“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.
“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?
“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.
Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke W******p miliknya meski tak satu pun yang ia balas. Pikirannya centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Ia masih belum percaya jika perempuan yang keberadaannya tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun itu telah pergi.
Terkadang, banyaknya pekerjaan menyibukkan Satya sehingga terpaksa menunda kepulangan ke Solo. Jika lebih dari dua pekan ia tidak menampakkan batang hidung di rumah dan tetap menunda kepulangan, maka Bu Sekar akan menjadikan penyakit yang dideritanya sebagai senjata. Ia akan mengabarkan kalau dirinya sakit dan tidak ingin mati tanpa diketahui anaknya. Jika sudah demikian, Satya akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan segera pulang. Bu Sekar akan menyambut kedatangannya dengan semringah. Tidak terlihat jejak rasa sakit di wajahnya.
“Ratu drama”, begitu Satya berkelakar di depan Bu Sekar jika perempuan itu berpura-pura sakit. Sudah lama ibunya tergantung dengan bermacam obat. Hipertensi, diabetes, asma, adalah penyakit yang setia bersarang di tubuh Bu Sekar sejak bertahun lalu. Belakangan jantung dan ginjalnya pun bermasalah. Tiga bulan sebelum hari pernikahannya dengan Lintang, Bu Sekar menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya.
Meski menanggung berbagai penyakit, Satya selalu yakin kondisi ibunya cukup terkendali karena ada dokter yang rutin memeriksa setiap pekan sekali. Kabar duka pagi ini di luar perhitungannya.
Ketika kakinya menapak di halaman rumah yang dipenuhi pelayat dan puluhan rangkaian bunga ucapan belasungkawa, Satya merasa bumi tempatnya berpijak bergoyang dan mengguncang tubuhnya dengan keras. Kali ini, ibunya memang tidak sedang bercanda. Perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak sedang bermain drama seperti hari-hari yang telah lalu.
Satya menghentikan langkah sejenak dan menarik napas panjang sebelum kembali melangkah. Susah payah ditahannya air mata yang seolah ingin segera mengalir keluar. Beberapa kerabat menyalami dan memeluknya, membisikkan kata sabar yang terdengar seperti nyanyian sumbang. Salah satu di antara mereka menggandeng lengan Satya dan membawanya ke ruang tamu di mana jenazah sang bunda terbaring.
Beberapa pelayat yang baru selesai menyalatkan jenazah Bu Sekar menyalami Satya dan memberi ucapan belasungkawa. Satya memaksakan diri mengurai senyum dan mengucapkan terima kasih.
Jenak berikutnya, Satya berjalan dengan gontai mendekati tubuh Bu Sekar yang tertutup kain jarik. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu masih berharap semua hanya mimpi dan ibunya hanya tidur. Perempuan itu akan bangun lagi dan memeluknya sebagaimana yang biasa dilakukan ketika menyambut kedatangannya.
“Ya, Tuhan.” Satya merasa hatinya seperti diremas sekuat tenaga, menyisakan rasa nyeri yang luar biasa. Gemetar tangannya menyibak kain yang menutup bagian kepala. Di hadapannya, wajah sang bunda terlihat tenang dan damai. Ia seperti tengah tertidur pulas sembari menyunggingkan senyum, senyum yang selalu ia rindukan dan tidak akan pernah lagi ditemuinya. Satya menyadari sepotong hatinya telah pergi.
“Ya, Tuhan.” Hanya dua kata itu yang sanggup terlontar dari bibirnya. Detik berikutnya, tangannya melingkar di atas tubuh Bu Sekar sementara bahunya berguncang keras meningkahi air mata yang mengalir deras.
Entah berapa lama Satya memeluk tubuh Bu Sekar. Tidak ada yang berani mengganggunya hingga sebuah tepukan lembut membuat lelaki itu mengangkat kepala dan menghapus lelehan air mata.
