Tidak pernah terpikirkan oleh para jajaran direksi bawah mereka mendapatkan pemimpin perempuan yang sangat ambisius seperti Berlian. Pasalnya dulu saat dipimpin oleh Dario Evan, kakak Berlian, tidak terlalu menegangkan seperti ini. Suara tapakan kaki membuat wajah-wajah di ruang rapat menegang, mereka sebagai operasional perusahaan tentu mempunyai alasan untuk menolak merek baru. Namun tetap saja mereka tegang dan was-was kalau berhadapan dengan Berlian.
Tiga tahun ini Berlian selalu menjadi penakluk dimanapun berada. Saat bekerja sama dengan perusahaan lain, dan perusahaan lain ketahuan melakukan kecurangan, tanpa ampun Berlian membabat habis perusahaan itu. Jangankan sama perusahaan lain, sama perusahaannya sendiri pun demikian. Kalau ada yang berlaku curang, jangan harap satu hari bisa lolos. Belum dua puluh empat jam, sudah pasti kecurangan akan tercium oleh Berlian.
Berlian memasuki ruang rapat, perempuan itu duduk di tempatnya. Tatapan Berlian menatap satu persatu orang di sana yang semuanya laki-laki.
Tangan Berlian yang berada di paha gadis itu mencengkram erat. Tatapan tajam menusuk dan telapak tangan yang berkeringat dingin. Saat di depan umum begini, Berlian lebih tersiksa daripada sendirian. Berlian menjaga mati-matian bibirnya agar tidak berceletuk menegur mereka yang penampilannya acak-acakan.
Kalau mata orang normal memandang, tidak akan ada yang salah dengan penampilan mereka. Namun bila Berlian yang memandang, penampilan mereka sangat berantakan, dasi miring, rambut tidak disisir rapi, dan kemeja yang lusuh meski sedikit.
“Bu, ini,” bisik Bian memberikan squisi pada Berlian. Berlian menerimanya dan meremas-remas squisi itu.
Cara sederhana itu lumayan bisa mencegah bibir Berlian agar tidak menegur mereka, minimal saat tangannya gerak, tidak akan berkeringat lebih banyak lagi.
“Kita mulai rapat hari ini. Seperti yang kalian ketahui, saya ingin membuat merek baru selain merek Captans. Proposal yang saya tulis juga sudah jelas bagaimana rencana ke depan saya untuk membuat merek baru ini. Jadi alasan apa yang membuat kalian tidak setuju?” Berlian membuka rapatnya, mata perempuan itu tidak lepas menyorot lawan bicaranya.
Hanya tatapan saja sudah membuat mereka gentar, padahal jelas kalau Berlian itu perempuan yang seharusnya masih bisa dilawan.
“Begini, Bu. Menurut saya kalau membuka merek baru tidak akan tepat karena Saham Captans saat ini menurun, penjualan pun tidak lebih banyak dari bulan sebelumnya,” ucap Pak Kenan, orang yang memiliki saham dua puluh persen di perusahaan Indah Jaya. Berlian sendiri memiliki lima puluh dua persen saham.
“Data penjualan sudah saya cek semua dari tiga tahun belakangan ini. Memang dua bulan ini penjualan menurun, tapi itu hanya dua persen penurunan. Itu tidak mempengaruhi Captans,” jelas Berlian.
“Tapi ada beberapa investor yang dinvestasi dengan produk Captans. Ini nama investornya, silahkan dicek!”
“Bagaimana bisa ada yang dinvetasi?” tanya Berlian yang kaget.
“Mereka tidak yakin dengan Captans. Meski penurunan hanya dua persen, mereka sudah dalam keputusan final tidak mau mempertahankan investasinya.”
Berlian menerima dokumen yang Pak Kenan berikan, perempuan itu membuka dan membacanya dengan seksama. Setelahnya Berlian membuang dokumen itu ke meja dengan asal.
Brakk!
Berlian menggebrak meja dengan kencang, gadis itu berdiri menatap tajam seluruh orang yang hadir dalam rapat. Skuisi yang tadi sempat ia pegang jatuh tepat mengenai kaki Keenan yang berada paling dekat dengan Berlian.“Bagaimana saya tidak mengetahui pencabutan investasi itu, hah? Selama ini hampir sepuluh jam lebih per harinya saya di perusahaan, tapi tidak ada satu pun yang bilang sama saya soal dinvestasi ini. Siapa juga yang menyetujuinya?” tanya Berlian dengan wajah yang sudah memerah.
