Share

Positif

Aku mencium bau minyak angin yang sangat menyengat hingga membuat mata ini perlahan terbuka. Wajah khawatir Ardan menjadi yang pertama tertangkap pandangan. Meskipun masih sedikit buram, aku tahu kalau laki-laki di depanku ini sangat khawatir.

“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Win,” ucapnya dengan senyum. Lantas, membantuku duduk bersandar kepala ranjang.

“Aku kenapa, Dan?”

“Kamu pingsan, Win. Kita ke dokter, ya. Biar kamu cepat sembuh,” ajaknya sambil menyodorkan teh hangat ke mulutku.

Aku menggeleng pelan bersama air mata yang mulai mengalir. Aku masih saja teringat dengan Mas Bima. Di mana dia? Seharusnya, dia yang ada di sampingku sekarang. Namun, semua rencana bahagiaku seakan melayang bersama butiran debu yang beterbangan.

Mas Bima adalah anak perantauan yang mengadu nasib di Jakarta. Katanya, orang tuanya tinggal di Medan dan akan datang satu hari sebelum pernikahan kami. Usianya yang sudah dua puluh lima tahun dan pekerjaan sebagai akunting di salah satu bank swasta membuatku yakin untuk menerima pinangannya. Entah apa alasanya, Papa tidak merestui hubungan kami sebelumnya. Beliau bilang kalau ada yang tidak beres dengan Bima. Namun, aku yang sudah dibutakan oleh cinta masih terus ngotot dan mengancam untuk bunuh diri.

Hingga semuanya terjadi, aku melepas mahkota suci untuk Mas Bima yang kupikir kami akan segera menikah. Namun, aku yang ceroboh. Bahkan, dengan orang tua Mas Bima pun aku belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya beberapa orang yang dikatakan sebagai saudara yang datang saat acara lamaran.

“Jangan pernah kamu ingat laki-laki tidak bertanggung jawab itu! Kamu sudah menikah dengan Ardan. Jangan buat Papa dan Mama malu lagi!” Suara Papa menggelegar saat masuk ke kamarku.

“Papa,” lirihku. Pasti Ardan yang memberitahu Papa dan Mama kalau aku pingsan. Semenjak menikah, aku dan Ardan tinggal di rumah yang memang sudah disiapkan Papa untuk hadiah pernikahanku.

Sementara, Mama hanya diam, menghampiriku dan duduk di tepi tempat tidur. Membelai kepalaku lembut.

“Wina sedang sakit, Pa. Jangan bicara keras seperti itu! Wina sudah jadi istri yang baik buat Ardan.” Ardan masih saja membelaku meskipun kenyataannya sesuai dengan yang Papa ucapkan.

“Aku memang salah, Dan. Papa berhak memarahiku,” sahutku.

“Seperti itu kamu bilang baik, Dan? Panggil suami sendiri gak sopan. Ardan itu sudah jadi suamimu. Panggil dia Mas Ardan bukan panggil nama saja seperti itu!” Papa masih saja membentakku.

“Ardan gak apa-apa, Pa. Mungkin, Wina belum terbiasa saja. Kami ini ‘kan, biasanya saling ejek sebelumnya," bela Ardan lagi.

Kepalaku semakin sakit mendengar ucapan Papa yang terus saja menghardik. Bahkan, perut yang sudah tidak ada isinya ini pun kembali terasa mual. Kubekap mulut dengan kedua telapak tangan saat ada sesuatu yang mendesak untuk dikeluarkan.

“Masih mual, Win?” tanya Ardan dan hanya kujawab dengan sebuah anggukan.

Namun, tubuh ini sudah sangat lemas untuk sekadar bangkit dari tempat tidur. Meskipun tidak ada lagi yang mampu keluar, tapi perut ini masih saja terasa mual.

“Kita bawa Wina ke rumah sakit saja, Nak Ardan. Mama khawatir, wajah Wina pucat sekali.” Mama menimpali.

“Gak usah, Ma. Aku gak apa-apa,” sahutku pelan.

“Sudah, Ma! Ayo, kita pulang! Sudah ada suaminya di sini. Makin manja saja kalau Mama perhatiin seperti itu,” ujar Papa masih dengan emosi.

“Wina ini anak kita satu-satunya, Pa. Mana mungkin Mama biarkan dia sakit seperti ini.”

“Gak apa-apa, Ma. Mama sama Papa pulang saja. Ardan akan bawa Wina ke dokter. Nanti Ardan kasih kabar perkembangan kondisi Wina sama Mama,” jawab Ardan menenangkan Mama.

Akhirnya, Mama dan Papa pergi setelah beberapa saat kembali berdebat. Sementara, Ardan kembali membujukku untuk periksa ke dokter.

“Aku mau tidur saja, Dan. Eh ... Mas Ardan,” kataku sambil kembali merebahkan badan. Masih ada rasa canggung saat menyebutnya dengan panggilan baru itu.

