Share

O3 - Karena Suka Raden

Kedatangan Stevia si gadis periang menggemparkan teman sekelasnya. Bahkan Raden yang berada di bangku sebelahnya sampai menoleh akibat suara Stevia. Stevia membanting bukunya di atas meja.

“Nanti kelompok gue presentasi. Kalau sampai ada yang tanya, gue ajak lo ke lapangan buat adu jotos,” ancamnya.

Sangat menyebalkan ketika prestasi seharusnya selesai, namun temannya bertanya ini-itu. Jika pertanyaannya mudah tidak masalah. Stevia hanya takut pertanyaan dari temannya tidak bisa dijawab. Bisa jelek nilai presentasinya.

“Mending bikin pertanyaan sama jawaban, Pi. Kita pura-pura tanya nanti, lumayan semua kebagian poin tambahan,” usul Alam, ketua kelas.

“Sabi, tuh.”

Buru-buru Stevia dan teman satu kelompoknya menyiapkan pertanyaan sekaligus jawaban. Mereka membuat sekitar 5 soal dan dibagikan pada temannya yang ingin mendapat poin tambahan.

Selesai membagi soal itu, Pak Wijaya memasuki kelas dengan sebuah buku dan laptop di tangan beliau. Berdoa, lalu sapaan hangat diterima oleh para siswa dengan baik.

“Sebelum Bapak lanjutkan ke presentasi selanjutnya. Bapak akan berikan materi tambahan untuk ulangan minggu depan.”

Sorakan dari para siswa terdengar tidak terima jika harus ulangan lagi. Padahal minggu lalu mereka sudah mengerjakan ulangan biologi.

Stevia mengalihkan pandangannya kepada Raden. Cowok itu terlihat sangat tampan ketika sedang fokus seperti ini. Raden sama sekali tidak bersuara. Ia mencatat apa yang Pak Wijaya tuliskan di papan.

“Raden,” panggil Stevia berbisik.

“Raden, Raden,” ulangnya sampai Raden mau menoleh ke arahnya.

“Raden, mau?” tawar Stevia sambil menunjukkan soal yang sudah ia buat.

“Enggak.”

“Kenap—“

“Stevia, ngapain kamu?”

Jantung Stevia mencelus begitu saja mendengar teguran dari sang guru. Buru-buru ia menegakkan badannya, menatap Pak Wijaya sambil menyengir.

“Nanya ke Raden itu, Pak.” Stevia menunjuk tulisan Pak Wijaya di papan tulis. “Nggak kelihatan.”

“Kamu minus? Kenapa nggak pakai kacamata?”

Stevia meringis mendengar pertanyaan Pak Wijaya. Ia hanya berbohong perihal tulisan itu tidak kelihatan di matanya, bukan ia minus.

“Saya nggak suka pakai kacamata, Pak,” alibinya.

“Kenapa nggak suka pakai?”

“Soalnya saya sukanya Raden.”

Seruan meledek terdengar memojokkan Stevia yang dengan gamblang berbicara seperti itu. Raden menelan salivanya menyadari tatapan aneh dari semua temannya.

“GUE DUKUNG, PI, GUE DUKUNG!”

“KAPAL BARU ASIK!”

“Kalian pacaran?” tanya Pak Wijaya ikut penasaran.

“Lagi berjuang, Pak,” sahut Stevia semakin tidak tahu malu. Stevia sangat percaya diri. Toh, tidak ada yang salah dengan perjuangannya.

“Emangnya Raden mau sama kamu?”

“Hati mungil saya tersakiti sama pertanyaan Bapak!”

Ledakan tawa semakin terdengar nyaring membuat Stevia menutupi wajahnya menggunakan buku. Setelah keadaan cukup tenang, Stevia dan para rekannya maju guna mempresentasikan hasil observasi mengenai ikan yang diawetkan menggunakan es batu.

“UDAH SEKELOMPOK, TAPI SEHATINYA MASIH ON GOING JIAHAHAHAH!” ejek Alam kepada Stevia dan Raden.

Baiklah, di presentasi kali ini Stevia terdeteksi tidak akan seceria biasanya. Ia ingin menenggelamkan diri di lautan luas supaya tidak diejek oleh teman-temannya lagi.

“Raden aja yang buka,” kata Stevia bergeser ke belakang Rinjani.

“SALTING CIE!”

Mendengar teriakan Alam, Stevia tidak dapat lagi menahan dirinya. Ia bergerak maju sambil melempar tatapan tajam pada cowok itu. “LO DIEM ATAU KELUAR?” teriak Stevia seraya menunjuk pintu keluar kelas.

“Ngegay sama Raden aja gue, Pi.”

Stevia menoleh ke gurunya dengan tatapan memelas. “Pak Jaya, tolong usir Alam,” adunya dibalas tawa teman-temannya.

“Sudah, sudah. Alam jangan bercanda. Ayo mulai presentasinya!”

****

Dilla menatap Stevia sambil menggelengkan kepalanya heran. Baru beberapa hari yang lalu Stevia menyebut bahwa dirinya jatuh cinta dengan Raden. Namun, tingkah Stevia seperti sudah cinta mati kepada cowok itu.

“Apa, sih, yang bikin lo suka sama Raden?”

“Dia ganteng, Dil.”

Tentu saja Dilla tidak percaya. Sudah hampir 2 tahun Stevia sekelas dengan Raden, gadis itu tidak pernah membahas Raden. Meski Dilla berbeda kelas sama Stevia, Dilla selalu tahu apa yang terjadi pada Stevia. Disebabkan oleh kebiasaan Stevia yang sering bercerita.

“Fisik?” tanya Dilla sambil menyedot es teh miliknya.

“Gue pernah lihat dia main piano.”

Dilla ber-A ria. Sejak dahulu tipe cowok Stevia adalah pemain piano. Pantas saja jika Stevia mengejar Raden. Ternyata cowok itu bisa bermain piano.

“Deketin pelan-pelan, jangan terlalu agresif.”

Seketika binar mata Stevia kembali muncul. Mata redupnya sudah tidak lagi terlihat. “Lo dukung gue, Dil?”

“Iya, kapan lagi coba bestie unyuk gue ini jatuh cinta.”

Stevia memeluk erat tubuh Dilla. Sahabatnya ini benar-benar membuatnya merasa semangat.

“Tunjukin ke gue, kalau lo bisa jadian sama cowok pinter kayak Raden.”

Dengan kasar Stevia mendorong Dilla hingga membuat Dilla hampir terjengkang ke belakang. Kalimat Dilla lagi dan lagi menyakiti hati mungil Stevia.

“Ngeledek lo!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status