“Mas Satya nyalatin Bunda dulu ya. Sebentar lagi waktu pemakaman.” Suara Lintang terdengar parau. Tadi ia tengah di belakang ketika Satya datang. Ia membiarkan Satya memeluk Bu Sekar untuk terakhir kalinya sampai Ustaz Salim memberi tahu kalau waktu pemakaman sudah tiba.
Suara Lintang seperti tali kasat mata yang menarik tubuh Satya. Lelaki berkulit cokelat itu menatap wajah sembab Lintang. “Kenapa Bunda bisa meninggal, Lin? Bukannya Bunda sehat-sehat saja kemarin?” Kedua tangan Satya meraih lengan Lintang dan mengguncang tubuh perempuan itu.
Duka kembali mengalir dari mata Lintang. Andai Satya tahu, hatinya lebih remuk ketimbang Satya. Ia baru saja bahagia karena bisa merasakan kasih sayang ibu yang lama dirindukannya. Lalu, semua itu lenyap dalam sekejap. Namun, ia bisa apa. Semua yang ada di dunia ini memang hanya titipan dan Allah telah mengambil milik-Nya. Hanya mengikhlaskan yang bisa dilakukan.
“Apa Bunda lupa minum obat? Bunda kecapekan? Dokter lupa ngecek?” Satya terus mencecar sembari mengguncang tubuh Lintang. Ia masih belum bisa menerima jika matahari yang menyinari hidupnya telah pergi. “Mana dr. Adrian? Kenapa Bunda bisa begini? Dia harus bertanggung jawab,” racau Satya.
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak
“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara itu, Lintang me
Cintaku seperti bunga matahari, tetapi hatimu serupa pohon meranggas. - Lintang Ayu Saraswati -***“Ya, Tuhan,” batin Satya. Ia menyesali ucapannya. Sayang, semua sudah terlanjur.Satya terdiam, manik mata kelamnya menatap Lintang. Hati Satya bagai diamuk badai melihat sepasang mata sewarna madu milik Lintang siap menumpahkan air mata.“Jadi memang Mas Satya benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini?” Sekuat tenaga Lintang menahan gelombang di hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin terlihat kalah di hadapan Satya.Satya menutup wajah dengan kedua tangan lalu menyugar rambut frustrasi. Ia benar-benar menyesal. “A-aku ….” Lelaki berambut lurus tebal itu bangkit dari sofa lalu mendekati Lintang. “Ma-maksudku ….”“Kalau memang Mas Satya tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, ceraikan saya sekarang juga.” Tatapan setajam pisau milik Lintang menyambar tubuh Satya yang terpaku selangkah di depan Lintang.“Dulu Mas Satya meminta waktu untuk membujuk bunda dan sekarang beliau sudah tiada.
Ucapan Lintang membuat otot-otor wajah Dini menegang. Senyumnya lenyap berganti dengan tatapan cemas."Aku sudah ngasih waktu Mas Satya satu bulan untuk menceraikanku. Bulan depan aku bakal jadi janda, Din." Perlahan, mendung tebal yang bergelayut di mata Lintang berubah menjadi hujan. Awalnya gerimis, lalu menderas perlahan.“Ya, Allah.” Dini takkuasa menyembunyikan rasa terkejut. Ia beringsut lalu memeluk Lintang erat, membiarkan sahabatnya menumpahkan segala luka.Sekian waktu suara isakan Lintang memenuhi kamar berukuran sembilan meter persegi itu. “Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, Lin?” tanya Dini hati-hati setelah sedu-sedan Lintang mereda. Tangannya mengulurkan sekotak tissue.“Mas Satya memang tidak pernah ingin melanjutkan pernikahan ini. Buat apa hidup dengan laki-laki yang tidak mencitai kita, Din?” Lintang mengusap wajah kasar dan mengelap ingus hingga hidungnya semerah buah ceri.“Ya, tapi --““Aku tidak akan mengorbankan hidup dan hatiku untuk sebuah cinta yang berte