Tak pernah Winda sangka sebelumnya, wanita yang merebut sang suami adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang menjadi racun dalam rumah tangganya. Ternyata selama ini dia yang telah tertipu. Tak ingin terluka lebih dalam, ia memilih untuk melepaskan, serta bangkit dari keterpurukan. Dan pertemuannya dengan Anjar, seseorang dari masa lalunya menjadi kekuatan baru dalam hidupnya. Bagaimana kisah selanjutnya?
View More"Dek, mas di PHK," ucapnya lesu. Dia duduk di sofa sembari melepaskan sepatunya. Wajahnya tertunduk dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya. Sesekali terdengar deru nafasnya yang begitu berat dan penat. Kulihat ia merentangkan tangannya di punggung sofa, lalu kembali mengembuskan nafas panjang.
"Dek, kenapa kamu diam saja?" tanyanya menolehku.
Aku masih bungkam. Entah apa yang harus kukatakan, akupun tidak tahu.
"Sebenarnya bukan di PHK, tapi PT bangkrut jadi semua karyawan dirumahkan tanpa pesangon apapun," jelasnya lagi tanpa kuminta. Ia kembali menggerakkan tubuh, memijat pelipisnya perlahan. Terlihat jelas kalau dia benar-benar pusing dengan masalah ini.
Aku menatapnya datar. 'Yess, rasain kamu mas!' batinku bersorak. Bukannya aku sedih tapi aku malah senang suamiku di-PHK, jadi tak ada yang dia sombongkan lagi. Malas aku berdebat dengannya. Dia tak pernah memberiku nafkah bila tidak kuminta. Dia sangat pelit dan juga perhitungan padahal untuk makan kami sekeluarga. Ya, seperti itulah perangai suamiku.
“Dek, aku ngomong sama kamu lho. Kok malah diam aja kayak patung?" tanyanya lagi dengan nada risau. Dia menatap ke arahku dengan tatapan tajam.
"Ya mau gimana lagi mas, ini kan udah takdir," jawabku sekenanya, aku masih berusaha memasang wajah datar tanpa ekspresi.
Dia kembali mengambil nafas panjang untuk menghilangkan penatnya. "Dek, kamu masih punya simpanan kan?" tanyanya tanpa rasa bersalah.
Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Bahkan kamu menjatahku tak lebih dari 20ribu sehari, itupun jika aku minta. Lalu selama ini aku bersusah payah cari uang sendiri untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan uang jajan anak kita. Masa dengan gampangnya kamu bertanya seperti itu? Ck!
"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, kamu tiap hari ngasih aku uang gak?" tanyaku agak emosi.
Dia terdiam. "Ya yang 20ribu itu?" jawabnya salah tingkah.
"Astaghfirullah hal adzim... Uang 20 ribu cukup apa sekarang mas? Itupun kamu ngasih 3 hari yang lalu. Memangnya kita gak butuh makan? Anakmu jajan itu dari mana coba? Selama ini aku dah coba bantu dengan jualan online buat memenuhi kebutuhan kita."
"Iya, iya! Mentang-mentang jualan online aja sombong!" sahutnya ketus. Ia membuang muka.
Astaghfirullah... Ya, selalu begitu berakhir dengan perdebatan. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kau belum tahu saja omset penjualanku tiap bulan itu melebihi gajimu, mas. Aku menabungnya tanpa sepengetahuanmu, suamiku yang pelit. Itu saja banyak terpakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan gajimu yang 5 juta itu, entah tak tahu rimbanya. Aku tak pernah diizinkan untuk mengelola uang gajimu itu. Kau hanya memberiku 20ribu itupun jika kuminta. Saking capeknya tiap hari meminta, jadi kubiarkan saja. Kupikir kau akan peka tapi lagi-lagi hanya harapan semu belaka. Kau tak pernah tahu bagaimana inginku sebagai seorang istri.
Sebenarnya aku sudah muak bersamamu. Aku lelah denganmu. Aku ingin bercerai. Namun berkali-kali aku memikirkannya lagi. Jika berpisah denganmu, aku akan berstatus janda. Status janda itu yang membuatku berpikir ribuan kali. Aku takut mereka akan selalu mengolok-olokku. Aku juga tak ingin penilaian negatif melekat padaku. Meskipun rasa ini sudah mulai hambar terhadapmu. Karena berulangkali kau membuatku kecewa.
