Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.
Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.
“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”
“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.
Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.
“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”
“Ta-tapi, Bun …..”
“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”
Lintang menelan ludah. Keyakinannya kini genap seratus persen kalau perempuan di hadapannya memang sama sekali tidak sakit. “Ya, Rabb,” keluh Lintang dalam hati. Setumpuk pekerjaan berkelebat di benaknya. Nasi liwet yang semula menggugah selera mendadak terasa hambar.
Keesokan harinya, Bunda benar-benar menjalankan rencananya. Ia sudah rapi dan cantik sejak jam tujuh pagi. Sembari menunggu jarum jam menunjuk angka delapan, ia duduk di teras sembari mebaca buku ditemani secangkir wedang seacng dan sereh dengan tambahan daun mint.
‘Maaf, Mbak, saya terpaksa berbohong. Ibu yang minta,” ucap Mbok Darm ketika Linntang menanyakan kondisi Bunda. Rasa ingin tahunya bergumpal-gumpal sehingga tak sangup lagi ditahan.
“Ibu bilang kangen Mbak Lintang. Tapi kalau enggak bilang sakit pasti Mbak Lintang enggak mau datang.” Mbok Darmi menatap Lintang takut-takut. Dalam hati ia merasa bersalah telah bersekongkol dengan majikannya.
Lintang menghela napas panjang. “Baik, Mbok. Besok lagi enggak usah berbohong. Bilang saja Bunda kangen. Insyaallah saya akan datang,” pungkasnya. Semua sudah terjadi. Waktu tdak akan bisa kembali. Meski ia marah, tidak akan mengembalikannya ke Jogja saat ini juga. Lintang memutuskan menjalani hari ini dengan bahagia.
Tepat jam delapan, Pak Pardi sudah siap di balik kemudi. Grand Lvina hitam pun meluncur keluar halaman yang luas membelah jalanan kota Solo yang ramai.
Sebelum berkunjung ke Omah Lowo, Bunda mengajak Lintang ke toko batik miliknya yang sudah sangat terkenal.
“Assalamu’alaikum, Bunda.” Sebuah suara yang merdu menerobos telinga, serupa tali yang menarik kepala Bunda dan Lintang sehingga keduanya refleks menoleh.
“Hanum? Kok, ada di sini?”
‘Iya, Bun, pas kebetulan pulang. Nanti sore balik Bandung mampir ke sini dulu beliiin titipan temen.” Gadis berkulit kuning langsat itu tersenyum hangat.
“Semalam Mas Satya telepon kalau Bunda sakit. Rencananya mau nengok Bunda habis dari sini.”
Seketika ada yang berdenyut nyeri di hati Lintang. Inikah Hanum yang menjadi kekasih Satya selama ini?
“Iya, kemarin memang Bunda enggak enak badan, tapi sekarang sudah baikan. Obatnya sudah dateng.” Bunda menatap Lintang penuh rasa sayang.
Senyum sehangat mentari terbit di wajah Lintang ketika matanya bersitatap dengan Bunda.
Sikap hangat Bu Sekar pada Lintang meredupkan binar di wajah Hanum, seperti ada yang mencubit hatinya. Namun, gadis itu berhasil menguasai riak di hatinya dengan cepat.
“Syukurlah kalau Bunda sudah sehat.” Hanum berusaha mengulas senyum sehangat mungkin. Ia tidak ingin terlihat kalah di depan Bu Sekar dan Lintang. Meski hatinya ingin segera pergi dari hadapan Lintang, tetapi demi sopan santun, gadis berwajah oriental itu tidak menolak ketika ibu Satya itu mengajaknya mengobrol sebentar.
Selama beberapa menit mengobrol, Lintang hanya menjadi pendengar sementara matanya tak pernah lepas dari wajah Hanum yang terlihat ramah dan keibuan. Rambutnya hitam berkilau dan wangi. Sesekali angin yang berembus meriapkan rambut bergelombang yang dibiarkan tergerai itu. Di bawah siraman sinar matahari waktu dhuha, Hanum terlihat seperti dewi-dewi turun dari kayangan dalam dongeng-dongeng masa lalu. Lintang bisa mengerti jika Satya sangat mencintai Hanum. Perempuan itu memang mememiliki semua syarat untuk dicintai.
Setelah Hanum pamit, Bunda mengajak Lintang masuk ke toko batik yang cukup terkenal di kota Solo dan sekitarnya itu. Keduanya disambut wangi aroma lavender dan suara gamelan yang memberi kesan teduh dan nyaman.
Lintang merasa betah dan ingin berlama-lama di sini. Apalagi toko batik ini tidak hanya menyediakan batik klasik, melainkan juga desain batik modern dan kekinian yang cocok dipakai anak muda. Ingin rasanya ia menjelajah toko dan memilih satu atau dua baju. Namun, ia datang ke sini bukan untuk berbelanja. Ia harus mengikuti ke mana pun Bu Sekar pergi.
Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak
“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya mes
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak
“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara itu, Lintang me