Home / Rumah Tangga / Perempuan Yang Kalian Remehkan / Retakan Di Atas Singgasana

Share

Retakan Di Atas Singgasana

Author: Queenara
last update Last Updated: 2025-09-26 15:29:13

Malam itu, rumah terasa lengang. Arga baru pulang larut, wajahnya lelah dan dingin, langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Freya hanya bisa menatap punggung suaminya dengan perasaan hampa. Kata-kata yang dulu menumbuhkan luka kini berubah menjadi penguat tekad. Kalau aku terus diam, aku akan selamanya diremehkan.

Begitu Arga terlelap, Freya mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menemukan nama yang sudah lama tak ia hubungi: Talita. Sahabat SMA-nya yang dulu selalu ceria, kini bekerja di sebuah pabrik garmen dan punya usaha kecil-kecilan berjualan online.

Freya ragu sejenak, tapi akhirnya ia menekan tombol panggil.

“Freya? Ya ampun, akhirnya kamu telepon juga!” suara Talita terdengar riang di ujung sana. “Aku sempat mikir kamu udah lupa sama aku, setelah nikah dengan pria mapan.”

Freya tersenyum kecut. “Mana mungkin aku lupa, Tal. Justru aku butuh kamu sekarang.”

“Lho? Ada apa? Suaramu serius sekali,” tanya Talita penasaran.

Freya menarik napas panjang. “Aku… ingin mulai berjualan online. Tapi aku nggak punya pengalaman sama sekali. Aku lihat kamu bisa jalani dua-duanya—kerja di pabrik dan jualan. Aku ingin belajar dari kamu. Bisa tolong aku, Tal?”

Hening sebentar, lalu terdengar tawa kecil dari Talita. “Aduh, Freya! Kenapa baru sekarang ngomong begitu? Tentu aku mau bantu! Aku malah senang banget kamu mau coba. Kamu tahu kan, sekarang banyak orang bisa sukses lewat jalur ini.”

Freya merasakan hatinya sedikit lebih ringan. “Tapi aku… benar-benar nggak tahu harus mulai dari mana. Modal juga terbatas. Aku takut salah langkah.”

Talita menimpali dengan suara penuh semangat, “Tenang aja! Aku bisa cariin supplier murah. Di pabrik tempatku kerja, ada beberapa kenalan yang bisa kasih barang dengan harga lebih rendah. Kamu bisa mulai kecil dulu, nggak perlu langsung besar. Fokus aja dulu di konsistensi.”

Mata Freya mulai berbinar, seakan ada cahaya baru yang menyelinap di hatinya. “Kamu yakin aku bisa?”

“Kenapa tidak?” jawab Talita mantap. “Kamu pintar, Freya. Jangan biarkan orang lain meremehkanmu. Lagipula, kalau gagal, kamu bisa coba lagi. Yang penting jangan takut melangkah.”

Kalimat itu bagaikan suntikan energi. Freya tersenyum untuk pertama kalinya hari itu, senyum yang lahir dari keyakinan kecil di hatinya.

“Terima kasih, Tal. Kamu selalu tahu cara bikin aku merasa berani.”

“Besok aku kirim daftar supplier, ya. Kita bisa atur ketemuan kalau kamu mau lihat barangnya langsung,” kata Talita bersemangat.

“Baik, aku tunggu.”

Setelah menutup telepon, Freya memeluk ponselnya erat-erat. Malam itu, ia merasa tidak sendirian lagi. Ia punya seseorang yang percaya padanya, saat semua orang meremehkan.

Dan untuk pertama kalinya, Freya yakin: perjalanan barunya baru saja dimulai.

Hari itu cuaca cerah, tapi wajah Arga justru muram. Ia baru saja menerima telepon dari manajer keuangan yang membuat darahnya mendidih. Tangannya bergetar, keningnya berlapis peluh meski pendingin ruangan di kantornya menyala penuh.

“Apa maksudmu dana operasional bulan ini hilang?!” suara Arga meninggi, membentur dinding kaca ruang kerjanya.

Di ujung telepon, suara sekretarisnya bergetar. “Pa… pak, kami menemukan indikasi penggelapan. Karyawan bagian keuangan, Reza, sudah tidak bisa dihubungi sejak pagi. Uang di rekening perusahaan ditarik dalam jumlah besar.”

Arga berdiri, kursi kerjanya terjungkal ke belakang. “Sialan!” tangannya mengepal begitu keras hingga buku jarinya memutih.

