Share

10. Berjanjilah

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2023-07-11 11:09:40

Felliana mengelus lembut rambut sebahu putrinya. Pasmina yang dikenakan tadi tersampir di bahunya.

"Anida, Bunda paham mempertahankan juara itu, lebih sulit daripada meraihnya. Tapi, jangan terlalu memfosir dirimu. Pandai dalam akademik memang membanggakan, Nak. Tapi, Bunda akan lebih bahagia jika putri sulung ayah Aziz ini. Jadi putri yang sholehah, yang selalu dekat dengan Allah.

Beragama itu nurut, enggak ada tapinya. Selagi termasuk dalam perintah Allah, itu wajib hukumnya, kita laksanakan. Kakak sebentar lagi sweet seventen. Bagi bunda, Anida sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Segera tutup aurat kakak. Ingat pesan bunda, perempuan dihormati karena bisa menjaga marwahnya."

"Iya, Bunda. Anida nunggu hati mantep dulu, untuk pakai jilbab. Supaya tidak pakai-copot."

"Lha kenapa harus begitu. Sudah tahu perintah, ya harus dilaksanakan 'kan. Salatnya jangan suka bolong. Besok Kak Rani sudah pulang. Enggak ada lagi yang ingatin terus untuk salat."

Anida menatap manik mata bundanya. Entahlah kali ini dia merasakan aura yang lain dari bunda. Bukan sekali ini saja, ia dinasehati oleh Felliana. Namun, nasehat bundanya saat ini. Anida merasa ada yang berbeda.

Bu Ilmi dan Umar berada di bangku depan juga ikut menyimak pembicaraan ibu-anak di belakang mereka. Sesekali antara Bu Ilmi dan keponakannya itu juga saling melirik.

Tak lama mobil Umar memasuki area parkir kantor Ryan. Felliana keluar dari mobil, menghampiri Bu Ilmi sebentar untuk bersalaman serta mencium kedua pipi ibunya.

***Rr***

"Assalamualaikum, Papa ... bisa turun ke bawah. Ini, bunda bawakan berkas papa yang tertinggal di atas meja."

"Waalaikumsalam, itu berkas itu untuk meeting lusa, Bunda. Makanya sengaja papa tinggal." Ryan tertawa melihat ekspresi manyun istrinya.

"Ya, dari rumah terbayang suamiku akan berterimakasih padaku. Karena, terselamatkan dari gagalnya meeting penting."

Ryan semakin terpingkal dengan celetukan Felliana. "Bunda sudah makan, belum?"

"Belum, Papa mau traktir bunda."

"Ya, kalau Bunda mau ke sini, pasti papa traktir. Kebetulan papa belum makan siang juga. Meeting agak alot pagi ini. Besok masih mau dijadwalkan lagi meeting lanjutan hari ini."

"Belum deal, rupanya, Pa."

"Sudah tadi. Sisanya besok biar diurusi sama Rayyan. Ini papa tunggu atau bunda langsung pulang saja. Makan siang di rumah."

"Bunda ke tempat Papa. Kita makan siang bersama. Udah lama dari dinner waktu itu, kita belum ada keluar berdua."

"Bunda yang enggak mau."

"Malah berdebat. Ini rumah makannya tempat biasa 'kan?" tanya Felliana memastikan.

"Iya. Ya, sudah papa pesankan menu untuk kita, sementara menunggu Bunda datang."

Pembicaraan keduanya berakhir ketika taksi online yang di pesan oleh Felliana datang. Berkas yang dibawa tadi, Ryan memintanya untuk diserahkan kepada sekretarisnya. Takutnya nanti malah tertinggal di restaurant.

***Rr***

Begitu Felliana tiba di restaurant, ia langsung menuju meja favorit mereka saat makan di tempat itu. Ryan segera beranjak dari tempat duduknya menyambut kedatangan istrinya. Dikecup kening istrinya dengan lembut, sebelum memberikan sebuah pelukan.

