Bian mengayunkan langkahnya dengan tenang. Di hari pertamanya dia terlambat. Ini adalah hal yang tak pernah dilakukan. Di London, dia selalu tepat waktu. Tak pernah terlambat sedikit pun. Tentu saja itu membuatnya sedikit kesal dengan dirinya sendiri. Namun, dia tetap tenang. Tak mau terlihat bodoh saat datang. Bian yang masuk ke lobi menjadi pemandangan indah untuk resepsionis. Lobi sudah sepi, mengingat orang sudah mulai bekerja. Ruangan ada di lantai lima belas. Jadi dia segera ke ruangannya tersebut dengan menggunakan lift. Saat lift terbuka, tampak semua orang yang berada di mejanya mengalihkan pandangan. Mereka melihat Bian dengan jaket kulit dengan tas di pundaknya. Tampak keren sekali. Tentu saja itu membuat para staf wanita terpesona. “Jika seperti ini, aku akan betah kerja di divisi ini.” Wanita di divisi konstruksi memang tidak banyak. Lebih didominasi oleh laki-laki. Apalagi Adion sudah berjalan puluhan tahun. Jadi banyak staf yang sudah cukup tua bekerja di Adion. “Be
Bian mengeluarkan laptopnya. Kemudian segera mulai mencatat apa yang akan dijelaskan oleh Flavia. “Kita sedang ada proyek pembangunan hotel, apartemen, dan juga mal. Aku akan memberikan kamu proyek hotel untuk dipelajari dulu. Aku akan kirim file-nya.” Flavia mengirim file pada Bian. “Ada sedikit kendala. Di lapangan sering terjadi perhitungan yang tidak sesuai dengan perencanaan. Jadi kita harus banyak turun ke lapangan untuk mengecek.” Flavia menjelaskan. Bian mengecek file yang dikirimkan oleh Flavia. Beberapa data tentang pembangunan proyek sudah ada di sana. Jika membaca saja sebenarnya Bian mengerti, tetapi dia tidak mau melepaskan kesempatan tersebut begitu saja. “Sudah berapa lama proyek ini berlangsung?” Bian melempar pertanyaan pada Flavia. “Bukankah sudah tertera tanggal di dalam data itu.” Flavia menyindir pada Bian. Padahal dengan membaca saja bisa, tetapi kenapa Bian justru bertanya. “Tinggal jawab, apa susahnya.” Bian tetap tak mau kalah. Flavia mengembuskan n
Seperti biasa Flavia pagi ini bangun dengan bahagia. Sejak dirinya tinggal sendiri, dia merasa bebas. Apalagi tinggal bersama dengan papa dan mama tirinya, membuatnya harus berada dalam neraka. Pagi ini Flavia membuat roti dengan selai stroberi dan segelas coklat hangat. Tempat yang ditujunya untuk sarapan paginya adalah balkon apartemennya. Tempat nyaman untuk menikmati sarapannya. Flavia duduk di kursi yang berada di balkon apartemennya. Menyesap coklat hangat yang tadi dibuatnya. Seketika perasaan bahagia menyelimutinya. Semangatnya pun bertambah untuk mengerjakan kegiatannya hari ini. Pemandangan kota yang terlihat dari ketinggian membuat Flavia bisa melihat hiruk pikuk jalanan. Pagi-pagi sekali jalanan sudah ramai. Beruntung kantor Adion tidak jauh. Jadi saat naik mobil, dia tidak perlu menempuh jarak jauh. “Pagi yang cerah.” Suara yang berasal dari samping membuat Flavia mengalihkan pandangan ke arah sebelah. Dilihatnya seorang pria dengan telanjang dada terlihat. Posisinya
“Tidak, aku justru ingin hidup seribu tahun lagi.” Bian menjawab tenang. Bian menatap Flavia sambil bergerak membuka pintu mobil. Kaca mobil yang terbuka, membuat Bian mudah untuk membuka pintu mobil tersebut. Dengan percaya diri Bian masuk ke mobil Flavia. Kemudian mendudukkan tubuhnya di kursi di samping kemudi. “Kenapa masuk?” Flavia merasa bingung karena dia melihat Bian yang masuk ke mobilnya tanpa izin sama sekali. “Aku akan berangkat denganmu. Apalagi?” Bian memasang sabuk pengamannya pada tubuhnya. Memastikan dirinya aman ketika mobil melaju nanti. Flavia hanya bisa terperangah dengan aksi Bian. “Ayo cepat jalan.” Bian yang selesai memasang sabuk pengamannya segera mengalihkan pandangan. Meminta Flavia segera berangkat. Flavia semakin dibuat terperangah. Bisa-bisanya Bian memintanya untuk segera berangkat begitu saja. Padahal sekali pun berangkat dia tidak mau bersama Bian. “Siapa kamu, menyuruh aku?” tanya Flavia ketus. “Aku tidak menyuruh,” elak Bian. “Kalau tidak m
