Share

3. Ditagih hutang

"Dari mana saja mas, jam segini baru pulang?" tanyaku saat membukakan pintu untuknya. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dia berangkat dari tadi siang, kemana saja dia? Tak berpikirkah kalau istrinya khawatir?

"Bukan urusanmu," jawabnya ketus.

"Oh kalau bukan urusanku, harusnya gak usah pulang sekalian!” sahutku lagi. Aku benar-benar kesal dengan sikap Mas Rendy yang seenaknya sendiri.

"Lho kok gitu? Menyesal aku pulang!"

"Kamu pergi sampai gak inget anak istri nungguin di rumah, yang khawatir nungguin kamu!”

"Di rumah juga mau ngapain? liat mukamu yang jelek itu?"

Deg! Ya Allah, segitu tak berharganya kah aku di matanya? Baiklah, aku takkan terpuruk lagi. Berpisah? Belum saatnya. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menyia-nyiakan aku. Lihat saja nanti. Akan kuatur waktu yang tepat untuk menggugat cerai. Kau pikir aku hanya istri penurut yang akan selalu ditindas. Tidak lagi seperti itu, Mas. Kekuatan wanita muncul karena dia sudah sering disakiti.

Mas Rendy langsung berlalu ke kamar tanpa peduli reaksiku. Sakit? Ya, pasti. Ada ya lelaki di dunia ini yang begitu tega dengan istrinya sendiri.

Malam ini, aku tidur kembali bersama Sofia. Kulihat wajahku di depan cermin. Benarkah aku sejelek itu? Aku berselancar di marketplace berwarna oranye. Kupilih-pilih skincare untuk perawatan wajahku, bedak dan juga lipbalm, kumasukkan keranjang dan checkout. Tentu saja aku membelinya dengan uangku sendiri, hasil dari jualanku selama ini. Kenapa tidak langsung ke store terdekat? Itu karena aku tak ingin mas Rendy tahu kalau aku punya uang. Kalau dalam bentuk paket, aku bisa beralasan kalau itu pesanan pelanggan.

Aku sadar diri, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah sampai lupa untuk merawat diriku sendiri. Wajahku terlihat kusam, bajuku juga itu-itu saja yang kupakai. Mungkin karena itu mas Rendy berpaling dariku. Baiklah, pelan-pelan aku akan menjadi cantik lagi.

Aku jadi ingat waktu gadis dulu, beberapa lelaki datang untuk meminangku, tapi sayangnya pilihanku jatuh kepada mas Rendy. Aku tersenyum kecut bila mengingatnya, harusnya aku tak perlu menyesalinya, sudah jalanku seperti ini. Aku tinggal memperbaiki saja, semua ini belum terlambat bukan?

***

Jam 03.00 dini hari

Aku terbangun dan ambil wudhu, kutunaikan sholat tahajud dan bersimpuh. Mohon ampunan Gusti Allah, sembari meminta agar sikap suami berubah menjadi lebih baik dan lembut, jadi imam yang baik buat keluarga.

Setelah itu aku berlalu ke gudang, memproses pesanan yang sudah masuk, dan stok opname. Aku memackingnya dengan hati-hati. Ya, seperti biasanya jam segini aku bergelut dengan barang-barang pesanan customer hingga waktu subuh, selain itu siang hari jikalau pekerjaan rumah sudah selesai.

Pagi harinya, kuputuskan pergi ke warung Bu Sri. Membeli kebutuhan pokok bulanan, seperti sabun, detergen, minyak goreng dan lain sebagainya. Aku memang sengaja belanja pagi-pagi agar mas Rendy tidak melihatku.

"Neng, maaf nih ya..." ucap Bu Sri saat aku sedang memilih barang belanjaan.

"Ya, ada apa Bu?

"Kemarin suamimu kesini ... Dia ambil rokok. Katanya suruh minta ke neng untuk bayarin hutangnya, kemarin lupa bawa uang,” ujar ibu pemilik warung. 

Ih dasar laki-laki itu, bikin malu saja. Enak banget hutang dan aku yang disuruh bayar.

"Oh iya, Bu. Sekalian dihitung saja sama belanjaan ini. Memangnya berapa Bu?

"Gak banyak sih neng, cuma 35ribu. Maaf ya neng, ibu jadi gak enak nih ..."

