Berlian duduk tenang di tempatnya, sedangkan Dokter Bara juga mengambil duduk di samping Berlian seraya memangku Azka. Bara merasa tidak enak hati dengan Berlian yang kepalanya mendapatkan tendangan bola dari Azka. Azka adalah keponakan Bara yang sudah tidak punya orang tua dari Azka bayi. Karena Bara tidak bisa mengawasi setiap dua puluh empat jam, Azka tumbuh menjadi anak yang sangat usil. Setiap membawa bola, pasti korbannya adalah kepala orang yang terdiam.
“Berlian, maafkan keponakan saya, ya,” ujar Bara yang sudah lama bungkam.
“Om, aku mau minta tanda tangan Tante Berlian.” Azka merengek seraya memeluk leher omnya dengan erat. Tadi Azka sudah merengek pada Berlian agar Berlian mau memberikan tanda tangan padanya, tapi dengan angkuhnya Berlian tidak mau memberikannya. Berlian keukeuh tidak mau memaafkan Azka.
“Hust, Azka diam dulu,” bisik Bara.
“Aku mau minta tanda tangan pada Tante Berlian. Seluruh temanku di TK sangat mengidolakan Tante. Pasti teman-temanku iri saat aku punya tanda tangan dan bisa berfoto bersama,” rajuk Azka.
“Tante, mau ya!” pinta Azka memegang tangan Berlian. Namun Berlian menepisnya.
“Tante,” rengek Azka yang tidak menyerah.
“Tadi kamu menendang bola tepat di kepalaku, terus kamu juga mengejekku ini itu. Sekarang tahu aku Berlian, kamu langsung bersikap baik-baik, dasar bocah,” ujar Berlian menunjuk-nunjuk kening Azka.
“Kan aku gak tau kalau tadi Tante Berlian,” kata Azka masih membela diri.
“Terus kalau itu bukan aku, kamu gak akan minta maaf? Dasar nakal,” ketus Berlian.
“Ahhhh … Tante.” Azka menarik tangan Berlian dan menggoyang-goyangkan tangan Berlian dengan pelan.
Berlian dalam mode jutek, gadis itu memalingkan wajahnya. Bara menatap wajah Berlian dari samping, terlihat jelas ada jejak-jejak air mata di pipi gadis yang sangat cantik itu. Sudah dua kali Bara melihat Berlian menghapus air matanya, tadi saat bangun dari pingsannya, dan tadi setelah Azka menendang bola tepat di kepala Berlian. Bara yakin seratus persen kalau Berlian menangis bukan karena tendangan, melainkan hal lain.
“Em Berlian, kenapa malam-malam di sini sendirian?” tanya Bara.
“Cari angin,” jawab Berlian.
“Oh, maafkan keponakan aku, ya.”
“Gak!”
“Berlian, Azka hanya anak kecil. Mohon maklumi.”
“Kalau anak kecil terus dimaklumi, sampai besar akan membuat kesalahan,” sentak Berlian. Bara meringis kecil, sedangkan Azka sudah mencebikkan bibirnya ke bawah siap menangis.
“Iya nanti aku ajari dia untuk tidak mengulangi kesalahan. Kalau begitu maaf sudah mengganggu waktu kamu, aku pergi dulu,” kata Bara yang menggendong Azka.
“Huwaaa ….” Azka menangis dengan kencang. Bocah berusia lima tahun itu memeluk leher Omnya dengan erat, wajahnya memerah, air mata sudah bercucuran di pipi gembulnya.
Berlian yang menatap Azka pun memutar bola matanya jengah. “Iya iya aku kasih tanda tangan. Mana bolpoin dan kertasnya?” ujar Berlian.
Mendengar ucapan Berlian membuat Azka mengusung senyum, bocah itu menghapus air matanya dengan cepat.
“Mana bukunya?” tanya Berlian.
“Om bawa buku?” tanya Azka pada Bara. Bara menggelengkan kepalanya.
“Ayo ke rumahku, aku kasih tanda tangan di sana,” ajak Berlian.
“Eh kapan-kapan saja, takut merepotkan. Ini sudah malam,” ucap Bara.
“Tidak apa-apa, ayo!” Berlian menarik tangan Bara dengan cepat. Bara mengikuti langkah kaki Berlian.
