Dayton tak ke kantor hari ini, karena ia tidak memiliki semangat untuk ke kantor, ia masih menunggu kabar istrinya dan mencoba tetap di rumah. Lucia sangat khawatir dengan kondisi putranya yang sejak kemarin tidak menyentuh makanan. Lalu pagi dan siang ini menolak makanan.
“Aku pulang, Sayang. Sayang!” Sebuah suara bariton terdengar, Lucia menghampiri suaminya yang baru pulang dari Florida.Lucia memeluk suaminya, dan Rayoen membalas kecupan hangatnya di puncak kepala istrinya.“Akhirnya kau pulang juga, maaf karena memberimu kabar ketika kau sedang ada tugas.” Lucia merangkul tangan suaminya, dan berjalan menuju ruang keluarga.“Aku harus pulang ketika keluargaku membutuhkanku, apalagi istriku.” Rayoen menjawab. “Jadi … belum ada kabar dari Angelica?”“Belum, Sayang. Polisi sudah kemari dan Alvin sudah melaporkan hilangnya Angelica.”“Ya Tuhan, kemana Angelica.”“Sayang, bagaimana ini? Kasihan Dayton, apalagi kamu tahu, pernikahannya baru saja, dan semua ini sudah terjadi.”“Apa kau tak mau makan? Kenapa manja sekali?” Seorang wanita kini tengah marah-marah, karena Angelica tidak mau makan makanan yang sudah disiapkan wanita muda yang bernama Mirra.“Aku tidak mau makan!” jawab Angelica,“Kau sudah dewasa, namun sikapmu seperti anak-anak,” kata Mirra. “Aku akan dimarahi Sandy jika kau tak makan.”“Beritahu pada Sandy, antarkan aku pulang, aku harus pulang, keluargaku pasti sedang mengkhawatirkanku sekarang,” pintah Angelica.“Apa kau pikir tempatmu itu dekat dari sini? Itu tidak dekat, Nona, kau sedang berada dipulau, dan tidak ada yang bisa mengantarmu sekarang. Kami sedang tugas di pulau ini, jadi jangan merengek meminta pulang kepada kami. Jika kau mau pulang, kau bisa pulang sendirian, dan usaha sendiri. Jangan merepotkan kami,” celetuk Mirra.“Aku ingin pulang. Aku mohon antarkan aku,” lirih Angelica. “Suamiku pasti mengkhawatirkanku.”“Syukurlah jika kau punya suami.”“Lalu telpon suamimu untuk menjemputmu.”“Kau sendiri yang mengatakan b
“Kau benar-benar brengsek, Axen!” umpat Arminda, menatap tajam ke arah Axen yang tengah merokok.“Apa-apaan kau ini? Kenapa datang-datang langsung memakiku?” Axen memicingkan mata melihat ke arah Arminda yang tengah marah.“Kau mengatakan perempuan sialan itu tidak akan selamat ketika kau membuangnya di bukit Sand, dan sekarang apa kau tahu? Dayton tengah dalam perjalanan menjemput istrinya. Kau brengsek! Kau—“ Arminda hendak melempar Axen, namun anak buah Axen membekuk kedua tangannya.“Lepaskan aku, Brengsek!” tekan Arminda.“Lepaskan jalan itu, dan kalian berdua keluar,” perintah Axen.Kedua anak buahnya melepas bekukan tangan Arminda, dan berjalan keluar dari gudang.“Aku memang membuangnya di bukit Sand, tapi—“ Axen menghembuskan asap rokok ke wajah Arminda. “Tapi, aku tidak sebodoh dan setega itu.”“Apa maksudmu?”“Aku membuangnya di bukit kecil Sand, bukan di bukit besar,” jawab Axen, dengan tawa mengerikannya.“Jadi … kau menipuku?”“Tentu saja. Kau pikir aku tega
Dayton berjalan lurus kedepan dan mendapatkan anak tangga yang begitu tinggi dan berlika-liku, Dayton mendongak dan menatap di atas sana, lantai enam sangat lah jauh dari tempatnya berdiri saat ini, membuat Dayton menghela napas, lalu menginjak anak tangga satu persatu. Kelelahan menaiki tangga setinggi ini tidak akan terasa karena ia akan menemui istrinya tercinta.Beberapa menit kemudian, Dayton sampai ke lantai enam, ia menarik napas kasar, karena benar-benar lelah harus menaiki tangga setinggi ini.Dayton sumringah seketika melihat kamar yang bertuliskan 103, dan mengetuk pintu.Sesaat kemudian, seorang wanita membuka pintu kamar, dan melihat Dayton yang kini berkeringat.“Sayang?” Angelica langsung memeluk suaminya, dan melepas kerinduan lewat pelukan itu.Dayton mengeratkan pelukannya, dan mencium bahu istrinya Angelica menitikkan air mata, sejak tadi ia sudah gelisah menunggu kedatangan suaminya, dan ia takut jika saja terjadi sesuatu sebelum ia bertemu dengan Dayton, na
“Kamu darimana?” tanya Sandy, ketika Mirra hendak melintasinya.“Aku semalam mengantar Angelica ke kota,” jawab Mirra, enteng, ia tak masalah jika memang Sandy mau memarahinya.“Kenapa kau melakukan itu tanpa izinku?” tatapan mata Sandy terlihat amarah yang berkobar.“Aku melakukannya karena Angelica kini di cari oleh keluarganya, jangan membuatnya seolah menjadi sandera di sini,” jawab Mirra.Sandy tertawa meremehkan, lalu beranjak dari duduknya, ia menghampiri Mirra yang kini berusaha terlihat tangguh didepannya.“Apa kau tahu hal yang membuatku marah? Kau sudah ikut denganku berapa tahun?” tanya Sandy.“Aku tahu. Kau pasti akan marah jika aku membuat apa yang ingin kau miliki menghilang. Aku sudah empat tahun ikut denganmu. Tapi, apa kau tahu? Berapa banyak aku mencoba mengeluarkanmu dari masalah? Jangan selalu menganggap apa yang baru kau temui adalah milikmu, Sandy. Angelica sudah menikah, aku tahu kau menyukainya, namun menyukai wanita bersuami salah. Perasaanmu itu tak