Ia sudah bertekad sejak awal, siapapun yang menanam modal di merk Captans tidak akan ia biarkan mencabut investasinya. Namun kali ini tanpa sepengetahuannya, pencabutan itu disetujui.
“Maafkan saya, Bu. Keadaannya sudah mendesak. Pihak investor takut kalau Captans merugi.”
“Kalau Captans merugi, masih ada Indah Jaya yang sahamnya naik. Siapa yang mengijinkan pencabutan itu?”
Semua orang terdiam, mereka menundukkan kepalanya dalam. Begitu pun dengan Pak Kenan, orang yang sudah terlibat dalam pencabutan investasi beberapa investor.
“Pak Kenan, saya selalu mempercayai Anda mengurus masalah investasi yang masuk. Namun masalah ini Pak Ken tidak membicarakannya dengan saya,” kata Berlian.
“Tanda tangan di bawah atas nama Risa Evan,” jawab Pak Keenan.
Berlian menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan lemas. Nama Risa Evan sebagai direktur kembali disebut. Risa Evan adalah ibu kandung Berlian, tapi sudah tiga tahun ini hubungan mereka tidak baik-baik saja. Risa Evan selalu menjadi dalang ketidak beresan di perusahaan Indah Jaya.
“Rapat ditutup!” ucap Berlian menyuruh mereka pergi.
Saat Kenan ingin pergi, kakinya terasa menginjak sesuatu. Pria berusia dua puluh sembilan tahun itu menundukkan kepalanya. Skuisi kecil menarik perhatiannya. Belum sempat ia mengambilnya, Bian sudah mengambilnya terlebih dahulu.
“Silahkan keluar!” titah Bian pada Kenan. Ken menatap Berlian sebentar sebelum melenggang pergi.
Napas Berlian naik turun, gadis itu yang tadi wajahnya sempat memerah pun kian memerah. Sejak tiga tahun lalu, ibunya selalu menyalahkan kematian kakaknya pada Berlian. Seja kecil Dario adalah anak kesayangan Risa, Dario yang beruntung selalu dimanjakan oleh Risa hingga Dario mendirikan perusahaan. Saat perusahaan berada di titik kesuksesan, Dario mengajak istri dan adiknya untuk liburan yang mana Berlian lah yang menyetir. Namun kejadian naas menimpa mereka. Mobil yang dikemudikan Berlian kehilangan kendali karena rem blong, yang mengakibatkan mereka kecelakaan. Dario serta istrinya meninggal di tempat, sedangkan Berlian selamat meski mengalami luka berat di kakinya.
Sampai sekarang ibunya tidak pernah memaafkannya, selalu melimpahkan kesalahan padanya, tidak jarang juga Risa akan menyebut anaknya sendiri seorang pembunuh. Risa Evan masih memegang saham perusahaan dua puluh tujuh persen, membuat perempuan paruh baya itu selalu semena-mena. Apapun yang akan dilakukan Berlian, selalu digagalkan oleh ibunya.
Tidak mudah membangun semangat Berlian di kala produknya tengah mengalami penurunan. Namun saat ia berusaha agar tidak terjadi penurunan drastis, ibunya malah menyetujui investor mencabut investasinya.
Ternyata benar kalau musuh terbesar adalah orang terdekat. Tiga tahun ini Berlian jarang melihat sang ibu, ibunya yang masih menjabat sebagai direktur juga tidak pernah mau ke kantor pusat.
“Bu, Nyonya menelpon,” ucap Bian yang sejak tadi setia berdiri di samping Berlian. Bian menyerahkan hp pada atasannya.
Panggilan itu sudah tersambung, sepatah kata pun Berlian enggan mengeluarkannya. Berbicara dengan ibunya sudah tahu hasil akhirnya bagaimana, yaitu sakit hati.
“Berlian, ibu tahu kamu marah sama ibu. Kalau kamu mau protes, silahkan datang temui ibu,” ucap Risa tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Anda bekerja di bawah perusahaan Indah Jaya, tapi Anda tidak pernah mau datang ke kantor. Anda pikir Anda siapa sampai membuat CEO repot-repot menemui Anda?” tanya Berlian dengan sinis.
Suara gemericik air terdengar mengalun lembut di ruangan CEO milik Berlian. Tidak hanya ada alunan gemericik air, tapi alunan piano lembut juga terdengar. Di kursinya, Berlian tengah memejamkan matanya sembari menikmati alunan musik itu yang dia putar dari audio speaker yang terletak di meja. Saat ia merasa stres, itulah salah satu obat yang manjur digunakan.Setelah dari rapat, Berlian sudah mengerjakan tugas-tugasnya. Jam makan siang selalu dia gunakan tidur walau hanya satu jam. Kopi di mejanya masih utuh belum tersentuh, juga satu bungkus roti di sana belum jua ia makan.Berlian masih memikirkan ibunya, ia tidak paham lagi apa keinginan ibunya. Saat ia tidak mau menemui ibunya, ibunya selalu melakukan berbagai hal yang membuatnya marah. Ibunya selalu berpikir, kalau ia marah maka ia akan menemui ibunya itu. Namun ibunya sudah melak
Berlian terjatuh, tubuh gadis itu luruh ke lantai. Mata Berlian terasa berkunang-kunang dengan kepala yang sangat berat, melihat darah segar miliknya sendiri membuatnya mual bukan main. Namun untuk menyangga tubuhnya sendiri ia merasa tidak sanggup. Sedangkan Risa, perempuan paruh baya itu menatap anaknya dengan bibir yang bergetar, kakinya turut lemas. Karena ulahnya, kini darah segar anaknya bercucuran di lantai.“Berlian, kamu baik-baik saja?” tanya Risa dengan bodohnya.Ceklek!Suara pintu terbuka membuat Risa menolehkan kepalanya. Bian dan dua orang lainnya bergegas masuk.“Bukan aku pelakunya,” ucap Risa menggelengkan kepalanya. Bian tidak menanggapi, pria itu segera menolong atasannya.
“Dokter Bara, mau kopi rasa apa?” tanya Berlian menyodorkan menu pada Bara. Yang ditawari pun hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Bara celingak-celinguk, kini Bara seperti artis yang tengah menjadi bahan sorotan. Namun anehnya, Berlian sama sekali tidak peduli dengan tatapan orang-orang.“Pacar baru Bu Berlian, kah? Lebih tampan yang ini.”“Kayaknya memang iya. Sama Pak Deon tidak pernah begini.”“Pak Deon kalah jauh sama pria itu.”Bara menggaruk telinganya yang panas tatkala mendengar ocehan-ocehan dari orang-orang di sekitarnya. Mereka tidak berbisik-bisik, melainkan berbicara terang-terangan. Bara menutup wajahnya dengan buku menu. Mimpi apa ia semalam hing
Berlian duduk tenang di tempatnya, sedangkan Dokter Bara juga mengambil duduk di samping Berlian seraya memangku Azka. Bara merasa tidak enak hati dengan Berlian yang kepalanya mendapatkan tendangan bola dari Azka. Azka adalah keponakan Bara yang sudah tidak punya orang tua dari Azka bayi. Karena Bara tidak bisa mengawasi setiap dua puluh empat jam, Azka tumbuh menjadi anak yang sangat usil. Setiap membawa bola, pasti korbannya adalah kepala orang yang terdiam.“Berlian, maafkan keponakan saya, ya,” ujar Bara yang sudah lama bungkam.“Om, aku mau minta tanda tangan Tante Berlian.” Azka merengek seraya memeluk leher omnya dengan erat. Tadi Azka sudah merengek pada Berlian agar Berlian mau memberikan tanda tangan padanya, tapi dengan angkuhnya Berlian tidak mau memberikannya. Berlian keukeuh tidak mau memaafkan Az