Azka sudah melupakan bolanya yang teronggok mengenaskan di taman. Bocah itu terlalu senang bertemu dengan Berlian, sampai melupakan bola yang tidak pernah terlepas dari kaki dan tangannya.
Berlian mengajak Bara dan Azka menuju rumahnya, saat sudah sampai, ia mempersilahkan Bara dan Azka masuk.
“Waah, rumahnya bagus banget,” pekik Azka dengan girang. Azka menatap rumah Berlian yang sangat mewah dengan perabotan yang bagus.
Azka memaksa turun dari gendongan omnya, anak usia lima tahun itu berjalan kesana-kesini melihat-lihat. Bar mengejar ponakannya, pria itu takut ponakannya merusak barang di sana.
“Azka, jangan lari-larian,” pinta Bara.
“Di sini enak, semuanya bagus,” kata Azka dengan senang.
“Biarkan saja, Dokter. Saya ambil kertas dulu,” ucap Berlian.
Berlian menuju ke sudut meja untuk mengambil buku kosong dan bolpoin. Setelahnya Berlian menuju ke sofa ruang tamu.
“Azka, mau berapa tanda tangan?” tanya Berlian.
“Kalau boleh banyak, banyak saja,” jawab Azka mendekati Berlian. Bara ikut duduk di samping Berlian.
Berlian membuka buku kosong, gadis itu mencoretkan bolpoin di atas sana sesuai tanda tangannya.
“Yeyyy dapat,” pekik Azka dengan girang. Berlian menatap tanda tangannya, tapi tiba-tiba gadis itu merobeknya. Bara dan Azka terkesiap melihat tingkah Berlian.
“Ah sebentar, aku akan menggantinya,” kata Berlian membuat tanda tangan lagi. Namun baru satu detik, gadis itu sudah merobeknya lagi.
“Aku akan menggantinya lagi di sudut, di tengah kayak tadi jelek,” kata Berlian tanda tangan lagi di sudut buku. Namun lagi-lagi Berlian tidak puas, gadis itu merobek lagi kertasnya. Azka dan Bara masih mengamati Berlian.
“Aku ganti di atas sini, karena tanda tanganku itu seperti mahkota,” ucap Berlian. Berlian tanda tangan di kertas paling atas. Gadis itu bersiap ingin menyobeknya lagi, tapi sebuah tangan menahannya.
Tangan berotot Bara mencekal tangan Berlian. “Ini sudah cukup. Tidak akan terjadi apa-apa sama aku, kamu dan Azka kalau tanda tangannya di atas sini,” ujar Bara dengan lembut menatap tepat manik Berlian. Berlian tercenung, gadis itu ingin bersuara, tapi bibirnya terasa kelu.
“Tante, boleh aku memiliki buku itu?” tanya Azka menyentak lamunan Berlian. Bara segera melepas cekalan tangannya pada Berlian.
“Iya, ini jadi buku milikmu,” kata Berlian menyerahkan bukunya pada Azka. Azka segera memeluk buku itu dengan senang.
“Aku dan Azka pulang dulu. Kamu istirahat, jangan begadang, kantung mata kamu sudah membesar,” ucap Bara menasehati Berlian.
“Siapa kamu berani menyuruhku?” tanya Berlian menaikkan sebelah alisnya.
“Dokter Pribadi kamu, mulai saat ini kamu di bawah pengawasanku,” kata Bara penuh penekanan.
