Tok ... Tok ... Tok ... Suara ketukan pintu terdengar nyaring, diiringi suara salam dari luar.
"Assalamualaikum ..."
"Waalaikum salam ..."
Aku bergegas membuka pintu. Aku takjub ternyata yang datang adalah ibu mertuaku.
"Bu ..." sapaku sembari menyalaminya, mencium punggung tangannya dengan takdzim.
"Kamu sehat, Nak?" tanya ibu mertuaku dengan lembut.
"Alhamdulillah sehat. Mari masuk, Bu.”
"Iya, Nak," jawab ibu sambil tersenyum.
Ibu memasuki rumah. Sofia berlari menyambut neneknya dan mereka saling berpelukan. Begitu dekat keduanya karena ibu mertuaku sangat menyayangi Sofia. Kalian bisa lihat bukan? Ibu mertuaku sangat baik terhadap kami, tapi tidak dengan anaknya.
"Lho kamu gak kerja, Nak?" tanya ibu saat melihat mas Rendy malas-malasan di depan tv.
Mas Rendy terlonjak kaget lalu segera menyalami tangan ibunya.
"Ah ibu, kapan datang?" tanya mas Rendy mengalihkan pembicaraan.
"Baru saja. Kamu gak kerja?" tanya ibu lagi.
"Ah itu ... Aku ... Aku lagi cuti Bu, iya aku lagi cuti,” jawabnya tergagap lalu dia menoleh kearahku dan menatapku tajam. Aku tahu apa maksudnya, aku harus tutup mulut mengenai kejadian yang sebenarnya.
"Ooh ... Kalau lagi cuti harusnya kamu bantuin istrimu dong, kok malah malas-malasan gitu?"
"Aku libur karena butuh istirahat, Bu."
Ibu mertuaku beralih memandangku.
"Saya bikinkan teh dulu ya, Bu"
"Tunggu, tunggu, nak. Itu pipimu kenapa? Kok merah gitu? Matamu juga, habis nangis ya?" pertanyaan ibu sukses membuatku tertunduk.
"Ini ... Gak apa-apa kok Bu, cuma ...."
"Pasti ada apa-apa. Rendy! Kamu apakan istrimu?" bentak ibu pada mas Rendy.
Mas Rendy terdiam.
"Rendy, jawab ibu! Kamu main kekerasan sama istrimu?!"
"Maaf Bu, aku khilaf. Tadi reflek aku menamparnya," jawab mas Rendy merasa bersalah.
Plaakkk...!!
Ibu menampar anak laki-lakinya, itu. Aku cukup kaget dibuatnya.
"Sekali lagi kau main tangan sama istrimu, ibu tak segan-segan akan mencoretmu dari daftar keluarga!" ucap ibu penuh emosi. Entah kenapa aku merasa terharu ketika ibu membelaku dan memarahi anaknya sendiri.
"Maafin aku, Bu. Tapi ..."
"Kamu jangan minta maaf sama ibu, minta maaflah sama istrimu!" tukas ibu masih dengan nada sewot. "Istri itu untuk dijaga, dilindungi, bukan untuk disakiti. Mengerti kamu, Ren?" sambungnya lagi.
"Iya, Bu" jawab mas Rendy lemah. Aku tahu dia pasti akan menyimpan dendam padaku.
"Sekali lagi kalau ibu tahu kamu menyakiti Winda, kamu akan berhadapan langsung sama ibu dan juga bapak!"
Mas Rendy mengangguk.
Ibu pergi meninggalkan mas Rendy yang masih termangu di tempatnya. Beliau menyusulku ke dapur.
"Nak Winda, maafin ibu ya nak, anak ibu sudah berlaku kasar padamu," ucap ibu sembari memegang tanganku.
"Iya, Bu"
"Sejak kapan Rendy berlaku kasar terhadapmu?"
"Baru tadi saja bu, mungkin kata-kataku sudah salah jadi membuat mas Rendy emosi.”
"Apapun itu, harusnya dia tak main tangan. Itu sudah salah."