Makan siang kali ini dilakukan bertiga. Karena bertiga, akhirnya Daddy Bryan memutuskan untuk membawa satu mobil dengan Bian yang menyetir. Daddy Bryan duduk di kursi depan, sedangkan Flavia duduk di kursi belakang. Mereka hendak menuju ke salah satu restoran terdekat. Mobil yang sampai ke restoran. Daddy Bryan, Bian, dan Flavia segera keluar dari mobil. Mereka bertiga masuk ke restoran. Saat masuk, mereka sudah disambut oleh pramusaji di sana. Seolah mereka memang sudah mengenal Daddy Bryan dan Flavia. “Sepertinya kalian sering ke sini.” Sambil duduk Bian melemparkan pertanyaan. Dia yang melihat interaksi pramusaji, menyimpulkan akan hal itu. “Iya, kami memang sering ke sini.” Daddy Bryan menjawab. Bian segera melempar tatapan tajam pada Flavia. Entah kenapa, dia merasa kesel dengan gadis itu. “Pesan satu nasi goreng spesial. Tolong jangan masukkan seafood sama sekali. Satu spageti Bolognese. Satu kopi americano dan satu orange jus.” Flavia menjelaskan pada pramusaji apa saja ya
Flavia tertawa. Dia jelas melihat Bian tadi. Sejak Bian berlari ke lift tadi, dia tahu Bian mengejarnya. Karena itu dia langsung berlari agar tidak dapat dikejar oleh Bian. “Rasakan. Enak saja mau menumpang.” Flavia tertawa. Rasanya senang sekali ketika melihat Bian yang tak dapat mengejarnya. “Sepertinya dia main-main dengan aku.” Dia tidak akan membiarkan Bian untuk melakukan apa pun. Flavia terus melajukan mobilnya. Hari ini, dia ingin menikmati waktunya. Besok Flavia harus ke luar kota. Jadi, tentu saja dia harus mempersiapkan diri. Mobil yang sampai di tempat parkir membuat Flavia segera turun. Dengan langkah semangat, dia mengayunkan langkahnya ke lift. Tepat saat di depan lift, dia melihat seseorang yang dikenalnya di sana. “Bu Shea.” Flavia mengenali jika yang berada di depan lift adalah Shea. “Flavia.” Mommy Shea tersenyum. Flavia menghampiri Mommy Shea. Dilihatnya jika Mommy Shea membawa barang-barang yang cukup banyak. Beberapa terlihat seperti panci-panci dan sebagia
“Mommy ayo cepat ayo pulang.” Bian segera mengambil tindakan. Dia ingin pulang dan meminta izin pada daddy-nya untuk ikut ke luar kota besok. “Mommy masih mau masukkan belanjaan.” Mommy Shea memasukkan botol-botol minuman yang dibelinya. Bian kesal. Dia pun ikut memasukkan botol-botol tersebut asal. Dia merasa jika mommy-nya terlalu lama. “Bi, yang rapi!” Mommy Shea memberikan protesnya. Merasa Bian asal-asalan. Tidak sesuai warna. Tulisanya tidak menghadap ke depan. “Mom, Bian buru-buru.” Bian tidak peduli dengan apa yang diucapkan sang mommy. Dia terus memasukkan botol minuman. Kemudian setelah selesai dia menutup pintu. “Dasar!” Mommy Shea hanya bisa menggerutu saja. Anaknya benar-benar tidak mengerti seni ibu-ibu yang menyusun makanan dengan rapi. “Sadah ayo pulang.” Bian menarik tangan sang mommy. “Bi, pancinya belum dirapikan.” Mommy Shea yang tangannya ditarik oleh Bian melayangkan protesnya kembali. “Biarkan saja itu tidak jauh lebih penting.” Bian berjalan sambil mer
Bian yang berjalan ke rumah mendengar ucapan sang mommy yang sedang asyik bercerita dengan sang daddy.“Sayang, kamu harus belajar naik motor.” Mommy Shea merengek pada sang suami. “Sayang, buat apa?” Daddy Bryan menatap aneh pada istrinya. Usianya sudah tidak muda lagi. Jadi tidak pas jika belajar motor. “Buat kita jalan-jalan. Kita bisa keliling komplek naik motor. Seru.” Mommy Shea menatap sang suami penuh harap. “Sudah jangan aneh-aneh. Kalau sampai jatuh dan tulang-tulang kita patah. Bahaya. Tulang kita bukan tulang muda yang bisa disambung.” Daddy Bryan memberitahu sang istri. Mommy Shea menekuk bibirnya. Kesal karena sang suami tidak mengizinkan sama sekali. “Lagi pula. Kenapa kamu pulang naik motor?” Daddy Bryan menatap anaknya. Belum juga dijawab oleh istrinya, Daddy Bryan mengalihkan pandangan pada anaknya. “Kamu membawa mommy naik motor?” tanyanya. “Iya.” Bian enteng menjawab. “Apa kamu tahu itu bahaya untuk mommy. Mommy bukan anak muda. Kenapa diajak naik motor?” Da