"Om, kenapa Tante Berlian kayak tadi?" tanya Azka mencubiti pipi omnya yang lumayan berisi. Saat ini kedua pria beda usia itu tengah jalan kaki menuju taman untuk mengambil motor Bara. Pria itu menggendong ponakannya yang terus usil mencubiti pipinya."Tadi gimana?" tanya Bara balik."Kayak gelisah banget kasih tanda tangan. Apa Tante itu setengah gila?" jelas Azka."Tidak, Tante itu waras," jawab Bara yang setengah tertawa. Bagi Bara, Berlian tidak sepenuhnya waras. Kalau waras, mana mungkin Berlian akan menariknya dengan paksa untuk membeli kopi. Apalagi banyak karyawan gadis itu yang menatap mereka."Aku dapat buku utuh dari Tante, pasti teman-temanku besok iri sama aku," ujar Azka dengan girang. Azka bocah yang masih lima tahun tapi sudah mengagumi sosok Berlian.Majalah Berlian selalu ada di rumahnya karena kakek dan neneknya selalu berlangganan majalah, kakeknya juga sering menceritakan sosok Berlian pada Azka ya
"Deon, apa yang kamu lakukan?" pekik Berlian mencoba mendorong tubuh Deon."Berlian, jangan menguji kesabaranku lagi!" kata Deon yang kembali ingin mencium bibir Berlian.Dugh!"Akhhh!" pekik Deon dengan kencang tatkala Berlian menendang tepat ke bawah tubuh Deon. Deon jatuh terguling ke sofa, sedangkan Berlian segera berdiri.Berlian mengusap pipinya yang bekas ciuman Deon, gadis itu menatap Deon dengan tajam. Meski ia sudah pacaran lama dengan Deon, Berlian tidak mau bersentuhan secara lebih. Berlian sangat menjaga dirinya agar tidak kelewatan batas."Ingat ya, Deon. Sejak kita pacaran aku sudah mengatakan padamu, aku gak akan mau rugi apapun. Termasuk kamu yang menyentuh tubuhku sembarangan. Kamu saja sulit ditemui, sekarang sekali bertemu kamu sudah kurangajar," oceh Berlian menunjuk-nunjuk Deon. Deon terdiam, pria itu masih memegangi area tubuh bawahnya yang sakit.Berlian memalingka
Alasan Berlian menerima Bara menjadi dokter pribadinya karena dia menyukai pria itu sejak pertama kali membaca biografinya. Suka dalam artian hanya suka, bukan rasa suka seperti ia menyukai pacarnya. Terlihat dari biografi dan foto Bara, terlihat Bara baik hati. Hari ini Berlian bersiap untuk ke rumah sakit swasta, gadis itu sudah memakai pakaian lengkapnya. Berlian mengambil kopi instan dalam lemari pendingin dan meneguknya untuk sarapan."Mau kemana?" tanya seorang pria yang hanya bertelanjang dada dan hanya handuk sebatas pinggang yang menutupi tubuh bagian bawahnya.Semalam Deon menginap di rumah Berlian dan tidur di ruang tamu. Pria itu kini mendekati Berlian dan memeluk tubuh gadis itu dari belakang."Kok udah rapi? Mau kerja?" tanya Deon lagi."Iya," jawab Berlian."Bisa gak sih kalau sarapan itu makan nasi? Setiap hari kamu hanya minum kopi. Itu gak baik buat kesehatan lambung kamu," ujar Deon menarik kopi yang s
Berlian duduk di hadapan pria yang tengah memakai kemeja biru laut dengan lengan yang digulung sebatas siku. Gadis itu menatap lekat ke arah Bara, begitu pun dengan Bara. Sudah lima menit mereka saling berpandangan, tapi dari mereka tidak ada yang mau membuka suaranya.Bara mengetuk-ketukkan ujung jarinya ke meja, pria itu tengah mengamati Berlian yang sepertinya tidak terlalu fokus. Bara menggeser bolpoin di saku kemejanya ke arah pinggir. Hal itu ditangkap penglihatan Berlian. Dengan spontan Berlian berdiri dan menerjang tubuh Bara.Bara membulatkan matanya tatkala wajah keduanya hanya berjarak beberapa centi. Berlian menarik bolpoin Bara dan meletakkan tepat di tengah saku. Setelah selesai, gadis itu segera menjauhkan tubuhnya. Berlian berdehem kecil, sedangkan Bara menegakkan tubuhnya."Letakkan bolpoin di tempat yang benar!" ucap Berlian."Ini juga benar," jawab Bara menggeser kembali bolpoinya. Berlian ingin kembali membenark
