Share

04 - Formulir?

Sudah menjadi santapan kelas 11 IPA 1 akhir-akhir ini melihat Stevia mencari perhatian kepada Raden. Penjelasan Bu Arin tentang teknik melukis saja Stevia abaikan, apalagi tatapan heran dari teman-temannya. Stevia terlalu bodo amat untuk hal-hal seperti itu.

Stevia menopang dagunya, memperhatikan Raden yang fokus pada penjelasan Bu Arin. Hidung mancung serta rahang tegas Raden semakin membuat Stevia gila.

"Kalau ada yang bisa bikin gue berpaling dari musik, Raden Kastara jawabannya."

Telinga Raden sangat sehat jika hanya untuk mendengarkan kalimat Stevia baru saja. Cowok itu menoleh ke arah Stevia. Sementara Stevia, menatapnya dengan senyum manis.

"Jangan berisik," tegur Raden.

Jika saja Stevia memiliki kekuatan super hero yang sangat kuat. Sudah dipastikan ia akan melempar Raden ke kutub utara agar bertemu dengan kembarannya.

"Ibu mulai bagi kelompoknya sesuai absen ya. Satu kelompok isi empat orang."

Bu Arin menarik atensi Stevia dan semua siswa. Semua sangat berharap mendapat rekan satu kelompok yang rajin, bukan pemalas. Lagi, mereka juga berharap satu kelompok dengan Stevia. Meskipun Stevia tidak pintar dalam pelajaran, gadis berambut panjang itu sangat kreatif juga pandai di bidang seni.

"Raden, Rinjani, Stevan, Stevia."

"YESS!" seru Stevia semangat tinggi hingga membuat semua orang terkejut. Stevia memeluk Rinjani di sampingnya.

"Akhirnya sekelompok sama jodoh," celetuknya.

"ALAY AMAT BOCAH!" tukas Alam di sebelah Raden.

Bu Arin hanya mampu menggelengkan kepala beliau. Sudah tidak heran dengan kelakuan Stevia. Beliau kembali melanjutkan membagi kelompok seni rupa.

Usai pembagian kelompok, Bu Arin meminta seluruh siswa agar pergi ke ruang seni rupa. Para siswa akan melukis di ruang seni bersama kelompok mereka.

"Raden," panggil Stevia seraya mengikat rambutnya. Ia menghampiri Raden yang berjalan di paling belakang.

"Gue ada event instrumental musik berpasangan. Mau ikut nggak? Jadi partner gue," papar Stevia dibalas gerakan kepala menggeleng oleh Raden.

"Saya nggak bisa."

"Tapi lo jago main piano, Den!"

Untuk ke sekian kalinya Raden dibuat jengah dengan semua ucapan sekaligus tindakan Stevia. Raden memutar badannya, menghadap ke Stevia. "Saya bilang nggak mau."

"Sekalian nanti jadi sahabat gue, oke?"

Raden memilih meninggalkan Stevia. Waktunya terlalu berharga tetap berbicara dengan gadis aneh itu. Raden sendiri tidak tahu motif apa yang menjadikan Stevia sangat ingin menjalin persahabatan dengannya. 

"Raden, mau?" tanya Stevia sambil mengejar Raden. "Kalau diam artinya mau, kalau lo napas artinya mau, kalau nolak artinya mau."

"Pemaksaan," tandas Raden.

Mereka menjadi seperti film India yang saling mengejar di koridor sekolah. Stevia tak gentar untuk meruntuhkan jiwa-jiwa pendiam Raden.

"Bukan pemaksaan, tapi agak dipaksa."

"Kamu bisa kena pasal soal pemaksaan," kata Raden. Stevia tidak peduli, toh Raden tidak mungkin melaporkannya kepada pihak berwajib. 

"Pasal apa?"

"Saya lupa pasal berapa ayat berapa."

"Ayat Ali-imran?"

"Heh!" tegur Raden. Bagaimana bisa pikiran Stevia sangat random hingga berpikir sampai ke sana? Menakjubkan bagi Raden.

Stevia menyengir lebar melihat respons terkejut dari Raden. Biasanya cowok itu hanya akan menatapnya datar dan dingin. Tidak pernah Raden pertunjukkan mimik wajah walaupun sedang emosi.

Raden masuk ke dalam ruang seni rupa diikuti Stevia yang setia mengekorinya. Raden berjalan menghampiri Rinjani dan Stevan.

