LOGINAkhir pekan itu, restoran mewah di pusat kota dipenuhi suara gelak tawa dan obrolan riuh. Ruang VIP yang biasanya digunakan untuk jamuan bisnis, kali ini dikuasai oleh sekumpulan wanita anggun bergaun elegan—para sosialita yang terbiasa hidup dalam kemewahan.
Di salah satu sudut meja panjang itu, Ny. Ratna, ibu Arga, duduk dengan postur tegap dan senyum penuh percaya diri. Hari ini adalah jadwal arisan bulanan yang selalu ia nantikan. Selain sebagai ajang berkumpul, arisan ini juga menjadi arena terselubung untuk pamer status, kekayaan, dan tentu saja, menantu. “Ah, Mariam, kamu bawa menantumu ya?” tanya salah satu nyonya dengan suara manis yang penuh kepura-puraan. Seorang wanita paruh baya tersenyum lebar sambil merangkul bahu seorang perempuan muda cantik yang duduk di sebelahnya. “Iya dong! Kenalin, ini Livia, istri anak sulungku. Dia dokter spesialis kandungan. Baru buka klinik sendiri bulan lalu.” “Ohhh…” serempak para nyonya bersuara kagum. “Luar biasa!” sahut nyonya lain. “Kalau butuh periksa, pasti kami semua antre ke klinik Livia.” Senyum bangga terpancar dari wajah Mariam. Sementara itu, nyonya di sebelahnya tak mau kalah. Ia menunjuk menantunya yang lain. “Kalau menantuku, Vina, dia pengacara. Lagi sibuk-sibuknya menangani kasus besar. Sampai-sampai aku jarang lihat wajahnya di rumah.” Tawa pun pecah di meja. Ny. Ratna hanya bisa tersenyum tipis. Ia membawa tas branded barunya sebagai bentuk kebanggaan, tapi ia tidak membawa Freya. Baginya, itu hanya akan jadi bahan tertawaan. Bagaimana mungkin ia menampilkan menantu yang tidak bekerja, hanya lulusan biasa, dan berasal dari keluarga sederhana? Obrolan pun bergulir semakin panas. Ada menantu yang jadi arsitek, ada yang jadi pengusaha sukses, bahkan ada yang sedang meniti karier di luar negeri. Semua dibicarakan dengan penuh semangat, penuh kebanggaan. Di tengah sorak-sorai itu, Ny. Ratna merasakan hatinya dicekik rasa iri. Ia mencoba menyelipkan komentar, “Arga juga sedang meniti bisnis yang cukup besar sekarang. Dia sangat sibuk.” “Oh, tentu! Arga memang anak yang hebat,” jawab salah satu nyonya ramah. “Tapi bagaimana dengan menantumu, Bu Ratna? Belum pernah kami lihat dia ikut arisan.” Pertanyaan itu bagaikan pisau menusuk. Senyum Ny. Ratna mengeras. “Ah, dia… sibuk di rumah. Belum sempat ikut kegiatan seperti ini.” “Ohh…” balas para nyonya, kali ini dengan nada menggantung, seolah mereka semua sudah bisa menebak. Senyum simpati bercampur sinis itu menusuk lebih dalam daripada komentar langsung. Sepulang dari arisan, di dalam mobil, Ny. Ratna memijit keningnya dengan kesal. Bayangan menantu-menantu mentereng teman-temannya terus menghantui. Dalam hati, ia meradang. Kenapa anakku harus menikahi Freya? Perempuan itu hanya membawa malu. Kalau saja Arga memilih wanita yang sepadan, mungkin aku bisa berdiri lebih tinggi di antara mereka. Kecemburuan itu semakin menguatkan keinginan Ny. Ratna: ia harus mencari cara agar Arga memiliki pendamping yang bisa membuatnya bangga. Dan Freya, baginya, hanyalah bayangan tak berguna yang semakin lama semakin tak pantas berada di lingkaran keluarganya. *** Sore itu, langit mulai merona jingga ketika Arga memarkir mobil sport-nya di halaman rumah besar milik orang tuanya. Keringat masih menempel di pelipisnya setelah bermain tenis bersama rekan-rekan bisnis. Dengan santai ia melepas jaket olahraga, lalu masuk ke dalam rumah yang begitu akrab baginya sejak kecil. “Arga sayang, akhirnya datang juga,” sambut Ny. Ratna dengan senyum hangat. Ia duduk di ruang tamu yang megah, ditemani secangkir teh hijau dan setoples kue kering. Arga mencium tangan ibunya, lalu duduk di sofa berhadapan. “Iya, Bu. Habis main sama teman-teman. Sekalian mampir sebelum pulang.” “Bagus. Ibu senang kamu masih ingat rumah ini,” ucap Ny. Ratna, matanya berbinar penuh kebanggaan. Arga hanya tersenyum tipis. Ia tahu ibunya senang sekali kalau ia meluangkan waktu. Tapi sore itu, obrolan yang awalnya ringan mulai berubah arah. “Kemarin Ibu ikut arisan, Nak,” kata Ny. Ratna sambil mengaduk teh pelan. “Waduh, teman-teman Ibu banyak sekali bercerita tentang menantu mereka. Rasanya Ibu kagum sekaligus iri.” Arga