"Papa pesankan apa untuk makan siang kita kali ini." Felliana mengurai pelukan sang suami, kemudian berjalan perlahan menuju meja makan. 

Tak lama dari keduanya duduk, makanan datang, siap tersaji di meja bundar itu. Rayyan memilihkan menu iga bakar, cah udang-brokoli, salad buah dan tak ketinggalan jus sirsak.

Mereka berdua makan dengan serius, sesekali terlontar kalimat-kalimat pujian pada hidangan yang mereka nikmati.

"Apakah tadi jadi ke makam ayah Anida?"

Ryan buka suara sambil menyapu bibir dengan tisu yang dibentuk seperti segitiga. Usai ia menyantap habis hidangan dalam piringnya.

"Iya. Seperti yang bunda katakan semalam. Kami tadi diantar Umar."

Felliana meletakkan sendok dalam posisi terbalik. Kemudian meneguk beberapa tegukan mineral dalam botol kecil yang tersedia di mereka.

"Alhamdulillah ... maaf, kali ini papa tidak bisa mengantar kalian berziarah."

"Santai saja. Kebetulan sepulangnya Umar dari Jepang belum berziarah ke makam mas Aziz."

Hening sesaat karena keduanya sama-sama menyedot jus sirsak yang sejak tadi belum tersentuh.

"Pa, boleh bunda meminta sesuatu."

"Apa?"

"Bersikap baiklah pada Rani. Ingatlah kedatangan ia ke rumah untuk membantu kita mengasuh kembar. Apa Papa tak perhatikan. Makin lama kedua anak kita itu, enggak mau pisah dengannya. Entahlah, besok kalau ia jadi pulang bareng Leo. Apa enggak kangen anak-anak nanti."

"Jangan khawatir, itu hanya sesaat. Selama masih ada kita berdua, anak-anak tidak akan pernah kekurangan kasih sayang."

"Pa, maaf sebelumnya. Bunda sudah tahu alasan Papa membenci Rani. Foto di laci meja paling atas, sudah menjawab semuanya. Aslinya Papa masih marah pada Rani, karena dulu ia tolak lamaran Papa, 'kan?"

Kedua mata Ryan membulat. "Apakah dia yang mengatakan itu semua pada Bunda?" Jelas sekali, ada nada kekecewaan dalam pertanyaan Ryan barusan.

Felliana tersenyum. "Bunda yang minta dia jujur untuk mengatakan hal sebenarnya tentang kalian berdua."

"Itu hanya masa lalu," ketus Ryan menghembuskan napasnya dengan kasar.

"Masa lalu. Tapi, begitu membekas dalam hati Papa."

"Karena itulah, mas tidak ingin bertemu dengannya lagi, Dik."

"Siapa tahu. Ini malah takdirnya kalian menyelesaikan masalah itu. Dengan kalian menikah, mungkin."

"LIANA!" Ryan menggebrak meja tak terima dengan ucapan istrinya.

Air mata Felliana tak dapat terbendung kali ini. Selama menjadi ibu dari anak-anak Ryan. Baru kali ini, Ryan memanggil namanya kembali. Itu pun dengan wajah memerah marah.

"Mas berjanjilah. Setelah aku tiada nanti, hanya dia perempuan yang akan kau nikahi."

"Cukup! Kau berbicara kematian seolah-olah kau akan meninggalkan kami besok. Siapa yang tahu, aku yang akan mati duluan. Jangan berbicara mendahului takdir, Liana."

"MAS!" 

"Kenapa sekarang membentakku,"

"Jangan berbicara seperti itu. Kau akan menemani anak-anak hingga dewasa, Mas. Baiklah, aku minta maaf, kalau ucapanku tadi melukai perasaanmu."

"Percuma minta maaf. Kalau kau tetap melakukannya lagi. Bisa kau tidak membahas lagi, tentang penyakitmu, penggantimu dan Rani," tegas Ryan beranjak dari tempat duduknya. "Kita pulang sekarang!"

