Bara benar-benar kurangajar, pria itu tidak mempedulikan Berlian yang terus menatapnya sembari menjilat bibir bawahnya. Bibir Berlian terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi gadis itu mengatupkannya kembali. Berlian menatap sekelilingnya. Di sana banyak anak muda yang tengah berpacaran. Berlian meringis jijik tatkala melihat gaya anak muda yang pacaran, berpelukan di depan orang banyak dan suap-suapan.
"Kamu kenapa?" tanya Bara melihat Berlian yang tampak aneh. Bara mengikuti arah pandang Berlian. Bara sudah terbiasa melihat muda-mudi yang pacaran di sekitarnya. Namun kali ini ia melihat yang lebih parah, yaitu seorang pria muda mendekatkan wajahnya ke pacaranya. Sama sekali tidak punya malu berada di antara banyak orang.
"Menjijikkan," cicit Berlian yang diangguki Bara.
"Modal seratus ribu saja sudah mau main sosor," tambah Berlian. Berlian bergidik ngeri, gadis itu memalingkan pandangannya.
"Sekarang kalau pacaran gak perlu modal
Berlian melepas tautan tangan Bara yang menggenggamnya, tanpa sepatah kata pun Berlian pergi meninggalkan Bara dengan tergesa-gesa. Napas Berlian memburu, ingatan tentang kecelakaan beberapa tahun silam membuatnya tidak tenang. Keringat dingin terus bercucuran di dahi dan tangannya. "Berlian," teriak Bara mengejar Berlian. Pria itu berlari kencang dan menarik tangan Berlian, memaksa gadis itu untuk berhenti. "Berlian, mau kemana?" tanya Bara. "Aku mau pulang," jawab Berlian. "Motorku ada di sana." "Aku bisa naik taksi," jawab gadis itu dengan napas yang masih terengah-engah. "Kamu tidak bawa uang kalau kamu lupa," ujar Bian. Berlian terdiam, ia meremas tali tas yang dia kenakan. "Aku akan mengantarmu pulang," kata Bian menarik tangan Berlian agar mengikutinya. Mau tidak mau Berlian mengikuti Bara.Saat sampai di motornya, Bara memberikan helm pada Berlian. Helm pink itu baru sa
"Ambil apa saja yang kamu inginkan, kakak yang bayar," ucap Berlian pada Azka. Saat ini mereka bertiga tengah berada di Toserba. Azka sudah berteriak kegirangan mendengar ucapan Berlian."Kakak, gak pantes," ejek Bara lirih. Berlian melirik Bara sekilas. Namun gadis itu segera pergi untuk membantu Azka membeli jajan. Bara menggelengkan kepalanya. Tingkat narsis Berlian sangat tinggi, gadis itu lupa usia sampai ingin dipanggil kakak."Tante, aku mau ini," ucap Azka menunjukkan snack yang ia bawa."Panggil kakak!" titah Berlian."Eh iya, kakak. Aku boleh kan ambil ini?""Jangankan satu snack, sekalian tokonya bakal kakak beliin," jawab Berlian. Berlian menata snack-snack yang tidak sesuai dengan garis lebel harga di rak.Penyakit OCD yang diderita Berlian kambuh tidak tahu tempat. Ada kalanya Berlian terlihat seperti orang normal, ada kalanya juga ia seperti orang gila yang tidak jenak dengan hal-hal yang sa
Berlian kalangkabut saat mendengar Azka menangis dengan kencang. Azka tengah mengamuk pada omnya. Bocah itu menerjang tubuh omnya dan memukul-mukul kaki omnya kencang. Azka menangis karena es krim yang dia beli dimakan sampai habis oleh omnya. Air mata sudah bercucuran di pipi bocah itu."Om Bara jahat. Om Bara makan eskrim ku," teriak Azka memukul Bara dengan brutal."Kita pulang," ucap Bara menggendong Azka. Azka memberontak, bocah itu bergerak terus dan masih menangis kencang."Dokter Bara, sudah tahu es krim Azka, kenapa harus dimakan sih," ucap Berlian."Om Bara jahat .... huuu huuu ....." Azka turun dari gendongan Bara, bocah itu mendekati Berlian, menangis di bawah kaki kakak yang sudah membelikannya es krim."Iya kita beli lagi. Ayo," ajak Berlian."Berlian, biarkan saja. Jangan apa-apa selalu diberikan. Biarkan Azka belajar kalau setiap keinginan tidak melulu harus didapatkan," tegas Bara menarik
"Sialan, cepat pergi!" teriak Ira."Saya juga akan pergi dari sini. Lihat rumah Anda yang sangat kuno. Televisi sudah bobrok, sofa sudah reyot dan dinding yang retak. Orang normal akan dengan senang hati saat saya bertamu, tapi Anda malah sebaliknya, sama sekali tidak logis," oceh Berlian.Ira menatap berang ke arah Berlian, perempuan itu berlari menuju dapur seraya mengambil centong. Ira berteriak ingin menghajar Berlian dengan centong. Melihat ibunya yang mengamuk, Bara segera menarik Berlian agar menjauh. Berlian memberontak dari cekalan Bara. Gadis itu ingin duel one by one dengan ibunya Bara."Kenapa? Mau pukul saya? Ayo pukul!" teriak Berlian mendorong tubuh Bara hingga limbung. Berlian menyisingkan lengan kaosnya dan menantang Ira.Tidak ada yang boleh menghinanya, apalagi terang-terangan melawannya. Ia datang baik-baik dan tersenyum lebih dahulu pada Ira. Namun balasan Ira malah menyuruhnya keluar. Tamu mana yang t
