Share

Kabar Buruk

"Kamu bukannya istirahat, malah di dapur. Ngapain, Win?"

Aku gelagapan saat Mama tiba-tiba muncul di dapur sebelum aku menyingkirkan gelas yang masih bersisa sedikit ampas kopi. Entah angin apa uanh membawanya ke sini. Semoga saja, Mama tidak mengetahui apa yang baru saja aku lakukan.

"Mama bawakan seafood kesukaanmu, Win. Mama siapin di piring, ya." Mama pun beralih ke meja makan setelah mengambil piring dari lemari kitchen set.

Ah, untung saja Mama tidak curiga. Namun, aroma masakan yang bari saja Mama hidangkan, malah membuat perutku bergejolak. Aku benar-benar tidak tahan untuk segera memuntahkan isi perut, tapi kopi yang kuminum pasti akan ikut keluar semua. Usahaku tadi akan sia-sia dan mungkin Mama akan curiga.

Setelah beberapa saat menahan, aku akhirnya beralih ke wastafel dan terpaksa mengeluarkan semua isi perut.

Ah, sungguh menyusahkan anak dalam perut ini. Dan akhirnya, Mama pun menghampiri, lalu memijat tengkukku perlahan.

"Kamu minum kopi, Win?" sentak Mama setelah semua isi lambungku keluar. Dia pasti menyadari apa yang aku muntahkan.

Aku hanya menunduk tanpa mampu membalas pertanyaan Mama. Beliau pasti sudah tahu maksud dari yang kulakukan. Dan sebuah tamparan pun Mama layangkan ke pipiku untuk pertama kalinya. Mama yang bahkan tidak pernah membentakku, sekarang bisa main tangan.

Tubuhku terhuyung ke belakang hingga membentur tembok. Lantas, aku merosot ke lantai. Menangis tergugu.

"Kamu sudah berbuat dosa, Win. Jangan tambah lagi dosamu! Apa Mama, Papa, dan Ardan tidak ada artinya buatmu? Mama gak nyangka kalau punya anak sepengecut kamu, Win. Kamu sudah berbuat, kamu juga yang harus bertanggung jawab. Ardan sudah mau menerimamu dengan tulus. Begitu juga anak kamu. Apa pengorbanannya masih kurang?" Mama terus mencecarku dengan penuh emosi.

Aku tidak mampu berkata apa pun. Hanya merutuki perbuatan yang pastinya akan membuat Mas Ardan kecewa. Mama pun tak hentinya mengucapkan kata-kata yang semakin membuatku menjadi layaknya seorang penjahat.

***

Mama membawaku periksa ke dokter untuk memastikan jika tidak ada masalah dengan kandunganku setelah kejadian pagi tadi. Bahkan, Mama meminta Mas Ardan untuk menyusul sampai aku seolah-olah menjadi narapidana dengan segudang pasal yang menjerat.

Bungkam. Tidak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulut ini karena memang tidak akan ada pembelaan yang bisa kulayangkan. Aku memang bersalah dalam hal ini.

"Win, aku sudah menerima anak ini sebagai anakku. Apa kamu nggak bisa menerimanya juga? Jangan pernah ingat laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu! Akulah ayah dari anak ini. Aku menerimanya seperti aku menerimamu, Win. Kalau sekali lagi saja kamu bertindak seperti itu, aku tidak akan memaafkanmu ... dan jangan harap kamu akan melihat wajahku lagi!"

Aku memberanikan diri menatap laki-laki yang saat ini menjadi suamiku. Kemarahannya sangat nyata. Dia membuatku tidak lagi bisa berkutik. Untungnya, panggilan dari perawat bisa menghentikan kemarahannya sejenak. Kami lalu masuk keruanh praktik dokter kandungan dan aku pun mulai diperiksa.

"Alhamdulillah, janinnya masih menempel pada dinding rahim dengan kuat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lagi pula, sesuai keterangan dari Ibu kalau kopi yang diminum sudah dimuntahkan semua. Insyaallah, semua akan baik-baik saja." Dokter perempuan berkacamata itu diam sejenak.

"Kasus Bu Wina seperti ini harus didampingi terus-menerus karena kondisi psikis-nya cenderung terguncang dan menjadikan pemikiran yang labil. Terkadang Bu Wina bisa menerima, tapi dalam waktu singkat, cara berpikir Bu Wina bisa berubah seratus delapan puluh derajat," lanjut sang dokter.

