Share

Mengurung Diri

Isak tangis masih terdengar di dalam kamar. Namun, sayangnya tidak bisa mengembalikan semua yang ada sudah terjadi. Menyadari jika semua sudah tak bisa kembali lagi, Cia menghentikan tangisnya. Meraih pakaiannya dan memakainya. 

Netranya tak berkedip ketika melihat sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah. Entah apa saja yang dilakukan pria itu saat dia tidak sadar, Cia benar-benar tidak tahu.

Dengan sekuat tenaganya, Cia berusaha untuk pulang. Sambil menahan perih di tubuhnya dan di hatinya, dia keluar dari hotel. Pandangannya menunduk agar orang tak melihat wajahnya yang baru saja menangis.

Keluar dari hotel, Cia mencari halte bus terdekat. Satu tempat yang ditujunya adalah kediaman Maxton. 

Sepanjang jalan, Cia hanya melamun. Pikirannya kosong ketika mendapati semua yang terjadi dalam hidupnya serasa mimpi. Tak ada harapan yang bisa digantungkan lagi. 

Mungkin jika terluka, masih dia bisa menahannya, tetapi melukai orang tuanya. Rasanya, Cia tidak sanggup. Pastinya orang tuanya akan sangat terluka dengan apa yang menimpanya. 

Bus berhenti di halte dekat kediaman Maxton. Cia berjalan menyusuri perumahan untuk mencapai rumah. Cia menguatkan dirinya. Tak mau ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi padanya. 

Cia membuka pintu. Saat masuk tampak Bian menghampiri Cia. “Dari mana saja kamu?” tanyanya ketus. Semalaman Bian menunggu Cia pulang, tetapi sayangnya gadis itu tak kunjung pulang. 

“Dari rumah teman. Mereka mengadakan pesta,” jawab Cia. Dia tampak tenang saat menjawab. Tak menampakkan kesedihan dalam dirinya. 

“Apa kamu tidak bisa sekadar menghubungi aku atau Kak Noah? Kami semalaman sibuk menghubungimu, tetapi ponselmu mati.” 

Ingin rasanya menjerit. Namun, sekuat tenaga dia menahannya. “Aku bukan anak kecil yang harus dicari. Jadi jangan berlebihan.” 

“Berlebihan katamu? Apa Kak Cia sadar jika Kakak itu seorang wanita? Hal buruk bisa saja terjadi padamu.” 

Memang sudah terjadi padaku, Bi. Dalam hatinya Cia menangis. Meratapi apa yang terjadi padanya. 

“Aku baik-baik saja. Aku pulang juga dengan selamat. Jadi sudahlah. Jangan dibesar-besarkan. Aku lelah.” Cia tak mau memperpanjang masalah. Dia memilih untuk bergegas masuk ke kamarnya dan meninggalkan Bian. 

“Kamu selalu saja seperti itu! Kamu itu tanggung jawabku juga. Jadi wajar aku berlebihan.” Suara Bian terdengar berteriak. 

Cia yang masuk ke kamar langsung menutup pintunya rapat. Tangisnya pecah ketika pintu sudah tertutup. Rasanya sakit di hatinya saat orang-orang yang menyayanginya begitu khawatir. Sayangnya, dia tidak bisa menjaga dirinya. Cia tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi nanti ke depan. Seberapa kecewa mereka padanya.

***

Sebulan berlalu sejak kejadian itu. Cia tidak pernah menyangka jika kini dia harus mendapati kenyataan jika dirinya hamil. Meringkuk di atas tempat tidur, Cia hanya bisa meratapi hidupnya. 

Pandangannya masih tertuju pada alat tes kehamilan yang dipegangnya. Sakit ketika mendapati jika dia hamil dengan pria yang entah keberadaannya tidak diketahuianya. 

Sebulan setelah kejadian naas itu, Cia masih tetap menghubungi Ken, tetapi nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Cia juga berusaha untuk bertanya pada teman-teman Ken, sayangnya mereka mengatakan jika Ken juga tidak bisa dihubungi. Seolah pria itu lenyap begitu saja dari muka bumi. 

“Mama dan papa pasti akan terluka melihat ini semua.” Cia menggenggam alat tes kehamilan. Tak tahu harus berbuat apa. 

Di dalam kamar Cia terus meratapi nasibnya. Menangis dan terus menangis yang bisa Cia lakukan. Walaupun itu tidak dapat mengubah apa pun yang terjadi. 

