Bian jelas tahu, jika pintu terbuka akan membuat suara terdengar. Petugas hotel pasti akan datang jika mendengar keributan. Karena itu, Bian memilih untuk menutup pintu. “Jelas ingin mendengar pengakuanmu.” Bian mengayunkan langkahnya. Flavia memundurkan tubuhnya. Sialnya, tepat di belakangnya adalah tembok. Jadi dia tidak bisa lari. Gerakan cepat Bian yang mengunci pergerakan Flavia pun, membuat Flavia semakin tak punya celah untuk lari lagi. “Pengakuan apa maksudmu?” Alih-alih kabur, Flavia memilih untuk berani menatap Bian. Pria yang memiliki tinggi seratus delapan puluh dua centimeter itu membuatnya sedikit mendongak. “Pengakuan jika kamu menyukai Bryan Adion.” Bian tanpa berbasa-basi segera bertanya hal itu. Dari analisa jawaban sang daddy, dia menyimpulkan. Jika sang daddy menyangkal kedekatannya dengan Flavia, artinya memang tidak ada rasa pada Flavia. Jadi dia harus memastikan pada Flavia yang sengaja mendekati sang daddy. Jadi dia sampai memaksa masuk hanya karena i
Bian keluar dari kamarnya bersamaan dengan Flavia yang keluar dari kamar. Flavia menatap malas pada Bian. Dia masih kesal karena ulah Bian kemarin. Tadi, Daddy Bryan sudah mengirim pesan jika dia pergi ke restoran lebih dulu. Karena ingin menikmati kopi lebih dulu. Hal itu membuat Bian dan Flavia harus ke restoran berdua. Mereka berjalan berdua ke lift. Sampai di lift pun tidak ada yang bicara sama sekali. Semua memilih diam. Bagaimana cara aku bicara dengannya? Bian justru bingung memulainya. Dia merasa tidak enak dengan sikapnya kemarin. Hanya saja, jika dia meminta maaf, tentu saja dia tidak mau. Itu pasti membuatnya akan sangat malu sekali. Dia kenapa seperti orang bingung. Flavia merasa aneh ketika melihat Bian tampak gelisah. Seperti ada yang mengganggu pikirannya. Sampai lift terbuka pun tidak ada yang bicara sama sekali. Mereka berdua memilih bungkam. Bian dan Flavia berjalan beriringan ke restoran. Dari kejauhan sudah tampak Daddy Bryan menikmati secangkir kopi
Kakek dan nenek Bian semua sudah meninggal. Yang terakhir tahun lalu adalah neneknya yang meninggal. Dari pihak Maxton pun juga sama. Sudah tidak ada satu pun. Tinggal generasi penerus mereka saja. Walaupun terkadang berkumpul terasa kurang, mereka mulai beradaptasi sedikit demi sedikit. Satu per satu keluarga datang. Mereka saling menyapa satu dengan yang lain. Anak-anak kecil yang datang pun tak kalah membuat suasana menjadi ramai. “Hai, Bi, bagaimana kabarmu?” Daddy Regan langsung memeluk keponakannya. Sore baru dia datang. Tadi pagi dia ada acara main golf dengan teman bisnisnya. Baru pulang saat sore. “Baik, Dad.” Bian tersenyum. “Maaf belum ke rumah.” “Santai saja. Lagi pula sekarang sudah bertemu bukan.” Daddy Regan tersenyum sambil menepuk bahu Bian. “Sudah syukur kamu mau pulang. Masalah menemui kami bisa belakangan.” Papa Erix menambahkan. “Iya, Pa. Akhirnya aku pulang juga.” Bian memeluk Papa Erix sejenak. “Membuat Bian pulang ternyata mudah.” El tersenyum. “Wah … a
Flavia sampai di rumah papa dan mamanya. Tadi dia dihubungi untuk datang ke rumah. Rasanya, Flavia malas sekali jika diminta pulang. Baginya jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, tidak dengan rumah papa dan mamanya. “Kamu akhirnya pulang juga.” Mama Agnesia menyambut dengan pertanyaan sindiran. “Bukankah papa yang memintaku pulang.” Flavia melirih sinis dan segera mengayunkan langkahnya. Dia merasa sedikit kesal dengan pertanyaan dari mama tirinya itu. Mama Agnes biasa orang memanggilnya. Merasa kesal sekali. Anak tirinya itu selalu saja tidak pernah mau bersikap baik padanya. Padahal dari kecil, dirinya yang mengurusnya. Flavia yang datang segera ke ruang kerja papanya. Sebelum masuk ruang kerja papanya, dia mengetuk pintu. “Kamu sudah pulang, Sayang.” Harry Claire menyambut sang anak. Dia segera berdiri dari kursinya menghampiri anaknya. Sebuah rentangan tangan diberikannya, menyambut anaknya ke dalam pelukannya.Flavia tersenyum. Dia senang melihat papanya yang meny