menoleh, mengernyit sedikit. “Menantu? Kenapa memangnya?” Ny. Ratna tersenyum tipis, penuh arti. “Bayangkan saja, menantu Bu Mariam itu dokter spesialis. Cantik, pintar, punya klinik sendiri. Menantu Bu Wati, pengacara hebat. Bahkan ada yang jadi arsitek, arsitek besar di Singapura. Semua membanggakan keluarga mereka.” Ia berhenti sejenak, menatap wajah Arga dengan sorot mata yang penuh pesan tersembunyi. “Ibu hanya bisa tersenyum mendengar cerita itu semua. Karena… yah, kamu tahu sendiri, menantu Ibu tidak seperti mereka.” Arga menghela napas, menyandarkan tubuh ke sofa. “Bu, jangan bandingkan Freya dengan orang lain. Semua orang punya jalannya sendiri.” Namun Ny. Ratna tak berhenti. “Ibu tahu, tapi bukankah menyedihkan, Ga? Teman-teman Ibu bisa berdiri bangga, pamer menantu mereka. Sementara Ibu… apa yang bisa Ibu banggakan? Freya hanya diam di rumah. Tidak bekerja, tidak punya pencapaian. Apa tidak membuatmu merasa terbebani?” Arga terdiam, wajahnya menegang. Hatinya sebenarnya terusik, tapi ia juga terjebak antara membela istrinya dan memahami ibunya. “Bu, Freya baik. Dia selalu ada untukku, mengurus rumah. Itu juga penting,” jawab Arga, meski nadanya terdengar lemah, seakan tanpa keyakinan penuh. Ny. Ratna mencondongkan tubuh, suaranya melembut tapi tajam menusuk. “Arga, kamu putra satu satu nya. Harapan keluarga ada di pundakmu. Bukankah lebih pantas jika di sampingmu ada wanita yang sepadan? Yang bisa membuatmu semakin dihormati, semakin dihargai? Bukan… hanya jadi bayangan yang tidak memberi nilai apa-apa.” Kata-kata itu menggema di telinga Arga. Ia mencoba menyangkal, tapi di dalam hatinya, keraguan kecil mulai tumbuh. Ia teringat perdebatan dengan Freya malam sebelumnya tentang keinginan istrinya berjualan online. Keraguan yang awalnya kecil kini diperbesar oleh ibunya. Arga tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, menutupi kegelisahan yang merayapi pikirannya. Ny. Ratna tersenyum tipis, merasa kata-katanya mulai membekas. “Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Kamu berhak mendapatkan pasangan yang benar-benar pantas berdiri di sampingmu.” Sore itu, tanpa ia sadari, benih perpecahan semakin dalam ditanamkan. Dan sedikit demi sedikit, pengaruh ibunya mulai menggerogoti keyakinan Arga terhadap rumah tangganya bersama Freya.Malam Itu Hujan turun tipis. Udara terasa lembab. Lampu-lampu jalan terlihat redup di balik kaca. Freya membungkuk, satu tangan memegang ujung meja, satu tangan menekan perutnya yang seperti diremas dari dalam. > “Ah—” Sebuah erangan kecil lolos. Tidak keras, tapi jelas penuh rasa sakit. Talita yang sedang melipat pakaian-pakaian pesanan berhenti seketika. > “Freya? Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.” Freya mencoba tersenyum, senyum yang terlalu dipaksa. > “Cuma… sakit perut biasa. Mungkin masuk angin.” Namun tepat setelah itu rasa nyeri datang lebih kuat, membuat lututnya hampir goyah. Talita memegang bahunya, suaranya panik: > “Ini bukan masuk angin! Kamu bahkan nggak bisa berdiri tegak! Kita ke rumah sakit sekarang!” Freya menggeleng pelan, menahan sakit sambil menarik napas pendek-pendek. > “Tunggu… Telepon Arga dulu. Dia harus tahu…” Talita mengambil ponsel Freya dan menekan panggilan. Nada berdering. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Talita mencoba
Kabar itu tidak langsung meledak besar. Namun seperti bara kecil yang tertiup angin, gosip itu merayap pelan, menembus sela-sela percakapan kantor, komunitas sosialita, hingga media online yang haus sensasi. Awalnya hanya sebuah foto: Arga dan Eveline terlihat keluar dari sebuah hotel konferensi di Bandung. Foto itu sebetulnya bersih—mereka menjaga jarak yang sopan. Namun ekspresi mereka terlalu nyaman untuk sekadar rekan kerja. Lalu muncul foto lain. Arga tertawa lepas saat Eveline menyentuh lengannya. Foto itu diambil candid, tanpa kesadaran mereka. Sebuah momen yang seharusnya hanya milik udara dan waktu, kini menjadi konsumsi publik. > “CEO muda Arga Pratama terlihat semakin dekat dengan putri tunggal pengusaha tekstil, Eveline Prawira. Apakah ini pertanda adanya hubungan spesial?” - GossipStar ID > “Istri? Tidak terlihat dalam lingkaran sosial Arga belakangan ini.” - HypeDaily Media Tagar mulai bermunculan. #ArgaEveline #PasanganSempurna #FuturePowerCouple T