Perusahaan yang ia bangun dengan keringat dan kerja keras sejak masa kuliah kini terancam ambruk karena ulah satu orang. Puluhan, bahkan ratusan juta rupiah bisa lenyap begitu saja. Jika masalah ini tidak segera ditangani, kepercayaan klien bisa hancur, kontrak penting bisa lepas, dan reputasinya—yang selama ini ia banggakan—akan tercoreng.

Arga menendang meja kerjanya. Gelas kopi yang masih setengah penuh jatuh berderai di lantai, membasahi karpet mahal yang baru diganti seminggu lalu. “Bagaimana mungkin aku kecolongan?! Padahal semua sistem keuangan sudah aku awasi sendiri!”

Ia buru-buru menghubungi bagian legal, meminta laporan lengkap. Namun jawabannya justru membuat dadanya sesak. Reza sudah meninggalkan kota, bahkan diduga kabur ke luar negeri. Jejaknya nyaris mustahil dilacak dalam waktu singkat.

“Brengsek!” Arga meremas rambutnya frustasi. “Kalau uang itu tidak kembali, perusahaan bisa rugi besar. Semua proyek tertunda. Bagaimana aku bisa menghadapi investor minggu depan?”

Dalam kepanikan itu, ia baru menyadari: posisinya rapuh. Selama ini ia percaya diri merasa sebagai pria kuat, sukses, dan selalu di atas. Tapi kini, hanya satu orang karyawan saja mampu membuatnya terguncang sedemikian rupa.

Sore menjelang malam, Arga pulang dengan wajah kusut. Mobil mewahnya melaju kencang, tapi pikirannya penuh beban. Sesampainya di rumah, ia tidak menyapa Freya, tidak juga duduk di meja makan seperti biasa. Ia langsung masuk ke ruang kerjanya, mengunci diri berjam-jam.

Freya yang diam-diam sedang menyusun rencana kecil bersama Talita, bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Kali ini bukan karena emosi suaminya padanya, melainkan sesuatu yang lebih serius. Ada apa dengan Arga? batinnya bertanya.

Namun Arga terlalu angkuh untuk mengakui pada istrinya. Pria itu memilih memendam semua kepanikan, sambil mencari jalan keluar sendirian.

Yang tidak ia sadari, badai besar bukan hanya menimpa perusahaannya, tapi juga rumah tangganya.

***

Suasana rumah sore itu tegang. Pintu depan terbuka lebar, suara langkah tergesa memasuki ruang tamu. Arga yang baru saja keluar dari ruang kerjanya terkejut mendapati kedua orang tuanya, Tuan Baskara dan Ny. Ratna, sudah berdiri dengan wajah cemas.

“Apa benar berita itu, Ga?” suara Tuan Baskara berat, nyaris pecah. “Aku dapat kabar dari jaringan bisnis—ada masalah besar di perusahaanmu.”

Arga menunduk, menarik napas panjang. “Benar, Yah. Reza membawa kabur dana operasional. Nilainya tidak main-main. Aku sedang cari jalan keluar.”

Tuan Baskara mengusap wajahnya kasar. “Ya Tuhan…” Napasnya berat, bahunya merosot lemas. “Kamu tahu tidak, perusahaan keluarga kita juga sedang defisit. Beberapa bulan terakhir ini, aku harus menutup kerugian ratusan juta karena kontrak dari luar negeri batal. Kalau perusahaanmu ambruk juga, kita bisa hancur!”

Arga terdiam. Wajahnya pucat. Ia tidak pernah menyangka beban yang ia pikul kini bertumpuk dengan masalah besar yang dialami ayahnya.

Di sampingnya, Ny. Ratna mendengus pelan, matanya melirik tajam ke arah Freya yang sejak tadi diam di sofa. “Coba pikir, Ga,” suaranya penuh sindiran. “Andai saja kamu punya istri dari keluarga kaya, tentu kamu tidak perlu memikirkan semua ini sendirian. Ada sokongan, ada jaringan, ada modal yang bisa menolong. Tidak seperti sekarang—kamu terjebak sendirian karena memilih perempuan miskin.”

Kata-kata itu menusuk telinga. Ruangan yang sudah penuh ketegangan semakin sesak oleh sindiran tajam.

Freya menunduk dalam, jemarinya meremas rok rumahnya hingga kusut. Perempuan miskin. Kata-kata itu lagi. Selalu itu yang mereka ingat tentang dirinya. Seolah-olah seluruh harga dirinya hanya sebatas latar belakang keluarganya.

