"Dari mana saja mas, jam segini baru pulang?" tanyaku saat membukakan pintu untuknya. Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Dia berangkat dari tadi siang, kemana saja dia? Tak berpikirkah kalau istrinya khawatir?
"Bukan urusanmu," jawabnya ketus.
"Oh kalau bukan urusanku, harusnya gak usah pulang sekalian!” sahutku lagi. Aku benar-benar kesal dengan sikap Mas Rendy yang seenaknya sendiri.
"Lho kok gitu? Menyesal aku pulang!"
"Kamu pergi sampai gak inget anak istri nungguin di rumah, yang khawatir nungguin kamu!”
"Di rumah juga mau ngapain? liat mukamu yang jelek itu?"
Deg! Ya Allah, segitu tak berharganya kah aku di matanya? Baiklah, aku takkan terpuruk lagi. Berpisah? Belum saatnya. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menyia-nyiakan aku. Lihat saja nanti. Akan kuatur waktu yang tepat untuk menggugat cerai. Kau pikir aku hanya istri penurut yang akan selalu ditindas. Tidak lagi seperti itu, Mas. Kekuatan wanita muncul karena dia sudah sering disakiti.
Mas Rendy langsung berlalu ke kamar tanpa peduli reaksiku. Sakit? Ya, pasti. Ada ya lelaki di dunia ini yang begitu tega dengan istrinya sendiri.
Malam ini, aku tidur kembali bersama Sofia. Kulihat wajahku di depan cermin. Benarkah aku sejelek itu? Aku berselancar di marketplace berwarna oranye. Kupilih-pilih skincare untuk perawatan wajahku, bedak dan juga lipbalm, kumasukkan keranjang dan checkout. Tentu saja aku membelinya dengan uangku sendiri, hasil dari jualanku selama ini. Kenapa tidak langsung ke store terdekat? Itu karena aku tak ingin mas Rendy tahu kalau aku punya uang. Kalau dalam bentuk paket, aku bisa beralasan kalau itu pesanan pelanggan.
Aku sadar diri, mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah sampai lupa untuk merawat diriku sendiri. Wajahku terlihat kusam, bajuku juga itu-itu saja yang kupakai. Mungkin karena itu mas Rendy berpaling dariku. Baiklah, pelan-pelan aku akan menjadi cantik lagi.
Aku jadi ingat waktu gadis dulu, beberapa lelaki datang untuk meminangku, tapi sayangnya pilihanku jatuh kepada mas Rendy. Aku tersenyum kecut bila mengingatnya, harusnya aku tak perlu menyesalinya, sudah jalanku seperti ini. Aku tinggal memperbaiki saja, semua ini belum terlambat bukan?
***
Jam 03.00 dini hari
Aku terbangun dan ambil wudhu, kutunaikan sholat tahajud dan bersimpuh. Mohon ampunan Gusti Allah, sembari meminta agar sikap suami berubah menjadi lebih baik dan lembut, jadi imam yang baik buat keluarga.
Setelah itu aku berlalu ke gudang, memproses pesanan yang sudah masuk, dan stok opname. Aku memackingnya dengan hati-hati. Ya, seperti biasanya jam segini aku bergelut dengan barang-barang pesanan customer hingga waktu subuh, selain itu siang hari jikalau pekerjaan rumah sudah selesai.
Pagi harinya, kuputuskan pergi ke warung Bu Sri. Membeli kebutuhan pokok bulanan, seperti sabun, detergen, minyak goreng dan lain sebagainya. Aku memang sengaja belanja pagi-pagi agar mas Rendy tidak melihatku.
"Neng, maaf nih ya..." ucap Bu Sri saat aku sedang memilih barang belanjaan.
"Ya, ada apa Bu?
"Kemarin suamimu kesini ... Dia ambil rokok. Katanya suruh minta ke neng untuk bayarin hutangnya, kemarin lupa bawa uang,” ujar ibu pemilik warung.
Ih dasar laki-laki itu, bikin malu saja. Enak banget hutang dan aku yang disuruh bayar.
"Oh iya, Bu. Sekalian dihitung saja sama belanjaan ini. Memangnya berapa Bu?