Felliana menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan-lahan. Ia ikuti langkah panjang sang suami menuju kasir, membayar makan siang mereka. 

Begitu melakukan pembayaran Ryan kembali menghampiri istrinya yang tertinggal di belakangnya. Diraihnya pinggang Felliana, dikecup lama keningnya. "Maaf, Sayang, bicara Mas sangat kasar tadi."

Felliana membalas pelukan suaminya. Air mata kembali berjatuhan membasahi kemeja putih Ryan.

***Rr***

"Pa, kok bunda pingin dikasih bunga sama Papa, ya," canda Felliana sembari melirik suaminya.

"Oiya, mau bunga apa, Bund? Bunga deposito bank?" balas Ryan tertawa.

"Eh, Pa ... Bunda mau mampir di Queen pingin belikan jaket buat kembar. Papa lanjutkan mobil parkir di toko bunga sana itu, ya."

"Baiklah. Masih suka bunga mawar 'kan. Atau mau bunga lainnya?"

"Mawar saja. Tapi, semua varian yang ada di sana ya, Pa. Beli saja mawar merah, putih, pink dan kuning. Sekalian kalau ada mawar ungu. Bisa minta dua atau tiga tangkai, untuk dirangkai ya, Papa. Langsung dikirim ke rumah, nanti bunda akan minta Anida untuk menaruh di vas kamar kita." 

"Siap, Permaisuriku!" Ryan menepikan mobilnya di depan baby shop 'Queen'.

"Bunda turun dulu ya, Pa." Felliana meraih tangan suaminya untuk dicium.

"Ya sudah. Papa lanjut ke depan. Papa samperi Bunda jalan kaki saja. Karena mobilnya papa parkir di sana." Tunjuk Ryan ke arah toko bunga yang berjarak kira-kira 300 meter dari baby shop.

"Oke." Felliana keluar dari mobil bergegas masuk ke dalam toko. Setelah melihat istrinya menghilang dari pandangannya. Ryan melambatkan laju mobilnya menuju toko bunga, memenuhi permintaan istrinya.

Setibanya di toko bunga, Ryan memilih beberapa tangkai bunga mawar sesuai pesanan Felliana. Setelah selesai ia serahkan pada pegawai yang mengikuti dirinya. 

"Rangkai yang bagus ya, Mas. Nanti langsung kirim ke rumah kami."

"Baik, Pak. Silahkan tulis alamat rumahnya. Nanti saya sendiri yang akan mengantar ke rumah bapak. Oiya, atas nama siapa ini bunga diberikan."

"Istri saya. Dokter Felliana Ismail. Dan ini alamat rumah kami."

Pegawai kios menerima kertas yang diberikan oleh Ryan. Kemudian membawa ke kasir toko. Setelah mendapat nota dari kasir, Ryan segera melakukan pembayaran secara tunai.

"Itu anak tadi memang kurang ajar. Sudah tahu trotoar untuk pejalan kaki. Bisa-bisanya mengendarai motor ugal-ugalan gitu. Kasihan wanita tadi karena terkejut dia melompat ke jalan raya. Apesnya malah tertabrak mobil."

Jatuh Ryan berdegup kencang, perasaan tidak karuan mendengar pembicaraan pengunjung toko yang baru masuk.

"Ada kecelakaan, Bu."

 

Kedua ibu muda yang baru masuk toko saling tatap, kemudian mengangguk. "Iya, Mas. Saya ngeri mau mendekat. Itu di depan baby shop Queen."

Ryan segera berlari keluar dari toko bunga. Dia melihat kerumunan orang di jalan raya depan baby shop.

"Yaa Allah ... Liana. Jangan sampai Engkau ambil istriku sekarang, Yaa Rabb. Hambamu belum siap." 

