Share

Perempuan yang Kau Tinggalkan
Perempuan yang Kau Tinggalkan
Author: Okta Novita

Pengantin Pengganti

Aku masih saja berdiri mematung bersandar dinding di samping pintu. Mendengarkan permintaan Mas Bima yang tidak mungkin dapat kukabulkan. Sementara, lelaki dua puluh lima tahun itu sudah duduk di atas Springbed tanpa ranjang di kamar kos berukuran sekitar lima kali empat meter.

Lelaki berwajah rupawan itu terus berusaha membujukku untuk memenuhi permintaan yang pastinya akan menjerumuskan ke dalam kubangan dosa. Salah satu dosa besar yang mungkin akan membuat diri ini terkungkung oleh penyesalan yang tiada akhir. Bahkan, tidak bisa dipungkiri kalau seandainya dosa itu tidak terampuni oleh Sang Pemilik Hidup.

“Jangan sembarangan, Mas! Kita belum sah menjadi suami istri,” bantahku.

“Aku ‘kan, gak tahu kalau kamu masih segel apa gak. Jadi, kita buktikan dulu. Lagipula, pernikahan kita tinggal dua minggu lagi. Nantinya, aku juga yang akan buka segel.” Mas Bima masih ngeyel. Dia melangkah mendekat sambil membuka kancing kemejanya satu per satu dari yang paling atas.

“Nggak mau, Mas. Aku gak mau. Apa kamu gak takut dosa?” tolakku lagi sambil memalingkan wajah ke arah lain.

“Halah, kita ‘kan, sudah mau nikah. Kalau kamu gak mau, mending pernikahan kita dibatalkan saja.” Mas Bima mendengkus sambil mengibaskan tangan kanannya. Tanda jika emosinya mulai naik.

“Kok, Mas Bima ngomong gitu, sih? Apa Mas Bima gak cinta sama aku?” tanyaku spontan. Mata ini mulai mendelik saat melihatnya mulai mengabaikanku.

“Makanya, ayo! Kita ‘kan, sama-sama cinta,” bujuknya.

Cukup lama aku mempertahankan diri agar keyakinan ini tidak goyah, tapi entah apa yang terjadi. Akhirnya, bujukan setan pun menguasai. Kamar kos milik Mas Bima menjadi saksi perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Namun, kami sama-sama menikmatinya dan tidak ada penyesalan setelah itu.

***

Hari ini, hari yang aku tunggu. Gaun warna putih tulang melekat di tubuh ramping ini dengan sangat indah. Seluruh keluarga pun menyambut hari bahagia ini dengan suka cita. Rumah sudah ditata sedemikian rupa menjadi sebuah tempat akad nikah yang sangat sempurna. Hiasan bunga dan dekorasi pita menambah menawan keindahan setiap sudut.

Namun, kebahagiaan ini mulai berubah menjadi ketakutan saat Mas Bima dan keluarganya tak kunjung datang hingga lewat satu jam dari waktu yang ditentukan. Ponsel di tangan pun tak henti kugunakan untuk menghubungi nomornya.

Nihil. Mas Bima tidak bisa dihubungi dan nomor keluarga yang lain pun sama. Tidak aktif. Papa dan Mama mulai cemas karena para tamu undangan sudah berdatangan. Mereka panik dan beberapa kali bertengkar sambil saling menyalahkan.

“Bagaimana ini? Kamu di mana, Mas Bima?” gumamku.

Air mata ini pun mulai menetes, tak peduli pada riasan make up yang akan luntur. Aku benar-benar takut jika pernikahan ini gagal dan apa yang sudah kulakukan dua pekan lalu kembali membayangi.

“Mana calon suamimu, Win?” tanya Ardan. Dia sahabatku sejak kecil dan sudah dianggap sebagai anak oleh Papa dan Mama.

“Aku gak tahu, Dan,” jawabku dengan isak tangis. Wajah ini masih terus menunduk dengan berbagai pikiran buruk membayang di benak.

“Om, Tante! Ada apa sebenarnya?” Ardan beralih menatap orang tuaku. Kepeduliannya pada keluargaku memang sangatlah besar.

“Sepertinya Bima tidak akan datang, Dan.” Mama menjawab dengan nada suara bergetar. Perempuan yang sudah melahirkanku itu terduduk lemas di tepi tempat tidur.

“Bagaimana ini, Ma? Papa bisa malu di depan semua kolega dan rekan bisnis papa. Mau ditaruh di mana muka papa? Apalagi, keluarga dan tetangga. Apa yang akan mereka katakan tentang keluarga kita kalau pernikahan Wina gagal?” Papa mulai meracau. Emosinya pun mulai tak terkendali karena tangannya mulai menghancurkan beberapa benda yang ada di sekitarnya sambil mencaci nama Mas Bima.

Ya, Papa seorang pengusaha batik asal Jepara yang sudah tersohor di ibu kota dan menjadi Supplier kain batik terbesar di seluruh Pulau Jawa. Jika pernikahanku ini gagal, bisa dipastikan semua kolega dan customer batik perusahaan Papa akan mencibir.

Sementara, aku hanya bisa diam dan menangis tanpa tahu solusi yang harus diambil. Suruhan Papa yang diminta untuk menyambangi tempat kos Mas Bima pun memberi kabar jika calon suamiku itu sudah keluar dari tempat kosnya sepekan yang lalu. Entah apa yang akan terjadi setelah ini? Aku dan keluarga ini pasti akan menjadi bahan gunjingan di mana-mana.

“Bagaimana kalau saya menggantikan Bima?” ucap Ardan lantang.

