MasukMalam itu, rumah terasa lengang. Arga baru pulang larut, wajahnya lelah dan dingin, langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Freya hanya bisa menatap punggung suaminya dengan perasaan hampa. Kata-kata yang dulu menumbuhkan luka kini berubah menjadi penguat tekad. Kalau aku terus diam, aku akan selamanya diremehkan.
Begitu Arga terlelap, Freya mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menemukan nama yang sudah lama tak ia hubungi: Talita. Sahabat SMA-nya yang dulu selalu ceria, kini bekerja di sebuah pabrik garmen dan punya usaha kecil-kecilan berjualan online. Freya ragu sejenak, tapi akhirnya ia menekan tombol panggil. “Freya? Ya ampun, akhirnya kamu telepon juga!” suara Talita terdengar riang di ujung sana. “Aku sempat mikir kamu udah lupa sama aku, setelah nikah dengan pria mapan.” Freya tersenyum kecut. “Mana mungkin aku lupa, Tal. Justru aku butuh kamu sekarang.” “Lho? Ada apa? Suaramu serius sekali,” tanya Talita penasaran. Freya menarik napas panjang. “Aku… ingin mulai berjualan online. Tapi aku nggak punya pengalaman sama sekali. Aku lihat kamu bisa jalani dua-duanya—kerja di pabrik dan jualan. Aku ingin belajar dari kamu. Bisa tolong aku, Tal?” Hening sebentar, lalu terdengar tawa kecil dari Talita. “Aduh, Freya! Kenapa baru sekarang ngomong begitu? Tentu aku mau bantu! Aku malah senang banget kamu mau coba. Kamu tahu kan, sekarang banyak orang bisa sukses lewat jalur ini.” Freya merasakan hatinya sedikit lebih ringan. “Tapi aku… benar-benar nggak tahu harus mulai dari mana. Modal juga terbatas. Aku takut salah langkah.” Talita menimpali dengan suara penuh semangat, “Tenang aja! Aku bisa cariin supplier murah. Di pabrik tempatku kerja, ada beberapa kenalan yang bisa kasih barang dengan harga lebih rendah. Kamu bisa mulai kecil dulu, nggak perlu langsung besar. Fokus aja dulu di konsistensi.” Mata Freya mulai berbinar, seakan ada cahaya baru yang menyelinap di hatinya. “Kamu yakin aku bisa?” “Kenapa tidak?” jawab Talita mantap. “Kamu pintar, Freya. Jangan biarkan orang lain meremehkanmu. Lagipula, kalau gagal, kamu bisa coba lagi. Yang penting jangan takut melangkah.” Kalimat itu bagaikan suntikan energi. Freya tersenyum untuk pertama kalinya hari itu, senyum yang lahir dari keyakinan kecil di hatinya. “Terima kasih, Tal. Kamu selalu tahu cara bikin aku merasa berani.” “Besok aku kirim daftar supplier, ya. Kita bisa atur ketemuan kalau kamu mau lihat barangnya langsung,” kata Talita bersemangat. “Baik, aku tunggu.” Setelah menutup telepon, Freya memeluk ponselnya erat-erat. Malam itu, ia merasa tidak sendirian lagi. Ia punya seseorang yang percaya padanya, saat semua orang meremehkan. Dan untuk pertama kalinya, Freya yakin: perjalanan barunya baru saja dimulai. Hari itu cuaca cerah, tapi wajah Arga justru muram. Ia baru saja menerima telepon dari manajer keuangan yang membuat darahnya mendidih. Tangannya bergetar, keningnya berlapis peluh meski pendingin ruangan di kantornya menyala penuh. “Apa maksudmu dana operasional bulan ini hilang?!” suara Arga meninggi, membentur dinding kaca ruang kerjanya. Di ujung telepon, suara sekretarisnya bergetar. “Pa… pak, kami menemukan indikasi penggelapan. Karyawan bagian keuangan, Reza, sudah tidak bisa dihubungi sejak pagi. Uang di rekening perusahaan ditarik dalam jumlah besar.” Arga berdiri, kursi kerjanya terjungkal ke belakang. “Sialan!” tangannya mengepal begitu keras hingga buku jarinya memutih. Perusahaan yang ia bangun dengan keringat dan kerja keras sejak masa kuliah kini terancam ambruk karena ulah satu orang. Puluhan, bahkan ratusan juta