Kini, Rayoen tengah menatap istrinya yang kini tengah duduk didepan cermin, seraya menyisir rambut sebahu miliknya, Rayoen tersenyum membuat Lucia merona ketika menyadari tatapan suaminya lewat pantulan cermin besar.“Jangan terus menatapku,” kata Lucia, membuat Rayoen menggaruk tengkuknya karena merasa malu.“Kamu tetap cantik, meski anak-anak kita sudah dewasa,” puji Rayoen.“Terima kasih atas pujianmu,” kekeh Lucia, lalu menggeleng pelan karena gombalan suaminya terdengar tak biasa.“Aku tidak bercanda, Sayang. Aku serius, setiap kali melihatmu, aku selalu saja jatuh cinta,” jawab Rayoen.“Sayang, kita sudah tua, apa pantas mengatakan cinta di usia seperti ini?”“Apa kau pikir kita sudah tua? Sayang, kamu itu terlihat seperti Kakak Alice, bukan ibunya.”“Terima kasih atas pujianmu itu. Dan, aku juga tetap mencintaimu.”Lucia berjalan menghampiri suaminya, dan duduk di tepian ranjang. “Aku tidak pernah protes akan keputusanmu, namun apa tidak sebaiknya kau cari tahu dahulu
“Sayang, apa kamu yakin akan membiarkan Arminda tinggal di sini?” tanya Dayton, ketika ia baru saja masuk ke kamar, dan melihat istrinya yang kini tengah duduk di tepian ranjang.“Hem. Aku yakin, Sayang,” jawab Angelica.“Apa kamu percaya pada Arminda?”“Dia sudah meminta maaf padaku, dan aku berusaha percaya.”“Sayang, aku tahu Arminda memang satu-satunya keluargamu, namun aku takut saja, jika dia—““Melihat Arminda, aku yakin aku menghilang tak ada hubungannya dengan dia,” sergah Angelica. “Sayang, Aku mohon, kali ini percaya padaku, aku akan menjaga jarak dengan Arminda, dan aku akan mengawasinya.”“Baiklah. Aku percaya, namun menerimanya, aku memang ragu.” Dayton mengangguk.“Sayang, hanya Arminda yang aku punya, dan hanya Arminda satu-satunya saudaraku, aku harus menjaganya, meski sebenarnya ia yang harus menjagaku.”Dayton menganggukkan kepala. “Baiklah. Aku percaya.”Dayton mengelus rambut istrinya lembut. “Aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengan kamu.”Angelic
“Apa kau memanggil polisi, Arminda?” tanya Axen.“Tidak. Aku tidak memanggilnya, aku tidak segila itu.”“Lalu … mengapa seperti ini?”“Angkat tangan kalian,” perintah salah satu polisi.Arminda dan Axen mengangkat kedua tangan mereka, dan suara tepuk tangan terdengar dari arah pintu. Arminda dan Axen menoleh. Dayton. Terlihat seperti itu.“Dayton?” Arminda membulatkan matanya penuh.“Ternyata kalian bekerja sama untuk memeras keluargamu, dan aku juga baru tahu, kalau kalian berdua lah yang membuat istriku jatuh di bukit Sand.” Dayton menggelengkan kepala. “Kalian harusnya tahu tengah berurusan dengan siapa, kalian memang tidak takut padaku.”“Alvin, kamu salah paham. Yang menculik Angelica dan menjatuhkannya di bukit Sand, adalah Axen,” kata Arminda, masih setia membela dirinya. Axen melotot ketika mendengar pengakuan Arminda.“Aku melakukan semua itu karena perintahmu, Jalang!” teriak Axen. “Kau jangan coba membela diri. Aku tidak akan sendirian menerima hukuman ini.” Axen
Hotel Lucmail.Hotel bintang lima yang akan menjadi tempat dan saksi bisu pernikahan Alice dan Zach yang akan digelar di hotel ini. Para pelayan hotel terlihat sedang sibuk mengurus beberapa menu makanan yang mereka tata di atas meja, sedangkan tamu berangsur-angsur memadati taman hotel.Alice terlihat sangat cantik dan menarik ketika mengenakan gaun polos berwarna putih, dengan belahan dipahanya. Alice terlihat sederhana, namun elegant dan mewah, juga berkesan.“Kau terlihat sangat cantik, Alice,” puji Angelica, ketika melihat Alice bercermin.“Sejak dulu … aku memang wanita yang cantik, Angel,” kekeh Alice, membuat Angelica mengulum senyum.“Anak Mommy memang wanita yang cantik,” sambung Lucia, yang baru saja datang dan membawa subeket bunga, yang akan dipegang Alice.“Mom, aku memang terlahir mirip dengan Mommy.” Alice menghambur pelukan dan memeluk ibunya yang kini terlihat anggun mengenakan gaun berwarna putih pula. Meski sudah akan memiliki cucu, Lucia masih terlihat san