Home / Rumah Tangga / Perempuan Masa Lalu Suamiku / Bab 7: Permintaan Bunda

Share

Bab 7: Permintaan Bunda

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2022-10-13 12:43:34

Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.

Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.

“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.

Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak dianggap oleh suaminya sendiri.

Tiba-tiba ucapan Satya bahwa pernikahannya hanya sementara terngiang di telinga. Lintang mengganjur napas. Memiliki toko ini hanya ilusi. Pernikahannya hanya sementara demi menyenangkan Bu Sekar. Ketika Satya berhasil meyakinkan Bu Sekar bahwa cintanya adalah Hanum, ia harus pergi dari sisi Satya. Mengingat semua itu, hatinya kembali terasa nyeri.

“Kamu anakku, Nduk Lintang. Bagaimana mungkin kamu mengatakan tidak berhak atas toko ini?” Bu Sekar mencubit hidung bangir Lintang gemas. “Bahkan, meski semua hartaku kuberikan padamu, tidak akan pernah bisa menebus apa yang diberikan kedua orangtuamu padaku.”

Wajah riang Bu Sekar meredup. Mendung bergelayut di mata sepuhnya. Ia menarik napas dalam. Ingatan masa lalu berkelebat cepat di kepala seperti film hitam putih yang diputar ulang. Semua yang ada pada diri Lintang mengingatkannya pada sahabat yang telah menyelamatkan hidupnya hingga ia masih bisa mendekap Satya sampai saat ini. Apa pun akan ia berikan demi membalas semua yang telah dilakukan sahabatnya.

Sepasang mata bening Lintang menatap tak mengerti Bu Sekar. Ia tidak pernah tahu masa lalu kedua orang tuanya. Ia masih terlalu kecil untuk tahu. Apa yang terekam dalam memori kepalanya adalah mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Keduanya memang memiliki sebuah toko batik di Yogyakarta yang diteruskan pengelolaannya oleh pakliknya dan akan diserahkan padanya setelah lulus kuliah sebagaimana permintaan kedua orangtuanya.

“Berjanjilah untuk mengurus semua ini setelah Bunda enggak ada, Lintang.” Bu Sekar tersekat di ujung suara.

Lintang tersirap. Jemari Bu Sekar meraih tangannya lalu menggenggam erat seolah tidak ingin berpisah.

“Berjanjilah untuk menjadi anakku, selamanya. Kamu yang paling cocok menjadi istri Satya.”

“Andai Mas Satya ada di sini dan mendengar permintaan Bunda,” batin Lintang pilu. Wajah datar Satya melintas di benak, menikam hatinya yang telah patah.

Bu Sekar menyeka sudut mata. “Pengacara Bunda akan segera mengurus semuanya. Setelah Omah Lowo jadi, sebagian aset Bunda akan berpindah ke tanganmu.”

Lintang menggeleng. “Saya tidak berhak, Bunda. Semua tempat ini milik Bunda. Mas Satya yang akan meneruskannya.”

Bu Sekar tersenyum. Sinar di wajahnya kembali merekah. “Satya sudah punya bagiannya sendiri, Nduk. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Kalian berdua sudah memiliki bagian masing-masing.”

Meski belum sepenuhnya mengerti, Lintang menghela napas lega. Setidaknya, Bu Sekar tetap memikirkan Satya. Apa kata orang jika ia memiliki semua harta Bu Sekar. Bisa-bisa ia viral karena kaya mendadak. Orang tua Lintang memang mewariskan toko dan tanah, tetapi tidak sebesar dan sebanyak kekayaan Bu Sekar.

“Janji ya, Nduk Cah Ayu, kamu mau meneruskan usaha Bunda nguri-uri budaya Jawa ini?” Bu Sekar menatap Lintang penuh harap.

Lagi-lagi Lintang berusaha meyakinkan diri bahwa pendengarannya tidak salah sebelum ia akhirnya menganggukkan kepala untuk mengiyakan permintaan Bu Sekar.

