Share

10. Berjanjilah

Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya.

"Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.

Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya."

"Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot."

"Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."

Anida menatap manik mata bundanya. Entahlah kali ini dia merasakan aura yang lain dari bunda. Bukan sekali ini saja, ia dinasehati oleh Felliana. Namun, nasehat bundanya saat ini. Anida merasa ada yang berbeda.

Bu Ilmi dan Umar berada di bangku depan juga ikut menyimak pembicaraan ibu-anak di belakang mereka. Sesekali antara Bu Ilmi dan keponakannya itu juga saling melirik.

Tak lama mobil Umar memasuki area parkir kantor Ryan. Felliana keluar dari mobil, menghampiri Bu Ilmi sebentar untuk bersalaman serta mencium kedua pipi ibunya.

***Rr***

"Assalamualaikum, Papa ... bisa turun ke bawah. Ini, bunda bawakan berkas papa yang tertinggal di atas meja."

"Waalaikumsalam, itu berkas itu untuk meeting lusa, Bunda. Makanya sengaja papa tinggal." Ryan tertawa melihat ekspresi manyun istrinya.

"Ya, dari rumah terbayang suamiku akan berterimakasih padaku. Karena, terselamatkan dari gagalnya meeting penting."

Ryan semakin terpingkal dengan celetukan Felliana. "Bunda sudah makan, belum?"

"Belum, Papa mau traktir bunda."

"Ya, kalau Bunda mau ke sini, pasti papa traktir. Kebetulan papa belum makan siang juga. Meeting agak alot pagi ini. Besok masih mau dijadwalkan lagi meeting lanjutan hari ini."

"Belum deal, rupanya, Pa."

"Sudah tadi. Sisanya besok biar diurusi sama Rayyan. Ini papa tunggu atau bunda langsung pulang saja. Makan siang di rumah."

"Bunda ke tempat Papa. Kita makan siang bersama. Udah lama dari dinner waktu itu, kita belum ada keluar berdua."

"Bunda yang enggak mau."

"Malah berdebat. Ini rumah makannya tempat biasa 'kan?" tanya Felliana memastikan.

"Iya. Ya, sudah papa pesankan menu untuk kita, sementara menunggu Bunda datang."

Pembicaraan keduanya berakhir ketika taksi online yang di pesan oleh Felliana datang. Berkas yang dibawa tadi, Ryan memintanya untuk diserahkan kepada sekretarisnya. Takutnya nanti malah tertinggal di restaurant.

***Rr***

Begitu Felliana tiba di restaurant, ia langsung menuju meja favorit mereka saat makan di tempat itu. Ryan segera beranjak dari tempat duduknya menyambut kedatangan istrinya. Dikecup kening istrinya dengan lembut, sebelum memberikan sebuah pelukan.

"Papa pesankan apa untuk makan siang kita kali ini." Felliana mengurai pelukan sang suami, kemudian berjalan perlahan menuju meja makan. 

Tak lama dari keduanya duduk, makanan datang, siap tersaji di meja bundar itu. Rayyan memilihkan menu iga bakar, cah udang-brokoli, salad buah dan tak ketinggalan jus sirsak.

Mereka berdua makan dengan serius, sesekali terlontar kalimat-kalimat pujian pada hidangan yang mereka nikmati.

"Apakah tadi jadi ke makam ayah Anida?"

Ryan buka suara sambil menyapu bibir dengan tisu yang dibentuk seperti segitiga. Usai ia menyantap habis hidangan dalam piringnya.

"Iya. Seperti yang bunda katakan semalam. Kami tadi diantar Umar."

Felliana meletakkan sendok dalam posisi terbalik. Kemudian meneguk beberapa tegukan mineral dalam botol kecil yang tersedia di mereka.

"Alhamdulillah ... maaf, kali ini papa tidak bisa mengantar kalian berziarah."

"Santai saja. Kebetulan sepulangnya Umar dari Jepang belum berziarah ke makam mas Aziz."

Hening sesaat karena keduanya sama-sama menyedot jus sirsak yang sejak tadi belum tersentuh.

"Pa, boleh bunda meminta sesuatu."

"Apa?"

"Bersikap baiklah pada Rani. Ingatlah kedatangan ia ke rumah untuk membantu kita mengasuh kembar. Apa Papa tak perhatikan. Makin lama kedua anak kita itu, enggak mau pisah dengannya. Entahlah, besok kalau ia jadi pulang bareng Leo. Apa enggak kangen anak-anak nanti."

"Jangan khawatir, itu hanya sesaat. Selama masih ada kita berdua, anak-anak tidak akan pernah kekurangan kasih sayang."

"Pa, maaf sebelumnya. Bunda sudah tahu alasan Papa membenci Rani. Foto di laci meja paling atas, sudah menjawab semuanya. Aslinya Papa masih marah pada Rani, karena dulu ia tolak lamaran Papa, 'kan?"

Kedua mata Ryan membulat. "Apakah dia yang mengatakan itu semua pada Bunda?" Jelas sekali, ada nada kekecewaan dalam pertanyaan Ryan barusan.

Felliana tersenyum. "Bunda yang minta dia jujur untuk mengatakan hal sebenarnya tentang kalian berdua."