“Gak usah dipaksakan kalau kamu gak nyaman panggil aku dengan sebutan itu, Win!” sergahnya.

“Maaf, Mas Ardan! Aku hanya menjadi beban buat kamu. Aku juga belum bisa membalas perasaanmu.”

Saat rasa cinta menjadi patokkan utama menjalani hidup, dia sudah menutup jalur masuknya sebuah nasihat. Bahkan, hal yang seharusnya baik justru ditolak tanpa mau menyelami hakikatnya. Mas Bima sudah membuatku menjadi perempuan paling bodoh di dunia karena dibutakan oleh cinta.

Semua kenangan indah yang sempat Mas Bima tinggalkan mulai berputar di ingatan. Namun, impian yang sudah kubangun runtuh seketika saat sebuah janji diingkari. Tanpa sadar, aku pun mulai memejamkan mata bersama kesedihan yang seolah menusuk jantung hingga hampir saja berhenti berdetak.

***

Terlihat ruangan yang sangat berbeda dari kamarku saat mata ini terbuka. Sepertinya, ini di rumah sakit, tapi siapa yang membawaku? Apa Mas Ardan? Tapi dia di mana? Aku hanya sendirian di sini.

“Alhamdulillah, Win. Akhirnya, kamu bangun juga. Sudah lima jam lebih kamu gak bangun-bangun,” sapa Mas Ardan yang baru saja masuk ke kamar.

“Ini di mana, Mas?" tanyaku.

Mas Ardan hanya tersenyum sambil membelai kepalaku lembut. “Ini di rumah sakit, Sayang. Aku takut karena demam kamu tambah tinggi dan beberapa kali mengigau.”

“Mengigau? Aku bilang apa, Mas?”

“Bukan apa-apa, Win.” Mas Ardan diam sejenak, lalu mengambil napas dalam. “Apa kamu sudah pernah melakukannya dengan Bima?”

Aku terperangah mendengar pertanyaan yang dilayangkan Mas Ardan. Apa dia tahu tentang kesalahan yang sudah kubuat dengan Mas Bima?

Astagfirullah ... aku harus bilang apa pada Mas Ardan?

“Tolong jujur, Win! Setelah kita menikah lima belas hari yang lalu, aku belum pernah menyentuh bagian paling istimewa milikmu. Namun, hasil pemeriksaan darahmu di laboratorium menyatakan kalau ....”

“Kalau apa, Mas?” Aku takut sesuatu yang buruk menjadi kabar.

Mas Ardan kembali menghela napas. “Kamu hamil, Win.”

Hal yang tidak pernah terpikirkan olehku terjadi. Bujukan Mas Bima saat itu benar-benar membutakan mata hatiku hingga risiko terburuk tidak terlintas. Aku percaya jika kami akan benar-benar menikah dan kalaupun hamil, seharusnya tidak jadi masalah. Namun, kenyataannya berbeda. Aku hamil anak dari Mas Bima, tapi menikah dengan Mas Ardan yang notabene adalah sahabatku sendiri. Bahkan, di saat ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu, Papa dan Mama mengangkatnya sebagai seorang anak.

Aku tak mampu membendung air mata yang mulai menganak sungai. Hati ini seperti ditusuk dengan bambu runcing hingga menembus ke punggung. Sakitnya sangat memilukan dan memalukan. Perbuatan dosa itu akhirnya terbongkar dengan sendirinya dan harus menghasilkan benih yang tertanam di dalam rahim ini.

Aku menyesal, sangat menyesal. Namun, nasi sudah menjadi bubur hingga tak mampu lagi menjadi makanan yang mengenyangkan. Aku hancur karena kesalahan sendiri. Kenapa dengan mudahnya percaya pada ucapan lelaki yang memang dari awal tidak mendapat restu dari Papa?

“Maafkan aku, Mas Ardan! Aku salah, aku sudah kotor. Ceraikan saja aku, Mas! Aku hanya akan menjadi beban buatmu dan anak ini … dia lebih baik mati saja!” Kupukuli perut yang masih datar ini berkali-kali. Namun, Mas Ardan mencekal kedua tanganku sangat erat. Menghentikan tindakan yang mungkin akan menambah banyak daftar dosaku.

“Aku gak akan menceraikanmu, Win. Aku mencintaimu tulus. Untuk anak ini, dia akan menjadi anakku. Tidak ada satu orang pun yang tahu kejadian itu, ‘kan? Itu berarti, semua orang hanya akan tahu kalau kamu hamil anakku.”

Aku menggeleng lemah. “Kamu terlalu baik untukku, Mas. Sementara, aku hanya akan menjadi noda di lembaran kehidupanmu.” Aku semakin terisak.