Sepanjang hari Cia mengurung diri di dalam kamarnya. Tak melakukan aktivitas sama sekali. Tubuhnya terasa lemas karena kenyataan yang baru saja didapatinya. Yang dilakukannya hanya menangis sepanjang hari.

Suara ketukan pintu yang terdengar pun diabaikannya. Tak mau menjawab sama sekali. 

“Kak, kamu belum makan?” Suara Bian terdengar dari balik pintu. Memanggil Cia yang sedari tadi tidak keluar kamar. Tadi sepulang kuliah, dia mendapati cerita dari asisten rumah tangga jika Cia tidak keluar kamar. 

“Kak, apa kamu tidur?” tanya Bian kembali. 

Dalam keadaan mata yang sembab, tidak mungkin dia menemui Bian. Yang ada Bian akan curiga dengan apa yang terjadi padanya. Akhirnya, dia memilih mengirim pesan pada Bian. 

[Aku sedang datang bulan. Tidak mood untuk keluar.]

Bian yang di balik pintu mendapati pesan singkat masuk ke ponselnya. Mendapati pesan dari Cia, dia pun berbalik. Meninggalkan kamar Cia. Tinggal dengan Cia, membuatnya sudah hapal dengan gadis itu saat datang bulan. 

Cia yang di dalam kamar merasa tenang karena Bian sudah pergi. Kebiasaannya mengurung diri saat datang bulan di hari pertama, membuatnya punya alasan untuk tidak bertemu dengan Bian. 

Untuk waktu ini, Cia tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Dia butuh waktu untuk menyendiri. Memikirkan apa yang harus dilakukannya. 

***

Bian pikir Cia akan butuh satu hari saja seperti biasanya. Namun, sudah tiga hari Cia mengurung diri di kamar. Gadis itu tidak keluar untuk makan sama sekali. Bian sudah mencoba mengetuk pintu kamarnya, tetapi Cia hanya mengirim pesan jika dia belum mood untuk keluar dari kamar. 

“Kak, kalau kamu tidak membuka pintu. Aku akan mendobrak pintunya.” Bian memberikan ancaman ketika Cia tak kunjung membuka. Sayangnya, Cia benar-benar tidak membuka pintu. Merasa curiga akhirnya, Bian membuka paksa kamar. 

Di dalam kamar Cia meringkuk di atas tempat tidur. Bian menghampiri Cia. “Ada apa denganmu?” tanya Bian memegang bahu Cia yang membelakanginya.

Cia menoleh. Dia langsung menangis. Tak kuasa menahan semuanya sendiri. Rasanya terasa sesak menghadapi semuanya.  Bian membawa gadis yang sudah dianggapnya kakak itu ke dalam pelukannya. “Ada apa katakan!” 

Tak ada kata-kata yang keluar dari Cia. Dia memilih untuk menutup rapat mulutnya. Tak berani mengatakan pada Bian. 

“Jika kamu tidak mau mengatakannya, baiklah. Tapi, bisakah kamu makan dulu. Sudah tiga hari kamu tidak makan. Tubuhmu akan lemas.” 

Cia mengangguk.

Bian langsung bergegas ke dapur. Mengambil makanan untuk Cia. Dengan perhatian dia menyuapi Cia. Bian merasa telah terjadi sesuatu pada Cia, hingga gadis itu mengurung dirinya. Namun, dia tidak bisa memaksa untuk bercerita, mengingat keadaan Cia begitu menyedihkan. Terlihat juga begitu tertekan. Yang terpenting kali ini, dia harus makan untuk mendapatkan energinya kembali. 

Cia memaksakan dirinya untuk makan. Dia sadar betul jika dia tidak boleh egois. Mengingat ada nyawa di dalam sana yang butuh asupan nutrisi.

“Istirahatlah!” Bian memilih untuk membiarkan Cia sendiri lagi setelah makan. “Jika kamu butuh bantuan, panggillah aku.” 

Cia hanya mengangguk. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia kembali merebahkan tubuhnya. Memiringkan tubuhnya, membelakangi Bian. 

Bian memilih keluar dari kamar Cia. Memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk membuat Cia bicara. Selama tinggal bersama dengan Cia tiga tahun ini, baru kali ini gadis itu seperti itu. Bian bukan tipe pria yang bisa membujuk wanita. Jadi dia tidak tahu harus apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status