Share

Bab 8: Kematian Bunda

Author: HarunaHana
last update Last Updated: 2022-11-19 11:32:44

“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.

“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?

“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.

Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke W******p miliknya meski tak satu pun yang ia balas. Pikirannya centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Ia masih belum percaya jika perempuan yang keberadaannya tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun itu telah pergi.

Terkadang, banyaknya pekerjaan menyibukkan Satya sehingga terpaksa menunda kepulangan ke Solo. Jika lebih dari dua pekan ia tidak menampakkan batang hidung di rumah dan tetap menunda kepulangan, maka Bu Sekar akan menjadikan penyakit yang dideritanya sebagai senjata. Ia akan mengabarkan kalau dirinya sakit dan tidak ingin mati tanpa diketahui anaknya. Jika sudah demikian, Satya akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan segera pulang. Bu Sekar akan menyambut kedatangannya dengan semringah. Tidak terlihat jejak rasa sakit di wajahnya.

“Ratu drama”, begitu Satya berkelakar di depan Bu Sekar jika perempuan itu berpura-pura sakit. Sudah lama ibunya tergantung dengan bermacam obat. Hipertensi, diabetes, asma, adalah penyakit yang setia bersarang di tubuh Bu Sekar sejak bertahun lalu. Belakangan jantung dan ginjalnya pun bermasalah. Tiga bulan sebelum hari pernikahannya dengan Lintang, Bu Sekar menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya.

Meski menanggung berbagai penyakit, Satya selalu yakin kondisi ibunya cukup terkendali karena ada dokter yang rutin memeriksa setiap pekan sekali. Kabar duka pagi ini di luar perhitungannya.

Ketika kakinya menapak di halaman rumah yang dipenuhi pelayat dan puluhan rangkaian bunga ucapan belasungkawa, Satya merasa bumi tempatnya berpijak bergoyang dan mengguncang tubuhnya dengan keras. Kali ini, ibunya memang tidak sedang bercanda. Perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak sedang bermain drama seperti hari-hari yang telah lalu.

Satya menghentikan langkah sejenak dan menarik napas panjang sebelum kembali melangkah. Susah payah ditahannya air mata yang seolah ingin segera mengalir keluar. Beberapa kerabat menyalami dan memeluknya, membisikkan kata sabar yang terdengar seperti nyanyian sumbang. Salah satu di antara mereka menggandeng lengan Satya dan membawanya ke ruang tamu di mana jenazah sang bunda terbaring.

Beberapa pelayat yang baru selesai menyalatkan jenazah Bu Sekar menyalami Satya dan memberi ucapan belasungkawa. Satya memaksakan diri mengurai senyum dan mengucapkan terima kasih.

Jenak berikutnya, Satya berjalan dengan gontai mendekati tubuh Bu Sekar yang tertutup kain jarik. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu masih berharap semua hanya mimpi dan ibunya hanya tidur. Perempuan itu akan bangun lagi dan memeluknya sebagaimana yang biasa dilakukan ketika menyambut kedatangannya.

“Ya, Tuhan.” Satya merasa hatinya seperti diremas sekuat tenaga, menyisakan rasa nyeri yang luar biasa. Gemetar tangannya menyibak kain yang menutup bagian kepala. Di hadapannya, wajah sang bunda terlihat tenang dan damai. Ia seperti tengah tertidur pulas sembari menyunggingkan senyum, senyum yang selalu ia rindukan dan tidak akan pernah lagi ditemuinya. Satya menyadari sepotong hatinya telah pergi. 

“Ya, Tuhan.” Hanya dua kata itu yang sanggup terlontar dari bibirnya. Detik berikutnya, tangannya melingkar di atas tubuh Bu Sekar sementara bahunya berguncang keras meningkahi air mata yang mengalir deras.

Entah berapa lama Satya memeluk tubuh Bu Sekar. Tidak ada yang berani mengganggunya hingga sebuah tepukan lembut membuat lelaki itu mengangkat kepala dan menghapus lelehan air mata.

“Mas Satya nyalatin Bunda dulu ya. Sebentar lagi waktu pemakaman.” Suara Lintang terdengar parau. Tadi ia tengah di belakang ketika Satya datang. Ia membiarkan Satya memeluk Bu Sekar untuk terakhir kalinya sampai Ustaz Salim memberi tahu kalau waktu pemakaman sudah tiba.

Suara Lintang seperti tali kasat mata yang menarik tubuh Satya. Lelaki berkulit cokelat itu menatap wajah sembab Lintang. “Kenapa Bunda bisa meninggal, Lin? Bukannya Bunda sehat-sehat saja kemarin?” Kedua tangan Satya meraih lengan Lintang dan mengguncang tubuh perempuan itu.

Duka kembali mengalir dari mata Lintang. Andai Satya tahu, hatinya lebih remuk ketimbang Satya. Ia baru saja bahagia karena bisa merasakan kasih sayang ibu yang lama dirindukannya. Lalu, semua itu lenyap dalam sekejap. Namun, ia bisa apa. Semua yang ada di dunia ini memang hanya titipan dan Allah telah mengambil milik-Nya. Hanya mengikhlaskan yang bisa dilakukan.

“Apa Bunda lupa minum obat? Bunda kecapekan? Dokter lupa ngecek?” Satya terus mencecar sembari mengguncang tubuh Lintang. Ia masih belum bisa menerima jika matahari yang menyinari hidupnya telah pergi. “Mana dr. Adrian? Kenapa Bunda bisa begini? Dia harus bertanggung jawab,” racau Satya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
mangka nya se sibuk2 nya hrs ttp jengukin ibu biar g sampe kaya gini baru ada penyesalan ..jangan dokter yg d salah kn atau Lintang ini sdh kehendak yg d atas .udah takdir nya udah suratan nya ..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status