Bian yang bingung pun akhirnya menghubungi kakak iparnya-sekaligus kakak dari Cia. Paling tidak dia bisa mendapatkan saran apa yang harus dilakukannya. Di ruang keluarga, Bian mengusap ponselnya. Menghubungi kakak iparnya.
“Kenapa menghubungi kakak iparmu? Apa kamu lebih merindukannya dari pada aku?” El dari sambungan telepon menggoda adiknya. “Untuk apa aku merindukanmu. Aku lebih merindukan kakak ipar dan si kembar dari pada kamu.” El terdengar tertawa. “Ini.” Terdengar suaranya yang tampak memberikan ponsel pada istrinya. “Hai, Bi, ada apa?” Freya terdengar ceria sekali. Mendengar sedari tadi suaminya menggoda sang adik. “Hai, Kak.” Bian terdengar ceria. “Kak, ada yang aku ingin bicarakan tentang Kak Cia.” Suara Bian mulai serius. Tak seperti awal berbicara dengan kakak iparnya. Freya terdiam. “Sepertinya penting?” tebak Freya. “Tiga hari ini Kak Cia tidak keluar kamar. Tadi mencoba membuka pintu secara paksa. Dia tampak begitu depresi, tetapi dia tidak mau menceritakan apa-apa dan justru menangis.” Bian menjelaskan semua yang terjadi. “Apa sesuatu terjadi belakangan ini?” “Asisten rumah tangga bilang, belakangan ini dia memang tampak lebih diam, tetapi perubahan itu tidak terlalu aku pahami karena memang aku jarang bertemu dengannya sebulan ini.” Sebulan ini Bian disibukkan dengan jadwal kuliahnya. Hingga memang tidak memerhatikan apa-apa. “Pasti sedang terjadi sesuatu padanya. Hingga dia berubah seperti itu.” Freya hapal betul adiknya buka orang pendiam. Sekalipun bersedih dia akan tetap ceria. “Iya, tetapi dia tidak mau menceritakan. Aku harus apa?” Bian sendiri bingung harus melakukan apa. “Aku akan ke sana.” “Apa Kak Freya yakin?” “Seminggu lagi Cia akan pulang. Jika dia pulang dengan keadaan seperti itu, akan membuat mama dan papa khawatir.” “Baiklah, jika menurut Kakak seperti itu. Aku akan menunggu Kak Freya saja.” “Bi, tolong pantau terus. Jangan sampai dia melakukan hal buruk.” “Tentu, Kak.” Bian mematikan sambungan telepon. Tak mau gegabah, dia memilih untuk menunggu kakak iparnya saja. Untuk urusan para wanita, dia memang paling malas. Apalagi diminta membujuk, merayu. Bian bukan ahlinya. Biasanya wanita datang padanya tanpa dirayu. ***Freya mematikan sambungan teleponnya. Kemudian, menatap El yang berada di depannya sedang bermain dengan anak-anak mereka. “Ada apa dengan Cia?” tanyanya. “Aku tidak tahu, tetapi Bian bilang sebulan ini Cia lebih diam. Tiga hari ini dia mengurung diri, hingga akhirnya membuat Bian membuka paksa kamarnya.” “Kita ke sana besok.” Tak mau terjadi apa-apa pada adik iparnya, El memilih untuk segera pergi. Tadi, dia sudah mendengar juga jika istrinya mengatakan akan segera ke sana. “Anak-anak bagaimana?” tanya Freya. Dia sadar jika dalam keadaan seperti ini tidak baik membawa anak-anak turut serta. “Biarkan anak-anak dengan mommy dan mama.” “Lalu kita alasan apa pada mereka?” Freya tidak mau sampai keluarganya tahu keadaan adiknya. Sebelum keluarganya dengar, paling tidak dia harus dengar lebih dulu. “Aku akan pikirkan alasannya.” Freya mengangguk. Menyerahkan pada suaminya, apa pun keputusan suaminya itu. Sejujurnya, Freya berdebar-debar memikirkan apa yang terjadi pada adiknya. Namun, dia berusaha tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan. ***Pagi ini El dan Freya membawa serta anak-anak mereka untuk ke rumah nenek dan kakek mereka. Si kembar yang kini sudah berusia dua tahun begitu tampak senang ketika diberitahu akan ke rumah nenek dan kakek mereka. Sebenarnya Freya tidak tega, tetapi ada hal penting yang harus dilakukannya. Freya berani meninggalkan anaknya karena keduanya kini sudah minum susu formula. Jadi, anak-anak tidak akan rewel saat ditinggal. Sampai di rumah mereka disambung Mommy Shea dan Daddy Bryan. Kean dan Lean langsung berhambur ke pelukan mereka nenek dan kakek. “Cucu grandma,” ucap Mommy Shea menggendong Lean. Mommy Shea memutuskan memanggil grandma dan grandpa, mengingat terlalu sulit jika grandmom dan grandda.