"Sialan, cepat pergi!" teriak Ira.
"Saya juga akan pergi dari sini. Lihat rumah Anda yang sangat kuno. Televisi sudah bobrok, sofa sudah reyot dan dinding yang retak. Orang normal akan dengan senang hati saat saya bertamu, tapi Anda malah sebaliknya, sama sekali tidak logis," oceh Berlian.
Ira menatap berang ke arah Berlian, perempuan itu berlari menuju dapur seraya mengambil centong. Ira berteriak ingin menghajar Berlian dengan centong. Melihat ibunya yang mengamuk, Bara segera menarik Berlian agar menjauh. Berlian memberontak dari cekalan Bara. Gadis itu ingin duel one by one dengan ibunya Bara.
"Kenapa? Mau pukul saya? Ayo pukul!" teriak Berlian mendorong tubuh Bara hingga limbung. Berlian menyisingkan lengan kaosnya dan menantang Ira.
Tidak ada yang boleh menghinanya, apalagi terang-terangan melawannya. Ia datang baik-baik dan tersenyum lebih dahulu pada Ira. Namun balasan Ira malah menyuruhnya keluar. Tamu mana yang t
"Bara, sejak kapan kamu bergaul dengan gadis tadi?" tanya Ira memukul meja makan dengan kencang. Azka dan Bara yang duduk pun tersentak dibuatnya."Ibu, kenapa ibu tidak menyukai dia? Dia temanku.""Kamu tidak tahu bagaimana reputasi keluarga Evans? Ibu tidak suka kamu dekat dengan dia karena demi kebaikan kamu. Teman kamu banyak, kenapa harus milih dia?""Hubungan kami hanya sebatas teman, Bu.""Bara, siapa laki-laki yang tidak suka Berlian? Ibu yakin kalau setiap hari kamu bertemu dia, kamu akan jatuh cinta sama dia. Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi, Bara.""Ibu, cukup. Aku tahu niat ibu baik, tapi cara ibu salah. bagaimana pun juga Berlian itu temanku dan sedang bertamu.""Lihat dia saja sangat angkuh, bagaimana bisa kamu berteman dengan orang angkuh seperti dia." Ira mendudukkan tubuhnya dengan kasar. Napas perempuan itu memburu mengingat pertengkarannya dengan Berlian.Ira sudah hapa
"Deon, kenapa kamu hanya diam?" tanya Berlian yang melihat Deon tampak merenung."Ah enggak apa-apa. Ibuku lagi tidak di rumah, bagaimana kalau kita kencan di luar?" tanya Deon mengelus pipi Berlian."Kenapa ibu kamu tidak pernah ada di rumah?""Berlian, bukan begitu. KIta kencan saja di luar."Berlian menatap Deon dengan serius, gadis itu tampak menelisik. Pikiran buruknya tidak bisa terbendung lagi. "Atau jangan-jangan ibu kamu tidak suka dengan aku?" tanya Berlian."Mana mungkin tidak suka," sela Deon cepat. Deon mendorong tubuh Berlian hingga Berlian duduk di bangkunya. Deon juga menarik kursi Berlian hingga posisinya rendah."Berlian, kamu pasti lelah setelah seharian ini. Malam ini aku akan memanjakanmu," ucap Deon mencium kening Berlian dengan lembut. Deon menarik sabuk pengamannya, memakaikannya pada Berlian."Duduk dengan tenang, anak baik!" Deon mengusap puncak kepala Berlian. Berlian meng
"Deon, lihat aku. Kenapa ibu kamu tidak menyukaiku?" tanya Berlian segera berdiri. Berlian memutar-mutar tubuhnya di hadapan Deon."Berlian, kamu tidak kurang apa-apa," jawab Deon menahan tubuh Berlian."Kalau aku tidak kurang apa-apa, kenapa semua orang melarang anaknya dekat denganku? Hari ini, sudah dua orang ibu yang menyuruh anaknya menjauhiku. Aku salah apa, Deon? Kenapa tidak ada yang menginginkanku?""Berlian, maksudnya bukan begitu.""Kalau bukan begitu, lalu apa?" teriak Berlian. Deon tersentak kecil, tangan pria itu masih memegangi pundak Berlian."Selama ini aku selalu berusaha memperlihatkan aku perempuan mandiri, pekerja keras, dan segalanya aku pelajari agar aku bisa. Aku selalu menilai diriku sempurna di mata dunia, tapi kenyataannya apa? Ibu kamu tidak menyukaiku, Deon.""Aku sangat mendambakan seorang pria yang benar-benar mencintaiku, menyayangiku dan mengasihiku. Tapi saat kamu mencinta
"Berlian, aku mencintaimu," ucap Deon."Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu menyuruhku menunggu selama ini, Deon?""Aku sudah janji kalau aku akan meminta restu pada ibuku dan ibu kamu. Kalau bisa, aku juga akan berusaha keras menjadi seperti kamu agar bisa menjadi menantu yang diidamkan ibu kamu.""Aku menikah dengan kamu, bukan kamu menikah dengan ibuku. Aku tidak butuh uangmu, aku tidak butuh jabatanmu, aku hanya butuh kamu yang mencintaiku." Berlian memeluk tubuh Deon dengan erat. Gadis itu menangis dengan kencang di pelukan pacarnya. Tangisan Berlian tidak bisa terbendung lagi.Semandiri apapun seorang perempuan, pasti ada kalanya akan merasa sedih meski dengan hal-hal yang bahkan sangat sepele. "Aku hanya butuh kamu yang menyayangiku, Deon. Aku tidak peduli siapapun yang menentangku, aku hanya ingin dirimu. Kalau kamu tidak bisa berjuang, aku yang akan berjuang, Deon. Aku akan meminta restu pada ibumu, semua yang ibumu minta, aku a