rupiah bisa lenyap begitu saja. Jika masalah ini tidak segera ditangani, kepercayaan klien bisa hancur, kontrak penting bisa lepas, dan reputasinya—yang selama ini ia banggakan—akan tercoreng. Arga menendang meja kerjanya. Gelas kopi yang masih setengah penuh jatuh berderai di lantai, membasahi karpet mahal yang baru diganti seminggu lalu. “Bagaimana mungkin aku kecolongan?! Padahal semua sistem keuangan sudah aku awasi sendiri!” Ia buru-buru menghubungi bagian legal, meminta laporan lengkap. Namun jawabannya justru membuat dadanya sesak. Reza sudah meninggalkan kota, bahkan diduga kabur ke luar negeri. Jejaknya nyaris mustahil dilacak dalam waktu singkat. “Brengsek!” Arga meremas rambutnya frustasi. “Kalau uang itu tidak kembali, perusahaan bisa rugi besar. Semua proyek tertunda. Bagaimana aku bisa menghadapi investor minggu depan?” Dalam kepanikan itu, ia baru menyadari: posisinya rapuh. Selama ini ia percaya diri merasa sebagai pria kuat, sukses, dan selalu di atas. Tapi kini, hanya satu orang karyawan saja mampu membuatnya terguncang sedemikian rupa. Sore menjelang malam, Arga pulang dengan wajah kusut. Mobil mewahnya melaju kencang, tapi pikirannya penuh beban. Sesampainya di rumah, ia tidak menyapa Freya, tidak juga duduk di meja makan seperti biasa. Ia langsung masuk ke ruang kerjanya, mengunci diri berjam-jam. Freya yang diam-diam sedang menyusun rencana kecil bersama Talita, bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Kali ini bukan karena emosi suaminya padanya, melainkan sesuatu yang lebih serius. Ada apa dengan Arga? batinnya bertanya. Namun Arga terlalu angkuh untuk mengakui pada istrinya. Pria itu memilih memendam semua kepanikan, sambil mencari jalan keluar sendirian. Yang tidak ia sadari, badai besar bukan hanya menimpa perusahaannya, tapi juga rumah tangganya. *** Suasana rumah sore itu tegang. Pintu depan terbuka lebar, suara langkah tergesa memasuki ruang tamu. Arga yang baru saja keluar dari ruang kerjanya terkejut mendapati kedua orang tuanya, Tuan Baskara dan Ny. Ratna, sudah berdiri dengan wajah cemas. “Apa benar berita itu, Ga?” suara Tuan Baskara berat, nyaris pecah. “Aku dapat kabar dari jaringan bisnis—ada masalah besar di perusahaanmu.” Arga menunduk, menarik napas panjang. “Benar, Yah. Reza membawa kabur dana operasional. Nilainya tidak main-main. Aku sedang cari jalan keluar.” Tuan Baskara mengusap wajahnya kasar. “Ya Tuhan…” Napasnya berat, bahunya merosot lemas. “Kamu tahu tidak, perusahaan keluarga kita juga sedang defisit. Beberapa bulan terakhir ini, aku harus menutup kerugian ratusan juta karena kontrak dari luar negeri batal. Kalau perusahaanmu ambruk juga, kita bisa hancur!” Arga terdiam. Wajahnya pucat. Ia tidak pernah menyangka beban yang ia pikul kini bertumpuk dengan masalah besar yang dialami ayahnya. Di sampingnya, Ny. Ratna mendengus pelan, matanya melirik tajam ke arah Freya yang sejak tadi diam di sofa. “Coba pikir, Ga,” suaranya penuh sindiran. “Andai saja kamu punya istri dari keluarga kaya, tentu kamu tidak perlu memikirkan semua ini sendirian. Ada sokongan, ada jaringan, ada modal yang bisa menolong. Tidak seperti sekarang—kamu terjebak sendirian karena memilih perempuan miskin.” Kata-kata itu menusuk telinga. Ruangan yang sudah penuh ketegangan semakin sesak oleh sindiran tajam. Freya menunduk dalam, jemarinya meremas rok rumahnya hingga kusut. Perempuan miskin. Kata-kata itu lagi. Selalu itu yang mereka ingat tentang dirinya. Seolah-olah seluruh harga dirinya hanya sebatas latar belakang keluarganya. Dadanya perih. Ada gumpalan panas yang menyumbat tenggorokannya. Ia