Share

Bab 5: Hanya Pura-Pura

Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.

“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.

Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.

“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”

“Ya udah, ayo cepetan pulang.”

Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.

Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.

“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.

“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.

“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”

Satya menutup panggilan telepon setelah mengucap terima kasih. Diam-diam, Lintang berharap sakitnya Bunda menjadi jalan bagi Satya untuk mengubah sikap.

“Kamu yakin mau pulang sendiri ke kos, Lin?”

Lintang mengangguk. Aku nggak apa-apa, kok, Din.”

“Ya, udah. Hati-hati, ya. Jangan ngelamun di jalan. Kalau butuh apa-apa, telepon saja.”

Selarik senyum tulus terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Doain ya, semoga Bunda nggak apa-apa jadi aku bisa cepetan balik ke sini buat nyelesein skripsi.”

Dini meraih tangan Lintang. ‘Insyaallah. Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.”

Usai mengucapkan terima kasih, Lintang memacu motornya keluar kompleks fakultas. Satu jam setelah tiba di kost, mobil yang menjemputnya tiba. Tanpa menunggu waktu, Lintang segera naik dan mobil pun kembali melaju menuju Solo.

Sepanjang perjalanan Lintang menyusun ulang agendanya dan menyiapkan beberapa rencana untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

“Jantungnya kambuh, Mbak. Padahal kemarin kondisi Ibu cukup stabil.” Pak Pardi, sopir keluarga  Satya menjawab ketika Lintang menanyakan kondisi sang bunda.

“Apa beliau mendengar berita yang tidak mengenakkan?”

Sekian detik Pak Pardi bergeming, mencoba mengingat apa yang terjadi beberapa hari terakhir.

“Seperinya semua baik-baik saja, Mbak. Saya sempat mengantar Ibu ke toko dan rumah kuno yang beliau beli dan sedang direnovasi itu. Ibu kelihatan bahagia dan sehat.”

“Atau kangen Mas Satya mungkin, Pak.”

Pak Pardi tertawa. “Mas Satya setiap hari video call dengan Ibu, Mbak.”

Lintang nyengir. Ia baru ingat kalau hampir setiap usai salat subuh dan isya, Satya selalu menelopon Bunda.

Setelah melalui dua jam perjalanan, Grand Livina hitam itu pun memasuki rumah berarsitektur Jawa kuno. Matahari telah tergelincir ke barat ketika Lintang menginjakkan kaki di halaman rumah yang asri itu. Suara jangkrik menyambut kedatangannya. Aroma melati berkelindan dengan bau tanah basah menyelusup ke rongga hidung. Lintang menghirup napas dalam-dalam. Ini kali keiga ia berkunjung ke rumah yang tampak anggun di bawah langit malam, mengingatkannya pada sosok putri keraton yang lembut dan lemah gemulai.

Belum sempat Lintang menekan bel, pintu kayu jati setingga tiga meter terbuka. Seorag perempuan tua dengan kebaya bunga-bunga dan jarik cokelat tua muncul dari balik pintu.

“Monggo, Mbak, masuk. Sudah ditunggu Ibu.” Mbok Darmi, orang kepercayaan Bunda menggesr badannya, memberi jalan kepada Lintang untuk masuk.

Lintang mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah. Aroma lavender yang lembut mengingatkannya pada wajah Bunda yang keibuan. Telinga Lintang menangkap suara merdu Syaikh Mishari Rasyid dari balik ruang tamu. Suara aerator memberi kabar jika di ruang yang luas itu terdapat kehidupan lain.

 Uisai membersihkan diri, Lintang pun masuk ke kamar perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu.

‘Sudah makan, Nduk?” Perempuan itu melukis senyum di wajah. Ia terlihat baik-baik saja meski wajahnya sedikit pucat. Sebuah buku tergenggam di tangan.

“Lintang masih kenyang, Bun.” Lintang meraih tangan Bunda lalu menciumnya takzim.

“Bunda juga belum makan. Yuk, makan bareng. Tadi Mbok Darmi masak nasi liwet.” Wajah Bunda terlihat semringah.

Tidak ada alasan bagi Lintag untuk menolak. Ia terbiasa menuruti permintaan orang yang ia hormati. Almarhum orang tuanya sejak dulu mengajrkan seperti itu.

“Saya ambilkan nasinya dulu, Bun.”

Bunda meraih tangan Lintang. “Enggak usah. Kita makan di ruang makan saja.” Perempuan itu meletakkan kaca mata di atas nakas kemudian turun dari ranjang.

“Bunda nggak apa-apa jalan ke ruang makan?” Setahu Lintang, jika sedang tidak sehat, Bunda akan melakukan semunya di kamarr.

Lagi selarik senyum terbit di wajah Bunda. “Enggak apa-apa, Nduk. Melihat wajah kamu Bunda langsung sembuh.”

Lintang menarik napas panjang sebelum berjalan mengikuti Bunda. Dalam hati ia khawatir jika perempuan itu sebenarnya tidak benar-benar sakit. Ia hanya meminta perhatiannya saja dengan berpura-pura kambuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status