☘☘ Next ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Myura Muazhara
Salam kenal juga, Kak
goodnovel comment avatar
Rumi Cr
Salam kenal
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Perempuan Pilihan Istriku    Takdir Yang Tertulis (Ending)

    "Eh Paman, serius dengan perjodohan ini. Ntu sekalinya betulan ABG. Baru masuk kelas 12. Hari ini dilamar, baru nikahnya tahun depan gitu," ucap Anida melirik ke arah pamannya. "Mana, Paman tahu." Umar menatap lekat Denok yang berjalan di depan mereka.Setelah menaruh barang bawaan mereka. Anida menghampiri Denok meminta izin untuk ke belakang."Paman tungguin ya, sekalian ajak pedekate calon bibiku." Kerling Anida sebelum berlalu. Ingin rasanya Umar menjitak anak semata wayang kakaknya itu.Denok mengangguk sopan berjalan ke arah Umar. Gadis basa-basi menyapa sebelum berlalu meninggalkan kedua tamu."Maaf, saya tinggal masuk dulu ya, Mas. Mau bantu nyiapin makan siang." Pamit Denok ketika akan melewati Umar."Tunggu!" cegah Umar.Denok berhenti sekitar tiga langkah dari Umar."Iya, Mas."HuufftsUmar menghembuskan nafas, untuk mengurangi sesak di dadanya sedari tadi."Maaf sebelumnya, tapi saya harus mengatakan ini. Saya pribadi keberatan dengan perjodohan ini. Beberapa minggu yang

  • Perempuan Pilihan Istriku    32. Takdir Yang Tertulis (1)

    Peri menatap nanar map di atas meja tamu kediaman Umi Hanifah. Angan yang dia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang didengarnya barusan.Barusan Umi Hanifah menyampaikan, proses ta'aruf antara dirinya dan Umar ada kemungkinan tidak bisa dilanjutkan.Umar sebelum bertemu dengan Peri, telah bercerita semuanya dengan Ustad Mukhlis, alasan tidak dapat melanjutkan ta'aruf. Bahwa dia dijodohkan dengan anak sahabat bapaknya. Dirinya tidak dilibatkan, dengan kata lain dia tidak mengetahui perihal perjodohan ini."Maaf, tidak ada maksud saya mempermainkan perasaan anti, Ukh .... " ucap Umar sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu kediaman ustadzah Hanifah."Tak mengapa, Akh ... semoga kita berdua dipertemukan dengan jodoh terbaik," balas Peri lirih. Umi Hanifah selaku murabbi Peri, sekaligus kepala sekolah TA Al Furqon itu mengelus punggung binaannya seraya memberi dukungan untuk sabar dan ikhlas."Aamiin."Dengan perasaan bersalah, Umar menatap getir ke arah perempuan yang ta

  • Perempuan Pilihan Istriku    31. Ta'aruf

    Tiga tahun kemudian "Papa, berangkat dulu ya, Farraz. Baik-baik sama Mama." Ryan menciumi wajah batita dalam gendongannya. Bocah yang sebentar lagi menjadi kakak itu, terkekeh geli dengan ulah papanya. Farraz Putra Edogawa, putra ketiga Ryan."Mas sudah bikinkan janji periksa untuk nanti sore. Semoga dedeknya enggak malu lagi, dilihat identitinya." Ryan beralih mencium kening Rani. Istrinya itu tersenyum seraya mengangsurkan tas kerja milik suaminya."Iya, Mas. Hati-hati bawa mobilnya, ya," balas Rani meraih tangan kanan suaminya untuk salim lantas diciumnya dengan takzim."Mas jadi pingin makan rujak, ya," ujar Ryan sembari mengecap dan mendesis mirip ekspresi orang makan rujak manis, asam, pedas.Rani tertawa geli melihat ekspresi suaminya. Diraihnya tubuh Farraz dari gendongan Ryan. Kemudian menggendong putranya itu, di sisi pinggang kanan."Assalamualaikum," sapa Tamara mengandeng bocah sepantaran Farraz. Disusul Radit dibelakang mereka berdua."Dari bangun Subuh tadi. Sudah heb