“Wah … Kean makanan apa kenapa berat sekali.” Daddy Bryan menggendong cucunya. Merasa senang tumbuh kembang cucunya sangat baik. “Sebenarnya kalian kenapa tiba-tiba pergi ke London?” tanya Mommy Shea. “Iya, ada masalah apa sebenarnya?” tanya Daddy Bryan. “Sudah, kita masuk dulu. Aku akan jelaskan.” El pun mengiring orang tuanya masuk ke rumah. Menuju ke ruang keluarga. Sambil menemani anaknya yang sudah mulai bermain, El menjelaskan. “Aku ada proyek dengan Noah, jadi harus ke London. Tapi, Freya merengek ingin ikut,” jelasnya pada kedua orang tuanya. Freya membulatkan matanya. Tidak menyangka alasan suaminya semacam itu. Rasanya malu sekali di hadapan mertuanya. “Mau bikin adik untuk Kean dan Lean?” tanya Daddy Bryan polos.Freya semakin malu mendengar ucapan mertuanya. Pipinya memerah bak buah tomat. “Daddy, jangan buat Freya malu,” ucap El, “doakan Kean dan Lean segera punya adik,” imbuhnya. Rasanya ingin sekali Freya mencekik suaminya. Dia melarang orang tuanya meledeknya, tetapi kalimat yang keluar dari mulutnya seolah meminta diledek. “Wah … kalau begitu pergilah kalian. Kami akan menjaga Kean dan Lean.” Mommy Shea begitu semangat. Dia ingin putranya bisa memiliki anak yang banyak seperti dirinya. El tersenyum. Akhirnya, alasannya bisa membuat orang tuanya yakin. Freya hanya bisa pasrah ketika suaminya mengatakan alasan palsu yang menjurus pada produksi anak. Sungguh alasan tepat, tetapi menyebalkan. “Kapan kalian berangkat?” tanya Daddy Bryan. “Nanti malam kami akan berangkat.” El sudah menyiapkan semuanya termasuk keberangkatan. Dia tidak mau sampai berlama-lama menunggu keberangkatan. Freya merasa bersyukur suaminya begitu baik. Dia benar-benar peduli dengan adiknya. Rela melakukan perjalanan mendadak untuk adiknya. “Baiklah. Nikmati bulan madu kalian. Anak-anak biarkan kami yang urus.” El dan Freya mengangguk. Sebelum mereka pergi nanti malam, mereka menyempatkan diri untuk bermain dengan anak-anak mereka. Pasti mereka akan sangat merindukan dua bayi kembarnya, mengingat pasti butuh beberapa hari untuk perjalanan ke London. ***Bian yang pulang kuliah menuju ke kamar Cia. Dilihatnya, Cia tidur dengan pulas di tempat tidur. Setelah memastikan jika Cia masih tidur, dia keluar untuk menyiapkan makan malam. Asisten rumah tangga, selalu menyiapkan makan malam untuknya dan Cia. Meletakkannya di lemari pendingin. Biasanya, Bian hanya tinggal menghangatkannya. Menunggu makanan yang berada di microwave, dia membaca pesan di ponselnya. Ternyata kakaknya sudah berangkat dan akan sampai di London besok pagi. Bian merasa senang karena akhirnya, kakaknya datang juga, dia sudah sangat khawatir dengan Cia yang sedari kemarin diam saja. Suara microwave membuat Bian mengalihkan pandangannya. Dia mengambil makanan yang dihangatkannya, kemudian menyajikannya di piring. Dengan makanan yang berada di piring, Bian menuju ke kamar Cia. Membangunkan Cia agar segera makan. “Kak Cia,” teriak Bian yang terkejut saat membuka pintu kamar.Hari ini Cia diizinkan untuk pulang. Beberapa keluarga ikut menjemput, beberapa yang lain menunggu di apartemen. Menyambut kedatangan Baby Nick. Di apartemen mereka sudah disambut oleh anak-anak yang memberikan sambutan selamat datang. Sungguh rumah begitu ramai. “Selamat datang.” Shera dan Freya menyambut Cia.“Terima kasih.” Cia begitu senang ketika melihat semua menyambutnya dengan meriah. Keluarga berkumpul merayakan kedatangannya. “Ayo, masuk.” Noah menuntun pelan tubuh Cia. Membawanya masuk ke apartemen.Lora, Kean, Lean, Rigel, dan Anka pun itu menyambut. Lima anak itu begitu riuh ingin melihat adik mereka. “Itu dedek aku.” Dengan bangganya dia memamerkan adiknya. “Mommy, mau lihat!” Kean yang tak sabar pun merengek. Cia yang duduk di sofa langsung diserbu anak-anak. Mereka begitu gemas melihat Baby Nick. Sayangnya, Lora begitu pelit. Setiap ingin memegang adiknya,
