"Om, kenapa Tante Berlian kayak tadi?" tanya Azka mencubiti pipi omnya yang lumayan berisi. Saat ini kedua pria beda usia itu tengah jalan kaki menuju taman untuk mengambil motor Bara. Pria itu menggendong ponakannya yang terus usil mencubiti pipinya.
"Tadi gimana?" tanya Bara balik.
"Kayak gelisah banget kasih tanda tangan. Apa Tante itu setengah gila?" jelas Azka.
"Tidak, Tante itu waras," jawab Bara yang setengah tertawa. Bagi Bara, Berlian tidak sepenuhnya waras. Kalau waras, mana mungkin Berlian akan menariknya dengan paksa untuk membeli kopi. Apalagi banyak karyawan gadis itu yang menatap mereka.
"Aku dapat buku utuh dari Tante, pasti teman-temanku besok iri sama aku," ujar Azka dengan girang. Azka bocah yang masih lima tahun tapi sudah mengagumi sosok Berlian.
Majalah Berlian selalu ada di rumahnya karena kakek dan neneknya selalu berlangganan majalah, kakeknya juga sering menceritakan sosok Berlian pada Azka yang membuat Azka jadi fans garis keras Berlian.
"Ternyata Tante Berlian lebih cantik saat bertemu nyata daripada di foto. Aku mau cepat besar biar bisa sama Tante Berlian," oceh Azka lagi. Bara memutar bola matanya jengah mendengar ocehan sang ponakan.
"Jangan halu, saingan kamu banyak," jawab Bara yang membuat Azka memukul pipi Bara dengan kencang.
"Gak apa-apa sainganku banyak, aku juga ganteng."
"Ah sudah jangan bicarain Berlian lagi. Kita harus pulang, cuci tangan, cuci kaki dan tidur," ujar Bara.
"Yeyyy besok pamer," teriak Azka girang. Kalau soal pamer, Azka memang jagonya.
Di sisi lain, Berlian tengah mencoba menghubungi Deon untuk ke sekian kali. Berlian duduk di sofa dengan kaki yang terangkat ke meja, di tangan kiri Berlian memegang satu botol kopi intans, dan di tangan kanannya memegang hp. Berlian merindukan Deon yang sudah lama tidak terlihat. Saat sambungan terhubung, dengan spontan Berlian berdiri.
"Deon, kamu di mana?" tanya Berlian dengan antusias.
"Sayang, aku sedang menuju ke rumahmu. Maafkan aku yang telat angkat telfon, aku baru lembur," ucap Deon di seberang sana.
"Baik, aku tunggu di rumah," jawab Berlian mematikan sambungan telfonnya. Berlian segera menuju ke kamarnya untuk memoles wajahnya dengan make up tipis. Pasalnya make up yang digunakan sudah sedikit luntur.
Berlian gadis yang tidak percaya diri tanpa make up, meski hanya tipis, Berlian akan memakainya daripada tidak sama sekali. Apalagi ini akan bertemu dengan sang pujaan hatinya. Prinsip Berlian adalah terlihat sempurna atau tidak terlihat sama sekali.
"Pakaia bedak, blush on, lipstik dan ... pakai eyeshadow," ucap Berlian sedikit tergesa-gesa. Gadis itu memoles wajahnya dengan cepat. Berlian juga mengganti pakaiannya dengan yang lebih mewah lagi. Padahal semua baju di lemari Berlian tidak ada yang kaleng-kaleng, semua brand ternama meski bentuk bajunya sederhana. Namun ini akan bertemu Deon, Berlian akan berdandan lebih sempurna dari yang lain.
Setelah selesai dengan dirinya, Berlian segera keluar kamarnya. Gadis itu menuju sofa ruang tamu, menata bantal sofa agar lebih rapi. Berlian juga menata beberapa barang agar terletak simetris dan tidak mengganggu penglihatannya. Dirasa semua sudah siap, Berlian duduk di sofa dengan anggun. Mata Berlian terus menatap ke arah jam, menanti datangnya sang pujaan hati. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, Berlian masih bisa sabar. Sampai di menit ke tiga puluh, Berlian mengambil remot AC dan menghidupkannya. Tubuh Berlain terasa gerah, gadis itu berdiri, berjalan ke kanan dan ke kiri dengan gelisah.
