Share

Bab 5: Hanya Pura-Pura

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2022-10-13 12:39:39

Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.

“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.

Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.

“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”

“Ya udah, ayo cepetan pulang.”

Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.

Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.

“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.

“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.

“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”

Satya menutup panggilan telepon setelah mengucap terima kasih. Diam-diam, Lintang berharap sakitnya Bunda menjadi jalan bagi Satya untuk mengubah sikap.

“Kamu yakin mau pulang sendiri ke kos, Lin?”

Lintang mengangguk. Aku nggak apa-apa, kok, Din.”

“Ya, udah. Hati-hati, ya. Jangan ngelamun di jalan. Kalau butuh apa-apa, telepon saja.”

Selarik senyum tulus terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Doain ya, semoga Bunda nggak apa-apa jadi aku bisa cepetan balik ke sini buat nyelesein skripsi.”

Dini meraih tangan Lintang. ‘Insyaallah. Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.”

Usai mengucapkan terima kasih, Lintang memacu motornya keluar kompleks fakultas. Satu jam setelah tiba di kost, mobil yang menjemputnya tiba. Tanpa menunggu waktu, Lintang segera naik dan mobil pun kembali melaju menuju Solo.

Sepanjang perjalanan Lintang menyusun ulang agendanya dan menyiapkan beberapa rencana untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

“Jantungnya kambuh, Mbak. Padahal kemarin kondisi Ibu cukup stabil.” Pak Pardi, sopir keluarga  Satya menjawab ketika Lintang menanyakan kondisi sang bunda.

“Apa beliau mendengar berita yang tidak mengenakkan?”

Sekian detik Pak Pardi bergeming, mencoba mengingat apa yang terjadi beberapa hari terakhir.

“Seperinya semua baik-baik saja, Mbak. Saya sempat mengantar Ibu ke toko dan rumah kuno yang beliau beli dan sedang direnovasi itu. Ibu kelihatan bahagia dan sehat.”

“Atau kangen Mas Satya mungkin, Pak.”

Pak Pardi tertawa. “Mas Satya setiap hari video call dengan Ibu, Mbak.”

Lintang nyengir. Ia baru ingat kalau hampir setiap usai salat subuh dan isya, Satya selalu menelopon Bunda.

Setelah melalui dua jam perjalanan, Grand Livina hitam itu pun memasuki rumah berarsitektur Jawa kuno. Matahari telah tergelincir ke barat ketika Lintang menginjakkan kaki di halaman rumah yang asri itu. Suara jangkrik menyambut kedatangannya. Aroma melati berkelindan dengan bau tanah basah menyelusup ke rongga hidung. Lintang menghirup napas dalam-dalam. Ini kali keiga ia berkunjung ke rumah yang tampak anggun di bawah langit malam, mengingatkannya pada sosok putri keraton yang lembut dan lemah gemulai.

Belum sempat Lintang menekan bel, pintu kayu jati setingga tiga meter terbuka. Seorag perempuan tua dengan kebaya bunga-bunga dan jarik cokelat tua muncul dari balik pintu.

“Monggo, Mbak, masuk. Sudah ditunggu Ibu.” Mbok Darmi, orang kepercayaan Bunda menggesr badannya, memberi jalan kepada Lintang untuk masuk.

Lintang mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah. Aroma lavender yang lembut mengingatkannya pada wajah Bunda yang keibuan. Telinga Lintang menangkap suara merdu Syaikh Mishari Rasyid dari balik ruang tamu. Suara aerator memberi kabar jika di ruang yang luas itu terdapat kehidupan lain.

 Uisai membersihkan diri, Lintang pun masuk ke kamar perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu.

‘Sudah makan, Nduk?” Perempuan itu melukis senyum di wajah. Ia terlihat baik-baik saja meski wajahnya sedikit pucat. Sebuah buku tergenggam di tangan.

“Lintang masih kenyang, Bun.” Lintang meraih tangan Bunda lalu menciumnya takzim.

“Bunda juga belum makan. Yuk, makan bareng. Tadi Mbok Darmi masak nasi liwet.” Wajah Bunda terlihat semringah.

Tidak ada alasan bagi Lintag untuk menolak. Ia terbiasa menuruti permintaan orang yang ia hormati. Almarhum orang tuanya sejak dulu mengajrkan seperti itu.

“Saya ambilkan nasinya dulu, Bun.”

Bunda meraih tangan Lintang. “Enggak usah. Kita makan di ruang makan saja.” Perempuan itu meletakkan kaca mata di atas nakas kemudian turun dari ranjang.

“Bunda nggak apa-apa jalan ke ruang makan?” Setahu Lintang, jika sedang tidak sehat, Bunda akan melakukan semunya di kamarr.

Lagi selarik senyum terbit di wajah Bunda. “Enggak apa-apa, Nduk. Melihat wajah kamu Bunda langsung sembuh.”

Lintang menarik napas panjang sebelum berjalan mengikuti Bunda. Dalam hati ia khawatir jika perempuan itu sebenarnya tidak benar-benar sakit. Ia hanya meminta perhatiannya saja dengan berpura-pura kambuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status