  • Perempuan Pilihan Istriku    30. Lembaran Baru

    "Sungguh aku iri padamu. Ingin aku menggantikan posisimu sekarang. Dan itu tidak akan terwujud kalau kau masih bernyawa, Rani."Setelah berkata demikian Lucia bangkit dari duduknya menerjang tubuh Rani. Hingga keduanya terjatuh ke karpet. Lucia berada di atas tubuh Rani."Kalau gagal membunuhmu dengan tangan orang lain. Mungkin sudah saatnya kau mati di tanganku sendiri." Lucia mencekik kuat leher Rani dengan kedua tangannya.Rani yang tidak menyangka akan diserang demikian. Napasnya tersenggal, lidahnya hampir terjulur.Hingga"Anak kurang ajar!" teriak seseorang yang membuat Lucia merenggangkan cekikannya.Kepala wanita itu dihantam sekuat tenaga oleh tas yang dibawa seseorang yang terlihat samar oleh penglihatan Rani. Namun, ia hafal suara sosok yang datang menyelamatkannya barusan."Kak Rani!" seru Aida panik. Sepupu Lucia itu menghampiri Rani yang terbaik berkali-kali dengan nafas terengah-engah."Nenek pastikan kali ini, kamu meringkuk dalam penjara, Lucia." Bu Dewi memukulkan t

  • Perempuan Pilihan Istriku    29. Benang Merah

    Hari ketiga dirawat di rumah sakit. Rani meminta Ryan untuk menguruskan kepulangan. Ia sudah merindukan kedua anak mereka."Mas tidak berani memutuskan sendiri. Kita tunggu apa kata dokter. Setelah itu pertimbangan dari mama Ilmi.""Kurasa aku sudah cukup istirahatnya, Mas. Di sini aku tak melakukan aktivitas apapun. Nanti Mas Ryan bantu aku ngomong sama Mama, ya."Rani merasa kesehatannya telah pulih, kondisi badannya kembali fit pasca keguguran. Di rumah sakit dirinya memang dia diperbolehkan beraktivitas berlebihan. Kondisinya pun terus mendapat pantauan langsung dari dokter kandungan."Mau ke rumah kita atau tetap ke rumah mama Ilmi?" tanya Ryan seraya membelai pipi wanitanya itu."Senyamannya Mas Ryan saja. Aku ikut.""Kalau pemeriksaan dokter menyatakan sudah pulih. Kita pulang ke rumah kita saja, ya.""Hu um." Rani mengangguk seraya tersenyum menatap pria di depannya itu."Sayang, Mas tanya sekali lagi. Benar, kamu tidak mau mengusut kasus ini. Atau sebenarnya kamu sudah tahu.

  • Perempuan Pilihan Istriku    28. Mengikhlaskan

    Laksman tidak membawa mobil ke area parkir klinik melainkan putar balik ke tempat dia berjumpa dengan Leo menggendong kakaknya tadi. Dia masih berharap apa yang didengar tadi tidaklah benar. Tanpa sengaja dia mendengar instruksi kakaknya dengan seseorang di telepon, yang mengarah pada tindakan kriminal.Saat pandangan Laksman menemukan sebuah gudang tua. Ia memelankan laju mobil Tamara hingga berhenti di samping Jeep milik kedua preman yang dihajar oleh Leo tadi.Laksman bergegas masuk ke dalam gudang, yang pintunya telah dirusak oleh Leo tadi. Begitu memasuki gudang, dia menghampiri dua preman yang masih tak bergerak. Keduanya tergeletak di lantai penuh dengan luka.Dengan langkah berhati-hati ia mendekati kedua preman itu. Ragu, apakah kedua preman dalam keadaan sadar atau pingsan, Laksman mengoyangkan salah satu kaki preman dengan kaki kanannya.Pemuda itu terjingkat, ketika terdengar dering ponsel dari saku celana preman sebelah kiri kakinya. Laksman bergegas mengambil ponsel itu,