Aku melihat Mas Ardan mendengarkan dengan seksama setiap ucapan dan saran dari dokter. Aku sendiri juga merasa aneh dengan diri sendiri. Sejenak, setiap nasihat dari Mas Ardan mampu kuterima, tapi dalam waktu sekejap hati dan pikiran ini kembali dilanda dilema karena benih dalam rahim ini.

Tanpa sadar, butiran hangat meluncur dari kedua mata ini. Aku merasa menjadi perempuan yang paling tidak berguna di dunia. Mama pun diam dan memperhatikan dokter yang masih saja berbicara. Kenapa aku dulu harus terbujuk rayuan Mas Bima? Dan sekarang, hanya ada penyesalan yang tidak akan ada ujungnya.

Selepas menerima resep dan menebus obat di apotik, kami pulang diantar Mas Ardan. Dia harus kembali mengambil izin karena kejadian ini. Di dalam mobil, semuanya diam. Tidak ada yang mau berbicara denganku lagi. Mungkin, kemarahan mereka sudah sangat besar dan tidak ada lagi maaf buatku.

Sesampainya di rumah, kami dikejutkan dengan adanya beberapa orang bertampang preman, tapi dengan pakaian serba rapi. Mereka ada tiga orang dan menunggu tepat di depan rumah. Mas Ardan turun terlebih dahulu untuk memastikan apa kepentingan mereka. Aku pun menyusul bersama Mama.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Mas Ardan basa-basi.

"Rumah ini akan ditempati oleh pemilik aslinya. Silakan kalian kemasi barang-barang kalian dan tinggalkan rumah ini. Kami beri waktu sampai besok," jawab salah satu lelaki berkepala plontos.

"Kalian ini siapa? Ini rumah anak saya, Wina. Sertifikatnya juga atas nama Wina. Kenapa kalian mengakui yang bukan milik kalian?" Mama turun bicara.

Rumah ini sudah dijual oleh laki-laki bernama Abimanyu pada bos kami. Ini surat-suratnya dan semuanya resmi." Laki-laki bertampang preman itu menunjukkan sebuah map berisi surat perjanjian jual beli dan fotocopy sertifikat rumah serta kuitansi pembelian.

Wajah Mama berubah pias, lalu menoleh ke arahku dan Mas Ardan bergantian. Sebuah tamparan kembali kuterima dari Mama, seorang yang tidak pernah membiarkan aku terluka meskipun hanya digigit semut.

Tubuhku seketika melemas. Sepertinya, tidak akan ada maaf untukku. Apalagi, jika Papa mengetahui kejadian ini. Kemarahan beliau pasti akan lebih besar lagi. Sementara, aku hanya bisa menangis kian pilu tanpa bisa melakukan pembelaan.

"Sabar, Ma. Wina sudah sangat tertekan. Jika Mama seperti ini, Wina akan semakin tertekan dan berakibat buruk pada kehamilannya." Mas Ardan berusaha melindungiku dari kemarahan Mama.

"Silakan didiskusikan dulu. Besok malam, rumah ini harus sudah kosong!" tukas preman itu sebelum pergi meninggalkan pertengkaran kami.

***

"Kamu keterlaluan, Win. Bisa-bisanya kamu memberikan surat rumah ini pada Bima! Papa kamu pasti akan marah besar nanti!" bentak Mama.

Ruang tamu ini menjadi saksi jika aku menjadi seorang anak yang sudah membuat keluarga menjadi malu dan mengalami kerugian yang sangat besar. Selugu itukah aku hingga semua perkataan Mas Bima selalu kuturuti. Setiap nasihat dan keputusan orang tua itu pasti demi kebaikan anaknya. Namun, aku justru membangkang dan menganggap kalau mereka tidak menyayangiku.

"Maafkan Win, Ma! Maaf!" ucapku dengan sesegukan. Tidak ada kata lain yang mampu keluar dari bibir ini.

Mas Ardan hanya diam. Aku tahu jika dia tidak mungkin terus membelaku sementara kesalahan ini memang benar adanya. Lelaki itu hanya menatapku iba tanpa mampu berucap.

Hidupku, masa depanku, keluargaku, dan semua kerja keras Papa harus hancur karena seorang laki-laki bernama Abimanyu.

"Maafkan Win, Ma!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status