ingin membela diri, ingin berkata bahwa status keluarga tidak menentukan nilai seseorang. Tapi ia tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan dipatahkan. “Bu!” Arga akhirnya membuka suara, meski nadanya tidak setegas yang Freya harapkan. “Jangan salahkan Freya. Ini bukan salah dia.” Tapi, alih-alih membela penuh, kalimat Arga terdengar menggantung. Hanya sekadar formalitas, tidak sungguh-sungguh melindungi istrinya. Ny. Ratna melipat tangan di dada, suaranya dingin. “Aku hanya bicara fakta, Arga. Fakta yang kamu sendiri lihat sekarang. Perempuan ini tidak bisa membantu apa-apa. Hanya jadi beban.” Freya menahan napas, matanya mulai panas. Ia tersenyum hambar untuk menutupi retakan di hatinya. Beban. Hanya beban. Malam itu, setelah kedua orang tua Arga pulang dengan wajah penuh kekecewaan, Freya duduk sendirian di kamar. Air mata jatuh tanpa bisa dibendung, membasahi bantal yang ia peluk erat. Namun di balik tangis itu, ada sesuatu yang pelan-pelan mulai tumbuh. Sebuah tekad yang menyala dari luka. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Suatu hari, mereka akan melihat siapa sebenarnya Freya. Suatu hari, aku tidak akan lagi dipandang rendah.Malam Itu Hujan turun tipis. Udara terasa lembab. Lampu-lampu jalan terlihat redup di balik kaca. Freya membungkuk, satu tangan memegang ujung meja, satu tangan menekan perutnya yang seperti diremas dari dalam. > “Ah—” Sebuah erangan kecil lolos. Tidak keras, tapi jelas penuh rasa sakit. Talita yang sedang melipat pakaian-pakaian pesanan berhenti seketika. > “Freya? Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.” Freya mencoba tersenyum, senyum yang terlalu dipaksa. > “Cuma… sakit perut biasa. Mungkin masuk angin.” Namun tepat setelah itu rasa nyeri datang lebih kuat, membuat lututnya hampir goyah. Talita memegang bahunya, suaranya panik: > “Ini bukan masuk angin! Kamu bahkan nggak bisa berdiri tegak! Kita ke rumah sakit sekarang!” Freya menggeleng pelan, menahan sakit sambil menarik napas pendek-pendek. > “Tunggu… Telepon Arga dulu. Dia harus tahu…” Talita mengambil ponsel Freya dan menekan panggilan. Nada berdering. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Talita mencoba
Kabar itu tidak langsung meledak besar. Namun seperti bara kecil yang tertiup angin, gosip itu merayap pelan, menembus sela-sela percakapan kantor, komunitas sosialita, hingga media online yang haus sensasi. Awalnya hanya sebuah foto: Arga dan Eveline terlihat keluar dari sebuah hotel konferensi di Bandung. Foto itu sebetulnya bersih—mereka menjaga jarak yang sopan. Namun ekspresi mereka terlalu nyaman untuk sekadar rekan kerja. Lalu muncul foto lain. Arga tertawa lepas saat Eveline menyentuh lengannya. Foto itu diambil candid, tanpa kesadaran mereka. Sebuah momen yang seharusnya hanya milik udara dan waktu, kini menjadi konsumsi publik. > “CEO muda Arga Pratama terlihat semakin dekat dengan putri tunggal pengusaha tekstil, Eveline Prawira. Apakah ini pertanda adanya hubungan spesial?” - GossipStar ID > “Istri? Tidak terlihat dalam lingkaran sosial Arga belakangan ini.” - HypeDaily Media Tagar mulai bermunculan. #ArgaEveline #PasanganSempurna #FuturePowerCouple T