"Langsung mulai aja tutur Bu Arin tadi," ujar Rinjani.

Stevia duduk di sebelah Rinjani. Di hadapannya ada sebuah kanvas dan alat melukis lainnya. Ia menoleh ke teman satu kelompoknya.

"Mau lukis apa?" tanyanya.

"Gunung," usul Stevan.

"Kayak anak SD," sungut Rinjani.

"Kalian suka warna apa?" tanya Stevia sambil memeriksa warna apa saja yang ada di kotak cat.

"Gelap," jawab Raden.

"Cerah," ujar Stevan.

"Gue gelap," kata Rinjani.

"Gue suka cerah. Jadi gelap sama cerah jadinya ... " Stevia menggantungkan ucapannya sambil berpikir.

"Blackpink?" tebak Stevan.

"Boombayah nanti," tukas Stevia diikuti tawa Stevan dan dirinya. Tidak mengherankan lagi jika Rinjani dan Raden hanya diam saja. Sejak kelas sepuluh jika mereka satu kelompok, maka dua orang itu akan diam seperti tidak memiliki selera humor.

****

Hasil lukisan kelompok Stevia belum selesai. Beruntung Bu Arin memberi perpanjangan waktu dan bisa dilanjutkan di rumah. Kelompok itu sejak tadi hanya membahas konspirasi warna blackpink tanpa menemukan jalan keluar.

Stevia duduk di samping Dilla. Kini mereka sedang menikmati waktu istirahat sambil menonton cowok-cowok bermain basket.

"Sultan suka sama lo," kata Dilla membuat Stevia menoleh dengan bingung.

"Dia?" Jari telunjuk Stevia tertuju kepada seorang laki-laki yang bermain bola basket.

Tampan dan berkarisma. Bisa dibilang, Sultan menjadi incaran para gadis setelah Raden. Jika Raden unggul dalam prestasi, Sultan unggul dalam organisasi. Ketua osis sekaligus pemain basket SMA Garuda.

"Kok lo tahu?" tanya Stevia penasaran.

"Soalnya dia punya mata, bisa aja dia suka lirik lo. Dia juga punya hati, nggak ada yang tahu hati dia diisi nama siapa. Terus dia pun--"

"Oke, stop!" Stevia segera memotong ucapan anti logika dari Dilla. Gila, semua yang Dilla lontarkan benar-benar gila.

"Lo bisa nggak, sih, kalau bohong itu yang jujur," omel Stevia semakin ke sana-sini.

"Lo juga, kalau tidur nggak usah merem," sewot Dilla.

Perdebatan tidak berfaedah itu sudah menjadi makanan kedua remaja itu setiap hari. Random dan sangat tidak masuk akal. Syukur saja, kewarasan mereka masih terselamatkan.

Di tengah gurauan mereka, Sultan menghampiri mereka sambil membawa bola basket. Sultan berdiri di hadapan Stevia, memancing rasa penasaran para siswa yang lainnya. "Ada formulir nggak?" tanyanya.

Stevia mengernyit bingung atas pertanyaan itu. "Formulir apa?"

"Formulir pendaftaran jadi suami lo."

Tawa Dilla meledak-ledak mendengar ucapan Sultan. Baginya itu kalimat mistis yang paling menyeramkan. Selama ia satu kelas dengan Sultan, ia tidak pernah mendapati cowok itu berbicara langsung pada poinnya seperti sekarang.

"Gue tadi minta ke Dilla, nggak dikasih."

"Ada syaratnya," kata Stevia. Stevia berdiri dari duduknya, ia menatap Sultan serius.

"Lo nikah sama Dilla," lanjut Stevia membuat Dilla dan Sultan membulatkan matanya.

"SINTING!" teriak kedua remaja itu.

Sultan mendengkus kasar. Padahal ia dan Dilla hanya sebatas teman sekelas, tidak lebih. Ia memudarkan senyumannya yang tadi terpatri manis di wajahnya.

"Bilang aja lo nolak."

Sepertinya Sultan harus berjuang lagi untuk mendapatkan formulir pendaftaran menjadi suami Stevia.

"Kalau gue nikah sama Dilla bukan jadi suami lo, Stevia. Gue jadi suami Dilla."

Dengan kesal Sultan meninggalkan Stevia dan Dilla karena bel masuk sudah berbunyi juga hatinya sudah patah. Nice try untuk dirinya sendiri. Sultan akan kembali mendatangi Stevia jika ia sudah memiliki nyali lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status