“Papa mau kenalkan kamu dengan seorang pria.” Saat sarapan hendak dimulai, Papa Harry memberitahu Flavia. Flavia yang baru saja hendak duduk begitu terkejut. Kedua bola mata indahnya membulat sempurna. Masih pagi, tetapi papanya sudah membawa kabar buruk untuknya. Mama Agnes tak kalah terkejut. Suaminya tidak mengatakan apa pun perihal ini. Tidak ada obrolan sama sekali perihal ini. “Sayang, sudah tidak jaman anak-anak dikenalkan. Biasanya mereka mencari sendiri.” Mama Agnes mencoba membujuk suaminya. Jika sampai Flavia bertemu dengan pria, tentu saja usahanya akan sia-sia. Flavia menatap mama tirinya. Dia tahu kenapa mamanya itu mengatakan itu. Dia tahu maksud dari ucapan mama tirinya itu. “Aku akan menemuinya, Pa.” Seolah sedang menabuh genderang perang, Flavia menyetujui apa yang dikatakan oleh papanya. Mama Agnes menatap kesal. Anak tirinya benar-benar keterlaluan. Sudah dibantu, tetapi justru menerima permintaan itu. Seolah sengaja sekali menerima tawaran itu karena dirinya
“Da … Grandma … da Grandpa.” Kean dan Lean melambaikan tangannya ketika mobil melaju. “Hati-hati di jalan. Langsung kabari nanti.” Mommy Shea melambaikan tangan. “Iya, nanti Kean suruh Uncle kabari Grandma.” Bian hanya bisa menggeleng. Keponakannya enak sekali ketika menjawab. Dengan segera dia menaikkan kaca mobil agar dua bocah itu duduk manis. “Uncle, kenapa hanya Uncle yang tidak punya anak?” Pertanyaan itu terlontar mengisi keheningan di dalam mobil.Bian yang menyetir, melihat dua bocah kecil itu dari pantulan kaca di atas dashboard. Pertanyaan itu begitu menggelitik sekali. Pertanyaan khas anak-anak yang ditanyakan berdasarkan apa yang dilihatnya. “Karena Uncle belum punya istri. Jadi belum punya anak.” Bian menjawab di sela-sela fokusnya pada jalanan. “Kenapa Uncle tidak punya istri?” tanya Lean yang penasaran. Bian mengembuskan napas. Berusaha untuk tetap sabar. Benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana caranya menjawab pertanyaan anak-anak. “Karena belum ada perempua
Flavia memilih diam. Dia merasa canggung dengan pria di sampingnya itu. Apalagi dia baru kenal. “Papamu banyak menceritakan tentang kamu.” Owen membuka suaranya. Mengisi keheningan di dalam mobil. “Oh … ya?” Flavia tersenyum. Tidak menyangka jika papanya menceritakan dirinya pada orang lain. “Iya, dia bangga anaknya sukses. Katanya tidak menyangka jika anaknya bekerja di bagian kontruksi sebuah bangunan. Padahal anaknya adalah anak perempuan.” Owen menceritakan bagaimana Papa Harry menceritakan tentang anaknya tersebut. “Papa memang tidak setuju dengan keputusanku, tetapi tidak pernah menolak sama sekali.” Flavia mengingat bagaimana dulu papanya menentangnya. Namun, bersyukur akhirnya mengizinkan dan terus mendukung. “Dia ingin kamu bahagia dengan pilihanmu. Karena itu dia membiarkan kamu.” Mengenal Pak Harry beberapa tahun cukup mengenal baik. “Iya.” Flavia mengangguk.Perjalanan mereka ke mal dihiasi dengan obrolan ringan saja. Sampai akhirnya perjalanan mereka sampai di mal.
Bian yang sedang makan seketika tersedak ketika mendengar jawaban Flavia. Flavia yang berada di meja sebelah langsung segera menoleh ketika mendengar suara tersedak. Bian pun segera menundukkan kepalanya. Takut Flavia melihatnya. Sambil menunduk Bian segera melegakan tenggorokannya. Flavia kembali pada Owen. Melanjutkan kembali obrolan mereka. “Kamu sendiri, apa punya pacar?” Gantian Flavia bertanya. “Aku tidak punya pacar.” Owen tersenyum. Jika dia punya tidak mungkin juga pergi dengan Flavia. “Kamu tidak pergi dengan pacarmu saat libur seperti ini?” tanyanya mengorek kembali cerita tentang kekasih Flavia. Flavia tidak menyangka jika Owen akan terus bertanya. “Semalam dia ada acara keluarga. Jadi aku rasa hari ini dia kelelahan.” Bian semakin dibuat tercengang. Entah kebetulan atau memang kenyataan itu seperti merujuk pada daddy-nya yang sedang ada acara keluarga. “Sepertinya dia penyayang keluarga, sampai-sampai malam minggu digunakan untuk bertemu keluarga.” Owen tersenyum. “