Bian yang berjalan ke rumah mendengar ucapan sang mommy yang sedang asyik bercerita dengan sang daddy.“Sayang, kamu harus belajar naik motor.” Mommy Shea merengek pada sang suami. “Sayang, buat apa?” Daddy Bryan menatap aneh pada istrinya. Usianya sudah tidak muda lagi. Jadi tidak pas jika belajar motor. “Buat kita jalan-jalan. Kita bisa keliling komplek naik motor. Seru.” Mommy Shea menatap sang suami penuh harap. “Sudah jangan aneh-aneh. Kalau sampai jatuh dan tulang-tulang kita patah. Bahaya. Tulang kita bukan tulang muda yang bisa disambung.” Daddy Bryan memberitahu sang istri. Mommy Shea menekuk bibirnya. Kesal karena sang suami tidak mengizinkan sama sekali. “Lagi pula. Kenapa kamu pulang naik motor?” Daddy Bryan menatap anaknya. Belum juga dijawab oleh istrinya, Daddy Bryan mengalihkan pandangan pada anaknya. “Kamu membawa mommy naik motor?” tanyanya. “Iya.” Bian enteng menjawab. “Apa kamu tahu itu bahaya untuk mommy. Mommy bukan anak muda. Kenapa diajak naik motor?” Da
Flavia bersiap. Semalam dia sudah mengemasi pakaian di dalam koper kecil. Dia begitu semangat bisa pergi dengan Bryan Adion. Mengobrol dengan Bryan Adion adalah sesuatu yang menyenangkan sekali. Jadi tentu saja itu membuatnya selalu antusias. Flavia segera meraih tasnya dan segera keluar dari apartemen. Dia segera menuju ke lobi apartemen. Waktu menunjukan jam enam kurang lima belas menit. Biasanya, Bryan Adion datang tepat waktu yaitu jam enam. Jadi sebelum Bryan Adion datang, Flavia harus memastikan jika dia ada di lobi. Selang beberapa waktu mobil Bryan Adion datang. Seperti biasa, Flavia selalu langsung memasukkan kopernya ke bagasi lebih dulu. Namun, saat memasukkan koper dia merasa aneh. Pertama karena sopir tidak turun untuk membantunya memasukkan koper. Kedua ada dua koper kecil. Dia memikirkan kenapa atasannya itu membawa dua koper. “Mungkin dia mau berlama-lama di proyek. Mungkin satu koper sudah disiapkan bukan dari rumah.” Flavia tersenyum. Dia menebak apa yang menjadi
Daddy Bryan, Bian, dan Flavia mengecek keadaan proyek. Flavia yang turun ke lapangan segera memakai alat tempurnya. Dia memakai sarung tangan, kaos kaki, dan masker untuk menutupi wajahnya. Setiap ke proyek dia selalu memastikan jika pakaiannya panjang. Agar tidak ada celah sama sekali kulitnya terpapar sinar matahari. Bian yang melihat hal itu merasa aneh. Flavia sudah seperti orang yang berada di dalam musim dingin. Padahal jelas cuaca begitu panas. “Kamu mau mau apa memakai itu semua?” Bian tertawa melihat Flavia yang berusaha menutupi kulitnya. “Tentu saja agar melindungi kulitku.” Flavia menjawab apa adanya. Daddy Bryan sudah tahu kebiasaan Flavia. Jadi tentu saja dia tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. “Pantas kulitnya tetap putih walaupun orang lapangan.” Bian bergumam mengomentari Flavia. Mereka bertiga segera turun ke lapangan. Tak lupa mereka memakai helm keselamatan dan juga sepatu boots. Untuk memastikan mereka aman saat di lokasi proyek. “Kenapa ukurannya t
Bian ingat jelas jika sebelum dirinya masuk, Flavia sudah masuk ke kamarnya. Lalu kenapa gadis itu berada di kamar sang daddy? Bian pikir memisahkan kamar sang daddy dengan Flavia membuat akan jauh lebih aman. Karena mereka tidak akan bisa ke kamar masing-masing dengan pintu penghubung. Namun, ternyata pikirannya salah. Flavia tetap ke kamar sang daddy, dan dengan tenangnya lewat pintu depan. “Sedang apa kamu di sini?” Bian menatap Flavia seperti baru saja mendapatkan buruan. Tinggal menerkamnya saja. Bian begitu penasaran sekali. Untuk apa Flavia di kamar sang daddy. “Aku—” “Bi.” Belum sempat Flavia menjawab, Daddy Bryan keluar. Dia yang mendengar suara sang anak dan segera menghampiri. Bian menatap sang daddy dan Flavia semakin tajam. Rahangnya mengeras. Dia merasa jika kecurigaannya selama ini adalah benar. Jika Flavia dan daddy-nya memiliki hubungan. “Apa ini alasan Daddy keluar kota dengan Flavia?” Bian menatap sang daddy dengan penuh amarah. Ingin rasanya dia melampiaskan k
