Berlian duduk di hadapan pria yang tengah memakai kemeja biru laut dengan lengan yang digulung sebatas siku. Gadis itu menatap lekat ke arah Bara, begitu pun dengan Bara. Sudah lima menit mereka saling berpandangan, tapi dari mereka tidak ada yang mau membuka suaranya.
Bara mengetuk-ketukkan ujung jarinya ke meja, pria itu tengah mengamati Berlian yang sepertinya tidak terlalu fokus. Bara menggeser bolpoin di saku kemejanya ke arah pinggir. Hal itu ditangkap penglihatan Berlian. Dengan spontan Berlian berdiri dan menerjang tubuh Bara.
Bara membulatkan matanya tatkala wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. Berlian menarik bolpoin Bara dan meletakkan tepat di tengah saku. Setelah selesai, gadis itu segera menjauhkan tubuhnya. Berlian berdehem kecil, sedangkan Bara menegakkan tubuhnya.
"Letakkan bolpoin di tempat yang benar!" ucap Berlian.
"Ini juga benar," jawab Bara menggeser kembali bolpoinya. Berlian ingin kembali membenark
Sore ini Berlian sudah siap dengan celana panjang dan kaos overzize yang dia kenakan. Gadis itu sudah satu jam berdiri di depan cermin menatap penampilannya dari atas sampai bawah. Di sampingnya, ada Bian yang tengah berdiri seraya membawa tumpukan baju milik Berlian. Bian selalu menjadi korban dari keanehan dan kegilaan Berlian. Seperti saat ini contohnya, akan pergi dengan Bara saja, Berlian harus bersiap lebih dari dua jam, dan selama dua jam itu pula Bian membawakan tumpukan baju untuk Berlian. Ibaranya seluruh isi lemari dikeluarkan semua demi mendapatkan baju yang pas.Dari gaun, baju formal sampai baju santai sudah Berlian coba. Dan terakhir, ia mencoba memakai kaos dan celana panjang. Berlian juga menggerai rambut pendeknya. Untuk sejenak Bian menatap tidak berkedip ke arah Berlian. saat tidak mengenakan pakaian formal, Berlian terlihat sangat belia. Bahkan gadis itu terlihat seperti anak SMA. Berlian yang menatap ke arah kaca pun dapat melihat Bian yang tidak b
Sore ini menjadi sore tersial untuk Berlian. Bagaimana tidak, sore ini perdananya naik motor, akan tetapi Bara menjalankannya dengan ugal-ugalan. Menyalip kanan kiri hingga membuat pengendara lain membunyikan klaksonnya dengan kencan. Berlian menutup kaca helmnya, harga dirinya benar-benar ternodai oleh Bara. Ia sudah salah menganggap Bara layaknya aktor idola kesukannya. Nyatanya Bara hanya tampan di wajah, kelakuan persis seperti abege yang masih suka balapan liar.Berlian tidak tahu harus berpegangan apa agar ia tidak jatuh selain berpegangan pada belakang motor. Tangannya bergetar ketakutan. Biasanya ia menaiki mobil dengan kencang tidak akan takut, tapi kali ini di tempat terbuka dan tidak ada pegangan sama sekali."Berlian, bagaimana rasanya naik motor untuk pertama kali?" tanya Bara setengah berteriak."Hah, kamu bicara sama aku?" tanya Berlian balik yang juga berteriak."Hem, jadi bagaimana rasanya?""Kamu ngomong apa?
Berlian memesan jajanan yang sangat aneh, ia tidak tahu namanya dan asal menunjuk saja. Gadis itu membulatkan matanya saat ia memesan banyak makanan tapi hanya perlu membayar seratus ribu saja."Bu tidak salah hitung?" tanya Berlian."Tidak, Dek," jawab Ibu itu.Bara yang menyusul Berlian hampir menyeburkan tawanya saat mendengar penjual itu memanggil Berlian dengan sebutan Dek. Begitu pun Berlian yang tidak terima dipanggil demikian."Bu, saya ini bukan adek-adek. Saya CEO perusaahaan Indah Jaya. Ibu tidak pernah mendengar nama saya? Berlian Kamarisa Evan." Berlian mengoceh seorang diri sembari menunjuk dirinya."Jangan kebanyakan nonton drama, Dek. Gak baik buat halusinasi," jawab ibu itu."Saya tidak halusinasi. Dokter Bara, jelaskan kalau-""Sudah sudah, tidak perlu berdebat," lerai Bara mengeluarkan dompet dari saku celananya."Aku yang bayar," ucap Berlian mencegah Bara.&nbs