"Itu hanya masa lalu," ketus Ryan menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Masa lalu. Tapi, begitu membekas dalam hati Papa."

"Karena itulah, mas tidak ingin bertemu dengannya lagi, Dik."

"Siapa tahu. Ini malah takdirnya kalian menyelesaikan masalah itu. Dengan kalian menikah, mungkin."

"LIANA!" Ryan menggebrak meja tak terima dengan ucapan istrinya.

Air mata Felliana tak dapat terbendung kali ini. Selama menjadi ibu dari anak-anak Ryan. Baru kali ini, Ryan memanggil namanya kembali. Itu pun dengan wajah memerah marah.

"Mas berjanjilah. Setelah aku tiada nanti, hanya dia perempuan yang akan kau nikahi."

"Cukup! Kau berbicara kematian seolah-olah kau akan meninggalkan kami besok. Siapa yang tahu, aku yang akan mati duluan. Jangan berbicara mendahului takdir, Liana."

"MAS!" 

"Kenapa sekarang membentakku,"

"Jangan berbicara seperti itu. Kau akan menemani anak-anak hingga dewasa, Mas. Baiklah, aku minta maaf, kalau ucapanku tadi melukai perasaanmu."

"Percuma minta maaf. Kalau kau tetap melakukannya lagi. Bisa kau tidak membahas lagi, tentang penyakitmu, penggantimu dan Rani," tegas Ryan beranjak dari tempat duduknya. "Kita pulang sekarang!"

Felliana menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan-lahan. Ia ikuti langkah panjang sang suami menuju kasir, membayar makan siang mereka. 

Begitu melakukan pembayaran Ryan kembali menghampiri istrinya yang tertinggal di belakangnya. Diraihnya pinggang Felliana, dikecup lama keningnya. "Maaf, Sayang, bicara Mas sangat kasar tadi."

Felliana membalas pelukan suaminya. Air mata kembali berjatuhan membasahi kemeja putih Ryan.

***Rr***

"Pa, kok bunda pingin dikasih bunga sama Papa, ya," canda Felliana sembari melirik suaminya.

"Oiya, mau bunga apa, Bund? Bunga deposito bank?" balas Ryan tertawa.

"Eh, Pa ... Bunda mau mampir di Queen pingin belikan jaket buat kembar. Papa lanjutkan mobil parkir di toko bunga sana itu, ya."

"Baiklah. Masih suka bunga mawar 'kan. Atau mau bunga lainnya?"

"Mawar saja. Tapi, semua varian yang ada di sana ya, Pa. Beli saja mawar merah, putih, pink dan kuning. Sekalian kalau ada mawar ungu. Bisa minta dua atau tiga tangkai, untuk dirangkai ya, Papa. Langsung dikirim ke rumah, nanti bunda akan minta Anida untuk menaruh di vas kamar kita." 

"Siap, Permaisuriku!" Ryan menepikan mobilnya di depan baby shop 'Queen'.

"Bunda turun dulu ya, Pa." Felliana meraih tangan suaminya untuk dicium.

"Ya sudah. Papa lanjut ke depan. Papa samperi Bunda jalan kaki saja. Karena mobilnya papa parkir di sana." Tunjuk Ryan ke arah toko bunga yang berjarak kira-kira 300 meter dari baby shop.

"Oke." Felliana keluar dari mobil bergegas masuk ke dalam toko. Setelah melihat istrinya menghilang dari pandangannya. Ryan melambatkan laju mobilnya menuju toko bunga, memenuhi permintaan istrinya.

Setibanya di toko bunga, Ryan memilih beberapa tangkai bunga mawar sesuai pesanan Felliana. Setelah selesai ia serahkan pada pegawai yang mengikuti dirinya. 

"Rangkai yang bagus ya, Mas. Nanti langsung kirim ke rumah kami."

"Baik, Pak. Silahkan tulis alamat rumahnya. Nanti saya sendiri yang akan mengantar ke rumah bapak. Oiya, atas nama siapa ini bunga diberikan."

"Istri saya. Dokter Felliana Ismail. Dan ini alamat rumah kami."

Pegawai kios menerima kertas yang diberikan oleh Ryan. Kemudian membawa ke kasir toko. Setelah mendapat nota dari kasir, Ryan segera melakukan pembayaran secara tunai.

"Itu anak tadi memang kurang ajar. Sudah tahu trotoar untuk pejalan kaki. Bisa-bisanya mengendarai motor ugal-ugalan gitu. Kasihan wanita tadi karena terkejut dia melompat ke jalan raya. Apesnya malah tertabrak mobil."

Jatuh Ryan berdegup kencang, perasaan tidak karuan mendengar pembicaraan pengunjung toko yang baru masuk.

"Ada kecelakaan, Bu."

 

Kedua ibu muda yang baru masuk toko saling tatap, kemudian mengangguk. "Iya, Mas. Saya ngeri mau mendekat. Itu di depan baby shop Queen."

Ryan segera berlari keluar dari toko bunga. Dia melihat kerumunan orang di jalan raya depan baby shop.

"Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." 

☘☘ Next ...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Myura Muazhara
Salam kenal juga, Kak
goodnovel comment avatar
Rumi Cr
Salam kenal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status