"Gak banyak sih neng, cuma 35ribu. Maaf ya neng, ibu jadi gak enak nih ..."
"Iya Bu, saya juga gak tahu kalau ibu gak ngomong. Suamiku gak bilang apa-apa," jawabku. "Oh iya Bu, kalau dia kesini terus mau hutang lagi, bilangin aja gak boleh Bu," tambahku lagi.
"Lho memangnya kenapa neng?"
"Gak apa-apa sih Bu. Tapi saya gak bisa kalau harus bayarin hutangnya lagi. Nanti malah Bu Sri yang rugi karena gak dibayar-bayar."
"Oh ya sudah kalau gitu. Gak terima utangan gitu ya hahaha" sahut Bu Sri sambil tertawa. Aku tersenyum simpul. Aku tak mungkin menceritakan sejujurnya nanti malah jadi seleb desa dan bahan gosip di kampung ini. Maklumlah ada berita nyeleneh sedikit saja langsung tersebar dengan luas. Para ibu benar-benar seperti wartawan yang sigap mendapatkan berita.
"Totalnya berapa Bu?"
"95 ribu, Neng.”
"Ini, Bu" ucapku sembari menyerahkan satu lembar seratus ribuan.
"Tapi Bu, kalau suamiku nanya, bilang aja ini juga dapat hutang," sahutku lagi.
Bu Sri mengerutkan keningnya tanda tak mengerti.
"Biar dia gak ngutang lagi, Bu" selorohku sambil tertawa kecil. Bu Sri ikut tertawa.
"Iya iya, neng" sahut Bu Sri.
"Ya sudah saya pamit, terima kasih, Bu."
"Iya sama-sama.”
Sampai di rumah aku melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Belanjaan tadi aku sembunyikan di lemari kamar Sofia.
Jam 07.30, mas Rendy baru bangun dari tidurnya. Dia menuju ke meja makan.
"Dek, bikinin mas teh manis," pintanya tanpa rasa bersalah. Dia masih memainkan handphonenya.
Aku menurut saja, membuatkan dia teh, tapi tanpa gula.
"Kok tawar, dek?" protesnya.
"Gulanya habis mas," jawabku singkat.
Dia menghela nafas panjang sambil mengurut keningnya.
"Yah, Ayah, aku mau mainan boneka balbi.” Tiba-tiba Sofia keluar dari kamar dan menghampiri ayahnya.
"Boneka Barbie? Kan Sofia udah punya banyak..."
"Aku mau yang balu yah, beliin ya yah..."
"Iya sayang, nanti ya kalau ayah punya uang. Sekarang Sofia main dulu sama mainan yang ada ya ..."
Gadis kecil itu mengangguk dan berlari lagi ke kamarnya.
"Pasti kamu kan yang ngajari dia minta-minta?" tukas mas Rendy sambil menatapku tajam.
"Ya wajarlah mas, dia minta juga sama ayahnya sendiri bukan orang lain.”
Mas Rendy mendengkus kesal dan beranjak menyalakan televisi.
"Kamu kok malah malas-malasan gitu mas? Kamu gak nyari kerja?"
Dia cuma melirikku sekilas, lalu matanya kembali beralih melihat layar televisi.
"Kalau kamu malas-malasan gini, gimana mau dapat rezeki mas? Usaha dan doa itu yang terpenting ..."
"Dih, kamu bawel banget jadi istri."
"Ya iyalah mas, kita butuh makan tiap hari!"
"Pakai uangmu dulu lah, jualanmu juga kan laris."
"Tapi gak bisa kalau tiap hari, nanti modalku habis."
"Duh kamu perhitungan banget jadi istri? Sama suami sendiri juga..."
"Memangnya selama ini sikap kamu udah baik ke aku, Mas? Kamu juga pelit terhadapku, kalau aku gak minta kamu gak bakalan ngasih nafkah sama aku! Sudah lupa?" tanyaku agak emosi.
Tiba-tiba, Plaakkk ... Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
"Tega kamu mas!" teriakku sambil berlalu meninggalkannya.
