Beranda / Rumah Tangga / Perempuan Masa Lalu Suamiku / Bab 9: Perempuan di Pemakaman Bunda

Share

Bab 9: Perempuan di Pemakaman Bunda

Penulis: HarunaHana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-19 11:33:55

Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”

Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.

Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.

“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”

Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.

“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum beliau diberangkatkan,” lanjut Ustaz Salim.

“Ba-baik, Bah.” Satya berjalan gontai menuju bagian belakang rumahnya untuk berwudu. Suara lelaki kharismatik itu berhasil mengeluarkan Satya dari kecamuk pikiran dan badai di dalam hati. Perlahan ia bisa menerima jika ibunya memang telah tiada.

Akhirnya, disaksikan ribuan pelayat, jenazah Bu Sekar dibawa menuju pemakaman keluarga.

Satu jam telah berlalu sejak Bu Sekar dimakamkan. Namun, Satya masih belum beranjak dari makam. Tubuhnya seolah terpaku dan bumi berhenti berputar mengelilingi matahari. Aroma mawar dan sedap malam tidak mampu melerai rasa sesak yang menggumpal di dada.

Lintang yang semula berjongkok di seberang makam Bu Sekar bangkit dan mendekati Satya. Ia pun berjongkok di samping suaminya dan memberanikan diri melingkarkan tangan di lengan Satya. Lintang lega karena Satya tidak menolaknya. Lelaki berkulit cokelat itu hanya melihatnya sekilas lalu kembali tenggelam dalam kubangan duka. 

Sekelumit ingatan masa kecil berkelebat di kepala Lintang. Ia seperti mengalami de javu. Tiga belas tahun yang lalu, ia masih bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada malam hari dan tidak sampai dua puluh empat jam berikutnya, mereka telah terbujur kaku di ruang tamu rumahnya.

Suara mendiang ibunya yang tengah membacakan buku sebelum tidur kembali terngiang di telinga Lintang disusul suara Bu Sekar yang riuh bercerita semalam. Begitu cepat cakram waktu berputar dan mengubah nasib manusia.

Satya mengelus nisan di ujung makam. “Satya pamit dulu, Bun. Baik-baik di sana. Selamat berkumpul kembali dengan Ayah.” Ia pun berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar makam. diikuti Lintang di belakangnya.

“Mas Satya!” Sebuah suara terdengar ketika Satya dan Lintang baru saja keluar dari area makam. Sontak keduanya menengok ke arah sumber suara hingga terlihat Hanum tengah berdiri dari jarak lima meter.

Satya dan Lintang menatap Hanum yang sedang memangkas jarak. Andai tidak ada Lintang di sampingnya, Satya pasti akan segera menyongsong Hanum dan memeluknya, mencari sebait rasa tenang di dalam rengkuhan perempuan yang selama dua tahun mengisi hatinya itu.

“Aku ikut belasungkawa, Mas,” ujar Hanum setelah berdiri di hadapan Satya. “Semoga dosa Bunda diampuni dan beliau ditempatkan di tempat terbaik.”  

Hanum berdiri kaku di hadapan Satya dan Lintang. Ia menatap perempuan berjilbab itu sekilas kemudian menghadapkan wajah pada kekasihnya. Jantungnya berdetak cepat. Andai ia yang berada di samping Satya. Andai ia yang dipilih Bu Sekar untuk menjadi menantu. Ia jelas lebih cantik dan terhormat ketimbang Lintang, tetapi kenapa harus Lintang yang memenangkan hati Bu Sekar. 

Lintang memandang Satya dan Hanum bergantian. Hatinya terasa nyeri saat melihat sorot mata mendamba di mata suaminya ketika bersitatap dengan Hanum. Tatapan yang tidak pernah ia dapatkan semenjak resmi menjadi istrinya. Duka yang bergelayut di mata Satya tak mampu menyembunyikan rindu dan kenangan yang tersimpan di sana.

“Terima kasih, Num.” Suara Satya seperti desau angin bertiup di hari yang sendu. Bibir Satya tersenyum, tetapi kedua matanya menyimpan duka. Lelaki itu seperti terkunci dalam kotak gelap.

 “Kemarin pagi padahal kami masih ngobrol dan Bunda kelihatannya baik-baik saja.” Hanum menjeda kalimat dengan satu tarikan napas. Ingatannya kembali pada pertemuan kemarin. “Wajah Bunda bahkan terlihat cerah.”

“Kita tidak pernah tahu umur manusia, Num. Aku juga nggak nyangka. Tapi mau bagaimana lagi, memang sudah begini takdirnya.” Satya mencoba bersikap bijak meski belum mampu melerai rasa kehilangan di hati.

Hanum mengangguk. “Kalau gitu aku pamit dulu, Mas.”

“Nggak mampir rumah?” tanya Satya.

“Pengen, sih, mampir. Tapi aku masih ada kerjaan. Nanti malam aku datang pengajian.” Hanum menyalami Satya dan Lintang bergantian lalu pergi.

Satya menarik napas panjang sembari menatap punggung Hanum yang menjauh. Diam-diam pikirannya mengandaikan kekasihnya itulah yang berada di sisinya saat ini. Tentu hatinya lebih tenang dan akan membantunya melewati masa-masa berat ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status