Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”
Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.
Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.
“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”
Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.
“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum beliau diberangkatkan,” lanjut Ustaz Salim.
“Ba-baik, Bah.” Satya berjalan gontai menuju bagian belakang rumahnya untuk berwudu. Suara lelaki kharismatik itu berhasil mengeluarkan Satya dari kecamuk pikiran dan badai di dalam hati. Perlahan ia bisa menerima jika ibunya memang telah tiada.
Akhirnya, disaksikan ribuan pelayat, jenazah Bu Sekar dibawa menuju pemakaman keluarga.
Satu jam telah berlalu sejak Bu Sekar dimakamkan. Namun, Satya masih belum beranjak dari makam. Tubuhnya seolah terpaku dan bumi berhenti berputar mengelilingi matahari. Aroma mawar dan sedap malam tidak mampu melerai rasa sesak yang menggumpal di dada.
Lintang yang semula berjongkok di seberang makam Bu Sekar bangkit dan mendekati Satya. Ia pun berjongkok di samping suaminya dan memberanikan diri melingkarkan tangan di lengan Satya. Lintang lega karena Satya tidak menolaknya. Lelaki berkulit cokelat itu hanya melihatnya sekilas lalu kembali tenggelam dalam kubangan duka.
Sekelumit ingatan masa kecil berkelebat di kepala Lintang. Ia seperti mengalami de javu. Tiga belas tahun yang lalu, ia masih bercengkerama dengan kedua orang tuanya pada malam hari dan tidak sampai dua puluh empat jam berikutnya, mereka telah terbujur kaku di ruang tamu rumahnya.
Suara mendiang ibunya yang tengah membacakan buku sebelum tidur kembali terngiang di telinga Lintang disusul suara Bu Sekar yang riuh bercerita semalam. Begitu cepat cakram waktu berputar dan mengubah nasib manusia.
Satya mengelus nisan di ujung makam. “Satya pamit dulu, Bun. Baik-baik di sana. Selamat berkumpul kembali dengan Ayah.” Ia pun berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar makam. diikuti Lintang di belakangnya.
“Mas Satya!” Sebuah suara terdengar ketika Satya dan Lintang baru saja keluar dari area makam. Sontak keduanya menengok ke arah sumber suara hingga terlihat Hanum tengah berdiri dari jarak lima meter.
Satya dan Lintang menatap Hanum yang sedang memangkas jarak. Andai tidak ada Lintang di sampingnya, Satya pasti akan segera menyongsong Hanum dan memeluknya, mencari sebait rasa tenang di dalam rengkuhan perempuan yang selama dua tahun mengisi hatinya itu.
“Aku ikut belasungkawa, Mas,” ujar Hanum setelah berdiri di hadapan Satya. “Semoga dosa Bunda diampuni dan beliau ditempatkan di tempat terbaik.”
Hanum berdiri kaku di hadapan Satya dan Lintang. Ia menatap perempuan berjilbab itu sekilas kemudian menghadapkan wajah pada kekasihnya. Jantungnya berdetak cepat. Andai ia yang berada di samping Satya. Andai ia yang dipilih Bu Sekar untuk menjadi menantu. Ia jelas lebih cantik dan terhormat ketimbang Lintang, tetapi kenapa harus Lintang yang memenangkan hati Bu Sekar.
Lintang memandang Satya dan Hanum bergantian. Hatinya terasa nyeri saat melihat sorot mata mendamba di mata suaminya ketika bersitatap dengan Hanum. Tatapan yang tidak pernah ia dapatkan semenjak resmi menjadi istrinya. Duka yang bergelayut di mata Satya tak mampu menyembunyikan rindu dan kenangan yang tersimpan di sana.
“Terima kasih, Num.” Suara Satya seperti desau angin bertiup di hari yang sendu. Bibir Satya tersenyum, tetapi kedua matanya menyimpan duka. Lelaki itu seperti terkunci dalam kotak gelap.
“Kemarin pagi padahal kami masih ngobrol dan Bunda kelihatannya baik-baik saja.” Hanum menjeda kalimat dengan satu tarikan napas. Ingatannya kembali pada pertemuan kemarin. “Wajah Bunda bahkan terlihat cerah.”
“Kita tidak pernah tahu umur manusia, Num. Aku juga nggak nyangka. Tapi mau bagaimana lagi, memang sudah begini takdirnya.” Satya mencoba bersikap bijak meski belum mampu melerai rasa kehilangan di hati.