Ini pertama kalinya dia menamparku. Perih rasanya. Air mataku kembali mengalir. Aku saja yang selalu kalah dalam perdebatan. Tadinya aku mengira dia akan berubah, tapi justru dia makin kasar terhadapku. Hal ini membuatku yakin, aku ingin pisah dengannya.
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi
pov SantiSemenjak pulang dari kediaman almarhum Riska, rasa penasaran begitu menghantuiku. Akhirnya saat berada di kantor, aku pun bertanya pada Mas Beno, siapa sebenarnya ayah Riska. Kenapa wajahnya sangat mirip dengan ayahku."Maaf pak, kalau boleh tahu siapa nama bapaknya Riska?" tanyaku ragu-ragu."Oh Pak Jae, kenapa?""Pak Jae? Jae siapa pak?" tanyaku dengan degup jantung tak beraturan. "Jaelani Santoso. Ada apa, San? kamu kenal dengan beliau?" Dia balik bertanya.Deg! Deg! Deg!Jantungku kembali berdegup tak karuan. Jaelani, juga nama bapakku, tapi tak ada Santoso di belakangnya. Apakah ini hanya kebetulan? Tapi sepertinya aku pernah melihatnya, entahlah dimana."Hei kok bengong? Kamu kenal sama pak Jae?" tanya bosku lagi."Ah enggak pak, sepertinya aku salah orang," sahutku terbata-bata.Aku masih kepikiran tentang Pak Jae. Bagaimana aku harus memastikannya? Kepalaku penat dibuatnya. Benarkah dia bapakku? Bapak yang sudah mencampakkan kami sejak aku kecil?"Santi, nanti ikut
"Oh iya, nanti kita ke Bu bidan ya," sahutnya."Kan hari ini hari minggu, mas. Bu Bidannya juga libur.""Ah iya, mas lupa saking senangnya. Berarti besok ya kita kontrol ke Bu Bidan."Aku hanya mengangguk mendengar perkataan suamiku."Kamu gak merasa mual, dek?" tanyanya lagi, begitu mengkhawatirkanku."Kadang memang pusing sama lemes, mual juga, tapi aku kira masuk angin biasa, Mas."Dia tersenyum seraya tangannya mengusap-usap lembut perutku yang masih terlihat rata. "Mas, aku siapin sarapan dulu ya..." ucapku kemudian. "Nanti tolong susul Sofia di rumah temannya ya.""Iya sayang... Nanti siang gak usah masak ya, hari ini mas ingin mengajakmu jalan-jalan, bagaimana?"Aku mengangguk, menyetujui ajakannya. Akhir-akhir ini memang Mas Anjar sibuk bekerja dan bolak-balik ke Semarang untuk menjenguk adiknya.Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi, aku baru selesai membuat sarapan dan menyiapkannya ke meja makan. Agak telat memang. "Pak, alhamdulillah ada kabar baik," celetuk Mas Anjar."Ada
POV WindaSudah 3 hari Mas Anjar belum pulang, aku merasa khawatir padanya. Apalagi dia tak membawa persiapan apapun. Ya memang, dia sering mengabariku lewat telepon maupun lewat video call. Namun rasanya berbeda, entahlah rasanya aku kangen sekali padanya.Deru mobil memasuki area pelataran rumah. Malam-malam begini, apakah Mas Anjar pulang? Aku mengintip dari balik tirai jendela. Ah benar, itu mobil Mas Anjar. Dia keluar dari mobil itu dan menuju ke teras. Belum sempat ia mengetuk, aku langsung membuka pintu dan tersenyum padanya."Assalamualaikum, dek..." ucapnya memberi salam sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut ukurannya dan mencium punggung tangannya dengan takdzim."Mas kira kamu sudah tidur, dek.""Belum, mas. Aku nungguin kamu, kan katanya mau pulang.""Iya, maaf ya dek, nunggu lama. Tadi macet, rame jalannya.""Iya mas, syukur alhamdulillah, sekarang sudah nyampe."Wajahnya terlihat sangat lelah. "Mas mau mandi dulu, tolong siapkan air hangat ya, dek," ucapnya semba