Dadanya perih. Ada gumpalan panas yang menyumbat tenggorokannya. Ia ingin membela diri, ingin berkata bahwa status keluarga tidak menentukan nilai seseorang. Tapi ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan dipatahkan.

“Bu!” Arga akhirnya membuka suara, meski nadanya tidak setegas yang Freya harapkan. “Jangan salahkan Freya. Ini bukan salah dia.”

Tapi, alih-alih membela penuh, kalimat Arga terdengar menggantung. Hanya sekadar formalitas, tidak sungguh-sungguh melindungi istrinya.

Ny. Ratna melipat tangan di dada, suaranya dingin. “Aku hanya bicara fakta, Arga. Fakta yang kamu sendiri lihat sekarang. Perempuan ini tidak bisa membantu apa-apa. Hanya jadi beban.”

Freya menahan napas, matanya mulai panas. Ia tersenyum hambar untuk menutupi retakan di hatinya. Beban. Hanya beban.

Malam itu, setelah kedua orang tua Arga pulang dengan wajah penuh kekecewaan, Freya duduk sendirian di kamar. Air mata jatuh tanpa bisa dibendung, membasahi bantal yang ia peluk erat.

Namun di balik tangis itu, ada sesuatu yang pelan-pelan mulai tumbuh. Sebuah tekad yang menyala dari luka. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Suatu hari, mereka akan melihat siapa sebenarnya Freya. Suatu hari, aku tidak akan lagi dipandang rendah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Langkah Pertama

    Matahari siang bersinar terik ketika Freya turun dari bus kota di depan sebuah kawasan industri sederhana di pinggiran kota. Udara bercampur debu dan aroma kain dari pabrik-pabrik garmen yang berjejer di kiri kanan jalan. Ia menatap sekeliling dengan napas panjang—ada rasa gugup, tapi juga semangat yang menyalakan nyali kecil di dadanya.Di tangannya tergenggam tas jinjing berisi buku catatan, ponsel, dan map plastik berisi beberapa lembar uang tunai. Uang itu bukan jumlah yang kecil, hasil dari simpanan yang ia kumpulkan bertahun-tahun—dan kini, semuanya ia pertaruhkan untuk satu kata: berani.“Freya!”Sebuah suara ceria memanggil dari arah gerbang pabrik. Seorang wanita berambut sebahu melambaikan tangan. Wajahnya cerah, dengan senyum lebar yang selalu menenangkan.Talita.Freya langsung tersenyum, perasaannya sedikit tenang.Mereka berpelukan sebentar, saling melepas rindu.“Aduh, Fre, akhirnya kita ketemu juga! Kamu kelihatan makin anggun aja. Pantes Arga betah,” canda Talita.Fre

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Langkah Kecil Menuju Harapan

    Malam itu, rumah terasa sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, memantulkan cahaya hangat di wajah Freya yang termenung di depan meja. Di depannya terbuka sebuah buku tabungan, beberapa lembar slip bank, dan sebuah amplop berwarna krem yang sudah agak kusam di tepinya.Amplop itu dulunya disimpan di dalam laci kecil meja rias, terselip di antara pernak-pernik masa lalu — surat cinta pendek dari Arga, potret pernikahan mereka, dan selembar kartu ucapan bertuliskan tulisan tangan suaminya:> “Untuk istriku yang paling sabar, semoga hadiah kecil ini bisa kamu pakai sesuka hati. Aku ingin kamu bahagia.”Freya mengusap tulisan itu pelan. Sudah lama Arga tak lagi menulis kata sehangat itu padanya.Dulu, di awal pernikahan, Arga sering memberinya hadiah tanpa alasan. Uang untuk membeli apa pun yang ia mau, katanya. Tapi Freya jarang menggunakannya. Ia lebih memilih menyimpannya—entah kenapa, ada naluri yang membuatnya berpikir bahwa suatu hari nanti uang itu akan berguna.Dan malam ini, ketik

