Share

Bab 8: Kematian Bunda

“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.

“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?

“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.

Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke W******p miliknya meski tak satu pun yang ia balas. Pikirannya centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Ia masih belum percaya jika perempuan yang keberadaannya tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun itu telah pergi.

Terkadang, banyaknya pekerjaan menyibukkan Satya sehingga terpaksa menunda kepulangan ke Solo. Jika lebih dari dua pekan ia tidak menampakkan batang hidung di rumah dan tetap menunda kepulangan, maka Bu Sekar akan menjadikan penyakit yang dideritanya sebagai senjata. Ia akan mengabarkan kalau dirinya sakit dan tidak ingin mati tanpa diketahui anaknya. Jika sudah demikian, Satya akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan segera pulang. Bu Sekar akan menyambut kedatangannya dengan semringah. Tidak terlihat jejak rasa sakit di wajahnya.

“Ratu drama”, begitu Satya berkelakar di depan Bu Sekar jika perempuan itu berpura-pura sakit. Sudah lama ibunya tergantung dengan bermacam obat. Hipertensi, diabetes, asma, adalah penyakit yang setia bersarang di tubuh Bu Sekar sejak bertahun lalu. Belakangan jantung dan ginjalnya pun bermasalah. Tiga bulan sebelum hari pernikahannya dengan Lintang, Bu Sekar menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya.

Meski menanggung berbagai penyakit, Satya selalu yakin kondisi ibunya cukup terkendali karena ada dokter yang rutin memeriksa setiap pekan sekali. Kabar duka pagi ini di luar perhitungannya.

Ketika kakinya menapak di halaman rumah yang dipenuhi pelayat dan puluhan rangkaian bunga ucapan belasungkawa, Satya merasa bumi tempatnya berpijak bergoyang dan mengguncang tubuhnya dengan keras. Kali ini, ibunya memang tidak sedang bercanda. Perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak sedang bermain drama seperti hari-hari yang telah lalu.

Satya menghentikan langkah sejenak dan menarik napas panjang sebelum kembali melangkah. Susah payah ditahannya air mata yang seolah ingin segera mengalir keluar. Beberapa kerabat menyalami dan memeluknya, membisikkan kata sabar yang terdengar seperti nyanyian sumbang. Salah satu di antara mereka menggandeng lengan Satya dan membawanya ke ruang tamu di mana jenazah sang bunda terbaring.

Beberapa pelayat yang baru selesai menyalatkan jenazah Bu Sekar menyalami Satya dan memberi ucapan belasungkawa. Satya memaksakan diri mengurai senyum dan mengucapkan terima kasih.

Jenak berikutnya, Satya berjalan dengan gontai mendekati tubuh Bu Sekar yang tertutup kain jarik. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu masih berharap semua hanya mimpi dan ibunya hanya tidur. Perempuan itu akan bangun lagi dan memeluknya sebagaimana yang biasa dilakukan ketika menyambut kedatangannya.

“Ya, Tuhan.” Satya merasa hatinya seperti diremas sekuat tenaga, menyisakan rasa nyeri yang luar biasa. Gemetar tangannya menyibak kain yang menutup bagian kepala. Di hadapannya, wajah sang bunda terlihat tenang dan damai. Ia seperti tengah tertidur pulas sembari menyunggingkan senyum, senyum yang selalu ia rindukan dan tidak akan pernah lagi ditemuinya. Satya menyadari sepotong hatinya telah pergi. 

“Ya, Tuhan.” Hanya dua kata itu yang sanggup terlontar dari bibirnya. Detik berikutnya, tangannya melingkar di atas tubuh Bu Sekar sementara bahunya berguncang keras meningkahi air mata yang mengalir deras.

Entah berapa lama Satya memeluk tubuh Bu Sekar. Tidak ada yang berani mengganggunya hingga sebuah tepukan lembut membuat lelaki itu mengangkat kepala dan menghapus lelehan air mata.

“Mas Satya nyalatin Bunda dulu ya. Sebentar lagi waktu pemakaman.” Suara Lintang terdengar parau. Tadi ia tengah di belakang ketika Satya datang. Ia membiarkan Satya memeluk Bu Sekar untuk terakhir kalinya sampai Ustaz Salim memberi tahu kalau waktu pemakaman sudah tiba.

Suara Lintang seperti tali kasat mata yang menarik tubuh Satya. Lelaki berkulit cokelat itu menatap wajah sembab Lintang. “Kenapa Bunda bisa meninggal, Lin? Bukannya Bunda sehat-sehat saja kemarin?” Kedua tangan Satya meraih lengan Lintang dan mengguncang tubuh perempuan itu.

Duka kembali mengalir dari mata Lintang. Andai Satya tahu, hatinya lebih remuk ketimbang Satya. Ia baru saja bahagia karena bisa merasakan kasih sayang ibu yang lama dirindukannya. Lalu, semua itu lenyap dalam sekejap. Namun, ia bisa apa. Semua yang ada di dunia ini memang hanya titipan dan Allah telah mengambil milik-Nya. Hanya mengikhlaskan yang bisa dilakukan.

“Apa Bunda lupa minum obat? Bunda kecapekan? Dokter lupa ngecek?” Satya terus mencecar sembari mengguncang tubuh Lintang. Ia masih belum bisa menerima jika matahari yang menyinari hidupnya telah pergi. “Mana dr. Adrian? Kenapa Bunda bisa begini? Dia harus bertanggung jawab,” racau Satya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
mangka nya se sibuk2 nya hrs ttp jengukin ibu biar g sampe kaya gini baru ada penyesalan ..jangan dokter yg d salah kn atau Lintang ini sdh kehendak yg d atas .udah takdir nya udah suratan nya ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status