Dia kembali mengusap wajahnya dengan gusar. Aku tersenyum kecil sambil berlalu ke belakang untuk membuatkan teh manis untuknya.
Saat kukembali, aku mendengar dia bercakap-cakap di dalam telepon.
"Sayang, tolong mengertilah, saat ini mas gak bisa ngasih kamu uang dulu. Mas habis kena PHK. Mas janji akan cari kerjaan lagi secepatnya agar bisa menjatahmu lagi," ucapnya ditelepon yang membuat hatiku runtuh. Seketika ada rasa sakit menyelinap di dalam dada. Nyeri, sangat nyeri.
"Iya, iya tenang saja. Aku pasti bertanggung jawab. Sampai ketemu nanti, I love you, sayang..."
Deg deg deg, jantungku berdegup kencang. Jadi selain pelit, dia juga berselingkuh? Apakah ini alasannya dia tak memberikan nafkah padaku? Dan selama ini uang gajinya dia berikan untuk selingkuhannya itu? Rasanya begitu perih, mendengar kenyataan ini, terlalu pahit bagiku. Bagaikan luka yang ditaburi garam.
Kuurungkan niatku untuk memberikannya teh manis. Aku berlalu ke belakang dan meletakkan teh itu di meja. Biarkan saja, biar dia puas telepon-teleponan dengan wanita jalangnya itu. Aku membasuh wajahku untuk mengusir kegelisahan, setelah itu aku berlalu ke kamar anakku. Anakku sudah terlelap tidur disana. Aku berbaring disampingnya, dan entah kenapa air mata ini tak bisa kubendung lagi. Biarpun perasaanku hambar terhadapnya, tapi aku masih merasakan sakit. Sakit yang menghujam sampai ulu hati, karena telah dikhianati oleh suami sendiri.
"Dek ... dek ..." panggilnya dari luar kamar. Aku memang sengaja mengunci pintu kamar anakku, agar dia tak bisa masuk. Tak sanggup berhadapan dengannya dengan sebuah kenyataan, ada wanita lain dalam hatinya.
"Dek ... dek ... Mas tahu kamu belum tidur," panggilnya lagi sembari mengetuk pintu.
Aku bangkit dengan malas. Sengaja kupasang wajah kusut dan rambut awut-awutan. Sebelumnya sudah kusapu air mataku. Entahlah sebenarnya aku menangisi apa? Nasibku? Ah, menyedihkan bukan?
Kubuka pintu. Suamiku masih berdiri disana. Dia tersenyum. Tunggu-tunggu, tumben-tumbenan dia tersenyum padaku, pasti ada maunya nih.
"Dek, layani mas yuk. Mas stress banget nih," pintanya sambil meraih tanganku.
Dih, jadi orang gak tahu diri banget nih laki! Dibiarin malah ngelunjak. Tadi habis telponan sama selingkuhan, kini malah memintaku melayaninya? Ckckck, dikira aku gak dengar percakapanmu, mas.
"Maaf mas, aku lagi datang bulan," jawabku tanpa berbohong. Hari ini memang sedang datang bulan, apa dia tak pernah mengingat jadwal tamu bulananku. Ah, walapun aku tak datang bulan, aku tidak akan siap untuk melakukannya. Apalagi membayangkan dia pernah bersama wanita lain.
Wajahnya tampak kecewa ketika mendengar jawabanku.
"Makanya aku tidur sama Sofia, biar kamu gak terganggu," jawabku asal. Sofia adalah putriku, dia baru berumur 4 tahun.
Dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata apapun. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan dengan lelaki macam itu? Haruskah aku berpisah darinya? Tapi aku ingin lihat sejauh mana tanggung jawabnya terhadap keluarga, apalagi setelah dia kehilangan pekerjaan. Akankah dia sadar?
"Cih! Memangnya secantik apa, wajah pas-pasan aja berani-beraninya menolak ajakanku! Dasar istri tak tahu diri! Aaarrggghh..." umpatnya di dalam kamar.
"Mentang-mentang sekarang aku nganggur, jadi dia berani menolakku ya! Awas saja kau!" Berkali-kali dia menggerutu kesal. Aku yang ingin masuk ke dalam kamar langsung mengurungkan niatku dan kembali lagi ke kamar Sofia.
Kenapa kau tetap saja begitu, Mas? Apa aku selalu salah dimatamu? Kau anggap apa pernikahan kita? Apakah hanya pajangan dan status belaka?
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments