajer.”“Tapi kalau sampai berbuat senekat itu sepertinya tidak mungkin, Mas. Keduanya adik kandung ayah njenengan.” Evan tahu dua nama yang disebut Satya. Keduanya memang dicopot dari manajer konveksi dan manajer pabrik Laweyan karena nyata-nyata tidak bersedia tunduk di bawah kendalinya. Bagi mereka, ia hanya anak seorang abdi yang tidak pantas punya posisi lebih tinggi. Tindakan itu membuat Bu Sekar muntab dan mengganti mereka dengan orang lain. Satya tersenyum miring.
Telunjuk Satya menyentuh panel hijau dan membuka pesan teratas.“Kamu pastikan dulu suamimu kasih izin sebelum pergi, Lin.” Sebuah pesan dari Prof. Kathrina masuk ke ponsel Lintang. Kedua alis Satya saling bertaut. Sigap telunjuknya menggeser layar ponsel, menelusuri jejak pesan Lintang dan dosennya. Satya menarik napas panjang ketika nama Sangihe disebut dan Lintang akan pergi ke sana dalam waktu dekat. “Termasuk beasiswamu, izin dulu sama suami kamu, baru daftar.” Lagi pesan dari Prof. Kathrina masuk. “Walaupun kamu sudah diterima di Wageningen dan nanti dapat beasiswa, kalau suami kamu nggak setuju, ya, nggak usah berangkat.” Sangihe.Wegeningen.Dua kata itu mendadak memenuhi kepala Satya. Setelah sempat termangu karena tidak menyangka istrinya punya banyak proyek, ia menutup ruang percakapan Lintang dan Prof. Kathrina setelah merekam pembicaraan mereka dalam memori. Esok, ia akan menanyakannya pada Lintang. Telunjuk Satya kembali menggeser layar, mencari siapa saja yang serin
Sekian purnama kucoba melibas bayangmuTetap saja engkau hadir bersama detak jantungku.Entah kapan aku bisa mengusirmu pergi dari ingatan. ***Meski sempat gelagapan dengan ulah Satya yang tiba-tiba, akhirnya Lintang menyambut ajakan lelaki itu dan membiarkan suaminya membawanya menjadi konco satu selimut. “Jadi, saya boleh berangkat sekarang?” Lintang menatap Satya penuh harap. Tangannya meraih jemari Satya lalu menggenggamnya erat. Keduanya berbaring saling berhadapan.Satya melukis senyum seterang kejora lalu kembali mengecup bibir Lintang seolah tidak ingin mengakhiri pagi yang hangat. “Itu jawabanku,” katanya kemudian. “Makasih, Mas,” ujar Lintang tulus. “Makasih sudah menjadikanku yang pertama,” bisik Satya bahagia. Dicubitnya hidung bangir Lintang yang tersenyum malu. Waktu bergerak cepat seperti panah memelesat dari busurnya. Hanya dalam hitungan jam, Lintang berpindah tiga kota sekaligus. Tepat jam delapan malam tubuhnya telah berada di atas kereta tujuan Jakarta bersa
Dana menghela napas panjang kemudian buru-buru meneguk minuman. El kalau sudah ngomel bisa mengakibatkan hipertensi. “Aku yakin Lintang sudah ngerjain tugasnya. Dua jurnal jatah dia pasti sudah direview. Iya, kan, Lin?” Kali ini manik mata gelap milik Dana menyelusup ke rongga mata Lintang. Sembari menghabiskan makanan yang terlanjut masuk ke mulut, Lintang mengangguk. “Aku sudah review walaupun nggak sempurna,” ujarnya setelah isi mulut melewati tenggorokan. “Abang tahu, kan, kalau toko suamiku kebakaran. Nggak mungkin aku sibuk sendiri sementara dia pontang-panting. Aku harus bantuin dia ngurus macem-macem.” Lintang meminta permakluman sembari memasang tampang memelas. Selama ini, El cukup bisa ditaklukkan kalau ia raut mukanya seperti manusia paling menderita sedunia.“Hasil riset kualitas air sudah kamu pelajari?” El masih belum melepaskan cengkeramannya meski suaranya mulai melunak. Anggukan kepala dan senyum Lintang berhasil menurunkan tensi El. “Syukurlah kalau kerjaanmu sud
Buru-buru Lintang mengusir citra Evan dari rongga kepala. Semua sudah terjadi dan ia telah menerima Satya sebagai suami. Tidak pantas baginya memikirkan laki-laki lain selain suaminya. “Jangankan kamu yang bicara, anaknya sendiri tidak pernah didengar Bunda.” Hanum tersenyum miris. “Apakah setelah semua yang terjadi, kita masih perlu mengenang semua kepahitan itu?” Lintang menatap paras secantik dewi-dewi Yunani milik Hanum yang terlihat muram. “Maksudmu?” Hanum mengalihkan pandangan pada Lintang. Kedua alisnya bertaut. “Semua sudah terjadi dan itu diluar kuasa kita. Saya juga belum pernah tahu Mas Satya sebelumnya. Saya baru ketemu saat lamaran. Berandai-andai kembali ke masa lalu dan menolak perjodohan itu jelas sia-sia, tidak akan mengubah keadaan kita saat ini,” ujar Lintang panjang lebar. Ia lelah berada di tengah kecamuk perasaan Satya dan Hanum. “Kamu tidak akan berkata seperti itu kalau berada di posisiku.” Hanum meraih gelas dan meneguk jus jeruk cepat-cepat seolah a
Waktu yang bergerak cepat memutus pembicaraan mereka. “Sore ini aku sudah check out,” ujar Hanum sebelum berpisah. “Semoga pernikahan kalian bahagia selalu.” Hanum mencoba tegar meski hatinya terasa seperti diremas ketika mengucapkannya. Wajah Satya dan senyum manisnya kembali mengapung di depan mata. Beberapa kali ia mengerjap demi menyembunyikan gerimis yang nyaris tumpah. Ia memang jatuh, tetapi tidak boleh terlihat terpuruk di depan Lintang.“Terima kasih banyak,” jawab Lintang tulus. “Doa terbaik juga buat Mbak Hanum.” Lintang memeluk Hanum seperti sahabat yang lama tidak berjumpa. Rasa lega menyelimuti hati Lintang. Pertemuan dengan Hanum kali ini telah mengikis rasa bersalah yang terkadang timbul karena merasa telah merebut Satya dari kehidupan desainer muda itu. Ia tahu sulit bagi Hanum melipat kenangan, tetapi hanya itu satu-satunya cara untuk menapak hari baru. ***“Kamu selesai workshop jam berapa?” Pesan dari Satya masuk ke ponsel Lintang di hari terakhir workshop. “Ini