"Iya Bu, saya juga gak tahu kalau ibu gak ngomong. Suamiku gak bilang apa-apa," jawabku. "Oh iya Bu, kalau dia kesini terus mau hutang lagi, bilangin aja gak boleh Bu," tambahku lagi.

"Lho memangnya kenapa neng?"

"Gak apa-apa sih Bu. Tapi saya gak bisa kalau harus bayarin hutangnya lagi. Nanti malah Bu Sri yang rugi karena gak dibayar-bayar."

"Oh ya sudah kalau gitu. Gak terima utangan gitu ya hahaha" sahut Bu Sri sambil tertawa. Aku tersenyum simpul. Aku tak mungkin menceritakan sejujurnya nanti malah jadi seleb desa dan bahan gosip di kampung ini. Maklumlah ada berita nyeleneh sedikit saja langsung tersebar dengan luas. Para ibu benar-benar seperti wartawan yang sigap mendapatkan berita.

"Totalnya berapa Bu?"

"95 ribu, Neng.”

"Ini, Bu" ucapku sembari menyerahkan satu lembar seratus ribuan.

"Tapi Bu, kalau suamiku nanya, bilang aja ini juga dapat hutang," sahutku lagi.

Bu Sri mengerutkan keningnya tanda tak mengerti. 

"Biar dia gak ngutang lagi, Bu" selorohku sambil tertawa kecil. Bu Sri ikut tertawa.

"Iya iya, neng" sahut Bu Sri.

"Ya sudah saya pamit, terima kasih, Bu."

"Iya sama-sama.”

Sampai di rumah aku melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Belanjaan tadi aku sembunyikan di lemari kamar Sofia. 

Jam 07.30, mas Rendy baru bangun dari tidurnya. Dia menuju ke meja makan.

"Dek, bikinin mas teh manis," pintanya tanpa rasa bersalah. Dia masih memainkan handphonenya.

Aku menurut saja, membuatkan dia teh, tapi tanpa gula.

"Kok tawar, dek?" protesnya.

"Gulanya habis mas," jawabku singkat.

Dia menghela nafas panjang sambil mengurut keningnya.

"Yah, Ayah, aku mau mainan boneka balbi.” Tiba-tiba Sofia keluar dari kamar dan menghampiri ayahnya.

"Boneka Barbie? Kan Sofia udah punya banyak..."

"Aku mau yang balu yah, beliin ya yah..."

"Iya sayang, nanti ya kalau ayah punya uang. Sekarang Sofia main dulu sama mainan yang ada ya ..."

Gadis kecil itu mengangguk dan berlari lagi ke kamarnya.

"Pasti kamu kan yang ngajari dia minta-minta?" tukas mas Rendy sambil menatapku tajam.

"Ya wajarlah mas, dia minta juga sama ayahnya sendiri bukan orang lain.” 

Mas Rendy mendengkus kesal dan beranjak menyalakan televisi.

"Kamu kok malah malas-malasan gitu mas? Kamu gak nyari kerja?"

Dia cuma melirikku sekilas, lalu matanya kembali beralih melihat layar televisi.

"Kalau kamu malas-malasan gini, gimana mau dapat rezeki mas? Usaha dan doa itu yang terpenting ..."

"Dih, kamu bawel banget jadi istri."

"Ya iyalah mas, kita butuh makan tiap hari!"

"Pakai uangmu dulu lah, jualanmu juga kan laris."

"Tapi gak bisa kalau tiap hari, nanti modalku habis."

"Duh kamu perhitungan banget jadi istri? Sama suami sendiri juga..."

"Memangnya selama ini sikap kamu udah baik ke aku, Mas? Kamu juga pelit terhadapku, kalau aku gak minta kamu gak bakalan ngasih nafkah sama aku! Sudah lupa?" tanyaku agak emosi.

Tiba-tiba, Plaakkk ... Sebuah tamparan mendarat di pipiku.

"Tega kamu mas!" teriakku sambil berlalu meninggalkannya.

Ini pertama kalinya dia menamparku. Perih rasanya. Air mataku kembali mengalir. Aku saja yang selalu kalah dalam perdebatan. Tadinya aku mengira dia akan berubah, tapi justru dia makin kasar terhadapku. Hal ini membuatku yakin, aku ingin pisah dengannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
bodoh tau suami punya gaji 5jt di kasih cuma 20 rb tapi mau mau aja ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status