Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.
“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.
Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.
“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”
“Ya udah, ayo cepetan pulang.”
Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.
Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.
“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.
“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.
“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”
Satya menutup panggilan telepon setelah mengucap terima kasih. Diam-diam, Lintang berharap sakitnya Bunda menjadi jalan bagi Satya untuk mengubah sikap.
“Kamu yakin mau pulang sendiri ke kos, Lin?”
Lintang mengangguk. Aku nggak apa-apa, kok, Din.”
“Ya, udah. Hati-hati, ya. Jangan ngelamun di jalan. Kalau butuh apa-apa, telepon saja.”
Selarik senyum tulus terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Doain ya, semoga Bunda nggak apa-apa jadi aku bisa cepetan balik ke sini buat nyelesein skripsi.”
Dini meraih tangan Lintang. ‘Insyaallah. Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.”
Usai mengucapkan terima kasih, Lintang memacu motornya keluar kompleks fakultas. Satu jam setelah tiba di kost, mobil yang menjemputnya tiba. Tanpa menunggu waktu, Lintang segera naik dan mobil pun kembali melaju menuju Solo.
Sepanjang perjalanan Lintang menyusun ulang agendanya dan menyiapkan beberapa rencana untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
“Jantungnya kambuh, Mbak. Padahal kemarin kondisi Ibu cukup stabil.” Pak Pardi, sopir keluarga Satya menjawab ketika Lintang menanyakan kondisi sang bunda.
“Apa beliau mendengar berita yang tidak mengenakkan?”
Sekian detik Pak Pardi bergeming, mencoba mengingat apa yang terjadi beberapa hari terakhir.
“Seperinya semua baik-baik saja, Mbak. Saya sempat mengantar Ibu ke toko dan rumah kuno yang beliau beli dan sedang direnovasi itu. Ibu kelihatan bahagia dan sehat.”
“Atau kangen Mas Satya mungkin, Pak.”
Pak Pardi tertawa. “Mas Satya setiap hari video call dengan Ibu, Mbak.”
Lintang nyengir. Ia baru ingat kalau hampir setiap usai salat subuh dan isya, Satya selalu menelopon Bunda.
Setelah melalui dua jam perjalanan, Grand Livina hitam itu pun memasuki rumah berarsitektur Jawa kuno. Matahari telah tergelincir ke barat ketika Lintang menginjakkan kaki di halaman rumah yang asri itu. Suara jangkrik menyambut kedatangannya. Aroma melati berkelindan dengan bau tanah basah menyelusup ke rongga hidung. Lintang menghirup napas dalam-dalam. Ini kali keiga ia berkunjung ke rumah yang tampak anggun di bawah langit malam, mengingatkannya pada sosok putri keraton yang lembut dan lemah gemulai.
Belum sempat Lintang menekan bel, pintu kayu jati setingga tiga meter terbuka. Seorag perempuan tua dengan kebaya bunga-bunga dan jarik cokelat tua muncul dari balik pintu.
“Monggo, Mbak, masuk. Sudah ditunggu Ibu.” Mbok Darmi, orang kepercayaan Bunda menggesr badannya, memberi jalan kepada Lintang untuk masuk.
Lintang mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah. Aroma lavender yang lembut mengingatkannya pada wajah Bunda yang keibuan. Telinga Lintang menangkap suara merdu Syaikh Mishari Rasyid dari balik ruang tamu. Suara aerator memberi kabar jika di ruang yang luas itu terdapat kehidupan lain.
Uisai membersihkan diri, Lintang pun masuk ke kamar perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu.
‘Sudah makan, Nduk?” Perempuan itu melukis senyum di wajah. Ia terlihat baik-baik saja meski wajahnya sedikit pucat. Sebuah buku tergenggam di tangan.
“Lintang masih kenyang, Bun.” Lintang meraih tangan Bunda lalu menciumnya takzim.
“Bunda juga belum makan. Yuk, makan bareng. Tadi Mbok Darmi masak nasi liwet.” Wajah Bunda terlihat semringah.
Tidak ada alasan bagi Lintag untuk menolak. Ia terbiasa menuruti permintaan orang yang ia hormati. Almarhum orang tuanya sejak dulu mengajrkan seperti itu.
“Saya ambilkan nasinya dulu, Bun.”
Bunda meraih tangan Lintang. “Enggak usah. Kita makan di ruang makan saja.” Perempuan itu meletakkan kaca mata di atas nakas kemudian turun dari ranjang.
“Bunda nggak apa-apa jalan ke ruang makan?” Setahu Lintang, jika sedang tidak sehat, Bunda akan melakukan semunya di kamarr.
Lagi selarik senyum terbit di wajah Bunda. “Enggak apa-apa, Nduk. Melihat wajah kamu Bunda langsung sembuh.”
Lintang menarik napas panjang sebelum berjalan mengikuti Bunda. Dalam hati ia khawatir jika perempuan itu sebenarnya tidak benar-benar sakit. Ia hanya meminta perhatiannya saja dengan berpura-pura kambuh.
Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”“Ta-tapi, Bun …..”“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”Lintang menelan ludah
Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak
“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya mes
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak