Berlian tersenyum seorang diri sembari mengaduk kopi di tangannya. Hari minggu Berlian yang biasanya bangun kesiangan kini bangun lebih awal. Gadis itu menyeduh kopi sembari tertawa kecil. Terhitung dua minggu sudah hubungannya dan Bara sangat dekat. Sejak pengakuan Bara pada Andre bahwa Bara menyukainya, Bara benar-benar memperlakukan Berlian dengan baik. Kalau biasanya saat bertemu mereka akan bertengkar, kini meski sering adu mulut tapi langsung berbaikan lagi. Setelah dari kantor, Berlian selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk Azka. Sepuluh persen menjenguk, sepuluh persen mengejek Bu Ira dan delapan puluh persennya untuk bertemu Bara. Berlian terkikik geli mengingat kelakuannya.
Berlian bagai abg yang tengah dirundung asmara, Berlian tidak pernah segila ini saat pacaran dengan mantannya. Namun berbeda dengan Bara, gadis itu membawa kopinya ke sofa, menyesapnya perlahan dan terus mengusung senyumnya.
Ting!
Bunyi notifikasi dari h
Hujan deras mengguyur kota jakarta sore ini. Hujan deras disertai angin yang kencang juga suara petir terdengar menyambar-nyambar. Azka duduk di kursi kamarnya seraya menatap jendela dengan pandangan sendu. Bocah usia lima tahun itu menatap air hujan yang tampak deras. Pikiran Azka berkecamuk memikirkan banyak hal. Azka berjalan kecil membuka jendela kamarnya, tepat di samping kamarnya yang berhadapan dengan jendela adalah rumah teman Azka."Haidar, lempar bolanya kesini!" teriak seorang perempuan muda yang tengah basah kuyup karena berlarian di bawah air hujan bersama Haidar. Pun dengan Haidar, sang bocah berusia lima tahun itu hanya memakai kaos dalam berwarna putih sembari menendang bola dengan kencang."Ibu, tendang lagi ke sini!" teriak Haidar pada ibunya.Seorang pria datang dengan menaiki motornya seraya memakai jas hujan lengkap. Pria itu menghentikan motornya tepat di depan rumah Haidar. Tatkala helm itu dilepas, Haidar berteriak nyari
Senyum cerah terbit di bibir Azka sejak setengah jam yang lalu saat ia mengetahui kehadiran Berlian. Saat ini bocah berusia lima tahun itu tengah duduk di pangkuan Berlian dan tengah membaca buku lagu yang dibelikan Berlian. Bocah itu tampak semangat mengamati buku lagunya."Kakak, aku mau ambil biola dulu, ya," ucap Azka. Azka segera berdiri dari pangkuan Berlian dan melompat turun dari ranjang untuk mengambil biola. Berlian tersenyum kecil melihat Berlian. Gadis itu menatap seluruh kamar Azka yang sangat sederhana, hanya beberapa mainan kecil yang ada di sana.Berlian merasa bersalah dengan Azka saat melihat jejak-jejak air mata pada bocah itu. Sudah pasti Azka menangis karena menunggunya. Kendati demikian, Berlian tidak mendengar Azka menyalahkannya."Kakak, dengerin, ya. Kalau kakak suka, aku akan mainkan biola terus untuk kakak," ujar Azka kembali naik ke ranjang dan bersiap dengan biolanya. Berlian menganggukkan kepalanya.Az
"Bu Risa merestui hubungan saya dengan Berlian?" tanya Bara memastikan. Risa yang semula menunduk pun kini menatap Bara."Apa yang bisa saya lakukan selain memberimu restu?" tanya Risa. Bara tercekat, pria itu mengubah duduknya agar lebih nyaman."Saya mengaku salah sudah membuat Berlian seperti ini, setiap saat saya hanya bisa menyusahkan Berlian. Sekarang mau dia apa, saya tidak akan menuntut banyak. Tapi untuk kamu, saya hanya memberi kamu kesempatan. Kalau kamu hanya membuang-buang waktu anak saya, lebih baik segera sudahi," jelas Risa. Bara mengangguk-anggukkan kepalanya."Saya janji akan serius dengan Berlian," ujar Bara penuh keyakinan. Sejak awal bertemu Berlian, Bara sudah menyukai gadis itu. Hanya saja Bara selalu mengelak perasaannya. Hingga dalam waktu yang lama mereka bersama membuat Bara yakin dengan perasaannya. Terlebih saat Berlian sempat mengindarinya membuat Bara kalut.Setelah berbincang kecil, Bara pamit undur
Azka menerima suapan-suapan dari neneknya dengan lahap, bocah itu juga berceloteh ringan mencairkan suasana. Pagi tadi Ira sangat sedih karena Berlian tidak menepati janjinya, tetapi malam ini ia sangat bahagia karena ada Kak Berlian di rumahnya. Azka mendongakkan kepalanya menatap Berlian dari bawah. Pemikiran anak kecil tidak bisa dihentikan saat ia sudah menyayangi seseorang. Sama halnya Azka saat ini. Azka sudah menyayangi Berlian sejak mereka bertemu. Apakah salah bila Azka mengharapkan Berlian untuk terus tinggal di sisinya? Azka pernah bahagia saat Berlian pernah menyuruhnya memanggilnya ibu. Tetapi sampai saat ini Azka tidak mempunyai keberanian melakukannya."Azka, ada apa?" tanya Berlian menundukkan kepalanya menatap keponakan dari dokter yang menanganinya."Kakak, apa kakak mau tinggal di sini?" tanya Azka berbisik sangat lirih membuat Ira dan Bara tidak mendengarnya. Azka takut nenek dan omnya akan marah dengan apa yang diucapkannya.
"Bian, apa sudah ada titik temu di mana keberadaan ayahku?" tanya Berlian pada Bian. Bian menggelengkan kepalanya pelan.Berlian menjatuhkan kepalanya di meja kerjanya, perempuan itu tidak mempunyai semangat bekerja sejak pagi. Ini sudah pukul sebelas waktu indonesia bagian barat, tapi terasa seperti waktu indonesia bagian galau. Sejak kepulangannya dari rumah Bara, Berlian tidak berhenti merenung seorang diri. Pikiran Berlian sangat berkecamuk, bertanya-tanya dalam hati tentang sikap Bara dan apa maksud Bara. Bisa dikatakan Berlian itu dekat dengan Bara sekaligus jauh.Dekat karena mereka sering bertemu dan jauh karena mereka tidak pernah berbicara dari hati ke hati. Suka, cinta, Berlian memikirkan dua hal itu. Berlian kembali mendongakkan kepalanya, menatap Bian yang saat ini masih menatap ke arahnya. Bian yang ditatap pun menggaruk tengkuknya kikuk."Eh, ada apa, Bu?" tanya Bian. Berlian mengisyaratkan dengan tangannya pada Bian agar Bian me
Berlian menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh. Rahang Berlian mengetat dengan gigi yang bergemelatuk. Beberapa kali Berlian memukul setirnya dengan kesal. Hati Berlian terasa panas mengetahui kenyataan bahwa Dokter Bara adalah simpanan ibunya. Ibunya memang tidak mengatakan secara langsung pada Berlian, tetapi Berlian bisa menebaknya. Hubungan apa yang dimiliki seorang perempuan paruh baya kaya raya dengan seroang berondong? Pantas saja Bara mendekatinya, ternyata Bara mengincar ibunya. Berlian menggelengkan kepalanya karena memikirkan hal itu."Oh jadi gitu cara mainnya, dekati anaknya dulu baru ibunya," sinis Berlian. Berlian sudah terlanjur senang saat Bara pernah mengatakan di depan dokter Andre kalau pria itu menyukainya, tapi ternyata rasa suka Bara pada Berlian hanya sebatas anak simpanan."Apa gaji sebagai psikiater kurang sampai harus jadi simpanan ibu-ibu?" tanya Berlian semakin menginjak pedal gasnya dengan kencang. Di saat yang bersa
Bara mendekap kotak makan yang diberikan Berlian dengan erat. Senyum mengembang di wajah Bara seiring pria itu berjalan menuju kantin. Meski bukan Berlian yang memasak, tetapi itu sudah cukup membuat Bara senang. Hanya hal sederhana yang bisa membuat Bara senang, yaitu orang tuanya sehat, bisa memberikan kehiduan yang layak untuk Azka dan mendapatkan perhatian dari Berlian. Saat tiba di kantin, Bara menatap ke berbagai penjuru. Matanya menangkap keberadaan rekan-rekannya yang berada di sudut kantin, tetapi di sana juga ada dokter yang paling Bara tidak sukai, yaitu dokter Andre.Terakhir berbincang dengan Andre saat Bara menyusul Berlian di acara reuni. Saat itu mereka tengah adu cekcok memperebutkan Berlian. Andre bersikeras tidak ingin mengalah, pun dengan Bara. Namun Bara sudah selangkah lebih maju, dua restu sudah Bara kantongi dari ayah dan ibu Berlian. Tinggal meyakinkan ibunya sendiri dan Berlian, lalu semuanya akan beres.Bara mendekati teman-temann
"Berlian, mari kita bicara baik-baik!" ajak Evan menarik tangan Berlian. Namun Berlian menepisnya dengan cepat."Apa yang perlu dibicarakan baik-baik, Yah? Meski sekarang kita duduk berdua, berbicara baik-baik pun tidak akan mengubah kenyataan bahwa ayah menghindariku!" teriak Berlian sampai mengundang beberapa orang yang ada di sana untuk melihatnya."Sekarang jawab aku, yah. Apa benar ayah menghindariku?""Ya." Satu patah jawaban persetujuan membuat Berlian jauh lebih frustasi dari sebelumnya."Benar kan apa yang aku tebak. Lalu apa tujuan ayah melakukannya?" Evan terdiam, pria itu kembali menarik resleting jaketnya. Evan bersiap untuk meraih helmnya, tetapi interupsi dari Berlian menghentikannya."Ayah mau kemana?" tanya Berlian."Kapan-kapan kita bicara lagi.""Kapan yah? Apa kita masih punya kesempatan untuk bertemu lagi? Kalau aku tidak sengaja bertemu ayah tadi, mungkin sampai aku mati