Sore ini Berlian sudah siap dengan celana panjang dan kaos overzize yang dia kenakan. Gadis itu sudah satu jam berdiri di depan cermin menatap penampilannya dari atas sampai bawah. Di sampingnya, ada Bian yang tengah berdiri seraya membawa tumpukan baju milik Berlian. Bian selalu menjadi korban dari keanehan dan kegilaan Berlian. Seperti saat ini contohnya, akan pergi dengan Bara saja, Berlian harus bersiap lebih dari dua jam, dan selama dua jam itu pula Bian membawakan tumpukan baju untuk Berlian. Ibaranya seluruh isi lemari dikeluarkan semua demi mendapatkan baju yang pas.Dari gaun, baju formal sampai baju santai sudah Berlian coba. Dan terakhir, ia mencoba memakai kaos dan celana panjang. Berlian juga menggerai rambut pendeknya. Untuk sejenak Bian menatap tidak berkedip ke arah Berlian. saat tidak mengenakan pakaian formal, Berlian terlihat sangat belia. Bahkan gadis itu terlihat seperti anak SMA. Berlian yang menatap ke arah kaca pun dapat melihat Bian yang tidak b
Sore ini menjadi sore tersial untuk Berlian. Bagaimana tidak, sore ini perdananya naik motor, akan tetapi Bara menjalankannya dengan ugal-ugalan. Menyalip kanan kiri hingga membuat pengendara lain membunyikan klaksonnya dengan kencan. Berlian menutup kaca helmnya, harga dirinya benar-benar ternodai oleh Bara. Ia sudah salah menganggap Bara layaknya aktor idola kesukannya. Nyatanya Bara hanya tampan di wajah, kelakuan persis seperti abege yang masih suka balapan liar.Berlian tidak tahu harus berpegangan apa agar ia tidak jatuh selain berpegangan pada belakang motor. Tangannya bergetar ketakutan. Biasanya ia menaiki mobil dengan kencang tidak akan takut, tapi kali ini di tempat terbuka dan tidak ada pegangan sama sekali."Berlian, bagaimana rasanya naik motor untuk pertama kali?" tanya Bara setengah berteriak."Hah, kamu bicara sama aku?" tanya Berlian balik yang juga berteriak."Hem, jadi bagaimana rasanya?""Kamu ngomong apa?
Berlian memesan jajanan yang sangat aneh, ia tidak tahu namanya dan asal menunjuk saja. Gadis itu membulatkan matanya saat ia memesan banyak makanan tapi hanya perlu membayar seratus ribu saja."Bu tidak salah hitung?" tanya Berlian."Tidak, Dek," jawab Ibu itu.Bara yang menyusul Berlian hampir menyeburkan tawanya saat mendengar penjual itu memanggil Berlian dengan sebutan Dek. Begitu pun Berlian yang tidak terima dipanggil demikian."Bu, saya ini bukan adek-adek. Saya CEO perusaahaan Indah Jaya. Ibu tidak pernah mendengar nama saya? Berlian Kamarisa Evan." Berlian mengoceh seorang diri sembari menunjuk dirinya."Jangan kebanyakan nonton drama, Dek. Gak baik buat halusinasi," jawab ibu itu."Saya tidak halusinasi. Dokter Bara, jelaskan kalau-""Sudah sudah, tidak perlu berdebat," lerai Bara mengeluarkan dompet dari saku celananya."Aku yang bayar," ucap Berlian mencegah Bara.&nbs
Bara benar-benar kurangajar, pria itu tidak mempedulikan Berlian yang terus menatapnya sembari menjilat bibir bawahnya. Bibir Berlian terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi gadis itu mengatupkannya kembali. Berlian menatap sekelilingnya. Di sana banyak anak muda yang tengah berpacaran. Berlian meringis jijik tatkala melihat gaya anak muda yang pacaran, berpelukan di depan orang banyak dan suap-suapan."Kamu kenapa?" tanya Bara melihat Berlian yang tampak aneh. Bara mengikuti arah pandang Berlian. Bara sudah terbiasa melihat muda-mudi yang pacaran di sekitarnya. Namun kali ini ia melihat yang lebih parah, yaitu seorang pria muda mendekatkan wajahnya ke pacaranya. Sama sekali tidak punya malu berada di antara banyak orang."Menjijikkan," cicit Berlian yang diangguki Bara."Modal seratus ribu saja sudah mau main sosor," tambah Berlian. Berlian bergidik ngeri, gadis itu memalingkan pandangannya."Sekarang kalau pacaran gak perlu modal