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Pagi Yang Tak Lagi Hangat

    Pagi itu terasa begitu tenang. Udara masih lembap, langit belum sepenuhnya terang, dan suara azan Subuh menggema dari kejauhan, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid. Freya membuka matanya perlahan. Cahaya lampu tidur yang temaram memantul di wajahnya yang tampak masih letih karena malam sebelumnya ia menangis diam-diam. Meski bukan seorang muslim, suara azan selalu memberinya rasa damai. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan setiap kali lantunan itu terdengar, seolah menjadi panggilan lembut untuk memulai hari dengan hati yang bersih. Ia menoleh pelan ke arah suaminya. Arga masih terlelap, napasnya berat, wajahnya tampak lesu bahkan dalam tidur. Freya memperhatikan garis wajah itu lama sekali—wajah yang dulu selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang dingin, ada dinding yang tak kasatmata di antara mereka. Kemarin malam, kata-kata Arga masih terngiang jelas di telinganya—tajam, menyakitkan, dan tak termaafkan. Tapi Freya mem

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Kata-Kata Yang Menyayat

    Pintu kamar berderit pelan. Arga masuk dengan langkah gontai, dasi sudah terlepas, wajahnya kusut penuh beban. Matanya merah, entah karena lelah atau terlalu banyak menahan emosi seharian.Freya yang masih duduk di tepi ranjang tersentak. Cepat-cepat ia menyeka pipinya dengan punggung tangan, menyembunyikan sisa air mata. Ia tidak ingin Arga tahu betapa hancurnya hatinya setelah ucapan ibu mertuanya tadi.“Ga…” panggilnya pelan, penuh hati-hati.Arga tidak menjawab. Ia hanya menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sudut kamar, menghela napas panjang seakan dunia menindih bahunya.Freya menatapnya penuh iba. Ada dorongan kuat dalam hatinya untuk mendekat, untuk setidaknya membuat suaminya merasa lebih ringan. Ia tahu, Arga sedang dalam tekanan besar.Dengan langkah ragu, Freya bangkit lalu duduk di samping suaminya. Tangannya terulur, menyentuh lembut lengan Arga. “Kamu pasti capek banget. Aku tahu ini berat buatmu. Tapi kamu nggak sendirian, Ga. Aku di sini…” suaranya lirih, tulus, berusaha m

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Retakan Di Atas Singgasana

    Malam itu, rumah terasa lengang. Arga baru pulang larut, wajahnya lelah dan dingin, langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Freya hanya bisa menatap punggung suaminya dengan perasaan hampa. Kata-kata yang dulu menumbuhkan luka kini berubah menjadi penguat tekad. Kalau aku terus diam, aku akan selamanya diremehkan. Begitu Arga terlelap, Freya mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menemukan nama yang sudah lama tak ia hubungi: Talita. Sahabat SMA-nya yang dulu selalu ceria, kini bekerja di sebuah pabrik garmen dan punya usaha kecil-kecilan berjualan online. Freya ragu sejenak, tapi akhirnya ia menekan tombol panggil. “Freya? Ya ampun, akhirnya kamu telepon juga!” suara Talita terdengar riang di ujung sana. “Aku sempat mikir kamu udah lupa sama aku, setelah nikah dengan pria mapan.” Freya tersenyum kecut. “Mana mungkin aku lupa, Tal. Justru aku butuh kamu sekarang.” “Lho? Ada apa? Suaramu serius sekali,” tanya Talita penasaran. Freya menarik napas panjang. “Aku… ingin

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Arisan Para Nyonya

    Akhir pekan itu, restoran mewah di pusat kota dipenuhi suara gelak tawa dan obrolan riuh. Ruang VIP yang biasanya digunakan untuk jamuan bisnis, kali ini dikuasai oleh sekumpulan wanita anggun bergaun elegan—para sosialita yang terbiasa hidup dalam kemewahan. Di salah satu sudut meja panjang itu, Ny. Ratna, ibu Arga, duduk dengan postur tegap dan senyum penuh percaya diri. Hari ini adalah jadwal arisan bulanan yang selalu ia nantikan. Selain sebagai ajang berkumpul, arisan ini juga menjadi arena terselubung untuk pamer status, kekayaan, dan tentu saja, menantu. “Ah, Mariam, kamu bawa menantumu ya?” tanya salah satu nyonya dengan suara manis yang penuh kepura-puraan. Seorang wanita paruh baya tersenyum lebar sambil merangkul bahu seorang perempuan muda cantik yang duduk di sebelahnya. “Iya dong! Kenalin, ini Livia, istri anak sulungku. Dia dokter spesialis kandungan. Baru buka klinik sendiri bulan lalu.” “Ohhh…” serempak para nyonya bersuara kagum. “Luar biasa!” sahut nyonya lain.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status