Aku mengangguk. Aku yakin, ibu tidak tahu dengan sikap asli anaknya itu. Selain jarang memberiku nafkah, dia juga berselingkuh. Aku ingin mengatakan yang sejujurnya pada ibu, tapi rasanya bibir ini terkunci. Aku tak ingin ibu shock mendengar tingkah laku anaknya sendiri.
"Kamu lagi masak apa, Nak?" tanya ibu mertuaku lagi.
"Baru masak nasi, Bu. Aku belum belanja lauk maupun sayur ..." jawabku getir.
Ibu tersenyum. "Kalian lagi kesulitan uang?" tanya ibu lagi.
"Eemmhh itu, sebenarnya..."
"Ada apa, Nak?"
Aku sedikit ragu untuk mengatakannya.
"Ya sudah ini, buat tambahan uang belanjamu,” sahut ibu mertuaku sembari memberikan amplop berwarna coklat.
"Gak usah Bu. Aku gak mau repotin ibu."
"Tidak, Nak. Ini memang jatah untuk kalian. Minggu kemarin bapak dapat rezeki, mbak Meli juga sudah dapat" jawab ibu lagi. Mbak Meli adalah kakaknya mas Rendy. Ya, mas Rendy anak bungsu dari dua bersaudara.
"Tapi Bu..."
"Sudah ambil saja, itu juga gak banyak kok, cuma satu juta. Ibu sengaja ngasihnya sama kamu, ibu tahu kebutuhan dapur sangatlah banyak. Kalau ibu ngasihnya sama Rendy, takutnya disalahgunakan untuk kepentingan lain," jawab ibu lagi. Aku sangat terharu mendengar ucapan ibu. Aku memeluknya, sungguh perlakuan ibu mertuaku seperti ibu kandungku sendiri yang sudah lama meninggal.
"Makasih, Bu," sahutku. Ibu mengelus-elus lembut punggungku.
"Belikan makanan yang bergizi untuk Sofia ya nak" ucap ibu lagi.
"Baik, Bu"
Ibu beranjak ke ruang tengah dan bermain sama cucunya.
"Sofia, nenek punya mainan baru buat kamu," ucap ibu.
"Apa itu Nek?"
"Ini dia ..." ucap ibu antusias sambil memberikan satu set boneka Barbie keluaran terbaru.
"Woow, bagus banget Nek..." mata Sofia berbinar.
"Sofia suka?"
"Suka banget, Nek. Makasih ya Nek...." ucap Sofia lagi sambil merangkul neneknya.
Aku tersenyum melihatnya. Sungguh ini yang membuatku berat untuk berpisah dari mas Rendy. Ibu dan bapak mertuaku sangat baik, begitu pula dengan kakak iparku. Mereka sangat baik seperti keluarga kandungku sendiri.
Aku berbelanja ke warung membeli lauk dan sayur. Mas Rendy menatapku heran ketika aku pulang menenteng barang belanjaan. Aku tak mempedulikannya. segera kuolah menjadi makanan untuk makan siang keluarga.
"Bu, ayo kita makan dulu..." ajakku. Ibu mertuaku masih asyik bermain dengan Sofia. Lagi-lagi beliau tersenyum.
"Iya, ayo Nak ..." sahut ibu sembari menggendong cucunya.
Aku juga mengajak mas Rendy. Dia menurut tanpa mengatakan sepatah katapun.
Kami makan siang bersama. Selama ada ibu, mas Rendy tak berkata kasar padaku. Dia lebih banyak diam. Mungkin dia takut aku akan mengadu pada ibunya. Berkali-kali dia memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Masakanmu enak, ibu paling suka makan masakanmu kalau datang kesini, biarpun sederhana tapi menggugah selera. Iya kan, Ren?"
"Ah, i-iya bu"
"Kenapa sih kamu kelihatan gugup gitu? Ada apa?" tanya ibu pada anaknya.
"Enggak Bu, enggak apa-apa.”
"Bener?"
"Iya, Bu"
"Kalau kamu punya masalah di kerjaan, jangan lampiaskan pada istrimu, tidak baik."
"Iya, Bu"
***
Sore itu ibu berpamitan pulang.
"Ibu pulang ya, Nak"
"Hati-hati ya, Bu" jawabku.