Noah membawa istrinya ke Rumah sakit. Cia yang sudah merasakan sakit hanya bisa merintih kesakitan. Setelah sekian lama, kini Cia merasakan kembali rasa sakit ini. Jika dulu, dia malu-malu saat mencengkeram Noah. Kini dia dengan beraninya mencengkeram erat tangan Noah. Hingga membuat Noah kesakitan. Namun, Noah rela saja melakukannya. Yang terpenting dapat mengurangi sakit yang dirasakan oleh istrinya. Di ruang UGD para perawat langsung memasang jarum infus ke pergelangan tangan Cia. Memastikan cairan infus bisa masuk ke dalam tubuh Cia. Dokter Lyra yang dihubungi langsung datang. Dia memang sudah bersiap sejak pagi. Terlebih lagi keluarga Adion dan Maxton sudah berisik menghubunginya. “Air ketubannya sepertinya sudah pecah, Ra.” Mama Chika memberitahu. Dokter Lyra mengangguk. Kemudian memakai sarung tangan untuk mengecek sudah pembukaan berapa. Saat mengecek jalan lahir anak Cia, Dr. Lyra mendapati jika Cia sudah siap untuk melahirkan. D
Cia mengatur napasnya setelah keliling taman. Dilihatnya anaknya masih asyik bermain dengan daddy-nya, jadi dia harus menunggu lebih dulu. Perut Cia yang sudah mulai besar, membuatnya kesulitan untuk duduk. Kini usia kandungan Cia sudah mencapai delapan bulan. Dengan usia kandungan yang besar membuat Cia sulit bergerak. “Mommy.” Lora berlari menghampiri Cia. Cia mengulurkan tangannya. Membawa anaknya ke dalam pelukannya. “Dedek.” Lora mendaratkan kecupan di perut mommy-nya. Noah menghampiri anak dan istrinya. Ikut duduk di sebelah istrinya. Mengatur napas setelah lari mengejar anaknya. Pandangannya tertuju pada anak dan istrinya yang sedang bercengkerama. “Hari ini kamu jadi ke toko?” tanya Noah sambil membelai lembut perut Cia. Hari ini Noah libur, jadi dapat mengantar istrinya ke toko kapan saja. “Iya, aku mau mengecek dulu toko. Sekalian nanti pulang kita cari baju bayi.” “Bukannya sudah banyak yang kamu beli bersama dengan mama.” Noah yang
“Lima, enam, cembilan.” Lora menghitung ketika sedang duduk manis di atas punggung daddy-nya. Daddy-nya yang sedang push up, naik turun dengan membawa Lora di atasnya. “Tujuh dulu, Kak.” Cia yang sedang memainkan ponselnya membaca beberapa artikel, beralih pada anaknya. “Ulang, Daddy.” “Jangan, Sayang, lanjutkan saja.” Noah yang sedang push up dengan tubuh Lora di atas punggungnya, tidak kuat jika anaknya mengulang lagi. Tadi dia meminta dua puluh hitungan, jika diulang, yang ada dua kali kerja. Bisa-bisa dia pingsan nanti. “Lalu belapa?” “Sepuluh.” Noah menurunkan tubuhnya. Kemudian mengangkatnya lagi. “Cepuluh.” “Sebelas … dua belas … tiga belas ….” “Cebelas … dua belas … tiga belas ….” Lora mengikuti daddy-nya yang berhitung. Sampai akhirnya sang daddy terkapar di lantai. Lora yang selesai berhitung begitu senangnya. Karena dia bisa naik di punggu
Di depan cermin Noah mengikat rambut anaknya. Sebulan ini dia belajar mengikat rambut anaknya. Tak ada lagi ikatan miring yang membuat Lora menangis. Kini Noah bisa mengikat rambut anaknya dengan simetris. Cia yang mencatat seragam apa yang dipakai Lora setiap hari juga membuat Noah mudah untuk memakaikan pada anaknya. Sudah tak ada lagi drama Lora menangis pagi-pagi. Hal itu membuat Cia senang. Sebulan ini Cia tak henti-hentinya mual. Dia terpaksa ke toko setelah siang, saat tubuhnya kuat. Semua orang melarang Cia, tetapi dia merasa bosan terus berada di rumah. Suara bel yang terdengar membuat Cia yang sedang tidur langsung berangsur bangun. Dia tahu jika itu adalah kurir yang mengantarkan bubur buatan mommy Shea. Bubur dengan campuran udang dan kepiting. Rasanya benar-benar enak di mulut Cia. Hanya bubur itu yang bisa masuk ke perutnya. Karena makanan lain tidak sama sekali bisa masuk dan justru keluar lagi. Saat membuka pintu, ternyata bukan kurir yang da
