Bab selanjutnya.
"Sialan, beraninya dia mengusirku. Lihat saja, jika dia jatuh cinta kepadaku. Tau rasa dia!" umpat Gwen keluar dari kampus.
Ketika keluar dari kampus, Gwen melihat ada seorang ibu-ibu yang dijambret. Tanpa berpikir panjang lagi, Gwen menghadang dua jambret yang mengendarai satu motor tersebut.
"Woy, cari mati ya lu!" teriak jambret tersebut.
Tanpa banyak bicara, Gwen mengeluarkan belatinya dan menancapkannya ke ban motor jambret tersebut.
"Bosan hidup ya lu?" sulut jambret itu sambil menodongkan senjata tajamnya.
"Siapa?"
"Ya elu, bocah!"
"Yang nanya, hahaha. Turun! Kerja woy, jangan jambret, mana tadi dan kalung yang lu ambil," Gwen merebut tas ibu-ibu itu dari tangan jambret.
Beberapa orang langsung datang dan menangkap dua jambret tersebut. Gwen menarik kembali belatinya dan memasukkannya ke tempat semula. Namun, ketika penjahat itu hendak dibawa oleh warga, salah satu dari mereka yang membawa sajam menusuk lengan Gwen.
"Aw!"
"Badjingan!" teriak Gwen membalas tusukan tersebut dengan sajam milik penjahatnya.
"Sudah mbak, mbak terluka. Sebaiknya kita segera ke puskesmas terdekat," pemilik dari tas sangat khawatir kepada Gwen.
Lengan Gwen terus mengeluarkan darah. Bukannya syok, kaget atau takut, Gwen malah sibuk makan sisa martabak manisnya untuk mengurangi rasa sakitnya.
"Buset, mau dibawa kemana nih? Setahuku, puskesmas dekat kampus, ya puskesmas tempat Aisyah kerja," gumam Gwen dalam hati.
"Kagak! I can't go there, or Aisyah will scold me and make everyone blame me!" serunya.
Gwen mencoba memohon kepada ibu yang sebelumnya ter jambret tersebut. "Bu, tolong saya tidak apa-apa. Saya langsung pulang saja, ya--" pintanya. Namun, Ibu itu menolak dan bersikeras ingin membawanya ke puskesmas.
"Mampus! Mana udah sampai pula." gerutunya.
Di sisi lain, Aisyah tengah memeriksa pasien yang hampir saja selesai. "Baik, Pak. Ini resepnya, mohon di tebus, ya. Ingat, jangan minum kopi kebanyakan nggeh …." tutur sapa Aisyah terdengar begitu lembut.
"Alhamdulillah, selesai. Aku telpon Ibu dulu, siapa tau beliau lupa tentang pengajian nanti sore," gumam Aisyah meraih ponselnya.
Saat Aisyah hendak menelpon, suara salam seraya ketukan pintu terdengar dari luar. Dialah perawat yang bertugas di depan, memberitahukan kepada Aisyah, bahwa ada satu lagi pasien yang datang.
"Assalamu'alaikum," salam perawat tersebut.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, masuklah!"
"Maaf, Bu. Masih ada pasien yang akan masuk. Beliau terkena luka tusuk, dan mengeluarkan banyak darah," ucap perawat.
"Astaghfirullah hal'adzim, ya sudah cepat bawa masuk!" Aisyah mengantongi ponselnya kembali, kemudian mensterilkan tangannya terlebih dahulu.
Ibu yang kejambretan menemaninya masuk. Gwen sudah menolak dan memberikan alasan banyak kepada ibu itu, tetap saja ibu itu bersikeras dan tidak mau mendengar.
"Kamu ini, ya. Luka dalam begini, kok ndak mau di obati, sih? Kenapa, takut di suntik?" tanya Ibu tesebut.
"Masalahnya, dokter di sini itu … galak banget, Bu. Saya takut dokternya, bukan dengan suntikan, serius dah!" celetuk Gwen mengangkat dua jarinya.
"Dokter sedang di kamar kecil, silahkan Ibu membawa putrinya duduk dulu. Biar saya bersihkan lukanya," pinta perawat tersebut dengan menahan tawa.
Gwen sering kali meminta uang saku kepada Aisyah ke puskesmas, jadi semua perawat dan dokter jaga lain pun mengenalinya. Termasuk perawat yang satu itu. Dengan senyuman nakalnya, Gwen menebak bahwa perawat tersebut tidak memberitahu Aisyah jika pasiennya adalah saudarinya sendiri.