"Bara, sejak kapan kamu bergaul dengan gadis tadi?" tanya Ira memukul meja makan dengan kencang. Azka dan Bara yang duduk pun tersentak dibuatnya."Ibu, kenapa ibu tidak menyukai dia? Dia temanku.""Kamu tidak tahu bagaimana reputasi keluarga Evans? Ibu tidak suka kamu dekat dengan dia karena demi kebaikan kamu. Teman kamu banyak, kenapa harus milih dia?""Hubungan kami hanya sebatas teman, Bu.""Bara, siapa laki-laki yang tidak suka Berlian? Ibu yakin kalau setiap hari kamu bertemu dia, kamu akan jatuh cinta sama dia. Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi, Bara.""Ibu, cukup. Aku tahu niat ibu baik, tapi cara ibu salah. bagaimana pun juga Berlian itu temanku dan sedang bertamu.""Lihat dia saja sangat angkuh, bagaimana bisa kamu berteman dengan orang angkuh seperti dia." Ira mendudukkan tubuhnya dengan kasar. Napas perempuan itu memburu mengingat pertengkarannya dengan Berlian.Ira sudah hapa
"Deon, kenapa kamu hanya diam?" tanya Berlian yang melihat Deon tampak merenung."Ah enggak apa-apa. Ibuku lagi tidak di rumah, bagaimana kalau kita kencan di luar?" tanya Deon mengelus pipi Berlian."Kenapa ibu kamu tidak pernah ada di rumah?""Berlian, bukan begitu. KIta kencan saja di luar."Berlian menatap Deon dengan serius, gadis itu tampak menelisik. Pikiran buruknya tidak bisa terbendung lagi. "Atau jangan-jangan ibu kamu tidak suka dengan aku?" tanya Berlian."Mana mungkin tidak suka," sela Deon cepat. Deon mendorong tubuh Berlian hingga Berlian duduk di bangkunya. Deon juga menarik kursi Berlian hingga posisinya rendah."Berlian, kamu pasti lelah setelah seharian ini. Malam ini aku akan memanjakanmu," ucap Deon mencium kening Berlian dengan lembut. Deon menarik sabuk pengamannya, memakaikannya pada Berlian."Duduk dengan tenang, anak baik!" Deon mengusap puncak kepala Berlian. Berlian meng
"Deon, lihat aku. Kenapa ibu kamu tidak menyukaiku?" tanya Berlian segera berdiri. Berlian memutar-mutar tubuhnya di hadapan Deon."Berlian, kamu tidak kurang apa-apa," jawab Deon menahan tubuh Berlian."Kalau aku tidak kurang apa-apa, kenapa semua orang melarang anaknya dekat denganku? Hari ini, sudah dua orang ibu yang menyuruh anaknya menjauhiku. Aku salah apa, Deon? Kenapa tidak ada yang menginginkanku?""Berlian, maksudnya bukan begitu.""Kalau bukan begitu, lalu apa?" teriak Berlian. Deon tersentak kecil, tangan pria itu masih memegangi pundak Berlian."Selama ini aku selalu berusaha memperlihatkan aku perempuan mandiri, pekerja keras, dan segalanya aku pelajari agar aku bisa. Aku selalu menilai diriku sempurna di mata dunia, tapi kenyataannya apa? Ibu kamu tidak menyukaiku, Deon.""Aku sangat mendambakan seorang pria yang benar-benar mencintaiku, menyayangiku dan mengasihiku. Tapi saat kamu mencinta
"Berlian, aku mencintaimu," ucap Deon."Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu menyuruhku menunggu selama ini, Deon?""Aku sudah janji kalau aku akan meminta restu pada ibuku dan ibu kamu. Kalau bisa, aku juga akan berusaha keras menjadi seperti kamu agar bisa menjadi menantu yang diidamkan ibu kamu.""Aku menikah dengan kamu, bukan kamu menikah dengan ibuku. Aku tidak butuh uangmu, aku tidak butuh jabatanmu, aku hanya butuh kamu yang mencintaiku." Berlian memeluk tubuh Deon dengan erat. Gadis itu menangis dengan kencang di pelukan pacarnya. Tangisan Berlian tidak bisa terbendung lagi.Semandiri apapun seorang perempuan, pasti ada kalanya akan merasa sedih meski dengan hal-hal yang bahkan sangat sepele. "Aku hanya butuh kamu yang menyayangiku, Deon. Aku tidak peduli siapapun yang menentangku, aku hanya ingin dirimu. Kalau kamu tidak bisa berjuang, aku yang akan berjuang, Deon. Aku akan meminta restu pada ibumu, semua yang ibumu minta, aku a