Papa Felix dan Mama Chika yang dihubungi oleh El, langsung bergegas ke Rumah sakit. Mereka begitu khawatir ketika mendengar anaknya sakit. Setelah tadi menghubungi Freya menanyakan di mana ruangan perawatan, mereka langsung menuju ke sana. Saat tiba di ruang perawatan tampak Cia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Melihat Infus yang menancap di pergelangan tangannya, mereka merasa tidak tega. “Kenapa bisa sampai di sini?” Mama Chika yang masuk langsung menghampiri anaknya. Tangannya membelai erat rambut Cia. Wajah tuanya begitu tampak khawatir. “Aku tidak apa-apa, Ma.” Cia berusaha menenangkan sang mama yang terlihat panik. “Sebenarnya ada apa ini? Sakit apa hingga harus dirawat?” Papa Felix memang jauh lebih tenang, tetapi sebenarnya jauh lebih panik. “Cia tidak sakit, Pa, Ma.” Freya menatap mama dan papanya bergantian. “Dia hamil,” ucapnya tersenyum. Mama Chika dan Papa Felix terkeju
Cia dan Noah pergi ke Rumah sakit. Sepanjang jalan Noah merasa tidak tega sekali melihat istrinya yang terlihat begitu pucat. “Masih mual?” tanya Noah menoleh sejenak pada Cia. “Masih.” Cia berusaha keras untuk menahan rasa mualnya itu. “Mau beli permen saja?” Noah terpikir permen bisa mengurangi rasa mual yang dirasakan oleh istrinya. “Boleh juga.” Noah membelokkan setir mobilnya untuk menuju ke supermarket. Membeli permen yang dapat mengurangi mual yang dirasakan oleh istrinya. Di dalam supermarket dia memilih beberapa permen, karena tidak tahu permen apa yang dapat meredakan mual yang dirasakan oleh Cia. Saat kembali ke mobil, dia memberikan satu kantung permen pada istrinya. Hingga membuat Cia keheranan. “Sebanyak ini kamu mau membuat gigiku sakit?” Cia membuka kantung berisi beberapa bungkus permen. “Aku tidak tahu mana yang dapat me
Noah dan Cia bersiap untuk acara peresmian perumahan tahap pertama. Lora yang diajak pergi tak kalah heboh. Ketika sang mommy sedang memakai alat pengeriting rambut, dia juga ikut-ikutan, meminta untuk membuat agar rambutnya juga keriting. Cia yang gemas pun menuruti permintaan anaknya. “Daddy, lihat lambut aku keliting.” Ketika Noah keluar dari kamar mandi, suara anaknya sudah menyambutnya. “Kenapa kamu cepat sekali dewasa, Daddy berasa semakin tua,” gerutu Noah. Dia yang melihat anaknya itu pintar sekali membuatnya takut anaknya tumbuh dengan cepat. Cia hanya tersenyum melihat suaminya yang kesal. Terlihat begitu mengemaskan ketika mendengar suaminya menggerutu. Noah, Cia, dan Lora yang sudah siap langsung berangkat ke tempat acara. Saat tiba di lokasi sudah ada keluarganya yang sudah berkumpul. Anak-anak juga ikut serta. Mereka ikut orang tua mereka untuk menghadiri acara. Had
Sesuai dengan rencana, akhirnya Papa Darwin dan Rylan kembali ke London. Lora yang melihat kepergian kakeknya menangis, hingga sulit sekali di tenangkan. Berteriak ingin ikut kakeknya.“Au ikut Glandpa.” Dia masih terisak ketika tadi sudah bergulung-gulung di lantai. Lora memang sering menangis, tetapi tidak seperti ini biasanya, dan kali ini Lora begitu tak terkendali. Cia yang melihat anaknya seperti itu hanya bisa menunggu hingga tenang. Mengamankan semua yang di sekitar yang kira-kira bahaya. Sampai saat Lora sudah tenang, dia membawa anaknya ke dalam pelukannya. “Au ikut Glandpa.” Kata itu yang terucap diiringi isak tangis. Cia terus mendekap erat anaknya. Menangkan anaknya itu. Sampai suaminya pulang sehabis mengantar papa dan adiknya, Lora baru saja tenang. Anaknya itu baru saja tertidur. Masih di dalam dekapan sang mommy. Perlahan Cia memindahkan anaknya itu ke tempat tidur. Agar sang anak lebih pulas lagi saat tidur. Noah yang melihat wajah anak