Hanum mengangguk. “Kalau gitu aku pamit dulu, Mas.”
“Nggak mampir rumah?” tanya Satya.
“Pengen, sih, mampir. Tapi aku masih ada kerjaan. Nanti malam aku datang pengajian.” Hanum menyalami Satya dan Lintang bergantian lalu pergi.
Satya menarik napas panjang sembari menatap punggung Hanum yang menjauh. Diam-diam pikirannya mengandaikan kekasihnya itulah yang berada di sisinya saat ini. Tentu hatinya lebih tenang dan akan membantunya melewati masa-masa berat ini.
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak
“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara itu, Lintang me
Cintaku seperti bunga matahari, tetapi hatimu serupa pohon meranggas. - Lintang Ayu Saraswati -***“Ya, Tuhan,” batin Satya. Ia menyesali ucapannya. Sayang, semua sudah terlanjur.Satya terdiam, manik mata kelamnya menatap Lintang. Hati Satya bagai diamuk badai melihat sepasang mata sewarna madu milik Lintang siap menumpahkan air mata.“Jadi memang Mas Satya benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini?” Sekuat tenaga Lintang menahan gelombang di hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin terlihat kalah di hadapan Satya.Satya menutup wajah dengan kedua tangan lalu menyugar rambut frustrasi. Ia benar-benar menyesal. “A-aku ….” Lelaki berambut lurus tebal itu bangkit dari sofa lalu mendekati Lintang. “Ma-maksudku ….”“Kalau memang Mas Satya tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, ceraikan saya sekarang juga.” Tatapan setajam pisau milik Lintang menyambar tubuh Satya yang terpaku selangkah di depan Lintang.“Dulu Mas Satya meminta waktu untuk membujuk bunda dan sekarang beliau sudah tiada.
Ucapan Lintang membuat otot-otor wajah Dini menegang. Senyumnya lenyap berganti dengan tatapan cemas."Aku sudah ngasih waktu Mas Satya satu bulan untuk menceraikanku. Bulan depan aku bakal jadi janda, Din." Perlahan, mendung tebal yang bergelayut di mata Lintang berubah menjadi hujan. Awalnya gerimis, lalu menderas perlahan.“Ya, Allah.” Dini takkuasa menyembunyikan rasa terkejut. Ia beringsut lalu memeluk Lintang erat, membiarkan sahabatnya menumpahkan segala luka.Sekian waktu suara isakan Lintang memenuhi kamar berukuran sembilan meter persegi itu. “Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, Lin?” tanya Dini hati-hati setelah sedu-sedan Lintang mereda. Tangannya mengulurkan sekotak tissue.“Mas Satya memang tidak pernah ingin melanjutkan pernikahan ini. Buat apa hidup dengan laki-laki yang tidak mencitai kita, Din?” Lintang mengusap wajah kasar dan mengelap ingus hingga hidungnya semerah buah ceri.“Ya, tapi --““Aku tidak akan mengorbankan hidup dan hatiku untuk sebuah cinta yang berte
Usai makan siang dan Salat Zuhur, Satya memutuskan untuk pergi ke kost Lintang demi meminta sepotong kata maaf padanya. Ia tidak akan bisa kembali ke Bandung dengan tenang sebelum bertemu Lintang.Hari Minggu yang padat menyebabkan laju Honda Jazz yang dikendarai Satya melambat. Beberapa kali ia terperangkap kemacetan cukup panjang. Di sela-sela membelah jalanan menuju Yogyakarta, Satya berusaha menghubungi Lintang meski tidak pernah membuahkan hasil, membuat hatinya semakin rusuh.Matahari telah bergerak ke barat ketika Satya tiba di depan kost Lintang. Gegas ia turun dari mobil dan setengah berlari melintasi halaman rumah berlantai dua di hadapannya. Seorang gadis berjilbab pink keluar setelah ia menekan bel.“Apa saya bisa bertemu dengan Mbak Lintang?” tanya Satya setelah mengucap salam.Gadis itu terdiam sesaat. Ia terlihat seperti tengah mengingat sesuatu. “Kalau nggak salah Kak Lintang belum pulang dari Solo. Pintu kamarnya masih terkunci.”“Apa mungkin dia sudah pulang tapi ngg