"Aku antar ya, Bu" sahut mas Rendy.
"Tidak usah, Nak. Ibu naik taksi aja. Kamu temani istrimu saja disini. Ingat ya, jangan sakiti istrimu lagi," tukas ibu.
"Baik, Bu"
Setelah kepergian ibu, mas Rendy menatap tajam ke arahku.
"Kamu ngadu sama ibu?" tanyanya dengan nada ketus.
"Ngadu? Ngadu apa? Kan kamu lihat sendiri mas, ibu lebih banyak bersama Sofia.”
"Awas ya kalau kamu ngadu sama ibu! Aku akan ..."
"Akan apa? Aku gak takut, mas."
Mendengar jawabanku mas Rendy langsung berlalu masuk ke dalam rumah. Kesal mungkin.
Hari HPagi itu di kediaman Pak Darmawan, para tetangga dan kerabat sudah ramai berkumpul mengunjungi di hari pernikahan kami. Beberapa yang lain terlihat sibuk memasak di dapur. Saat ini aku masih berada di dalam kamar, Bu Devina tengah merias wajahku dengan make-up yang natural. Kebaya pengantin berwarna putih dan kain batik membalut tubuhku untuk hari spesialku ini.Bapakku dan istrinya ternyata datang bersama dengan Rania dan juga Mas Beno. Alhamdulillah, akhirnya mereka semua bisa berkumpul kembali dan berbahagia. Bunda Aini serta beberapa pengurus rumah perempuan pun ikut datang meramaikan acara kami.Aku disandingkan bersama Mas Rendy. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus. "Kau sangat cantik," bisiknya sesaat sebelum pak penghulu itu datang.Aku pun tersenyum mendengar kata pujiannya. Dia pintar menggodaku rupanya.Tak lama, Pak penghulu hadir, dia yang menjadi wali nikahku berhubung bapakku tidak bisa apa-apa.Hatiku makin bergembira ketika Mas Rendy dengan lancar menguca
Mas Rendy mulai mengerjapkan matanya secara perlahan. Setelah 3 hari tak sadarkan diri, akhirnya Mas Rendy mulai membukakan matanya lagi. Aku tersenyum melihatnya."Alhamdulillah, kamu sadar, mas..."Mas Rendy menoleh kearahku dengan keadaan lemah."Santi, kau ada disini?" tanyanya dengan suara begitu pelan.Aku mengangguk. "Tunggu mas, kamu jangan banyak bergerak. Biar aku panggilkan suster dulu," sahutku saat dia ingin bangun dari posisi tidurnya.Kemudian aku memencet bel untuk memanggil perawat yang bertugas. Tak berselang lama, perawat itu datang dan memeriksa kondisi Mas Rendy. Senyuman merekah dari bibir perawat itu."Alhamdulilkah, kondisi mas'nya mulai membaik. Kami akan panggilkan dokter yang menangani pasien dulu ya," tukas perawat itu dengan ramah.Kami mengangguk. Rasanya sangat bersyukur mendengar keadaan Mas Rendy mulai membaik.3 hari kemudian...Dokter dan perawat itu kembali datang memeriksa kondisi pasien. Iapun bertanya-tanya kecil tentang keluhan yang dirasakan ole
Setelah memilih kebaya untuk hari pernikahan nanti, Mas Rendy mengantarku ke rumah perempuan. Sebelumnya kami ke kontrakan baru, bahwa aku tidak jadi pindah, alias dibatalkan. Uang yang sudah masuk untuk membayar kontrakan hanya dikembalikan separuh. Tidak apalah, beruntung aku ambil yang bayar bulanan bukan tahunan."Aku pulang dulu ya, tadi juga aku udah sempat mengurus berkas-berkas pernikahan kita, seperti yang ayah dan ibu mau, kita menikah 1 bulanan lagi. Kamu gak keberatan, kan?""Gak mas, terserah kamu saja.""Besok insyaallah aku mau nyari tempat tinggal baru, nanti kalau udah dapat, kamu langsung pindah saja kesana, dan gak usah bekerja lagi, biar aku yang nanggung biaya hidupmu," tukas Mas Rendy lagi, penuh dengan semangat."Ya sudah, aku pulang dulu ya... Assalamualaikum...""Iya, waalaikum salam... Hati-hati dijalan, mas."Setelah Mas Rendy berlalu, seseorang menepuk pundakku. Aku berbalik, rupanya ada Bunda Aini dan juga Rania di belakangku. "Apa bunda gak salah dengar?