“Aku memang kecewa, Win. Namun, kamu juga menjadi korban. Aku memang sudah tidak suka dengan Bima sejak pertama melihatnya, tapi aku mencoba berpikir positif karena melihatmu bahagia saat bersamanya. Aku pun ikut andil dengan apa yang kamu alami saat ini. Kalau saja aku bersikeras seperti Papa untuk menolak rencana pernikahan kalian, mungkin hal ini tidak akan terjadi.” Mas Ardan tampak memendam amarah.

“Ceraikan aku, Mas! Tolong, ceraikan aku sekarang juga! Aku tidak mau kalau orang sebaik kamu harus ikut menanggung dosa yang kulakukan.” Kucoba melepaskan kedua tangan dari cengkeraman Mas Ardan yang masih sangat erat. Namun, tenagaku tidak sebanding dengan tenaganya.

“Win! Sampai kapan kamu mau menyakiti anak tidak berdosa di dalam rahimmu? Dia tidak tahu apa-apa, Win. Apa kamu mau menambah dosa lagi, hah?” sentak Mas Ardan dengan suara yang cukup tinggi.

Lagi-lagi, aku hanya bisa menangis tanpa mampu berucap. Merutuki kesalahan diri yang semakin menenggelamkan hati di lautan nestapa.

Aku tahu jika menyembunyikan sesuatu tidak akan mungkin bisa rapi dan tertutup rapat. Pasti akan ada celah untuk orang lain mengetahuinya. Akan tetapi, aku tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Apalagi, itu adalah aib yang seharusnya tidak kulakukan. Dan sekarang, Mas Ardan sudah mengetahuinya dengan cara yang tidak kusangka. Dia orang pertama yang tahu jika sudah ada seonggok daging sudah tumbuh di dalam rahimku.

***

Setelah semalaman dirawat di rumah sakit, siang ini aku diperbolehkan pulang. Mas Ardan kembali mengambil cuti hari ini. Pekerjaannya sebagai menejer operasional sebuah pabrik Garment membuatnya leluasa untuk mengambil izin. Lagipula, Mas Ardan lelaki yang sangat bertanggung jawab dengan pekerjaan. Dia juga sangat jarang mengambil jatah cutinya.

“Kamu pengen sesuatu, Win? Biasanya, perempuan hamil muda ‘kan sering ngidam,” ujar Mas Ardan sambil tetap fokus menyetir mobil.

Aku menggeleng. “Aku gak pengen apa-apa, Dan. Eh, Mas Ardan.”

“Panggil seperti biasa saja kalau lidahnya masih belibet, Win. Aku gak masalah, kok.”

“Gak, Mas. Kata Papa dan Mama memang benar, aku harus menghormati kamu sebagai seorang suami.”

Mas Ardan tersenyum sekilas ke arahku, lalu kembali melihat lurus ke depan. Aku memilih menoleh ke kiri. Melihat tepian jalan yang lengang di tengah hari yang terik. Namun, aku melihat seseorang yang sepertinya Mas Bima di depan sebuah minimarket.

“Mas Ardan, berhenti, Mas!” teriakku.

Mas Ardan pun menghentikan mobilnya setelah mendapat tempat untuk menepi.

“Ada apa, Win?” tanyanya sambil mengubah posisi menghadapku.

“Aku lihat Mas Bima di minimarket tadi, Mas,” kataku sambil menunjuk ke arah belakang mobil.

“Biar aku yang pastikan, Win. Kamu di sini saja dan jangan keluar! Akan kuurus laki-laki tidak bertanggung jawab itu.” Mas Ardan masih tampak tenang meskipun suaranya sedikit meninggi.

Sebenarnya, aku ingin sekali menemuinya dan menanyakan alasan kenapa Mas Bima tega meninggalkan perempuan yang katanya dicintai pada hari pernikahan. Ada pemantik yang mulai menyulutkan api hingga tubuh ini terasa memanas menahan amarah dan kecewa.

“Win, kamu tetap di sini, biar aku yang keluar! Satu hal lagi yang harus kamu ingat. Jangan pernah kamu bilang ke Bima kalau kamu sedang mengandung anaknya. Janin di perut kamu akan menjadi anakku. Paham?" Mas Ardan menghentikanku saat akan keluar dari mobil.

Aku melihat Mas Ardan mendekati minimarket yang hanya berjarak satu rumah dengan keberadaan mobil ini. Benar yang kulihat, itu Mas Bima. Bisa-bisanya dia hidup tenang setelah apa yang dilakukan pada keluargaku. Terbuat dari apa hatinya hingga tega melakukan tindakan yang merugikan orang lain tanpa rasa beralah?

Napas ini kian memburu saat mengingat perbuatan memalukan yang sudah kulakukan karena bujukan setan yang bernama Abimanyu. Aku ingin tahu alasaan di balik perbuatan nekatnya yang hanya membuatku menjadi barang sisa dan dicampakkan setelah digunakan. Seperti sehelai tisu yang dibuang setelah digunakan untuk mengelap keringat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status