  • Perempuan Pilihan Istriku    27. Tunas Yang Terenggut

    Rani terkesima begitu tiba di rumah Pak Faiz suasana sangat rame. Setelah sungkeman secara singkat tadi. Dirinya permisi membawa kembar ke taman belakang. Ditemani Aida menjaga Fathiya dan Fatih dirinya bisa bercengkrama dengan kerabat Ryan secara lebih dekat.Lucia dan ibunya hanya memperhatikan Rani dengan tatapan tak suka dari tempatnya menikmati hidangan yang ditata secara prasmanan itu. "Ma ... harusnya aku yang duduk disana. Disapa dan disambut ramah sebagai istri mas Ryan. Bukan perempuan itu. Beruntung sekali dirinya dipungut anak oleh Bu Ilmi. Jadi, bisa menggantikan posisi dokter Felliana menjadi ibu untuk anaknya mas Ryan.""Sudahlah, Lucia. Mama sadar sekarang, sesuatu yang dipaksakan itu ... tak akan pernah baik akhirnya. Benar kata nenekmu, kalau dasarnya jodoh. Mau dipisahkan kayak manapun. Akhirnya bersatu juga. Itu, yang bisa mama lihat dari Ryan dan Rani.Lihatlah kembar juga nyaman dengan perempuan itu. Dulu mungkin, Ryan ingin menikah dengan gadis yang dicintai. N

  • Perempuan Pilihan Istriku    26. Gemuruh

    Acara buka bersama dalam rangka tasyakuran atas penikahan Radit-Tamara berjalan lancar di kediaman keluarga Ardiansyah, Bogor. Acara yang dihadiri kerabat dan tetangga sekitar rumah itu, cukup meriah.Ketika acara berbuka telah usai. Pembawa acara mengarahkan tamu undangan untuk melaksanakan salat Tarawih di masjid komplek perumahan Seroja. Ada sebagian yang memilih langsung pulang ada yang melaksanakan salat Tarawih di sana.Setelah semua orang kembali ke rumah masing-masing, Radit pun mengajak Tamara masuk ke kamarnya."Tadi sebelum berangkat, Mas lihat rambutnya basah. Sudah suci rupanya." Radit hanya memastikan saja, padahal dia tadi melihat istrinya salat Maghrib juga ikutan jamaah Tarawih dengan rombongan keluarganya."Hmm ...."Tamara menjawab dengan gumaman. Radit tersenyum, langsung memeluk tubuh istrinya itu. "Ya, sudah. Mas siap-siap dulu ya, Sayang.""Siap-siap mau kemana?""Membawamu ke nirwana."Jawaban dari Radit tak urung membuat Tamara memutar bola matanya.Radit terk

  • Perempuan Pilihan Istriku    25. Endingnya Ikrar

    "Jam berapa, rombongan Radit datang, Kak?" tanya Bu Syarifah pada Tamara yang duduk dengan gelisah."Harusnya sudah sampai ini, Mam. Apa terjebak mancet, ya. Pesanku belum dibacanya juga," jawab Tamara dengan wajah gelisah. Wanita itu tampil sempurna dengan setelan kebaya berwarna pink rose. Senada dengan gamis yang dikenakan mama, Aida dan Aisha.Bu Syarifah menepuk pundak putri sulungnya. "Ya, sudah. Kayaknya terjebak macet, Sayang.""Semoga kalaupun iya, enggak lama terjebak macetnya. Papa juga kenapa pakai pasang tenda undang semua warga komplek, kalau mas Radit enggak jadi datang. Apa enggak malu, kitanya," sungut Tamara kemudian.Karena hampir setengah jam dari waktu yang diperkirakan kedatangan rombongan Radit. Sosok pria itu belum juga nampak."Astaghfirullahal'azim, Nak. Kok malah nyumpahin diri sendiri gitu, sih. Enggak baik itu. Mama yakin Radit bukan orang seperti itu. Papa menyiapkan ini semua karena sudah dibicarakan dengan Radit juga orang tuanya.""Ya, kalau enggak jad

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status