Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.
Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.
“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.
Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak dianggap oleh suaminya sendiri.
Tiba-tiba ucapan Satya bahwa pernikahannya hanya sementara terngiang di telinga. Lintang mengganjur napas. Memiliki toko ini hanya ilusi. Pernikahannya hanya sementara demi menyenangkan Bu Sekar. Ketika Satya berhasil meyakinkan Bu Sekar bahwa cintanya adalah Hanum, ia harus pergi dari sisi Satya. Mengingat semua itu, hatinya kembali terasa nyeri.
“Kamu anakku, Nduk Lintang. Bagaimana mungkin kamu mengatakan tidak berhak atas toko ini?” Bu Sekar mencubit hidung bangir Lintang gemas. “Bahkan, meski semua hartaku kuberikan padamu, tidak akan pernah bisa menebus apa yang diberikan kedua orangtuamu padaku.”
Wajah riang Bu Sekar meredup. Mendung bergelayut di mata sepuhnya. Ia menarik napas dalam. Ingatan masa lalu berkelebat cepat di kepala seperti film hitam putih yang diputar ulang. Semua yang ada pada diri Lintang mengingatkannya pada sahabat yang telah menyelamatkan hidupnya hingga ia masih bisa mendekap Satya sampai saat ini. Apa pun akan ia berikan demi membalas semua yang telah dilakukan sahabatnya.
Sepasang mata bening Lintang menatap tak mengerti Bu Sekar. Ia tidak pernah tahu masa lalu kedua orang tuanya. Ia masih terlalu kecil untuk tahu. Apa yang terekam dalam memori kepalanya adalah mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Keduanya memang memiliki sebuah toko batik di Yogyakarta yang diteruskan pengelolaannya oleh pakliknya dan akan diserahkan padanya setelah lulus kuliah sebagaimana permintaan kedua orangtuanya.
“Berjanjilah untuk mengurus semua ini setelah Bunda enggak ada, Lintang.” Bu Sekar tersekat di ujung suara.
Lintang tersirap. Jemari Bu Sekar meraih tangannya lalu menggenggam erat seolah tidak ingin berpisah.
“Berjanjilah untuk menjadi anakku, selamanya. Kamu yang paling cocok menjadi istri Satya.”
“Andai Mas Satya ada di sini dan mendengar permintaan Bunda,” batin Lintang pilu. Wajah datar Satya melintas di benak, menikam hatinya yang telah patah.
Bu Sekar menyeka sudut mata. “Pengacara Bunda akan segera mengurus semuanya. Setelah Omah Lowo jadi, sebagian aset Bunda akan berpindah ke tanganmu.”
Lintang menggeleng. “Saya tidak berhak, Bunda. Semua tempat ini milik Bunda. Mas Satya yang akan meneruskannya.”
Bu Sekar tersenyum. Sinar di wajahnya kembali merekah. “Satya sudah punya bagiannya sendiri, Nduk. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Kalian berdua sudah memiliki bagian masing-masing.”
Meski belum sepenuhnya mengerti, Lintang menghela napas lega. Setidaknya, Bu Sekar tetap memikirkan Satya. Apa kata orang jika ia memiliki semua harta Bu Sekar. Bisa-bisa ia viral karena kaya mendadak. Orang tua Lintang memang mewariskan toko dan tanah, tetapi tidak sebesar dan sebanyak kekayaan Bu Sekar.
“Janji ya, Nduk Cah Ayu, kamu mau meneruskan usaha Bunda nguri-uri budaya Jawa ini?” Bu Sekar menatap Lintang penuh harap.
Lagi-lagi Lintang berusaha meyakinkan diri bahwa pendengarannya tidak salah sebelum ia akhirnya menganggukkan kepala untuk mengiyakan permintaan Bu Sekar.
Bu Sekar tersenyum lega melihat anggukan Lintang. Meski keraguan terlihat di wajah Lintang, perempuan sepuh itu yakin Lintang akan menerima dan menjalankan bisnisnya dengan baik.
Kini, Bu Sekar merasa tenang. Jika sewaktu-waktu jiwanya terpisah dari raga, ia telah telah menjalankan wasiat mendiang suaminya dan menebus jasa sahabatnya. Suami dan sahabatnya akan tenang di sana. Pun dengan dirinya. Diam-diam ia melantunkan doa agar waktu perpisahan itu tidak akan lama lagi karena tugasnya di dunia telah usai.