Bara benar-benar kurangajar, pria itu tidak mempedulikan Berlian yang terus menatapnya sembari menjilat bibir bawahnya. Bibir Berlian terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi gadis itu mengatupkannya kembali. Berlian menatap sekelilingnya. Di sana banyak anak muda yang tengah berpacaran. Berlian meringis jijik tatkala melihat gaya anak muda yang pacaran, berpelukan di depan orang banyak dan suap-suapan."Kamu kenapa?" tanya Bara melihat Berlian yang tampak aneh. Bara mengikuti arah pandang Berlian. Bara sudah terbiasa melihat muda-mudi yang pacaran di sekitarnya. Namun kali ini ia melihat yang lebih parah, yaitu seorang pria muda mendekatkan wajahnya ke pacaranya. Sama sekali tidak punya malu berada di antara banyak orang."Menjijikkan," cicit Berlian yang diangguki Bara."Modal seratus ribu saja sudah mau main sosor," tambah Berlian. Berlian bergidik ngeri, gadis itu memalingkan pandangannya."Sekarang kalau pacaran gak perlu modal
Berlian melepas tautan tangan Bara yang menggenggamnya, tanpa sepatah kata pun Berlian pergi meninggalkan Bara dengan tergesa-gesa. Napas Berlian memburu, ingatan tentang kecelakaan beberapa tahun silam membuatnya tidak tenang. Keringat dingin terus bercucuran di dahi dan tangannya. "Berlian," teriak Bara mengejar Berlian. Pria itu berlari kencang dan menarik tangan Berlian, memaksa gadis itu untuk berhenti. "Berlian, mau kemana?" tanya Bara. "Aku mau pulang," jawab Berlian. "Motorku ada di sana." "Aku bisa naik taksi," jawab gadis itu dengan napas yang masih terengah-engah. "Kamu tidak bawa uang kalau kamu lupa," ujar Bian. Berlian terdiam, ia meremas tali tas yang dia kenakan. "Aku akan mengantarmu pulang," kata Bian menarik tangan Berlian agar mengikutinya. Mau tidak mau Berlian mengikuti Bara.Saat sampai di motornya, Bara memberikan helm pada Berlian. Helm pink itu baru sa
"Ambil apa saja yang kamu inginkan, kakak yang bayar," ucap Berlian pada Azka. Saat ini mereka bertiga tengah berada di Toserba. Azka sudah berteriak kegirangan mendengar ucapan Berlian."Kakak, gak pantes," ejek Bara lirih. Berlian melirik Bara sekilas. Namun gadis itu segera pergi untuk membantu Azka membeli jajan. Bara menggelengkan kepalanya. Tingkat narsis Berlian sangat tinggi, gadis itu lupa usia sampai ingin dipanggil kakak."Tante, aku mau ini," ucap Azka menunjukkan snack yang ia bawa."Panggil kakak!" titah Berlian."Eh iya, kakak. Aku boleh kan ambil ini?""Jangankan satu snack, sekalian tokonya bakal kakak beliin," jawab Berlian. Berlian menata snack-snack yang tidak sesuai dengan garis lebel harga di rak.Penyakit OCD yang diderita Berlian kambuh tidak tahu tempat. Ada kalanya Berlian terlihat seperti orang normal, ada kalanya juga ia seperti orang gila yang tidak jenak dengan hal-hal yang sa
Berlian kalangkabut saat mendengar Azka menangis dengan kencang. Azka tengah mengamuk pada omnya. Bocah itu menerjang tubuh omnya dan memukul-mukul kaki omnya kencang. Azka menangis karena es krim yang dia beli dimakan sampai habis oleh omnya. Air mata sudah bercucuran di pipi bocah itu."Om Bara jahat. Om Bara makan eskrim ku," teriak Azka memukul Bara dengan brutal."Kita pulang," ucap Bara menggendong Azka. Azka memberontak, bocah itu bergerak terus dan masih menangis kencang."Dokter Bara, sudah tahu es krim Azka, kenapa harus dimakan sih," ucap Berlian."Om Bara jahat .... huuu huuu ....." Azka turun dari gendongan Bara, bocah itu mendekati Berlian, menangis di bawah kaki kakak yang sudah membelikannya es krim."Iya kita beli lagi. Ayo," ajak Berlian."Berlian, biarkan saja. Jangan apa-apa selalu diberikan. Biarkan Azka belajar kalau setiap keinginan tidak melulu harus didapatkan," tegas Bara menarik
"Sialan, cepat pergi!" teriak Ira."Saya juga akan pergi dari sini. Lihat rumah Anda yang sangat kuno. Televisi sudah bobrok, sofa sudah reyot dan dinding yang retak. Orang normal akan dengan senang hati saat saya bertamu, tapi Anda malah sebaliknya, sama sekali tidak logis," oceh Berlian.Ira menatap berang ke arah Berlian, perempuan itu berlari menuju dapur seraya mengambil centong. Ira berteriak ingin menghajar Berlian dengan centong. Melihat ibunya yang mengamuk, Bara segera menarik Berlian agar menjauh. Berlian memberontak dari cekalan Bara. Gadis itu ingin duel one by one dengan ibunya Bara."Kenapa? Mau pukul saya? Ayo pukul!" teriak Berlian mendorong tubuh Bara hingga limbung. Berlian menyisingkan lengan kaosnya dan menantang Ira.Tidak ada yang boleh menghinanya, apalagi terang-terangan melawannya. Ia datang baik-baik dan tersenyum lebih dahulu pada Ira. Namun balasan Ira malah menyuruhnya keluar. Tamu mana yang t