Bu Sekar tersenyum lega melihat anggukan Lintang. Meski keraguan terlihat di wajah Lintang, perempuan sepuh itu yakin Lintang akan menerima dan menjalankan bisnisnya dengan baik.

Kini, Bu Sekar merasa tenang. Jika sewaktu-waktu jiwanya terpisah dari raga, ia telah telah menjalankan wasiat mendiang suaminya dan menebus jasa sahabatnya. Suami dan sahabatnya akan tenang di sana. Pun dengan dirinya. Diam-diam ia melantunkan doa agar waktu perpisahan itu tidak akan lama lagi karena tugasnya di dunia telah usai.

Setelah menghabiskan hidangan, Bu Sekar mengajak Lintang ke Omah Lowo. Bangunan tua peninggalan Belanda itu telah diubah menjadi kedai kopi dan toko batik bergaya Eropa klasik.

“Ini akan menjadi milik Satya,” ujar Bu Sekar dengan mata berbinar. “Kamu tahu, Nduk, Satya sangat menyukai kopi. Dia seperti mendiang ayahnya.”

Lintang bisa melihat tatapan penuh kerinduan di manik mata kelabu milik Bu Sekar. Lagi-lagi wajah Satya melintas di kepala. Andai tatapan itu yang dilihatnya di mata Satya, tentu ia akan merasa sangat bahagia. Sayang, semua hanya mimpi. Satya bukan miliknya.

Puas melihat-lihat Omah Lowo yang rencananya akan diresmikan sebulan lagi, Bu Sekar mengajak Lintang pulang. Rasa lelah mulai merambati tubuhnya.

Meski wajahnya terlihat sedikit pucat, Bu Sekar tampak bahagia menjalani sisa hari ini. Ia mengajak Sekar melihat-lihat album foto dan sebelum tidur mereka menonton drama korea.

“Bunda suka drakor juga rupanya.” Lintang tersenyum geli. Ia justru hampir tidak pernah menonton. Agendanya begitu padat seolah tidak menyisakan ruang untuk menikmati film. Lagi pula, drama Korea memang bukan seleranya.

“Hanya sesekali, Nduk,” jawab Bu Sekar.

Mereka pun menghabiskan malam dengan menonton dan berbagi cerita. Lebih tepatnya mendengar Bu Sekar bercerita, tentang Satya dan mendiang suaminya.

“Terima kasih sudah menjadi anakku, Nduk.” Bu Sekar menggenggam erat jemari Lintang. “Aku bisa pergi dengan tenang sekarang.” Selarik senyum terbit di wajahnya.

“Bunda bicara apa, sih. Bunda belum nimang cucu, lho,” canda Lintang. Entah kenapa wajah Bu Sekar terlihat lain.

“Bunda akan melihat cucu-cucu Bunda dari sana.” Bu Sekar mencubit hidung Lintang. “Sudah, ayo tidur. Biar besok nggak terlambat bangun subuh.” Bu Sekar bangkit dan berjalan menuju kamar diikuti Lintang.

Lintang tengah membaca Al Quran dan suara tarhim dari masjid terdengar menyambut Azan Subuh ketika teriakan Mbok Darmi terdengar dari kamar Bu Sekar. Tergopoh, Lintang berlari keluar dari musala menuju kamar Bu Sekar.

“Ibu, Mbak.” Mbok Darmi melihat Lintang sekilas lalu memeluk tubuh tuannya.

Lintang mendekat. Diraihnya tangan Bu Sekar. Dingin. Denyut nadinya tidak terasa. Ditatapnya wajah perempuan berambut lurus itu. Ia terlihat seperti tengah tertidur lelap.

“Innalillahi wa innaialihi roojiuun,” ujarnya lirih ketika tak didapatinya embusan napas dari hidung Bu Sekar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status