Setelah menghabiskan hidangan, Bu Sekar mengajak Lintang ke Omah Lowo. Bangunan tua peninggalan Belanda itu telah diubah menjadi kedai kopi dan toko batik bergaya Eropa klasik.
“Ini akan menjadi milik Satya,” ujar Bu Sekar dengan mata berbinar. “Kamu tahu, Nduk, Satya sangat menyukai kopi. Dia seperti mendiang ayahnya.”
Lintang bisa melihat tatapan penuh kerinduan di manik mata kelabu milik Bu Sekar. Lagi-lagi wajah Satya melintas di kepala. Andai tatapan itu yang dilihatnya di mata Satya, tentu ia akan merasa sangat bahagia. Sayang, semua hanya mimpi. Satya bukan miliknya.
Puas melihat-lihat Omah Lowo yang rencananya akan diresmikan sebulan lagi, Bu Sekar mengajak Lintang pulang. Rasa lelah mulai merambati tubuhnya.
Meski wajahnya terlihat sedikit pucat, Bu Sekar tampak bahagia menjalani sisa hari ini. Ia mengajak Sekar melihat-lihat album foto dan sebelum tidur mereka menonton drama korea.
“Bunda suka drakor juga rupanya.” Lintang tersenyum geli. Ia justru hampir tidak pernah menonton. Agendanya begitu padat seolah tidak menyisakan ruang untuk menikmati film. Lagi pula, drama Korea memang bukan seleranya.
“Hanya sesekali, Nduk,” jawab Bu Sekar.
Mereka pun menghabiskan malam dengan menonton dan berbagi cerita. Lebih tepatnya mendengar Bu Sekar bercerita, tentang Satya dan mendiang suaminya.
“Terima kasih sudah menjadi anakku, Nduk.” Bu Sekar menggenggam erat jemari Lintang. “Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.” Selarik senyum terbit di wajahnya.
“Bunda bicara apa, sih. Bunda belum nimang cucu, lho,” canda Lintang. Entah kenapa wajah Bu Sekar terlihat lain.
“Bunda akan melihat cucu-cucu Bunda dari sana.” Bu Sekar mencubit hidung Lintang. “Sudah, ayo tidur. Biar besok nggak terlambat bangun subuh.” Bu Sekar bangkit dan berjalan menuju kamar diikuti Lintang.
Lintang tengah membaca Al Quran dan suara tarhim dari masjid terdengar menyambut Azan Subuh ketika teriakan Mbok Darmi terdengar dari kamar Bu Sekar. Tergopoh, Lintang berlari keluar dari musala menuju kamar Bu Sekar.
“Ibu, Mbak.” Mbok Darmi melihat Lintang sekilas lalu memeluk tubuh tuannya.
Lintang mendekat. Diraihnya tangan Bu Sekar. Dingin. Denyut nadinya tidak terasa. Ditatapnya wajah perempuan berambut lurus itu. Ia terlihat seperti tengah tertidur lelap.
“Innalillahi wa innaialihi roojiuun,” ujarnya lirih ketika tak didapatinya embusan napas dari hidung Bu Sekar.
“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya mes
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak
“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara itu, Lintang me
Cintaku seperti bunga matahari, tetapi hatimu serupa pohon meranggas. - Lintang Ayu Saraswati -***“Ya, Tuhan,” batin Satya. Ia menyesali ucapannya. Sayang, semua sudah terlanjur.Satya terdiam, manik mata kelamnya menatap Lintang. Hati Satya bagai diamuk badai melihat sepasang mata sewarna madu milik Lintang siap menumpahkan air mata.“Jadi memang Mas Satya benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini?” Sekuat tenaga Lintang menahan gelombang di hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin terlihat kalah di hadapan Satya.Satya menutup wajah dengan kedua tangan lalu menyugar rambut frustrasi. Ia benar-benar menyesal. “A-aku ….” Lelaki berambut lurus tebal itu bangkit dari sofa lalu mendekati Lintang. “Ma-maksudku ….”“Kalau memang Mas Satya tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, ceraikan saya sekarang juga.” Tatapan setajam pisau milik Lintang menyambar tubuh Satya yang terpaku selangkah di depan Lintang.“Dulu Mas Satya meminta waktu untuk membujuk bunda dan sekarang beliau sudah tiada.