Bian jelas tahu, jika pintu terbuka akan membuat suara terdengar. Petugas hotel pasti akan datang jika mendengar keributan. Karena itu, Bian memilih untuk menutup pintu. “Jelas ingin mendengar pengakuanmu.” Bian mengayunkan langkahnya. Flavia memundurkan tubuhnya. Sialnya, tepat di belakangnya adalah tembok. Jadi dia tidak bisa lari. Gerakan cepat Bian yang mengunci pergerakan Flavia pun, membuat Flavia semakin tak punya celah untuk lari lagi. “Pengakuan apa maksudmu?” Alih-alih kabur, Flavia memilih untuk berani menatap Bian. Pria yang memiliki tinggi seratus delapan puluh dua centimeter itu membuatnya sedikit mendongak. “Pengakuan jika kamu menyukai Bryan Adion.” Bian tanpa berbasa-basi segera bertanya hal itu. Dari analisa jawaban sang daddy, dia menyimpulkan. Jika sang daddy menyangkal kedekatannya dengan Flavia, artinya memang tidak ada rasa pada Flavia. Jadi dia harus memastikan pada Flavia yang sengaja mendekati sang daddy. Jadi dia sampai memaksa masuk hanya karena i
Bian keluar dari kamarnya bersamaan dengan Flavia yang keluar dari kamar. Flavia menatap malas pada Bian. Dia masih kesal karena ulah Bian kemarin. Tadi, Daddy Bryan sudah mengirim pesan jika dia pergi ke restoran lebih dulu. Karena ingin menikmati kopi lebih dulu. Hal itu membuat Bian dan Flavia harus ke restoran berdua. Mereka berjalan berdua ke lift. Sampai di lift pun tidak ada yang bicara sama sekali. Semua memilih diam. Bagaimana cara aku bicara dengannya? Bian justru bingung memulainya. Dia merasa tidak enak dengan sikapnya kemarin. Hanya saja, jika dia meminta maaf, tentu saja dia tidak mau. Itu pasti membuatnya akan sangat malu sekali. Dia kenapa seperti orang bingung. Flavia merasa aneh ketika melihat Bian tampak gelisah. Seperti ada yang mengganggu pikirannya. Sampai lift terbuka pun tidak ada yang bicara sama sekali. Mereka berdua memilih bungkam. Bian dan Flavia berjalan beriringan ke restoran. Dari kejauhan sudah tampak Daddy Bryan menikmati secangkir kopi
Kakek dan nenek Bian semua sudah meninggal. Yang terakhir tahun lalu adalah neneknya yang meninggal. Dari pihak Maxton pun juga sama. Sudah tidak ada satu pun. Tinggal generasi penerus mereka saja. Walaupun terkadang berkumpul terasa kurang, mereka mulai beradaptasi sedikit demi sedikit. Satu per satu keluarga datang. Mereka saling menyapa satu dengan yang lain. Anak-anak kecil yang datang pun tak kalah membuat suasana menjadi ramai. “Hai, Bi, bagaimana kabarmu?” Daddy Regan langsung memeluk keponakannya. Sore baru dia datang. Tadi pagi dia ada acara main golf dengan teman bisnisnya. Baru pulang saat sore. “Baik, Dad.” Bian tersenyum. “Maaf belum ke rumah.” “Santai saja. Lagi pula sekarang sudah bertemu bukan.” Daddy Regan tersenyum sambil menepuk bahu Bian. “Sudah syukur kamu mau pulang. Masalah menemui kami bisa belakangan.” Papa Erix menambahkan. “Iya, Pa. Akhirnya aku pulang juga.” Bian memeluk Papa Erix sejenak. “Membuat Bian pulang ternyata mudah.” El tersenyum. “Wah … a
Flavia sampai di rumah papa dan mamanya. Tadi dia dihubungi untuk datang ke rumah. Rasanya, Flavia malas sekali jika diminta pulang. Baginya jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, tidak dengan rumah papa dan mamanya. “Kamu akhirnya pulang juga.” Mama Agnesia menyambut dengan pertanyaan sindiran. “Bukankah papa yang memintaku pulang.” Flavia melirih sinis dan segera mengayunkan langkahnya. Dia merasa sedikit kesal dengan pertanyaan dari mama tirinya itu. Mama Agnes biasa orang memanggilnya. Merasa kesal sekali. Anak tirinya itu selalu saja tidak pernah mau bersikap baik padanya. Padahal dari kecil, dirinya yang mengurusnya. Flavia yang datang segera ke ruang kerja papanya. Sebelum masuk ruang kerja papanya, dia mengetuk pintu. “Kamu sudah pulang, Sayang.” Harry Claire menyambut sang anak. Dia segera berdiri dari kursinya menghampiri anaknya. Sebuah rentangan tangan diberikannya, menyambut anaknya ke dalam pelukannya.Flavia tersenyum. Dia senang melihat papanya yang meny