Berlian memejamkan matanya, mengatur emosi yang sudah perlahan naik ke ubun-ubunnya. Andai itu karyawannya, semprotan maut sudah pasti keluar dari bibir Berlian sang penjunjung tinggi kedisiplinan.
"Deon, kemana sih, kamu?" tanya Berlian seorang diri. Berlian menatap ke pintu, hingga suara ketukan pintu membuat gadis itu segera berlari untuk membukanya.
Ceklek!
Berlian membuka pintunya, matanya berbinar saat mendapati seorang pria memakai kemeja dan dasi lengkap tengah berdiri di hadapannya. Pria itu berdiri tegap sembari merentangkan tangannya. Tanpa basa-basi Berlian segera menerjang tubuh Deon."Sudah lama menungguku?" tanya Deon mencium puncak kepala Berlian.
"Sudah lama banget," jawab Berlian. Berlian menguari pelukannya. Mata gadis itu menangkap dasi Deon yang miring. Dengan cekatan Berlian membenarkannya.
"Kenapa dibenarkan, aku mau melepasnya," kata Deon menarik dasirnya dengan satu tarikan tangannya.
"Itu kemeja kamu lusuh," ucap Berlian membenarkan kemeja Deon.
Deon mendorongtubuh Berlian untuk masuk, pria itu menutup pintunya dengan kaki. "Katanya kangen aku?" tanya Deon menggendong tubuh Berlian. Berlian terpekik kaget karena takut. Gadis itu merasa tubuhnya terhempas ke tempat empuk.
Deon membanting tubuh Berlian ke sofa, pria itu mengukung tubuh sang pacar. Deon mencium kening Berlian dengan pelan, Berlian memejamkan matanya sejenak merasakan ciuman dari Deon. Meski Deon jarang memiliki waktu dengannya, sekali bertemu Deon akan mencurahkan kasih sayangnya untuk Berlian.
"Sudah makan apa belum?" tanya Deon pelan. Berlian menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak makan?"
"Lagi malas."
"Makanya belajar masak sendiri biar kalau lapar gak harus panggil sekretaris kamu. Sekretaris kamu punya kehidupan sendiri, sangat merepotkan kalau kamu gak bisa apa-apa," oceh Deon.
Berlian tercenung, gadis itu membuka matanya menatap manik mata Deon. Sorot tajam itu keluar lagi dari mata Berlian yang langsung mendapat sentilan dari Deon.
"Jangan menatapku seperti itu seolah kamu yang mendominasi. Kamu tahu, itu melukai harga diriku," ucap Deon.
"Hem, baiklah," jawab Berlian dengan pasrah. Berlian meneduhkan kembali pandangannya.
"Berlian, kita sudah lama pacaran. Kamu tidak ingin melakukan sesuatu yang menantang?" tanya Deon.
"Menantang? Mendaki gunung bersama, skeating, kencan di hutan, dan-" Deon menutup bibir Berlian dengan telapak tangannya, pria itu masih dalam posisi menindih gadis itu.
"Kamu pura-pura polos atau benar-benar polos?" tanya Deon mendesis. Deon melepas tangannya dari bibir Berlian. Pria itu merendahkan kepalanya dan ingin memagut bibir Berlian. Namun Berlian menolehkan kepalanya ke samping, membuat Deon hanya mencium pipi gadis itu.
Deon mengepalkan tangannya dan memukulkan ke sofa. Sudah lama ia berpacaran dengan Berlian, tapi satu kali pun mereka tidak pernah berciuman bibir.
"Berlian," desis Deon memejamkan matanya.
"Deon, kemeja kamu miring," ucap Berlian membenarkan kemeja Deon.
"Persetan dengan kemeja miring," teriak Deon melepas kancing kemejanya satu persatu. Berlian membulatkan matanya, gadis itu mencoba mendorong Deon yang mengukungnya. Sedangkan Deon mendorong kencang tubuh Berlian hingga gadis itu kembali telentang.
Dengan tergesa-gesa Deon melepas seluruh kancing kemejanya dan membuang kemejanya dengan asal. Pria itu memegang kedua tangan Berlian dan mencengkramnya di atas kepala.
"Berlian, sudah cukup kamu menguji kesabaranku," ucap Deon.
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.