Malam turun perlahan di langit Jakarta.Hujan rintik-rintik mengguyur kaca jendela, menimbulkan bunyi ritmis yang biasanya menenangkan, namun malam ini justru terasa seperti jarum yang menekan dada Freya.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika suara pintu utama terbuka.Freya menatap dari ruang tamu — wajahnya datar, bukan lagi senyum lembut seperti biasanya. Ia menunggu suara langkah yang sudah begitu ia kenal itu.Arga masuk dengan jas masih melekat di bahu, dasi longgar, dan wajah lelah yang tak berusaha disembunyikan. Hujan membuat rambutnya sedikit basah.Ia bahkan tidak menatap ke arah Freya. Langsung menuju dapur, membuka kulkas, mengambil air mineral, lalu meneguknya dalam sekali minum.Suasana di antara mereka hening.Begitu hening hingga suara detak jam dinding terdengar seperti palu kecil yang memukul waktu.Freya akhirnya berdiri. Di tangannya masih ada amplop berisi foto-foto yang tadi diberikan oleh Ny. Ratna. Ia berjalan perlahan, langkahnya tenang, tapi mata
Langit siang tampak cerah, tapi suasana di rumah itu terasa dingin.Freya baru saja selesai membereskan sisa sarapan Arga. Di meja makan masih tercium samar aroma kopi hitam dan roti panggang — kebiasaan pagi yang ia jaga dengan hati-hati, meski sering diabaikan.Ia baru saja hendak menjemput paket pesanan dari kurir ketika suara klakson mobil terdengar di halaman.Nada klakson itu khas — dua kali, cepat dan pendek.Freya terdiam sejenak.Ia tahu suara itu.Beberapa detik kemudian, suara langkah sepatu berhak terdengar di lantai marmer. Dan di ambang pintu ruang tamu, berdirilah Ny. Ratna Malik, dengan busana elegan warna krem dan tas bermerek menggantung di lengannya.> “Selamat siang, Freya,” sapanya datar, dengan nada yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun. “Kau sendirian?”Freya menelan ludah, berusaha menjaga sopan santun.> “Iya, Bu. Arga sudah berangkat ke kantor.”Ny. Ratna melangkah masuk tanpa diminta. Tatapannya langsung jatuh pada beberapa tumpukan pakaian dan kardus
Restoran mewah di pusat kota malam itu berkilau dengan cahaya hangat. Meja panjang di tengah ruangan sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin aromatik, bunga segar, dan deretan hidangan berkelas. Di sisi kanan duduk keluarga Malik — Tuan Baskara, Ny. Ratna, dan Arga yang datang dengan jas gelapnya. Di sisi lain, keluarga Surya — keluarga Eveline — menyambut dengan senyum ramah. Suasana awalnya hangat, diwarnai pembicaraan ringan tentang bisnis dan kerja sama kedua perusahaan: Malik Group dan Surya Kapital Group, yang belakangan semakin erat. Eveline duduk anggun di sebelah ayahnya, mengenakan gaun pastel lembut yang membuatnya tampak bersinar. Tatapan matanya sering kali jatuh pada Arga — lembut, penuh rasa kagum. Sementara Arga, berusaha bersikap profesional, meski senyum sopannya tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kelelahan batinnya. Di sisi lain meja, Ny. Ratna tampak bersinar malam itu — bukan karena kebahagiaan tulus, melainkan karena ambisi yang sejak lama ia simpan. > “Rasa
Waktu berjalan begitu cepat. Musim hujan datang dan pergi, namun jarak antara Arga dan Freya tak juga mencair. Kini, Malik Group telah resmi menjalin kerja sama besar dengan Surya Kapital Group, perusahaan milik keluarga Eveline. Dalam beberapa bulan terakhir, nama Eveline sering terdengar di ruang kerja Arga, di rapat, bahkan di berita bisnis nasional. Ia menjadi wajah baru yang membawa napas segar bagi banyak proyek Malik Group yang sempat goyah. Dan di balik semua keberhasilan itu, kedekatan Arga dan Eveline semakin tak terelakkan. Mereka sering bepergian bersama — rapat di luar kota, kunjungan ke proyek, dan menghadiri konferensi bisnis di hotel-hotel besar. Di awal, semua terasa profesional. Namun perlahan, batas antara urusan pekerjaan dan keakraban pribadi menjadi kabur. Sore itu, di lobi hotel bintang lima di Bandung, Arga dan Eveline berdiri berdampingan menunggu kendaraan yang akan menjemput mereka. Eveline mengenakan blazer krem dan rok pensil yang elegan, semen







