Share

Bab 9: Perempuan di Pemakaman Bunda

Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”

Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.

Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.

“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”

Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.

“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum beliau diberangkatkan,” lanjut Ustaz Salim.

“Ba-baik, Bah.” Satya berjalan gontai menuju bagian belakang rumahnya untuk berwudu. Suara lelaki kharismatik itu berhasil mengeluarkan Satya dari kecamuk pikiran dan badai di dalam hati. Perlahan ia bisa menerima jika ibunya memang telah tiada.

Akhirnya, disaksikan ribuan pelayat, jenazah Bu Sekar dibawa menuju pemakaman keluarga.

Satu jam telah berlalu sejak Bu Sekar dimakamkan. Namun, Satya masih belum beranjak dari makam. Tubuhnya seolah terpaku dan bumi berhenti berputar mengelilingi matahari. Aroma mawar dan sedap malam tidak mampu melerai rasa sesak yang menggumpal di dada.

Lintang yang semula berjongkok di seberang makam Bu Sekar bangkit dan mendekati Satya. Ia pun berjongkok di samping suaminya dan memberanikan diri melingkarkan tangan di lengan Satya. Lintang lega karena Satya tidak menolaknya. Lelaki berkulit cokelat itu hanya melihatnya sekilas lalu kembali tenggelam dalam kubangan duka. 

Sekelumit ingatan masa kecil berkelebat di kepala Lintang. Ia seperti mengalami de javu. Tiga belas tahun yang lalu, ia masih bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada malam hari dan tidak sampai dua puluh empat jam berikutnya, mereka telah terbujur kaku di ruang tamu rumahnya.

Suara mendiang ibunya yang tengah membacakan buku sebelum tidur kembali terngiang di telinga Lintang disusul suara Bu Sekar yang riuh bercerita semalam. Begitu cepat cakram waktu berputar dan mengubah nasib manusia.

Satya mengelus nisan di ujung makam. “Satya pamit dulu, Bun. Baik-baik di sana. Selamat berkumpul kembali dengan Ayah.” Ia pun berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar makam. diikuti Lintang di belakangnya.

“Mas Satya!” Sebuah suara terdengar ketika Satya dan Lintang baru saja keluar dari area makam. Sontak keduanya menengok ke arah sumber suara hingga terlihat Hanum tengah berdiri dari jarak lima meter.

Satya dan Lintang menatap Hanum yang sedang memangkas jarak. Andai tidak ada Lintang di sampingnya, Satya pasti akan segera menyongsong Hanum dan memeluknya, mencari sebait rasa tenang di dalam rengkuhan perempuan yang selama dua tahun mengisi hatinya itu.

“Aku ikut belasungkawa, Mas,” ujar Hanum setelah berdiri di hadapan Satya. “Semoga dosa Bunda diampuni dan beliau ditempatkan di tempat terbaik.”  

Hanum berdiri kaku di hadapan Satya dan Lintang. Ia menatap perempuan berjilbab itu sekilas kemudian menghadapkan wajah pada kekasihnya. Jantungnya berdetak cepat. Andai ia yang berada di samping Satya. Andai ia yang dipilih Bu Sekar untuk menjadi menantu. Ia jelas lebih cantik dan terhormat ketimbang Lintang, tetapi kenapa harus Lintang yang memenangkan hati Bu Sekar. 

Lintang memandang Satya dan Hanum bergantian. Hatinya terasa nyeri saat melihat sorot mata mendamba di mata suaminya ketika bersitatap dengan Hanum. Tatapan yang tidak pernah ia dapatkan semenjak resmi menjadi istrinya. Duka yang bergelayut di mata Satya tak mampu menyembunyikan rindu dan kenangan yang tersimpan di sana.

“Terima kasih, Num.” Suara Satya seperti desau angin bertiup di hari yang sendu. Bibir Satya tersenyum, tetapi kedua matanya menyimpan duka. Lelaki itu seperti terkunci dalam kotak gelap.

 “Kemarin pagi padahal kami masih ngobrol dan Bunda kelihatannya baik-baik saja.” Hanum menjeda kalimat dengan satu tarikan napas. Ingatannya kembali pada pertemuan kemarin. “Wajah Bunda bahkan terlihat cerah.”

“Kita tidak pernah tahu umur manusia, Num. Aku juga nggak nyangka. Tapi mau bagaimana lagi, memang sudah begini takdirnya.” Satya mencoba bersikap bijak meski belum mampu melerai rasa kehilangan di hati.

Hanum mengangguk. “Kalau gitu aku pamit dulu, Mas.”

“Nggak mampir rumah?” tanya Satya.

“Pengen, sih, mampir. Tapi aku masih ada kerjaan. Nanti malam aku datang pengajian.” Hanum menyalami Satya dan Lintang bergantian lalu pergi.

Satya menarik napas panjang sembari menatap punggung Hanum yang menjauh. Diam-diam pikirannya mengandaikan kekasihnya itulah yang berada di sisinya saat ini. Tentu hatinya lebih tenang dan akan membantunya melewati masa-masa berat ini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
jangan JAHAT kau Satya
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
ibu sdh g ada pasti kmu akan mencerai kn Lintang kn Sat .tapi kmu g tau bhw ibu mu sdh menulis kn surat tuk istri mu Lintang klo kmu ttp pisah dgn Lintang nanti kmu jangan menyesal ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status