----
"Dimana luk--" raut wajah Aisyah seketika berubah ketika melihat bahwa pasiennya adalah saudarinya sendiri. Tanpa wajah bersalah juga, Gwen melambaikan tangannya.
Aisyah menoleh ke jam dinding yang ada di ruangannya. Kemudian menengok jam tangannya. Waktu yang tidak tepat jika melihat Gwen berada di depannya saat itu.
Tak ingin ibu itu tau, Aisyah pun mengajak ibu itu keluar untuk bicara. "Lalu, bagaimana dengan gadis itu?" tanya Ibu tersebut.
"Kan, aku sudah bilang, Bu. Dokter di sini galak sekali, dia tidak mau menerimaku," rengek Gwen mencari pembenaran.
"Sus, suntik dia. Pakai vitamin akhlak, biar akhlaknya makin baik," ujar Aisyah masih dengan tatapan yang menyeramkan bagi Gwen.
"Loh, kok,. dokter begitu? Jangan begitu dengan pasien, nanti semua orang jadi takut berobat di sini," terus Ibu itu.
Dengan tutur sapa yang lembut, Aisyah mengajak Ibu itu keluar. Menerangkan, bahwa pasien yang ada di dalam itu adalah saudarinya yang bandel.
"Bandel? Ah, itu tidak mungkin, Dokter. Buktinya, dia menolong saya saat saya dijambret tadi," ungkap Ibu tersebut.
"Alhamdulillah, tapi ibu tidak apa-apa, 'kan?" tanya Aisyah mengamati Ibu itu dari atas sampai bawah dan ke atas lagi.
Aisyah mengatakan bahwa seharusnya Gwen sedang berada di kampus. Itu yang membuatnya marah. Gwen selalunya bolos dan tidak berpikir bagaimana orang tuanya sudah menghabiskan banyak uang untuk biaya kuliahnya.
Memang, mereka keturunan orang yang berada. Namun, bukan berarti harus malas dan seenaknya saja. Orang kaya pun kalau pemalas, hartanya akan terbuang sia-sia.
Saat Aisyah berbincang dengan Ibu itu, datanglah seorang lelaki yang menghampiri mereka. Aisyah mengira bahwa lelaki tersebut adalah anak dari ibu itu.
"Ibu, apakah ibu baik-baik saja?" tanya lelaki tersebut dengan raut wajah cemas.
"Ibu tidak apa-apa. Tapi, gadis yang sudah menyelamatkan ibu … dia terluka dan sedang dirawat di dalam sana," jawab Ibu itu, seraya menunjuk ruang pemeriksaan.
Aisyah berkata bahwa dirinya adalah kakak dari gadis itu. Tentu saja lelaki tersebut berterima kasih kepada Aisyah dan ingin bertemu langsung kepada gadis yang sudah menolong wanita yang paling berharga baginya.
"Em, baiklah. Ayo silahkan masuk!" ajak Aisyah.
Pemandangan yang sangat unik ketika Aisyah membuka pintu, Gwen sedang mengarahkan jarum suntiknya ke arah perawat.
"Gwen!"
"Apa yang kamu lakukan?" Aisyah langsung merebut suntikan tersebut.
Tanpa rasa bersalah, Gwen juga mengusir lelaki yang merupakan putra dari ibu-ibu yang sebelumnya ia tolong. Rupanya, putra dari ibu itu adalah dosen baru di kampus dimana Gwen belajar, yakni Pak Raza.
"Pak Raza? Anda ngapain di sini?" sulit Gwen.
"Kamu kenal dengan anak saya?" tanya Ibu itu. Ibu itu bernama Ibu Nurmala, atau sering di panggil Ibu Nur.
Aisyah menyapa Gwen, kemudian menatap Pak Raza dengan seksama. Memikirkan apa yang terlintas di pikirannya, lalu Aisyah menepuk keningnya sendiri.
"Maaf, Pak. Berapa uang yang sudah anda keluarkan untuknya?" tanya Aisyah, seolah paham sekali jika adiknya memeras dosennya sendiri.
"Em, itu … Bu Dokter, tau?" Pak Raza menjadi malu saat Aisyah mengetahui hal tersebut.
Aisyah menatap adiknya dengan tatapan membunuh. Lalu, meminta perawat yang masih ada di sana mengambilkan dompetnya. Aisyah memberikan uang sebesar 370 ribu kepada Pak Raza.
"Ini, pasti segini yang diminta oleh Gwen, 'kan? Saya kembalikan, dan lain kali jangan beri dia uang lagi," ucap Aisyah memberikan uang terebut kepada Pak Raza.