Hari minggu...Setelah kekalutanku semalam, akhirnya aku pergi. Pergi ke tempat yang membuatku nyaman. Makam ibu dan juga Maura. Padahal seharusnya hari ini aku pindah ke kontrakan yang baru. Namun urung kuniatkan, perasaan dilema kembali menyelimuti hati. Apakah aku harus tetap bekerja di kantornya Mas Beno? Atau resign saja? Aku tak mau gejolak hatiku mempengaruhi segalanya.Sesampainya disana, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Ada seseorang di samping pusara anakku. Aku mendekatinya dan tak percaya. Dia menoleh dan cukup terkejut melihat kedatanganku. "Mas Rendy? Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku.Dia tersenyum, sambil mengusap embun di sudut matanya."Aku kangen sama Maura, dia terlalu cepat meninggalkan kita," ungkapnya yang membuatku tak mengerti.Aku menghela nafas dalam-dalam. Andai saja dulu kau tak meninggalkanku, mungkin ... Ah sudahlah aku tak ingin mengingat masa lalu, memang sudah takdirnya begini. "San, kamu lagi libur kerja?" tanyanya."Iya mas, aku sempa
Pak Jae ada di sana sendirian. Duduk di atas kursi roda, termenung sendiri sembari mendengarkan suara lantunan orang mengaji dari ruang tamu."Pak!" sapaku. Dia menoleh, mulutnya yang tertarik ke bawah membuatnya tak bisa bersuara dengan jelas. Aku pandangi dia dengan seksama. Menatapnya lagi sambil bertanya-tanya, lebih tepatnya mengingat-ingat perihal dirinya. Garis-garis keriput halus di wajahnya begitu kentara menandakan ia sudah tua.Ya, sekarang aku ingat. Dia orang yang ada di foto itu. Foto aku, ibu dan laki-laki itu. Aku yang saat itu masih kecil dan digendong olehnya. Foto yang selalu kubawa kemana-mana hingga aku SMA. Karena itu satunya kenang-kenangan tentangnya yang aku miliki. Laki-laki yang hanya kukenal lewat potret itu. Ibu bilang dia bapakku. Walaupun wajahnya mulai menua, tapi aku mengenalinya, dia sama sekali tak berubah. Hanya umurnya yang bertambah, serta rambutnya yang tampak memutih. Dulu, aku selalu berharap agar lelaki itu datang menemui kami, namun sayang
"Hei, Santi, kamu kenapa mau sama lelaki kere seperti dia?! Ikut pulanglah denganku...!" teriaknya.Aku tak peduli. Hatiku terasa sakit bila terus mengingatnya. Terlanjur sakit. "Mas, kenapa kau ada disini? Kau mengikutiku lagi?" tanyaku. Dia hanya tersenyum."Hah, aku tidak menyangka kau sudah mirip seperti stalker." Aku mendumel tapi Mas Rendy hanya tertawa."Aku hanya ingin tahu kegiatanmu selain di rumah perempuan. Ternyata kau sudah mulai bekerja lagi," jawabnya dengan santai."Hentikan ini mas, jangan terus ikuti aku. Aku gak nyaman kalau kamu seperti ini terus.""Kenapa? Aku kan suamimu. Aku khawatir terjadi sesuatu denganmu, kayak tadi benar bukan? Sudah seharusnya seorang suami menjaga istrinya dengan baik.""Suami? Itu dulu mas, duluuu ... Aku udah menganggap kita berpisah.""Ah ya, kalau begitu kita menikah lagi.""Hah?""Ayo naik, kamu mau pulang gak?" tegurnya.Aku menaiki boncengan motor Mas Rendy. Ingatan masa lalu kembali hadir menari-nari dalam benakku. Ya, aku jadi