Share

Bab 7: Permintaan Bunda

Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.

Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.

“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.

Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak dianggap oleh suaminya sendiri.

Tiba-tiba ucapan Satya bahwa pernikahannya hanya sementara terngiang di telinga. Lintang mengganjur napas. Memiliki toko ini hanya ilusi. Pernikahannya hanya sementara demi menyenangkan Bu Sekar. Ketika Satya berhasil meyakinkan Bu Sekar bahwa cintanya adalah Hanum, ia harus pergi dari sisi Satya. Mengingat semua itu, hatinya kembali terasa nyeri.

“Kamu anakku, Nduk Lintang. Bagaimana mungkin kamu mengatakan tidak berhak atas toko ini?” Bu Sekar mencubit hidung bangir Lintang gemas. “Bahkan, meski semua hartaku kuberikan padamu, tidak akan pernah bisa menebus apa yang diberikan kedua orangtuamu padaku.”

Wajah riang Bu Sekar meredup. Mendung bergelayut di mata sepuhnya. Ia menarik napas dalam. Ingatan masa lalu berkelebat cepat di kepala seperti film hitam putih yang diputar ulang. Semua yang ada pada diri Lintang mengingatkannya pada sahabat yang telah menyelamatkan hidupnya hingga ia masih bisa mendekap Satya sampai saat ini. Apa pun akan ia berikan demi membalas semua yang telah dilakukan sahabatnya.

Sepasang mata bening Lintang menatap tak mengerti Bu Sekar. Ia tidak pernah tahu masa lalu kedua orang tuanya. Ia masih terlalu kecil untuk tahu. Apa yang terekam dalam memori kepalanya adalah mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Keduanya memang memiliki sebuah toko batik di Yogyakarta yang diteruskan pengelolaannya oleh pakliknya dan akan diserahkan padanya setelah lulus kuliah sebagaimana permintaan kedua orangtuanya.

“Berjanjilah untuk mengurus semua ini setelah Bunda enggak ada, Lintang.” Bu Sekar tersekat di ujung suara.

Lintang tersirap. Jemari Bu Sekar meraih tangannya lalu menggenggam erat seolah tidak ingin berpisah.

“Berjanjilah untuk menjadi anakku, selamanya. Kamu yang paling cocok menjadi istri Satya.”

“Andai Mas Satya ada di sini dan mendengar permintaan Bunda,” batin Lintang pilu. Wajah datar Satya melintas di benak, menikam hatinya yang telah patah.

Bu Sekar menyeka sudut mata. “Pengacara Bunda akan segera mengurus semuanya. Setelah Omah Lowo jadi, sebagian aset Bunda akan berpindah ke tanganmu.”

Lintang menggeleng. “Saya tidak berhak, Bunda. Semua tempat ini milik Bunda. Mas Satya yang akan meneruskannya.”

Bu Sekar tersenyum. Sinar di wajahnya kembali merekah. “Satya sudah punya bagiannya sendiri, Nduk. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Kalian berdua sudah memiliki bagian masing-masing.”

Meski belum sepenuhnya mengerti, Lintang menghela napas lega. Setidaknya, Bu Sekar tetap memikirkan Satya. Apa kata orang jika ia memiliki semua harta Bu Sekar. Bisa-bisa ia viral karena kaya mendadak. Orang tua Lintang memang mewariskan toko dan tanah, tetapi tidak sebesar dan sebanyak kekayaan Bu Sekar.

“Janji ya, Nduk Cah Ayu, kamu mau meneruskan usaha Bunda nguri-uri budaya Jawa ini?” Bu Sekar menatap Lintang penuh harap.

Lagi-lagi Lintang berusaha meyakinkan diri bahwa pendengarannya tidak salah sebelum ia akhirnya menganggukkan kepala untuk mengiyakan permintaan Bu Sekar.

Bu Sekar tersenyum lega melihat anggukan Lintang. Meski keraguan terlihat di wajah Lintang, perempuan sepuh itu yakin Lintang akan menerima dan menjalankan bisnisnya dengan baik.

Kini, Bu Sekar merasa tenang. Jika sewaktu-waktu jiwanya terpisah dari raga, ia telah telah menjalankan wasiat mendiang suaminya dan menebus jasa sahabatnya. Suami dan sahabatnya akan tenang di sana. Pun dengan dirinya. Diam-diam ia melantunkan doa agar waktu perpisahan itu tidak akan lama lagi karena tugasnya di dunia telah usai.

Setelah menghabiskan hidangan, Bu Sekar mengajak Lintang ke Omah Lowo. Bangunan tua peninggalan Belanda itu telah diubah menjadi kedai kopi dan toko batik bergaya Eropa klasik.

“Ini akan menjadi milik Satya,” ujar Bu Sekar dengan mata berbinar. “Kamu tahu, Nduk, Satya sangat menyukai kopi. Dia seperti mendiang ayahnya.”

Lintang bisa melihat tatapan penuh kerinduan di manik mata kelabu milik Bu Sekar. Lagi-lagi wajah Satya melintas di kepala. Andai tatapan itu yang dilihatnya di mata Satya, tentu ia akan merasa sangat bahagia. Sayang, semua hanya mimpi. Satya bukan miliknya.

Puas melihat-lihat Omah Lowo yang rencananya akan diresmikan sebulan lagi, Bu Sekar mengajak Lintang pulang. Rasa lelah mulai merambati tubuhnya.

Meski wajahnya terlihat sedikit pucat, Bu Sekar tampak bahagia menjalani sisa hari ini. Ia mengajak Sekar melihat-lihat album foto dan sebelum tidur mereka menonton drama korea.

“Bunda suka drakor juga rupanya.” Lintang tersenyum geli. Ia justru hampir tidak pernah menonton. Agendanya begitu padat seolah tidak menyisakan ruang untuk menikmati film. Lagi pula, drama Korea memang bukan seleranya.

“Hanya sesekali, Nduk,” jawab Bu Sekar.

Mereka pun menghabiskan malam dengan menonton dan berbagi cerita. Lebih tepatnya mendengar Bu Sekar bercerita, tentang Satya dan mendiang suaminya.

“Terima kasih sudah menjadi anakku, Nduk.” Bu Sekar menggenggam erat jemari Lintang. “Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.” Selarik senyum terbit di wajahnya.

“Bunda bicara apa, sih. Bunda belum nimang cucu, lho,” canda Lintang. Entah kenapa wajah Bu Sekar terlihat lain.

“Bunda akan melihat cucu-cucu Bunda dari sana.” Bu Sekar mencubit hidung Lintang. “Sudah, ayo tidur. Biar besok nggak terlambat bangun subuh.” Bu Sekar bangkit dan berjalan menuju kamar diikuti Lintang.

Lintang tengah membaca Al Quran dan suara tarhim dari masjid terdengar menyambut Azan Subuh ketika teriakan Mbok Darmi terdengar dari kamar Bu Sekar. Tergopoh, Lintang berlari keluar dari musala menuju kamar Bu Sekar.

“Ibu, Mbak.” Mbok Darmi melihat Lintang sekilas lalu memeluk tubuh tuannya.

Lintang mendekat. Diraihnya tangan Bu Sekar. Dingin. Denyut nadinya tidak terasa. Ditatapnya wajah perempuan berambut lurus itu. Ia terlihat seperti tengah tertidur lelap.

“Innalillahi wa innaialihi roojiuun,” ujarnya lirih ketika tak didapatinya embusan napas dari hidung Bu Sekar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status