"Kak--"
"Diam! Urusanmu denganku setelah ini!" desis Aisyah mengangkat telunjuknya.
"Tapi saya memberikannya dengan ikhlas. Dia sudah melakukan apa yang saya katakan, bukankah itu juga bisa dianggap hadiah untuknya, Bu Dokter?" ujar Pak Raza.
Aisyah menghela napas panjang dan meminta maaf kepada Ibu Nur serta Pak Raza atas kelakuan yang dilakukan Gwen.
"Kak, ini sudah berlebihan. Aku membantu Ibunya, dan dosen ini memberiku uang dengan hasil kerjaku juga. Jadi, apa masalahnya?" protes Gwen tidak terima dirinya terus disalahkan.
Setelah perdebatan yang membagongkan, Aisyah meminta Ibu Nur dan juga Pak Raza keluar sampai parkiran. Di sisi lain, Aisyah juga mengatakan bahwa adiknya adalah gadis yang sangat baik dan menurut dengan perintah keluarga.
Begitulah seorang saudara. Bertengkar ketika berdua, namun saling menyanjung di belakang.
Bab selanjutnya."Lihat saja nanti, jika Kak Chen kembali … pasti aku yang selalu dimanja. Dan Aisyah, akan habis ditangan Kak Chen!" gerutunya."Mbak Gwen ini, kenapa terus menganggap Dokter Aisyah mengerikan? Dia ini sebenarnya baik, loh, Mbak." Perawat yang sebelumnya hendak di suntik oleh Gwen, tengah membalut luka di lengannya."Iya, dia itu terlalu tegas. Semua orang ngecap kalau dia baik dan aku buruk. Itulah!" umpat Gwen.Setelah mengantar Pak Raza dan Ibu Nur keluar, Aisyah bergegas masuk dan menelpon ibunya. Mengingatkan bahwa sore nanti acara pengajian di rumah Airy.Usai menelpon, Aisyah masuk dan mendapati Gwen tertidur di sofa yang selalu dipakai Aisyah untuk istirahat kalau tubuhnya lelah usai bekerja.
Setelah mengganti perban di lengannya, Gwen meminta izin kepada Maminya untuk ke restoran menyusul Ayahnya. Gwen memang dekat sekali dengan Yusuf semenjak Yusuf tahu bahwa dirinya adalah putri kandungnya 13 tahun yang lalu."Mau kemana? Rapi amat?" tanya Aisyah sibuk dengan laptopnya."Suka-suka aku lah!" jawab Gwen sinis. "Yang penting aku udah bilang ke Mami, kalau aku mau otw," imbuhnya sambil memakai sepatu milik Aisyah."Sepatu siapa itu?""Nggak tau, nemu!" jawaban Gwen masih ketus."Masih ngambek?" tanya Aisyah mencoba basa-basi.Namun, Gwen hanya diam saja. Sebelum pergi, ia menadahkan tangan lebih dulu kepada Aisyah, tanda jika dir
Persiapan kondangan sudah selesai. Aisyah juga telah membungkus kado untuk pernikahan Ustadz Khalid dengan istrinya. Masih dalam hati yang terluka, Aisyah membungkus kado tersebut dengan melamun."Jangan melamun, nanti bungkusnya jadi jelek. Sini, biarkan aku yang bungkus kado itu!" tegur Feng meminta kado itu dari tangan Aisyah."Hm, jodoh itu tidak ada yang tau, Ko. Siapa yang mendamba, dan siapa yang mendapatkannya," ucap Aisyah dengan helaan napas panjang."Iso nyawang tapi ra iso nduweni. Huft, ngenes ndes. Tresno pancen ra kudu duweni, sista. Sabar, ya." celetuk Gwen menepuk-nepuk pundak Aisyah.(Bisa memandang, tapi tidak bisa memiliki. Cinta memang tidak harus memiliki)Aisyah dan Feng menatap pakaian yang dipakai Gwen pagi
Tiba saatnya dimana Aisyah dan Feng akan berangkat ke Bangkok. Gwen masih bersikap seperti biasa, dengan rencana yang sudah ia siapkan agar bisa menyusul saudarinya ke sana.Mereka sarapan tanpa Rebecca dan Yusuf, sebab keduanya sedang ada acara sejak semalam belum pulang. Namun, Rebecca dan Yusuf sudah memberikan izin kepada putrinya bertugas."Kalian berangkat jam berapa?" tanya Gwen."Mau tau aja urusan orang!" jawaban Aisyah membuat Gwen kesal tentunya. Gwen merasa memang Aisyah sudah tidak menyayanginya lagi, saat Feng ada bersamanya."Dih, nanya baik-baik juga. Kenapa jawabnya gitu? Kalau masih sakit hati sama ustadz Khalid, ya jang--" ucapan Gwen terputus ketika Aisyah menatapnya dengan tatapan tajam."Um, aku berangkat ke k