Sontak, aku pun menatapnya penuh tanya. Apa-apaan dia? Mana mungkin aku menikah dengan sahabat sendiri. Bahkan, dia sudah kuanggap sebagai seorang kakak.

“Gak, Dan. Mana mungkin aku menikah denganmu. Kita ini hanya sahabat,” bantahku.

“Kamu tidak punya pilihan lain, Win. Kalau pernikahan hari ini gagal, keluargamu akan mendapat banyak kerugian dan yang jelas kalian harus siap menjadi gunjingan banyak orang.” Ardan mencoba meyakinkanku dengan solusinya.

Namun, pendapat Ardan justru diterima oleh Papa. Lelaki paruh baya itu langsung menyetujui solusi yang Ardan berikan. Tanpa pikir panjang, lelaki yang sudah dianggap anak sendiri oleh Papa dan Mama itu dirias dan dipakaikan baju pengantin seadanya. Hanya dengan kemeja dan setelan jas berwarna hitam.

Aku pun tak bisa menolak ataupun mengiyakan. Hanya pasrah dan menerima pernikahan tak terduga ini. Ardan memang lelaki yang sangat baik. Namun, tidak ada cinta sedikitpun untuknya. Ditambah lagi, aku sudah menyerahkan mahkota suci pada Mas Bima.

Ardan terlihat gagah saat menjabat tangan Papa di depan penghulu dan banyak orang. Ada yang tersayat di hati ini saat mengingat orang yang seharusnya ada di depan Papa dan mengikrarkan janji suci pernikahan untukku. Sekuat tenaga kutahan air mata agar tidak kembali terjun dan merusak lagi riasan wajah ini hingga kata ‘Sah’ terdengar nyaring di seluruh penjuru rumah.

Kenapa dengan takdirku? Sungguh, ini di luar kuasaku sebagai seorang manusia biasa karena terlalu percaya pada mulut manis seorang laki-laki yang mengingkari sebuah komitmen.

Kamu di mana, Mas Bima?

***

Dua pekan menjalani pernikahan yang penuh kecanggungan bersama laki-laki yang tidak pernah terpikir bahwa dia adalah jodohku memang sangat sulit. Bahkan, belum sekali pun Ardan menyentuhku. Akan tetapi, lelaki itu sangat perhatian dan sangat menyayangiku sebagai istrinya. Bahkan, dia sudah menyatakan cintanya.

Apa masih pantas untuk seorang sepertiku menerima cinta dari lelaki sebaik Ardan? Pastinya tidak. Semua hanyalah semu dan mungkin cintanya akan langsung luntur jika tahu aku sudah bukan lagi perempuan suci seperti yang dia kira.

“Bangun, Win! Sudah Subuh, nanti tidur lagi.” Ardan masih saja peduli denganku.

“Badanku lemes, Dan. Kepala juga rasanya pusing banget,” jawabku lirih seraya menarik kembali selimut hingga menutup kepala.

“Salat dulu sebentar, setelah itu kamu boleh istirahat lagi!” paksanya.

Baiklah … akhirnya aku menyerah. Kucoba bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi yang hanya berjarak dua meter. Namun, tubuhku terasa sangat ringan hingga hampir terjatuh jika Ardan tidak menahan dari belakang.

“Pelan-pelan, Win. Nanti salatnya sambil duduk atau rebahan saja kalau gak kuat.”

“Terima kasih, Dan. Aku bisa sendiri.” Kulepas tangannya dan segera masuk ke kamar mandi. Aku juga tidak tahan dengan bau parfumnya yang membuat perutku bergejolak.

Pagi ini, aku merasa tidak enak badan. Lemas. Ardan pun rela mengambil cuti untuk menemaniku karena sejak Subuh tadi, aku selalu muntah dan sedikit demam. Mungkin karena stres memikirkan keberadaan Mas Bima yang sampai saat ini belum diketahui.

Aku memang selalu mencari Mas Bima setiap hari. Entah ke kos, rumah teman-temannya, dan juga melalui media sosial. Namun, tetap tidak ada hasil. Laki-laki itu seperti lenyap ditelan bumi.

“Makan dulu, Win!” Ardan membawa satu piring nasi beserta ayam goreng. Menghampiriku yang sejak tadi hanya berbaring di tempat tidur.

“Gak, Dan. Perutku mual sekali,” tolakku.

“Kalau gak makan, kamu lama sembuhnya. Nanti gak bisa cari Bima lagi,” paksanya.

Bulir-bulir kristal hangat mulai meluncur dari kedua sudut mata ini saat Ardan menyebut nama Mas Bima. Ke mana dia sebenarnya? Sudah dua pekan dia menghilang tanpa jejak. Bahkan, semua akun media sosialnya hilang tak berbekas.

“Makan dulu, ya. Jangan nangis terus! Ada aku yang akan selalu mendukungmu.” Ardan mulai menyuapkan makanan ke mulutku. Namun, aku menutup rapat mulut ini karena aromanya saja sudah membuat lambungku berdemo.

“Sedikit-sedikit saja,” paksanya.

Kucoba menerima satu suapan dari Ardan, tapi perutku langsung seperti diaduk sangat kencang. Mual. Ditambah lagi, aroma parfumnya yang sangat menusuk karena jarak kami yang terlalu dekat.

“Jangan paksa aku buat makan, Dan! Rasanya eneg banget.”

“Sedikit lagi, ya! Biar cepet sembuh,” paksanya lagi.

Sekali lagi kucoba menerima suapan darinya. Namun, perut ini langsung bergejolak dan tidak mampu ditahan lagi. Aku pun berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut. Aku masih sempat melihat Ardan menyusul ke kamar mandi sebelum kesadaranku hilang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status