"Om, kenapa Tante Berlian kayak tadi?" tanya Azka mencubiti pipi omnya yang lumayan berisi. Saat ini kedua pria beda usia itu tengah jalan kaki menuju taman untuk mengambil motor Bara. Pria itu menggendong ponakannya yang terus usil mencubiti pipinya."Tadi gimana?" tanya Bara balik."Kayak gelisah banget kasih tanda tangan. Apa Tante itu setengah gila?" jelas Azka."Tidak, Tante itu waras," jawab Bara yang setengah tertawa. Bagi Bara, Berlian tidak sepenuhnya waras. Kalau waras, mana mungkin Berlian akan menariknya dengan paksa untuk membeli kopi. Apalagi banyak karyawan gadis itu yang menatap mereka."Aku dapat buku utuh dari Tante, pasti teman-temanku besok iri sama aku," ujar Azka dengan girang. Azka bocah yang masih lima tahun tapi sudah mengagumi sosok Berlian.Majalah Berlian selalu ada di rumahnya karena kakek dan neneknya selalu berlangganan majalah, kakeknya juga sering menceritakan sosok Berlian pada Azka ya
"Deon, apa yang kamu lakukan?" pekik Berlian mencoba mendorong tubuh Deon."Berlian, jangan menguji kesabaranku lagi!" kata Deon yang kembali ingin mencium bibir Berlian.Dugh!"Akhhh!" pekik Deon dengan kencang tatkala Berlian menendang tepat ke bawah tubuh Deon. Deon jatuh terguling ke sofa, sedangkan Berlian segera berdiri.Berlian mengusap pipinya yang bekas ciuman Deon, gadis itu menatap Deon dengan tajam. Meski ia sudah pacaran lama dengan Deon, Berlian tidak mau bersentuhan secara lebih. Berlian sangat menjaga dirinya agar tidak kelewatan batas."Ingat ya, Deon. Sejak kita pacaran aku sudah mengatakan padamu, aku gak akan mau rugi apapun. Termasuk kamu yang menyentuh tubuhku sembarangan. Kamu saja sulit ditemui, sekarang sekali bertemu kamu sudah kurangajar," oceh Berlian menunjuk-nunjuk Deon. Deon terdiam, pria itu masih memegangi area tubuh bawahnya yang sakit.Berlian memalingka
Alasan Berlian menerima Bara menjadi dokter pribadinya karena dia menyukai pria itu sejak pertama kali membaca biografinya. Suka dalam artian hanya suka, bukan rasa suka seperti ia menyukai pacarnya. Terlihat dari biografi dan foto Bara, terlihat Bara baik hati. Hari ini Berlian bersiap untuk ke rumah sakit swasta, gadis itu sudah memakai pakaian lengkapnya. Berlian mengambil kopi instan dalam lemari pendingin dan meneguknya untuk sarapan."Mau kemana?" tanya seorang pria yang hanya bertelanjang dada dan hanya handuk sebatas pinggang yang menutupi tubuh bagian bawahnya.Semalam Deon menginap di rumah Berlian dan tidur di ruang tamu. Pria itu kini mendekati Berlian dan memeluk tubuh gadis itu dari belakang."Kok udah rapi? Mau kerja?" tanya Deon lagi."Iya," jawab Berlian."Bisa gak sih kalau sarapan itu makan nasi? Setiap hari kamu hanya minum kopi. Itu gak baik buat kesehatan lambung kamu," ujar Deon menarik kopi yang s
Berlian duduk di hadapan pria yang tengah memakai kemeja biru laut dengan lengan yang digulung sebatas siku. Gadis itu menatap lekat ke arah Bara, begitu pun dengan Bara. Sudah lima menit mereka saling berpandangan, tapi dari mereka tidak ada yang mau membuka suaranya.Bara mengetuk-ketukkan ujung jarinya ke meja, pria itu tengah mengamati Berlian yang sepertinya tidak terlalu fokus. Bara menggeser bolpoin di saku kemejanya ke arah pinggir. Hal itu ditangkap penglihatan Berlian. Dengan spontan Berlian berdiri dan menerjang tubuh Bara.Bara membulatkan matanya tatkala wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. Berlian menarik bolpoin Bara dan meletakkan tepat di tengah saku. Setelah selesai, gadis itu segera menjauhkan tubuhnya. Berlian berdehem kecil, sedangkan Bara menegakkan tubuhnya."Letakkan bolpoin di tempat yang benar!" ucap Berlian."Ini juga benar," jawab Bara menggeser kembali bolpoinya. Berlian ingin kembali membenark