Malam turun perlahan di langit Jakarta.Hujan rintik-rintik mengguyur kaca jendela, menimbulkan bunyi ritmis yang biasanya menenangkan, namun malam ini justru terasa seperti jarum yang menekan dada Freya.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika suara pintu utama terbuka.Freya menatap dari ruang tamu — wajahnya datar, bukan lagi senyum lembut seperti biasanya. Ia menunggu suara langkah yang sudah begitu ia kenal itu.Arga masuk dengan jas masih melekat di bahu, dasi longgar, dan wajah lelah yang tak berusaha disembunyikan. Hujan membuat rambutnya sedikit basah.Ia bahkan tidak menatap ke arah Freya. Langsung menuju dapur, membuka kulkas, mengambil air mineral, lalu meneguknya dalam sekali minum.Suasana di antara mereka hening.Begitu hening hingga suara detak jam dinding terdengar seperti palu kecil yang memukul waktu.Freya akhirnya berdiri. Di tangannya masih ada amplop berisi foto-foto yang tadi diberikan oleh Ny. Ratna. Ia berjalan perlahan, langkahnya tenang, tapi mata
Langit siang tampak cerah, tapi suasana di rumah itu terasa dingin.Freya baru saja selesai membereskan sisa sarapan Arga. Di meja makan masih tercium samar aroma kopi hitam dan roti panggang — kebiasaan pagi yang ia jaga dengan hati-hati, meski sering diabaikan.Ia baru saja hendak menjemput paket pesanan dari kurir ketika suara klakson mobil terdengar di halaman.Nada klakson itu khas — dua kali, cepat dan pendek.Freya terdiam sejenak.Ia tahu suara itu.Beberapa detik kemudian, suara langkah sepatu berhak terdengar di lantai marmer. Dan di ambang pintu ruang tamu, berdirilah Ny. Ratna Malik, dengan busana elegan warna krem dan tas bermerek menggantung di lengannya.> “Selamat siang, Freya,” sapanya datar, dengan nada yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun. “Kau sendirian?”Freya menelan ludah, berusaha menjaga sopan santun.> “Iya, Bu. Arga sudah berangkat ke kantor.”Ny. Ratna melangkah masuk tanpa diminta. Tatapannya langsung jatuh pada beberapa tumpukan pakaian dan kardus
Restoran mewah di pusat kota malam itu berkilau dengan cahaya hangat. Meja panjang di tengah ruangan sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin aromatik, bunga segar, dan deretan hidangan berkelas. Di sisi kanan duduk keluarga Malik — Tuan Baskara, Ny. Ratna, dan Arga yang datang dengan jas gelapnya. Di sisi lain, keluarga Surya — keluarga Eveline — menyambut dengan senyum ramah. Suasana awalnya hangat, diwarnai pembicaraan ringan tentang bisnis dan kerja sama kedua perusahaan: Malik Group dan Surya Kapital Group, yang belakangan semakin erat. Eveline duduk anggun di sebelah ayahnya, mengenakan gaun pastel lembut yang membuatnya tampak bersinar. Tatapan matanya sering kali jatuh pada Arga — lembut, penuh rasa kagum. Sementara Arga, berusaha bersikap profesional, meski senyum sopannya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kelelahan batinnya. Di sisi lain meja, Ny. Ratna tampak bersinar malam itu — bukan karena kebahagiaan tulus, melainkan karena ambisi yang sejak lama ia simpan. > “Rasa
Waktu berjalan begitu cepat. Musim hujan datang dan pergi, namun jarak antara Arga dan Freya tak juga mencair. Kini, Malik Group telah resmi menjalin kerja sama besar dengan Surya Kapital Group, perusahaan milik keluarga Eveline. Dalam beberapa bulan terakhir, nama Eveline sering terdengar di ruang kerja Arga, di rapat, bahkan di berita bisnis nasional. Ia menjadi wajah baru yang membawa napas segar bagi banyak proyek Malik Group yang sempat goyah. Dan di balik semua keberhasilan itu, kedekatan Arga dan Eveline semakin tak terelakkan. Mereka sering bepergian bersama — rapat di luar kota, kunjungan ke proyek, dan menghadiri konferensi bisnis di hotel-hotel besar. Di awal, semua terasa profesional. Namun perlahan, batas antara urusan pekerjaan dan keakraban pribadi menjadi kabur. Sore itu, di lobi hotel bintang lima di Bandung, Arga dan Eveline berdiri berdampingan menunggu kendaraan yang akan menjemput mereka. Eveline mengenakan blazer krem dan rok pensil yang elegan, semen