Berlian sudah cantik dengan pakaian santai yang dia kenakan, gadis itu memencet bel di samping pintu rumah bercat putih yang tampak elegan. Tidak berapa lama, seorang perempuan paruh baya datang membukakan pintu. Saat tahu siapa yang datang, Frida ingin menutup kembali pintunya. Namun, Berlian segera menahannya."Bu, maaf, aku ingin bertemu ibu," ucap Berlian menahan pintu yang akan tertutup. Lidah Berlian terasa gatal tatkala berucap dengan nada yang ia buat selembut mungkin."Buat apa kamu mencari saya?" tanya Frida dengan galak. Frida ibu dari Deon, meski ia belum pernah betatap muka dengan Berlian, ia cukup tahau rupa gadis itu."Bu, saya ingin bicara dengan ibu," jawab Berlian pelan. Berlian nekat mendatangi kediaman Deon hanya untuk bertemu dengan ibu pacarnya itu. Setelah mendesak Bian untuk mencari alamat rumah Deon, akhirnya Berlian menemukannya."Bicara sekarang, saya sibuk jangan lama-lama," ucap Frida."Ini
"Saya mau ini, saya mau ini, ini, ini dan ini, oh tambah satu lagi, yang sana." Frida menunjuk baju-baju cantik yang ada di mall bintang lima yang ia datangi bersama Berlian. Berlian seperti asisten yang membawa banyak belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Namun Frida masih belum puas, perempuan itu masih memilih-milih baju yang ia sukai.Berlian merasa seluruh tubuhnya sangat gatal, ia juga cemas dengan dirinya sendiri, kepalanya sejak beberapa menit lalu sudah terasa pusing melihat deretan baju yang tertata tidak rapi. Juga tangan Berlian terasa kaku harus memegang benda-benda yang bahkan ia sendiri tidak pernah memegang sebanyak itu, selalu ada asisten yang membantunya. Beberapa kali Berlian menata ulang belanjaan Frida kala otaknya menyuruh menata ulang, kalau tidak begitu, otaknya selalu mengatakan akan ada yang celaka.Berlian sudah gelisah, tapi Frida sama sekali tidak peduli. Frida masih memilih-milih belanjaan. Seratus juta sudah terbuang sia-sia
"Lihat itu, kamu hanya memberikan saya beberapa baju, tapi kamu berani membentakku," ucap Frida menatap sinis ke arah Berlian."Tidak begitu, Bu. Aku sedang ... aku .... aku ... ah iya, menarik perseneling." Berlian menarik persenelengnya. Gadis itu berusaha keras untuk mengendalikan dirinya yang sudah cemas akut. Berlian membawa obat penenangnya, tapi tidak mungkin mengkonsumsi di depan Frida. Yang ada, akan banyak pertanyaan yang mungkin tidak bisa dijawab oleh Berlian."Kamu bisa mengendarai atau tidak, sih?" tanya Frida yang sudah marah dengan Berlian. Berlian mengangguk-anggukkan kepalanya, gadis itu mulai menjalankan mobilnya dengan perlahan.Sepanjang perjalanan, Frida tidak berhenti mengoceh, membicarakan sikap Berlian yang tidak masuk akal, angkuh dan semena-mena. Segala keburukan Berlian diucapkan Oleh Frida. Saat-saat gangguan kecemasan muncul, yang Berlian inginkan hanya ketenangan agar ia bisa mengendalikan dirinya. Namun yang ada,
Bara membawa Berlian untuk pulang ke rumah gadis itu. Untungnya Berlian masih sedikit sadar untuk memberikan kode akses untuk pintu. Berlian sudah lemas di pelukan Bara, saat sudah masuk, Bara membopong tubuh Berlian ke sofa. Pria itu menidurkan Berlian di sana dengan menumpuk bantal sofa untuk alas kepala gadis itu.Bara bergegas mengambilkan air untuk Berlian. Napas Berlian masih memburu, gadis itu memejamkan matanya, kepalanya berdenyut sangat sakit. Setelah mendapatkan air, Bara mendekati Berlian lagi."Berlian, minum dulu," ucap Bara membantu Berlian bangun. Tangan Berlian ingin meraih gelas itu, tapi tangannya bergetar hebat.Bara yang melihat hal itu, mendekatkan gelas yang ia pegang pada bibir Berlian. Berlian melirik Bara sekilas, tidak ada alasan lagi untuknya mempertahankan sikap gengsi, lagi pula Bara yang paling tahu keadaannya. Berlian meminum airnya sedikit demi sedikit."Obatku," cicit Berlian berusaha mencari tasny