"Kamu mau apa, sih?" tanya Pak Raza serius."Jawab aja. Kapan terakhir Pak Raza bepergian keluar negri, terus visa-nya masih aktif atau tidak, gitu!" Gwen masih mendesak agar Pak Raza mau menjawab semua pertanyaannya."Huft, Allahu Akbar. Iya, saya jawab nih, ya. Saya terakhir kali ke luar negri lima hati yang lalu, dengan bisa pelancong. Terus, kamu mau apa?" jelas Pak Raza sedikit kesal."Cocok, hari ini kita otw ke Bangkok. Janji aku bakal belajar dengan gajian. Tapi, hari ini, memang kita harus segera berangkat!" seru Gwen dengan mata yang berbinar-binar.Pak Raza terkejut dengan pernyataan itu. Ia berusaha menolak dan menanyakan mengapa Gwen mengajaknya ke luar negri secara mendadak. Tanpa mendengarkan penolakan dan penjelasan dose
Kedatangan Chen bersamaan dengan kedatangan Aisyah dan Feng di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Mereka telah tiba di waktu yang sama di ibukota Negara Seribu Pagoda itu. Mereka juga sempat jalan depan belakang keluar dari bandar. Lalu, berpisah kembali karena Aisyah dan Feng sudah dijemput dari dinas kesehatan di sana.Chen merasakan kehadiran saudarinya, jantungnya berdebar kencang, dan air matanya mulai menetes tanpa membendung. "Ada apa denganku? Kenapa jantungku berdebar dengan cepat seperti ini?" gumamnya dalam hati seraya menyentuh dadanya.Tanpa Chen sadari, bahwa adiknya baru saja berdiri dibelakangnya. Ia pun menoleh, namun Aisyah sudah tidak ada lagi di sana. Air matanya juga tiba-tiba menetes tanpa sebab, hatinya juga merasakan kegelisahan yang tidak tahu apa penyebabnya juga."Tuan, mobilnya sudah datang. Mari, kita akan segera bertemu dengan Tuan Wil." ucap Asi
Chen dan Gwen saling menatap, wajah manis Gwen mengingatkan akan seseorang dalam ingatan Chen, setelah beberapa saat, Chen pun menutup kaca mobilnya kembali."Sepertinya … aku pernah melihat gadis itu. Tapi, dimana aku pernah melihatnya?" gumam Chen kembali menatap Gwen.Tak sengaja, ia melihat dirinya dari cermin di kaca depan mobilnya. Kemiripan pada dirinya menyiratkan tanda tanya. Sekilas, mereka sangat mirip, bedanya hanya pada mata mereka.Jika saja Gwen juga memiliki mata berwarna biru, mereke berdua hanya akan dibedakan oleh gender. Keduanya sangat mirip dengan ibunya, Rebecca."Jika dilihat, gadis itu mirip denganku. Hm, aku pernah dengar jika di dunia ini, semua orang memiliki 7 rupa yang hampir mirip meski orangnya berbeda," gumam Chen."Sialan, kupikir dia akan mendatangiku. Ganteng sih, tapi sombong. Eh, mobilnya keren juga,
Masing-masing regu di dampingi oleh perawat maupun dokter dari pribumi agar bisa berkomunikasi meski akan ada perbedaan dalam berbahasa sedikit.Mereka berempat di sambut dengan ramah oleh kepala desa dan seluruh warga. Keadaan desa itu sangat menyeramkan bagi Syamsir yang penakut.Meski menggunakan obor dan listrik hanya ada di gedung besar dan balai desa, tetap saja baginya sangat menakutkan.Jamuan makan malam juga berlangsung khidmat. Mereka mulai bercengkrama dengan baik. Makanan yang disiapkan juga sesuai dengan selera Aisyah, Feng dan juga Syamsir sebagai seorang muslim. Hanya sayuran dan tanpa adanya daging di sana."Jika boleh tau, dokter ini dari mana? Satu negara, atau beda negara?" tanya Mee Noi, anak kepala desa yang baru saja pulang dari Ibu Kota.