Share

Bab 6: Bertemu Hanum

Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.

Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.

“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”

“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.

Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.

“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”

“Ta-tapi, Bun …..”

“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”

Lintang menelan ludah. Keyakinannya kini genap seratus persen kalau perempuan di hadapannya memang sama sekali tidak sakit. “Ya, Rabb,” keluh Lintang dalam hati. Setumpuk pekerjaan berkelebat di benaknya. Nasi liwet yang semula menggugah selera mendadak terasa hambar.

Keesokan harinya, Bunda benar-benar menjalankan rencananya. Ia sudah rapi dan cantik sejak jam tujuh pagi. Sembari menunggu jarum jam menunjuk angka delapan, ia duduk di teras sembari mebaca buku ditemani secangkir wedang seacng dan sereh dengan tambahan daun mint.

‘Maaf, Mbak, saya terpaksa berbohong. Ibu yang minta,” ucap Mbok Darm ketika Linntang menanyakan kondisi Bunda. Rasa ingin tahunya bergumpal-gumpal sehingga tak sangup lagi ditahan.

“Ibu bilang kangen Mbak Lintang. Tapi kalau enggak bilang sakit pasti Mbak Lintang enggak mau datang.”  Mbok Darmi menatap Lintang takut-takut. Dalam hati ia merasa bersalah telah bersekongkol dengan majikannya.

Lintang menghela napas panjang. “Baik, Mbok. Besok lagi enggak usah berbohong. Bilang saja Bunda kangen. Insyaallah saya akan datang,” pungkasnya. Semua sudah terjadi. Waktu tdak akan bisa kembali. Meski ia marah, tidak akan mengembalikannya ke Jogja saat ini juga. Lintang memutuskan menjalani hari ini dengan bahagia.

Tepat jam delapan, Pak Pardi sudah siap di balik kemudi. Grand Lvina hitam pun meluncur keluar halaman yang luas membelah jalanan kota Solo yang ramai.

Sebelum berkunjung ke Omah Lowo, Bunda mengajak Lintang ke toko batik miliknya yang sudah sangat terkenal.

“Assalamu’alaikum, Bunda.” Sebuah suara yang merdu menerobos telinga, serupa tali yang menarik kepala Bunda dan Lintang sehingga keduanya refleks menoleh.

“Hanum? Kok, ada di sini?”

‘Iya, Bun, pas kebetulan pulang. Nanti sore balik Bandung mampir ke sini dulu beliiin titipan temen.” Gadis berkulit kuning langsat itu tersenyum hangat.

“Semalam Mas Satya telepon kalau Bunda sakit. Rencananya mau nengok Bunda habis dari sini.”

Seketika ada yang berdenyut nyeri di hati Lintang. Inikah Hanum yang menjadi kekasih Satya selama ini?

“Iya, kemarin memang Bunda enggak enak badan, tapi sekarang sudah baikan. Obatnya sudah dateng.” Bunda menatap Lintang penuh rasa sayang.

Senyum sehangat mentari terbit di wajah Lintang ketika matanya bersitatap dengan Bunda.

Sikap hangat Bu Sekar pada Lintang meredupkan binar di wajah Hanum, seperti ada yang mencubit hatinya. Namun, gadis itu berhasil menguasai riak di hatinya dengan cepat.

“Syukurlah kalau Bunda sudah sehat.” Hanum berusaha mengulas senyum sehangat mungkin. Ia tidak ingin terlihat kalah di depan Bu Sekar dan Lintang. Meski hatinya ingin segera pergi dari hadapan Lintang, tetapi demi sopan santun, gadis berwajah oriental itu tidak menolak ketika ibu Satya itu mengajaknya mengobrol sebentar.

Selama beberapa menit mengobrol, Lintang hanya menjadi pendengar sementara matanya tak pernah lepas dari wajah Hanum yang terlihat ramah dan keibuan. Rambutnya hitam berkilau dan wangi. Sesekali angin yang berembus meriapkan rambut bergelombang yang dibiarkan tergerai itu. Di bawah siraman sinar matahari waktu dhuha, Hanum terlihat seperti dewi-dewi turun dari kayangan dalam dongeng-dongeng masa lalu. Lintang bisa mengerti jika Satya sangat mencintai Hanum. Perempuan itu memang mememiliki semua syarat untuk dicintai.

Setelah Hanum pamit, Bunda mengajak Lintang masuk ke toko batik yang cukup terkenal di kota Solo dan sekitarnya itu. Keduanya disambut wangi aroma lavender dan suara gamelan yang memberi kesan teduh dan nyaman.

Lintang merasa betah dan ingin berlama-lama di sini. Apalagi toko batik ini tidak hanya menyediakan batik klasik, melainkan juga desain batik modern dan kekinian yang cocok dipakai anak muda. Ingin rasanya ia menjelajah toko dan memilih satu atau dua baju. Namun, ia datang ke sini bukan untuk berbelanja. Ia harus mengikuti ke mana pun Bu Sekar pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status